• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.6 Pengobatan Nyeri

Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017, diperoleh distribusi proporsi berdasarkan jumlah pengobatan nyeri yaitu:

Tabel 5.7 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Jumlah Pengobatan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Jumlah Pengobatan Nyeri f (%)

1 Obat 330 99,70

>1 Obat 1 00,30

Jumlah 331 100

Sumber: Rekam Medik Puskesmas Batua Kota Makassar

Berdasarkan tabel 5.7. dapat diketahui bahwa dari 331 pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri, proporsi tertinggi berdasarkan jumlah pengobatan nyeri adalah pasien dengan 1 pengobatan nyeri yaitu sebanyak 330 orang atau sebesar 99,70% dan proporsi terendah adalah pasien dengan lebih dari 1 pengobatan nyeri yaitu sebanyak 1 orang atau 00,30%. Adapun distribusi proporsi berdasarkan pengobatan nyeri dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.8 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Pengobatan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Pengobatan Nyeri (n=331) f (%) Non-Opioid Ibuprofen 112 33,84 Natrium Diklofenak 72 21,75 Paracetamol 110 33,23 Asam Mefenamat 38 11,48 Opioid Codein 0 0,00 Adjuvant Diazepam 0 0,00

Sumber: Rekam Medik Puskesmas Batua Kota Makassar

Berdasarkan tabel 5.8. dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi berdasarkan pengobatan nyeri adalah pasien yang mendapatkan pengobatan nyeri

dengan ibuprofen yaitu sebanyak 112 orang atau sebesar 33,84% dan proporsi terendah yaitu pengobatan nyeri menggunakan codein dan diazepam yang memiliki proporsi 0.

BAB 6 PEMBAHASAN

Penelitian tentang karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017 telah dilaksanakan pada puskesmas tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif retrospektif yang melihat berdasarkan rekam medik pasien. Penelitian ini ingin mengetahui gambaran pasien dengan keluhan nyeri berdasarkan jenis kelamin, umur, durasi nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, jenis nyeri, diagnosis penyakit dan pengobatan nyeri. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017 yaitu sebanyak 1.924 pasien namun diambil sampel sebanyak 331 pasien berdasarkan rumus Slovin yang kemudian dianggap dapat mewakili keseluruhan populasi.

6.1 Jenis Kelamin

Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017, diperoleh distribusi proporsi berdasarkan jenis kelamin sebagai berikut:

Gambar 6.1 Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Berdasarkan gambar 6.1 dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017 adalah pasien perempuan yaitu sebanyak 60,73% sedangkan pasien laki-laki yaitu sebanyak 39,27%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (misalnya: tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). Pada kepustakaan dikatakan juga bahwa pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh American Society of Plastic Surgeons (ASPS) menemukan bahwa, perempuan memiliki lebih banyak reseptor saraf yang mengakibatkan perempuan merasakan nyeri yang lebih hebat dibanding laki-laki. Hal ini pun membuat perempuan membutuhkan perbedaan teknik operasi, penanganan ataupun dosis obat untuk mengontrol nyerinya. Berdasarkan penelitian tersebut, perempuan diketahui memiliki rata-rata 34 serabut saraf per sentimeter kuadrat di kulit

39,27%

60,73%

Laki-laki Perempuan

wajahnya, sedangkan laki-laki hanya 17 serabut saraf. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki toleransi nyeri yang rendah. Selain itu, perempuan juga dilaporkan merasakan lebih banyak nyeri selama hidupnya dan jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan merasakan nyeri di lebih banyak area tubuh dan dalam durasi yang lebih lama.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Logan dan Rose (2004) terhadap 100 sampel pasien untuk mengetahui perbedaan respon nyeri antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam merespon nyeri yaitu perempuan mempunyai respon nyeri lebih baik dari pada laki-laki. Selain itu, pada penelitian multisenter di unit rawat jalan pada 14 rumah sakit pendidikan di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh kelompok studi nyeri pada bulan Mei 2002, didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 4456 kasus nyeri, jumlah penderita perempuan lebih banyak dibanding laki-laki yaitu sebanyak 2256 orang perempuan dan laki-laki sebanyak 2200 orang. (Meliala L, 2004)

6.2 Umur

Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017, diperoleh distribusi proporsi berdasarkan umur sebagai berikut:

Gambar 6.2 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Umur di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Berdasarkan gambar 6.2 dapat diketahui bahwa dari 331 pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri, proporsi tertinggi berdasarkan umur adalah pasien yang berusia antara 60-69 tahun yaitu sebanyak 24,77% dan proporsi terendah adalah umur 50-59 tahun yaitu sebanyak 6,34%.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan dengan orang dewasa muda namun mereka sering tidak mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan. Para lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Selain itu, normalnya kondisi nyeri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu,

10,27 12,08 12,39 10,88 9,67 6,34 24,77 13,6 0 5 10 15 20 25 30 0-9 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 >70 P rop or si ( % ) Umur (tahun)

proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa ternyata proporsi tertinggi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan umur yaitu pada kategori 60-69 tahun (lansia).

Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh usia terhadap persepsi nyeri dan hasilnya sudah tidak konsisten. Washington, Gibson dan Helme (2000) menemukan bahwa orang tua membutuhkan intensitas lebih tinggi dari rangsangan nyeri dibandingkan orang usia muda. Menurut Edwards & Fillingham (2000) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan persepsi nyeri antara orang muda dengan orang tua, sedangkan menurut Li, Green-wald dan Gennis (2001) menemukan bahwa nyeri pada pasien lansia merupakan bagian dari proses penuaan. Pasien usia lanjut melaporkan nyeri kurang signifikan dibandingkan pasien yang lebih muda. Penelitian-penelitian diatas juga berbanding terbalik dengan hasil penelitian ini karena pada nyatanya pasien usia lanjut lebih banyak yang mengunjungi puskesmas untuk melaporkan nyeri yang dirasakannya dibandingkan kelompok umur lainnya.

6.3 Durasi Nyeri

Berdasarkan tabel 5.3. dapat diketahui bahwa median dari durasi nyeri pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017 adalah 3 hari. Durasi nyeri yang paling singkat adalah selama 1

hari sedangkan yang paling lama adalah selama 90 hari. Durasi nyeri yang paling singkat yaitu 1 hari dapat dikaitkan dengan adanya rasa yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh seseorang ketika mengalami nyeri yang dapat berpengaruh besar terhadap aktivitas sehari-harinya bahkan menurunkan kualitas hidupnya, sehingga hal inilah yang dapat mendorong seseorang untuk segera mencari pertolongan salah satunya melalui puskesmas untuk mengatasi nyeri yang dialami. Sedangkan, durasi nyeri yang paling lama yaitu 90 hari dapat dikaitkan dengan diagnosis penyakit pasien dengan keluhan nyeri, dimana proporsi tertinggi adalah pasien dengan penyakit rheumatoid arthritis (RA). Pada penyakit ini, penderita dapat merasakan kaku sendi hingga nyeri yang muncul terutama di pagi hari dimana nyerinya dapat berlangsung kronis hingga lebih dari 3 bulan dan nyeri yang konstan dari tubuh selama berbulan-bulan bahkan beberapa tahun.

6.4 Lokasi Nyeri

Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017, diperoleh distribusi proporsi berdasarkan jumlah lokasi nyeri sebagai berikut:

Gambar 6.3 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Jumlah Lokasi Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Berdasarkan gambar 6.3. dapat diketahui bahwa dari 331 pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri, proporsi tertinggi berdasarkan jumlah lokasi nyeri adalah pasien dengan 1 lokasi nyeri yaitu sebanyak 72,51% dan proporsi terendah adalah pasien dengan lebih dari 1 lokasi nyeri yaitu sebanyak 27,49%. Adapun distribusi proporsi berdasarkan lokasi nyeri dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

72,51% 27,49%

1 Lokasi >1 Lokasi

Gambar 6.4 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Lokasi Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Berdasarkan gambar 6.4. dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi berdasarkan lokasi nyeri adalah pasien dengan keluhan nyeri di extremitas yaitu sebanyak 29,31% yang disusul oleh keluhan nyeri di kepala sebanyak 29% dan proporsi terendah adalah pasien dengan keluhan nyeri di pelvis yaitu sebanyak 1,81%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa pada dasarnya ada beberapa bagian tubuh yang sangat sensitif terhadap rangsang nyeri sehingga akan terasa sangat sakit bila terpukul, tertusuk ataupun terluka. Bagian tubuh itu adalah sebagai berikut:

29,00 7,55 15,11 4,23 17,52 11,48 11,48 1,81 29,31 0 5 10 15 20 25 30 35 Kepala Wajah Leher Dada Abdomen Punggung Pinggang bawah Pelvis Extremitas Proporsi (%)

Lo

k

a

si

N

y

eri

1. Ujung jari

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Annals of Neurology, ujung jari merupakan bagian tubuh yang lebih sensitif terhadap nyeri dibandingkan hampir semua bagian tubuh yang lainnya. Hal inilah yang menyebabkan luka kecil seperti teriris kertas ataupun tertusuk jarum dapat membuat seorang pria dewasa kesakitan. Ujung jari manusia dipenuhi oleh ujung-ujung saraf, yang akan mengirimkan sinyal rasa sakit langsung ke dalam otak manusia. Hal ini berarti semakin banyak ujung saraf pada suatu bagian tubuh, maka semakin besar rasa sakit yang akan dirasakan.

2. Tulang kering (Tibia)

Tulang kering (tibia) merupakan tulang yang terdapat di bagian depan betis dilapisi oleh sangat sedikit otot dan lemak. Hal ini berarti tidak ada bantalan yang dapat melindung tulang bila terantuk. Sehingga, sedikit saja benturan terhadap meja dapat membuat rasa nyeri yang timbul menjadi dua kali lipat.

3. Lengkung kaki

Lengkung kaki memiliki lapisan kulit yang lebih tipis dibandingkan tumit ataupun bagian depan kaki yang lapisan kulitnya lebih tebal. Hal ini menyebabkan ujung saraf di bawah kulit lebih dekat ke permukaan sehingga lebih mudah terstimulasi.

4. Lutut bagian depan dan belakang

Seperti halnya tulang kering (tibia), lutut bagian depan dan belakang tidak memiliki banyak otot ataupun lemak sebagai bantalannya. Selain itu, tempurung lutut juga dipenuhi oleh saraf-saraf sensorik. Bagian belakang lutut juga tidak memiliki perlindungan apapun dan terletak bersebelahan dengan tulang paha. Jadi, saat bagian

tubuh ini terbentur, maka rasa sakit akan berasal dari dua bagian tubuh, belakang lutut dan paha, sehingga akan dirasakan lebih sakit.

5. Siku bagian dalam

Siku bagian dalam dipenuhi oleh saraf ulnaris yang berasal dari bagian belakang siku. Saraf ini terletak di samping tulang lengan atas, humerus. Karena tidak adanya bantalan pelindung untuk saraf ini, maka saraf inipun lebih mudah terstimulasi saat bagian siku terbentur. Saraf terdiri dari serabut yang berbeda, ada yang berespon terhadap sentuhan, dan ada yang berespon terhadap nyeri. Dan saraf ulnaris ini adalah saraf yang berespon terhadap nyeri. Saraf ini berjalan ke arah telapak tangan dan jari tangan, maka benturan di daerah ini juga akan menyebabkan nyeri pada seluruh lengan bawah hingga ke jari tangan. (Wilhelmi, 2005)

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes, dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 2006, dimana didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan angka kejadian gangguan nyeri muskuloskeletal yang mengganggu aktifitas, merupakan gangguan yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian responden. Dari 1.645 responden laki-laki dan perempuan yang diteliti, peneliti menjelaskan sebanyak 66,9% diantaranya pernah mengalami nyeri sendi. (Wiedya, 2013)

Walaupun demikian didapatkan juga penelitian lain yang tidak sejalan, seperti penelitian multisenter di unit rawat jalan pada 14 rumah sakit pendidikan di

seluruh Indonesia yang dilakukan oleh kelompok studi nyeri pada bulan Mei 2002, dimana didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 4456 kasus nyeri, terdapat 35,86% diantaranya adalah nyeri kepala.

6.5 Diagnosis Penyakit

Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017, diperoleh 5 diagnosis penyakit dengan proporsi terbanyak sebagai berikut:

Gambar 6.5 Distribusi 5 Diagnosis Penyakit dengan Proporsi Terbanyak pada Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Berdasarkan gambar 6.5. dapat diketahui 5 diagnosis penyakit dengan proporsi terbanyak yaitu rheumatoid arthritis (RA), cephalgia, low back pain (LBP), gastritis dan faringitis. Proporsi tertinggi berdasarkan diagnosis penyakit adalah pasien dengan penyakit rheumatoid arthritis (RA) yaitu sebanyak 13,60%, lalu

13,6 10,57 9,97 8,16 6,34 0 3 6 9 12 15

RA Cephalgia LBP Gastritis Faringitis

P rop or si ( % ) Diagnosis Penyakit

disusul oleh cephalgia sebanyak 10,57%, low back pain (LBP) sebanyak 9,97%, gastritis sebanyak 18,6% dan faringitis sebanyak 6,34%.

Hasil penelitian ini berkaitan dengan proporsi tertinggi berdasarkan lokasi nyeri yaitu pasien dengan keluhan nyeri di extremitas. Dimana, penyakit rheumatoid arthritis (RA) ini memang menyerang sendi-sendi pada anggota gerak manusia. Hal ini pun sejalan dengan penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes, dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 2006, dimana didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan angka kejadian gangguan nyeri muskuloskeletal yang mengganggu aktifitas, merupakan gangguan yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian responden. Dari 1.645 responden laki-laki dan perempuan yang diteliti, peneliti menjelaskan sebanyak 66,9% diantaranya pernah mengalami nyeri sendi. (Wiedya, 2013) Hal inilah yang mendasari penyakit dengan keluhan nyeri di extremitas memiliki angka yang paling besar proporsinya.

Menurut mekanisme patofisiologi terjadinya nyeri, proporsi tertinggi diagnosis penyakit yaitu rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit dengan jenis nyeri nosiseptif dimana nyerinya berasal dari inflamasi yang terjadi di sendi. Selanjutnya, penyakit kedua tertinggi yaitu cephalgia merupakan penyakit dengan jenis nyeri neuropatik dimana nyeri pada cephalgia ini dapat sebagai akibat langsung dari suatu lesi (lesi primer) atau penyakit yang mempengaruhi sistem somatosensori. Selanjutnya, penyakit ketiga tertinggi yaitu low back pain (LBP) merupakan penyakit

dengan jenis nyeri campuran (nosiseptif dan neuropatik) dimana nyerinya dapat berasal dari otot, tulang, ligamen, sendi maupun masalah langsung pada sistem saraf pada tulang belakang. Contohnya seperti terdesaknya otot vertebral, herniasi, osteoarthritis dari lumbal sacral pada tulang belakang maupun karena masalah pada muskuloskeletal seperti ketegangan lumbosacral, ketidakmampuan ligamen lumbosacral, kelemahan otot hingga masalah pada sendiri intervertebra. Selain itu pada low back pain (LBP) juga sering ditemukan penekanan atau jeratan radiks saraf baik itu hanya terjadi pada selaput pembungkus saraf atau hingga mengenai serabut saraf. Selanjutnya, penyakit keempat dan kelima tertinggi yaitu gastritis dan faringitis merupakan penyakit dengan jenis nyeri nosiseptif dimana nyerinya merupakan nyeri visceral yang berasal dari cedera pada organ dalam yang kadang disertai dengan refleks autonom misalnya mual dan muntah. Nyeri ini timbul akibat adanya distensi, peradangan, kontraksi abdominal, spasme dari reflex, iskemik, nekrosis dari otot halus, maupun iritasi bahan kimia pada mukosa.

6.6 Pengobatan Nyeri

Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017, diperoleh distribusi proporsi berdasarkan jumlah pengobatan nyeri sebagai berikut:

Gambar 6.6 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Jumlah Pengobatan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Berdasarkan gambar 6.6. dapat diketahui bahwa dari 331 pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri, proporsi tertinggi berdasarkan jumlah pengobatan nyeri adalah pasien dengan 1 pengobatan nyeri yaitu sebesar 99,70% dan proporsi terendah adalah pasien dengan lebih dari 1 pengobatan nyeri yaitu sebesar 00,30%. Adapun distribusi proporsi berdasarkan pengobatan nyeri dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

99,7%

0,3%

1 Obat >1 Obat

Gambar 6.7 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Pengobatan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Berdasarkan gambar 6.7. dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi berdasarkan pengobatan nyeri adalah pasien yang mendapatkan pengobatan nyeri dengan ibuprofen yaitu sebesar 33,84% dan proporsi terendah adalah pengobatan nyeri dengan codein dan diazepam dimana tidak ada satupun sampel yang mendapatkan pengobatan nyeri dengan obat tersebut.

Dari hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa ternyata analgesik non-opioid merupakan jenis pengobatan nyeri yang diberikan kepada semua sampel pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri. Dimana, ibuprofen memiliki proporsi tertinggi dan asam mefenamat dengan proporsi terendah. Berdasarkan kepustakaan, ibuprofen mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi, namun efek anti inflamasinya memerlukan dosis lebih besar. Efek samping dari obat ini ringan, seperti sakit kepala dan iritasi lambung ringan. Hal inilah yang kemungkinan menjadi pertimbangan tenaga kesehatan dalam memberikan obat kepada pasien dengan

33,84 21,75 33,23 11,48 0 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Ibuprofen Na Diklo PCT Asmef Codein Diazepam

P rop or si ( % ) Pengobatan Nyeri

keluhan nyeri sehingga ibuprofen menjadi jenis pengobatan nyeri dengan proporsi tertinggi. Di sisi lain, asam mefenamat memiliki efek analgetik dan anti inflamasi, tetapi tidak memberikan efek antipiretik. Efek samping dari asam mefenamat yaitu diare dan kadang-kadang anemia hemolitik dapat terjadi sehingga pengobatan harus dihentikan. Hal ini pula yang kemungkinan menjadi pertimbangan tenaga kesehatan dalam memberikan obat kepada pasien dengan keluhan nyeri sehingga asam mefenamat menjadi jenis pengobatan nyeri jenis non-opioid dengan proporsi terendah. Selain itu, dilihat dari penggunaan obat analgesik yaitu hanya menggunakan jenis non-opioid saja, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua pasien rawat jalan yang datang dengan keluhan nyeri pada puskesmas tersebut memiliki intensitas nyeri ringan atau dengan nilai NRS 1-3. Asumsinya, dari keseluruhan pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri tidak mungkin hanya menderita nyeri ringan dengan nilai NRS 1-3 saja, terutama pada pasien dengan nyeri kronik yang kemungkinan bisa menderita nyeri sedang hingga berat. Karena tidak adanya pengukuran intensitas nyeri yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap setiap pasien dengan keluhan nyeri, maka kitai tidak dapat mengetahui secara pasti intensitas nyeri yang dirasakan oleh setiap pasien dan juga tidak dapat mengetahui apakah pemberian pengobatan nyeri sudah tepat dan sesuai berdasarkan intensitas nyeri masing-masing pasien. Maka dari itu, sangat perlu penilaian intensitas nyeri pada setiap pasien yang datang dengan keluhan nyeri, agar tenaga kesehatan dapat memberikan pengobatan nyeri yang tepat dan efektif berdasarkan konsep multimodal yaitu kombinasi antara non-opioid, opioid dan adjuvant terutama bagi pasien dengan intensitas nyeri sedang hingga berat.

BAB 7

Dokumen terkait