• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT JALAN DENGAN KELUHAN NYERI DI PUSKESMAS BATUA KOTA MAKASSAR PADA BULAN FEBRUARI 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT JALAN DENGAN KELUHAN NYERI DI PUSKESMAS BATUA KOTA MAKASSAR PADA BULAN FEBRUARI 2017"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

DI PUSKESMAS BATUA KOTA MAKASSAR PADA BULAN FEBRUARI 2017

OLEH:

AMALYAH INDIRASARY MUSTAFA HASBAR C111 14 332

PEMBIMBING:

Dr. dr. ANDI MUH. TAKDIR MUSBA, Sp. An-KMN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

(2)

i

PADA BULAN FEBRUARI 2017

Diajukan Kepada Universitas Hasanuddin Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Amalyah Indirasary Mustafa Hasbar C111 14 332

Pembimbing:

Dr. dr. Andi Muh. Takdir Musba, Sp. An-KMN

UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN

MAKASSAR 2017

(3)

ii

Telah disetujui untuk dibacakan pada seminar hasil di Ruang Pertemuan Bagian Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan judul :

“KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT JALAN DENGAN KELUHAN NYERI DI PUSKESMAS BATUA KOTA MAKASSAR

PADA BULAN FEBRUARI 2017”

Hari/Tanggal : Selasa, 14 November 2017 Waktu : 11.00 wita – selesai

Tempat : Bagian Ilmu Anestesi

Makassar, 09 November 2017

(4)

iii

Telah disetujui untuk dibacakan pada seminar akhir di Ruang Pertemuan Bagian Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan judul :

“KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT JALAN DENGAN KELUHAN NYERI DI PUSKESMAS BATUA KOTA MAKASSAR

PADA BULAN FEBRUARI 2017”

Hari/Tanggal : Rabu, 15 November 2017 Waktu : 11.00 wita – selesai Tempat : Bagian Ilmu Anestesi

Makassar, 14 November 2017

(5)

iv

Nama : Amalyah Indirasary Mustafa Hasbar

NIM : C111 14 332

Fakultas/Program Studi : Kedokteran/Pendidikan Dokter

Judul Skripsi : Karakteristik Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

Telah berhasil dipertahankan di hadapan dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. dr. Andi Muh. Takdir Musba, Sp. An-KMN

(...) Penguji 1 : dr. Haizah Nurdin, Sp.An-KIC

(...) Penguji 2 : dr. Ari Santri Palinrungi, Sp.An

(...)

Ditetapkan di : Makassar

(6)

v

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

2017

TELAH DISETUJUI UNTUK DICETAK DAN DIPERBANYAK

Skripsi dengan judul:

“KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT JALAN DENGAN KELUHAN NYERI DI PUSKESMAS BATUA KOTA MAKASSAR

PADA BULAN FEBRUARI 2017”

Makassar, 15 November 2017 Pembimbing

Dr. dr. Andi Muh. Takdir Musba, Sp. An-KMN NIP. 19741031 200801 1 009

(7)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala berkat dan rahmat-NYA, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan, dorongan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS, FICS. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

2. Dr. dr. Andi Muh. Takdir Musba, Sp. An-KMN selaku penasehat akademik sekaligus pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, motivasi, petunjuk, dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan berjalan dengan lancar.

3. Kedua orang tua penulis, Ayah alm. Mustafa Hasbar dan Ibu Harlinda yang telah membesarkan, mendidik dan membimbing penulis serta tak

(8)

vii

4. Adik serta keluarga besar yang selalu memberi semangat, dukungan serta mendoakan penulis selama ini

5. Teman - teman Alodie yaitu amirah, ulfa, widya, cindy, ningrum, indah, yuni, dan aisyah yang selalu menemani dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi serta memberikan motivasi dan semangat untuk penulis sejak awal semester hingga saat ini.

6. Teman - teman Neutrof14vine atas dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini.

7. Para staf dan tenaga kesehatan Puskesmas Batua Kota Makassar yang telah membantu penulis dalam mencari daftar rekam medis yang ingin diteliti. 8. Seluruh dosen, staf akademik, staf tata usaha, dan staf perpustakaan Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis senantiasa menerima kritik dan saran yang diberikan oleh pembaca. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta bagi perkembangan ilmu kedepannya.

Makassar, 8 November 2017

(9)

viii

November 2017 Amalyah Indirasary Mustafa Hasbar

Dr. dr. Andi Muh. Takdir Musba, Sp. An-KMN

Karakteristik Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017

ABSTRAK

Latar Belakang: Kesehatan menjadi salah satu faktor yang berperan besar dalam menentukan kualitas hidup seseorang. Apabila kesehatan seseorang terganggu maka kualitas hidupnya pun akan menurun. Salah satu tanda bahwa kesehatan seseorang sedang terganggu yaitu timbulnya rasa sakit atau nyeri. Nyeri merupakan suatu pengalaman yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan atau yang berpotensi untuk rusak. Nyeri dikatakan sebagai tanda-tanda vital kelima oleh The American Pain Society. Berdasarkan hal tersebut, keluhan nyeri harus dinilai pada semua pasien karena mereka mempunyai hak untuk dikaji dan diberikan penatalaksanaan nyeri secara tepat. Di Amerika Serikat, nyeri merupakan keluhan medis yang paling sering dikeluhkan dan merupakan salah satu alasan utama pasien mencari perawatan medis. Penulis menyadari betapa pentingnya keluhan nyeri sehingga diperlukan pemberian penanganan yang tepat sehingga kualitas hidup pasien pun dapat diperbaiki. Sedangkan di Indonesia sendiri, masih sangat kurang penelitian mengenai frekuensi pasien dengan keluhan nyeri yang datang berobat ke pusat kesehatan, sehingga didukung dengan uraian diatas maka penulis ingin menunjukkan karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017.

Metode penelitian: Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dengan sampel sebanyak 331 pasien yang dipilih dengan menggunakan metode simple random sampling.

Hasil Penelitian: Berdasarkan data yang didapatkan, terdapat 72,82% pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri. Proporsi tertinggi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan 60,73%, berdasarkan umur yaitu 60-69 tahun 24,77%, berdasarkan lokasi nyeri yaitu extremitas 29,31%, berdasarkan diagnosis penyakit yaitu rheumatoid arthritis (RA) 13,60%, dan berdasarkan pengobatan nyeri yaitu ibuprofen 33,84%.

Judul Halaman: (ix + VII BAB + 77 halaman + 9 tabel + 12 gambar + 1 skema + Lampiran)

(10)

ix Kepustakaan: 36 referensi.

(11)

x

Halaman

HALAMAN JUDUL… ……… i

HALAMAN PENGESAHAN ………. ii

HALAMAN PERSETUJUAN CETAK………. v

KATA PENGANTAR……….. vi

ABSTRAK……… viii

DAFTAR ISI ……… x

DAFTAR TABEL………. xiv

DAFTAR GAMBAR……… xvi

DAFTAR SKEMA……… xviii

DAFTAR LAMPIRAN……… xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan.……… 1

1.2 Rumusan Masalah.……….. 4

1.3 Tujuan Penelitian……… 4

1.3.1 Tujuan Umum………... 4

1.3.2 Tujuan Khusus……….. 5

1.4 Manfaat Penelitian……….. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Nyeri………. 7

(12)

xi

2.3.1 Nyeri Akut dan Kronik………. 11

2.3.2 Nyeri Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik……… 12

2.4 Patofisiologi Nyeri……….. 17 2.5 Mekanisme Nyeri……… 19 2.6 Intensitas Nyeri……….……….. 23 2.7 Penatalaksanaan Nyeri……… 28 2.8 Obat Analgetik……… 30 2.8.1 Analgetik Non-Narkotik………... 30 2.8.2 Analgetik Narkotik………... 32

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep Penelitian……….. 35

3.2 Definisi Operasional……….. 36

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian……… 41

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 41

4.2.1 Lokasi Penelitian……… 41

4.2.2 Waktu Penelitian……… 41

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian……….. 41

4.3.1 Populasi Penelitian………. 41

(13)

xii

4.5.1 Pengolahan Data……… 43

4.5.2 Penyajian Data………... 44

4.6 Etika Penelitian……… 44

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Jenis Kelamin………...… 46 5.2 Umur………..….. 46 5.3 Durasi Nyeri………...….. 47 5.4 Lokasi Nyeri………. 48 5.5 Diagnosis Penyakit……….. 50 5.6 Pengobatan Nyeri………. 50 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Jenis Kelamin………...… 53 6.2 Umur………..….. 55 6.3 Durasi Nyeri………...….. 57 6.4 Lokasi Nyeri………. 58 6.5 Diagnosis Penyakit……….. 63 6.6 Pengobatan Nyeri………. 65

BAB VII KESIMPULAN, HAMBATAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan……… 70

(14)
(15)

xiv

Tabel Halaman

2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik……… 11 5.1 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Jenis

Kelamin di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017 ……….….… 46 5.2 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan

Umur di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017 ……….……….. 47 5.3 Durasi Nyeri Rata-rata Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri di Puskesmas

Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….……….. 48 5.4 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Jumlah Lokasi Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….……….. 48 5.5 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Lokasi Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….……….. 49 5.6 Distribusi 5 Diagnosis Penyakit dengan Proporsi Terbanyak pada Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……… 50

(16)

xv

Februari 2017……….…………..….… 51 5.8 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Pengobatan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….……….. 51

(17)

xvi

Gambar Halaman

2.1 Mekanisme Penjalaran Nyeri……… 22

2.2 Numeric Rating Scale (NRS)……… 26

2.3 Visual Analogue Scale (VAS)……….. 27

2.4 The Face Pain Scale……….. 28

2.5 WHO Three Step Analgesic Ladder……….. 30

6.1 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….….. 54

6.2 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Umur di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….……….. 56

6.3 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Jumlah Lokasi Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….……….. 59

6.4 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Lokasi Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….……….. 60

(18)

xvii

Februari 2017……… 63 6.6 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan Jumlah Pengobatan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….…………..….… 66 6.7 Distribusi Proporsi Pasien Rawat Jalan dengan Keluhan Nyeri Berdasarkan

Pengobatan Nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada Bulan Februari 2017……….……….. 67

(19)

xviii

Skema Halaman

(20)

xix Lampiran 1. Surat Izin Penelitian

Lampiran 2. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik Lampiran 3. Master Data

Lampiran 4. Surat Keterangan Selesai Penelitian Lampiran 5. Biodata Peneliti

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Menurut WHO (1994), kualitas hidup didefenisikan sebagai persepsi individu sebagai laki-laki atau wanita dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal, dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini merupakan konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka. Di dalam bidang kesehatan dan aktivitas pencegahan penyakit, kualitas hidup dijadikan sebagai aspek untuk menggambarkan kondisi kesehatan (Larasati, 2012)

Ada lima kelompok besar aspek kualitas hidup yakni aspek physical wellbeing (terdiri dari aspek-aspek kesehatan, kebugaran, keamanan fisik, dan mobilitas), material wellbeing (terdiri dari aspek-aspek pendapatan, kualitas lingkungan hidup, privacy, kepemilikan, makanan, alat transportasi, lingkungan tempat tinggal, keamanan, dan stabilitas), social wellbeing (terdiri dari hubungan interpersonal dan keterlibatan dalam masyarakat), development and activity, emotional wellbeing (terdiri dari afek atau mood, kepuasan atau pemenuhan kebutuhan, kepercayaan diri, agama, dan status/ kehormatan). (Felce and Perry, 1995)

(22)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan menjadi salah satu faktor yang berperan besar dalam menentukan kualitas hidup seseorang. Apabila kesehatan seseorang terganggu maka secara otomatis kualitas hidupnya pun akan menurun. Sehingga, hal ini menjadikan kesehatan mendapat perhatian besar oleh setiap orang demi menjaga kualitas hidupnya. Salah satu tanda atau gejala bahwa kesehatan seseorang sedang terganggu yaitu timbulnya rasa sakit atau nyeri.

Nyeri merupakan suatu pengalaman yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan atau yang berpotensi untuk rusak. Unsur utama yang harus ada untuk dikatakan nyeri adalah rasa tidak menyenangkan. Persepsi nyeri sangat bersifat subjektif yang ditentukan oleh pengalaman dan status emosional. (ASA, 2012)

Nyeri dikatakan sebagai tanda-tanda vital kelima oleh The American Pain Society. Berdasarkan hal tersebut dinyatakan bahwa keluhan nyeri harus dinilai pada semua pasien karena mereka mempunyai hak untuk dikaji dan diberikan penatalaksanaan nyeri secara tepat. Nyeri akut yang tidak berkurang dapat menyebabkan pasien mengalami debilitation (kelemahan tenaga/ kehilangan motivasi), dapat menghambat kualitas hidup, dan bahkan dapat menyebabkan depresi. (Subiyanto P, 2008)

Dari segi waktu berjalannya penyakit, nyeri dapat tergolong menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda yang juga membuat terapi untuk kedua macam nyeri tersebut dibedakan. Nyeri kronis dapat berlangsung tiga bulan atau lebih lama tanpa diketahui penyebabnya dan

(23)

mempengaruhi aktivitas normal pasien sehari-hari. Nyeri kronis dapat terjadi tanpa trauma yang mendahului, dan seringkali tidak dapat ditentukan adanya gangguan sistem yang mendasari bahkan setelah dilakukannya observasi dalam jangka waktu yang lama. (Fishbain DA, 2003)

Penilaian nyeri merupakan hal yang penting untuk mengetahui intensitas dan menentukan terapi yang efektif. Intensitas nyeri sebaiknya harus dinilai sedini mungkin dan sangat diperlukan komunikasi yang baik dengan pasien. Untuk memahami penilaian nyeri perlu dipertimbangkan beberapa hal yang mempengaruhi seperti usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. (Oosterman JM, 2006)

Nyeri seringkali merupakan manifestasi predominan atau satu-satunya manifestasi klinis dari banyak proses. Nyeri merupakan tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan telah terjadinya perubahan fisiologikal pada tubuh manusia. Semua orang pasti pernah mengalami nyeri, baik itu nyeri kepala, nyeri perut maupun nyeri di daerah tubuh lainnya. Intensitas nyerinya pun beragam mulai dari ringan hingga berat.

Di Amerika Serikat, nyeri merupakan keluhan medis yang paling sering dikeluhkan dan merupakan salah satu alasan utama pasien mencari perawatan medis. Kebanyakan pasien tidak menganggap dirinya sakit jika tidak ada nyeri. Berdasarkan American Pain Society, 50 juta warga Amerika lumpuh sebagian atau total karena nyeri, dan 45% dari warga Amerika membutuhkan perawatan nyeri yang persisten seumur hidup mereka. Kira-kira 50-80% pasien di rumah sakit mengalami nyeri

(24)

disamping keluhan lain yang menyebabkan pasien masuk rumah sakit. (Sinatra RS, 2009)

Penulis menyadari betapa pentingnya keluhan nyeri sehingga diperlukannya pemberian penanganan yang tepat sehingga kualitas hidup pasien pun dapat diperbaiki. Sedangkan di Indonesia sendiri, masih sangat kurang penelitian mengenai frekuensi pasien dengan keluhan nyeri yang datang berobat ke pusat kesehatan, sehingga didukung dengan uraian diatas maka penulis ingin menunjukkan karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimana karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017.

(25)

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri.

2. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan jenis kelamin.

3. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan umur.

4. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan durasi nyeri yang dialami sebelum berobat ke puskesmas.

5. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan lokasi nyerinya.

6. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan intensitas nyerinya.

7. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan jenis nyeri menurut mekanisme patofisiologi terjadinya nyeri.

8. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan diagnosis penyakitnya.

(26)

9. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan jenis obat analgesik yang diberikan oleh puskesmas sebagai pengobatan nyerinya.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti

a) Sebagai pengalaman dalam melaksanakan karya ilmiah dan melatih kemampuan dalam melakukan penelitian di masyarakat.

b) Menambah pengetahuan akan kasus-kasus dengan keluhan nyeri. 1.4.2 Bagi Puskesmas Terkait

a) Dapat mengetahui karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri yang ada di wilayah kerjanya.

b) Sebagai bahan pertimbangan untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatannya terutama untuk pasien dengan keluhan nyeri. 1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan

a) Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi atau bahan referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya.

b) Penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan bagi mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuannya akan keluhan nyeri.

(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. (Brunner dan Suddarth, 2002)

Nyeri adalah perasaan tidak nyaman yang betul-betul subjektif dan hanya orang yang menderitanya dapat menjelaskan dan mengevaluasi. (Long, 2001)

Menurut IASP (International Association for Study of Pain), nyeri didefinisikan sebagai “unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or described in term of such damage”. definisi tersebut mencakup berbagai macam definisi nyeri mulai dari nyeri akut, nyeri kronis, dan nyeri kanker. Dari definisi tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Nyeri merupakan pengalaman sensoris yang tidak menyenangkan. Keluhan tanpa unsur tidak menyenangkan tidak dapat dikategorikan sebagai nyeri, tetapi tidak semua yang tidak menyenangkan dapat dikatakan sebagai nyeri; 2. Nyeri selain merupakan pengalaman sensoris juga merupakan pengalaman

emosional, sehingga apabila terdapat suatu rangsangan yang sama maka dapat dirasakan berbeda oleh karena keadaan emosional seseorang yang berbeda;

(28)

3. Nyeri dapat terjadi sebagai akibat adanya kerusakan jaringn yang nyata (actual tissue damage). Hal ini disebut juga sebagai nyeri akut (nyeri nosisepsi);

4. Nyeri juga dapat timbul oleh suatu rangsangan yang cukup kuat yang berpotensi merusak jaringan (potential tissue damage). Hal ini disebut sebagai nyeri fisiologis yang fungsinya untuk membangkitkan reflex penghindar (withdrawal reflex);

5. Selain itu nyeri dapat juga dirasakan tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata tetapi tergambarkan seolah-olah terjadi kerusakan seperti itu (described in term of such damage). Hal ini disebut sebagai nyeri kronik (pain without injury) (Sulaemang, 2007)

Dari definisi tersebut maka nyeri terdiri dari dua komponen utama, yaitu sensorik (fisik) dan emosional (psikologik). Komponen sensorik merupakan mekanisme neurofisiologi yang menerjemahkan sinyal nosiseptor menjadi informasi tentang nyeri (durasi, intensitas, lokasi, dan kualitas rangsangan). Sedangkan komponen emosional adalah komponen yang menentukan berat ringannya individu merasa tidak nyaman, dapat mengawali kelainan emosi seperti cemas dan depresi jika menjadi nyeri kronik, serta diperankan oleh rangsangan nosiseptik melalui penggiatan sistem limbik dan kondisi lingkungan (asal penyakit, hasil pengobatan yang tidak jelas, dan dukungan sosial/keluarga). Nyeri bersifat sangat subyektif. Terlepas dari ada tidaknya kerusakan jaringan, nyeri sebaiknya diterima sebagai keluhan yang harus dipercaya.

(29)

Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh stimulasi yang berbahaya (stimulasi nocious) oleh karena adanya suatu cedera, proses penyakit, atau fungsi otot atau organ dalam yang abnormal. Nyeri akut dapat bersifat nosiseptif. Nyeri nosisepsi berfungsi untuk mendeteksi, melokalisir dan membatasi kerusakan jaringan. Stres neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya secara tipikal dapat dihubungkan dengan nyeri akut. Bentuk-bentuk nyeri akut yang sering kita temui mencakup nyeri pascatrauma, nyeri pascabedah, dan nyeri obstetrik, begitu pula nyeri yang dihubungkan dengan penyakit medis akut. Kebanyakan nyeri akut dapat hilang dengan sendirinya atau berkurang dengan pemberian pengobatan. Nyeri yang dirasakan oleh pasien dapat hilang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu tergantung dari kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan dan keteraturan pasien dalam minum obat. (Room AN, 2013)

Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung sampai melebihi perjalanan suatu penyakit akut, berjalan terus menerus sampai melebihi waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan suatu trauma, dan terjadinya secara berulang-ulang dengan interval waktu beberapa bulan atau beberapa tahun. Banyak klinikus memberi batasan lamanya nyeri 3 atau 6 bulan.

Secara kualitatif, nyeri dibagi menjadi dua bentuk yaitu nyeri fisiologik dan nyeri patologik. Nyeri fisiologik dikategorikan sebagai suatu sensasi yang normal yang terjadi akibat adanya rangsangan noksius dan berfungsi sebagai alat proteksi dari sesuatu yang dapat merusak tubuh. Sebagai contoh dari nyeri fisiologis adalah meraba benda panas, dingin, atau cubitan. Sedangkan nyeri patologik dikategorikan sebagai

(30)

suatu sensasi yang abnormal akibat adanya kerusakan jaringan yang akan menghasilkan nyeri inflamasi (inflammatory pain) dan apabila kerusakan tersebut melibatkan saraf maka akan menghasilkan nyeri neuropatik (neuropathic pain). (Tanra AH, 2002)

2.2 Epidemiologi Nyeri

Di Amerika Serikat terdapat sekitar 75-80 juta penderita nyeri kronik, yang mana 25 juta diantaranya adalah penderita arthritis. Diperkirakan ada 600 ribu penderita arthritis baru tiap tahunnya. Jumlah penderita nyeri neuropatik lebih kurang 1% dari total penduduk di luar nyeri punggung bawah (Bennet and Tollison, 1995 Cit. Meliala, 2004). Nyeri punggung bawah diperkirakan sekitar 15% dari jumlah penduduk (Fordyce, 1995 Cit. Meliala, 2004)

Hasil penelitian multisenter di unit rawat jalan pada 14 rumah sakit pendidikan di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh kelompok studi nyeri pada bulan Mei 2002, didapatkan 4456 kasus nyeri yang merupakan 25% dari total kunjungan pada bulan tersebut. Jumlah penderita laki-laki sebanyak 2200 orang dan 2256 orang perempuan. Kasus nyeri kepala 35.86%, nyeri punggung bawah 18,3% dan nyeri neuropatik yang merupakan gabungan nyeri neuropatik diabetika, nyeri paska herpes, dan neuralgia trigeminal sebanyak 9.5%. (Meliala L, 2004)

(31)

2.3 Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri dapat berdasarkan waktu, yaitu: nyeri akut dan kronis dan dapat berdasarkan etiologi, yaitu: nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik

2.3.1 Nyeri Akut dan Nyeri Kronik

Nyeri akut terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang akut dan tidak berlangsung lama. Sedangkan nyeri kronik, tetap berlanjut walaupun lesi sudah sembuh. Ada yang memakai batas waktu 3 bulan sebagai nyeri kronik. Untuk membedakan nyeri akut dan nyeri kronik secara klinis ditampilkan seperti tabel 2.1.

Aspek Nyeri Akut Nyeri Kronik

Lokasi Jelas Difus, menyebar

Deskripsi Mudah Sulit

Durasi Pendek Terus berlangsung

Fisiologis Kondisi alert (BP,HR↑) Muncul puncak2 nyeri Istirahat Mengurangi nyeri Memperburuk nyeri Pekerjaan Terkendali Dipertanyakan Keluarga & relasi Menolong, supportif Lelah, deteorasi

Finansial Terkendali Menurun & bisa kekurangan

Mood Ansietas, takut Depresi, rasa bersalah, iritabilitas, marah, frustasi, putus asa

Toleransi nyeri Terkendali Kurang terkendali

Respon dokter Positif, memberi harapan Merasa disalahkan, menambah jumlah obat, follow-up menjemukan

Pengobatan Mencari penyebab dan mengobatinya

Fokus pada fungsi dan manajemen

(32)

2.3.2 Nyeri Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik

Menurut mekanisme patofisiologi terjadinya, nyeri dibagi menjadi dua yaitu nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptik. Nyeri neuropatik (neuropathic pain) merupakan nyeri yang timbul sebagai akibat langsung dari suatu lesi (lesi primer) atau penyakit yang mempengaruhi sistem somatosensori. Penyakit dapat merujuk pada proses peradangan, kondisi autoimun, atau channelopathies, sementara lesinya merujuk pada kerusakan mikro atau makroskopik. Pembatasan ke sistem, somatosensori sangat penting, karena penyakit dan lesi dari bagian sistem saraf mungkin bisa disebabkan dari nyeri nosiseptif. Sebagai contoh, lesi dari bagian sistem saraf mungkin bisa disebabkan dari nyeri nosiseptif. Sebagai contoh, lesi atau penyakit dari sistem motorik dapat menyebabkan kekejangan atau kekauan, dengan demikian secara tidak langsung dapat menyebabkan nyeri otot. Nyeri neuropatik sering memberikan gejala seperti tersengat listrik, terasa panas/terbakar, kesemutan, kram-kram ataupun pedih. Keluhan ini dapat dirasakan sepanjang hari yang memberikan keluhan nyeri yang menghebat diwaktu malam hari sehingga penderita tidak jarang terbangun dari tempat tidurnya. Nyeri ini sangat mengganggu dan menurunkan kualitas hidup penderita karena keluhan ini dapat bersifat berkepanjangan. (Simpson DM, 2012).

Nyeri dapat mengikuti distribusi dermatom, walaupun pada nyeri yang diperantarai oleh saraf simpatis terdapat distribusi yang mengikuti arteri. Tetapi nyeri tersebut dapat juga dirasakan sebagai nyeri yang hilang timbul. Beberapa penyebab dari nyeri neuropatik yaitu infiltrasi tumor pada jairngan saraf, kerusakan saraf akibat

(33)

terapi, neuralgia pasca herpes, phantom limb pain, complex regional pain syndrome (reflex sympathetic dystrophy, causalgia) compression neuropathies. Nyeri neuropatik diklasifikasikan menjadi nyeri neuroptik sentra; dan nyeri neuropatik perifer berdasarkan lokasi nyeri atau penyakitnya. (Davey P, 2002)

2.3.2.1 Sensitasi Perifer

Nyeri neuropatik perifer merupakan suatu kondisi dimana terdapat kerusakan pada sistem saraf perifer dan dapat disebabkan oleh trauma atau iskemik sebagai akibat dari inflamasi, toxic, metabolisme, atau suatu proses degeneratif, dan dapat juga disebabkan karena herediter. Sistem saraf perifer terdiri atas tiga tipe, masing-masing memiliki fungsi yang spesifik mulai dari saraf otonom yang berfungsi mengatur gerakan tubuh yang tidak disadari, saraf motoris berfungsi untuk mengendalikan otot yang disadari di dalam tubuh, dan saraf sensoris berfungsi mendeteksi sensasi, seperti suhu, nyeri, atau tekanan. Jika terjadi kerusakan maka gejala yang dapat timbul tergantung dari tipe saraf mana yang mengalami kerusakan. Ketika saraf otonom rusak, dapat menyebabkan disfungsi dari organ atau kelenjar dan menyebabkan gejala seperti berkeringat, ketidakmampuan mencerna, dan ketidakmampuan untuk mempertahankan tekana darah normal. Ketika saraf motoris yang rusak maka akan memberikan gejala kelemahan otot atau kelumpuhan. Sedangkan apabila saraf sensoris yang mengalami kerusakan maka penderita dapat merasakan kesemutan atau mati rasa pada daerah yang terkena, biasanya pada anggota gerak. Struktur yang terkena pada nyeri neuropatik perifer adalah saraf. Beberapa contoh penyakitnya antara lain adalah diabetic neuropathy, neuroma, phantom limb

(34)

pain, trigeminal neuralgia, lumbosacral plexopathy, dan alkoholisme. (Bannet MI, 2010)

Struktur lain yang terkena yaitu ganglion akar dorsal yang memberikan contoh penyakit seperti post hepatic neuralgia dan branchial plexus avulsion. (Simpson DM, 2012)

2.3.2.2 Sensitasi Sentral

Nyeri neuropatik sentral merupakan suatu kondisi dimana terdapat kerusakan pada sistem saraf pusat. Semua lesi menyebabkan nyeri sentral yang mempengaruhi jalur somatosensori yang berlokasi pada setiap tingkatan neuron. Struktur yang terkena pada nyeri neuropatik sentral adalah medulla spinalis yang memberikan contoh penyakit antara lain seperti spinal cord injury dan spinal cord ischemia. Struktur lain yang mebgalami kerusakan terdapat pada otak yang memberikan contoh penyakit seperti Wallenberg’s syndrome dan multiple sclerosis. (Bannet MI, 2010)

Mekanisme nyeri selanjutnya adalah nyeri nosiseptif (nociceptive pain). Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri nosiseptif didefinisikan sebagai rasa nyeri yang timbul akibat dari kerusakan yang nyata atau yang mengancam yang tidak melibatkan jaringan saraf dan karena aktivasi dari nosiseptor. Pada dasarnya, definisi dari nyeri nosiseptif adalah rasa nyeri akibat stimulasi reseptor oleh stimulus yang emmadai dalam sistem saraf berfungsi normal. Semua nosiseptif menghasilkan nyeri, tetapi tidak semua nyeri akibat dari nosiseptif (maladaptive). Banyak pasien mengalami nyeri tetapi tidak disertai dengan stimulus

(35)

noksius. Beberapa contoh dari nyeri nosisepsi adalah nyeri pasca operasi, nyeri punggung bawah mekanik, artritis, sickle cell crisis, dan trauma olahraga. (Armati P, 2015)

Nyeri nosisepsi dibagi menjadi dua yaitu nyeri somatik (somatic pain) dan nyeri visceral (visceral pain). Nyeri somatik terjadi sebagai akibat dari aktivasi langsung dari kutaneus dan nosiseptor dalam pada jaringan somatik seperti kulit, otot, tulang, sendi, tendon, dan beberapa jaringan ikat lainnya. Nosiseptor ini teraktivasi oleh stimulus mekanik, panas, dan stimulus kimia. Nyeri dapat berlangsung akut atau kronik. (Tollison CD, 2002)

Nyeri somatik diklasifikasikan menjadi nyeri somatik permukaan dan nyeri somatik dalam. Nyeri somatik permukaan merupakan nyeri di kulit berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, dan listrik. Kulit punya banyak saraf sensorik sehingga kerusakan kulit dapat menimbulkan sensasi lesi yang akurat (yang terbatas dermatom). nyeri somatik permukaan juga mempunyai karakteristik seperti nyeri dapat dilokalisir dengan jelas, dapat dideskripsikan sebagai nyeri yang tajam, menusuk, berdenyut, atau sensasi terbakar. Sedangkan nyeri somatik dalam merupakan nyeri yang berasal dari otot, tendon, sendi, ligamentu, tulang dan arteri. Nyeri yang dirasakan bersifat tumpul dan tidak terlokalisir dengan jelas karena struktur yang terkena memiliki lebih sedikit reseptor sehingga lokasi nyeri sering tidak jelas. Contohnya terdapat trauma pada siku tetapi lokalisasi nyeri ada pada hampir seluruh lengan. (Tollison CD, 2002)

Nyeri viseral berasal dari cedera pada organ dalam seperti thoraks, abdomen, dan pelvis. Meskipun tidak sensitif terhadap manipulasi sederhana seperti rasa

(36)

terbakar dan tertusuk, nyeri viseral ditimbulkan akibat adanya distensi, peradangan, kontraksi abdominal, spasme dari reflex, iskemik, nekrosis dari otot halus, iritasi bahan kimia pada mukosa dan serosa dari organ berongga, dan traksi dari torsi lapisan mesenterika dan vaskuler. Cedera viseral biasanya disebabkan oleh nyeri yang disebut sebagai hiperalgesia atau hipersensitivitas yang berlokasi pada superfisial dan atau jaringan yang lebih dalam yang jauh dari sumber kerusakannya, sehingga nyeri viseral mempunyai karakteristik difus dan kurang terlokalisir biasanya terasa berasal dari midline atau anterior dan posterior, dapat menjalar ke lokasi lain, biasanya bersifat segmental atau superfisial (misalnya pada otot, kulit, atau keduanya) dan diinervasi oleh nervus spinalis yang sama dengan organ. Seringkali seseorang merasakan nyeri dibagian tubuh yang letaknya jauh dari jaringan yang menyebabkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini disebut nyeri alih. Nyeri alih merupakan sensari nyeri atau rasa nyeri somatik dalam atau rasa nyeri viseral yang terasa didaerah somatik superfisial. Nyeri dari suatu organ visera yang kemudian dialihkan kesuatu daerah dipermukaan tubuh atau ditempat lainnya yang tidak tepat dengan lokasi nyeri. Bila nyeri viseral dialihkan kepermukaan tubuh, biasanya nyeri itu akan dilokalisasikan sesuai segmen dermatom dari mana organ visera itu berasal pada waktu embrio, dan tidak memperhatikan dimana organ itu sekarang berada

Nyeri ini dapat juga disertai dengan reflex autonom misalnya mual dan muntah. Karakteristik lain yang dapat dijumpai seperti tidak ditimbulkan dari semua organ hepar, ginjal, dan paru-paru yang tidak sensitif pada nyeri walaupun terjadi kerusakan besar. (Tollison CD, 2002)

(37)

2.4 Patofisiologi Nyeri

Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor disebut nyeri inflamasi atau nyeri nosiseptor, sedangkan bila terdapat lesi di serabut saraf pusat atau perifer disebut nyeri neuropatik. Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan bermacam mediator inflamasi seperti; bradikinin, prostaglandin, histamin, dan lain sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri spontan atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitisasi) secara langsung maupun tidak langsung. Sensitisasi nosiseptor menyebabkan munculnya hiperalgesia (Meliala dkk, 2001; Meliala, 2004). Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat dan bila sembuh, nyeri akan hilang. Akan tetapi lesi yang berlanjut menyebabkan neuron-neuron di cornu dorsalis dibanjiri aksi potensial yang mungkin menyebabkan terjadinya sensitisasi neuron-neuron tersebut. Sensitisasi neuron di cornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya alodinia dan hiperalgesia sekunder. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa nyeri timbul karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif baik perifer maupun sentral (Vogt, 2002; Meliala, 2004)

Trauma atau lesi serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu terjadinya remodelling dan hipereksitabilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi yang masih berhubungan dengan badan sel, dalam beberapa jam atau hari tumbuh tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas baru ini, ada yang tumbuh dan mencapai target organ, sedangkan sebagian lainnya tidak mencapai target organ dan membentuk neuroma. Pada neuroma ini terjadi akumulasi ion channel, terutama Na+

(38)

channel. Akumulasi Na+ channel menyebabkan ectopic pacemaker. Di samping ion-channel juga terlihat adanya molekul transduser dan reseptor baru yang dapat menyebabkan terjadinya ectopic discharge, mechanosensitivity, thermosensitivity, chemosensitivity yang abnormal. Ectopic discharge dan sensitisasi berbagai reseptor (mekanikal, termal, kimiawi) dapat menyebabkan nyeri spontan dan evoked pain (Devor and Seltzer, 1999 Cit. Vogt, 2002).

Secara umum nyeri dirasakan bila ada jaringan tubuh yang rusak, pada tempat tersebut kemudian terjadi proses transduksi. Proses transduksi menghasilkan perbesaran impuls nyeri, sesudah impuls diperbesar kemudian ditransmisikan oleh jalur nyeri menuju cornu dorsalis medulla spinalis. Dalam cornu dorsalis impuls nyeri mengalami modulasi, dapat diperbesar atau diperkecil. Pada tempat ini juga berakhir seberkas serabut saraf yang keluar dari otak berjalan menurun dan berakhir di setiap segmen medulla spinalis. Serabut saraf tersebut berperan membantu modulasi impuls nosiseptif yang berjalan dari perifer menuju sentral, dan akhirnya dipersepsi di otak sebagai sensasi nyeri (Melzacks and Wall, 1965 Cit. Mulyata, 2005).

Faktor-faktor yang dapat memodulasi impuls nyeri antara lain: faktor perilaku, faktor kognitif, faktor psikologik (ansietas), faktor fisiologik (misalnya hormon seksual) (Meliala.2004).

(39)

2.5 Mekanisme Nyeri

Mekanisme nyeri antara kerusakan jaringan sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu proses elektro fisiologik yang disebut sebagai nosisepsi. Dalam nosisepsi tersebut terdapat empat rangkaian proses yaitu:

1. Transduksi. Suatu proses terlepasnya substansi kimiawi endogen ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor. Jaringan perifer dapat rusak sebagai akibat perlukaan, proses penyakit atau inflamasi pada jaringan tersebut. Substansi kimiawi endogen tersebut dapat menimbulkan nyeri sehingga disebut substansi algogenik atau algesik, misalnya ion hydrogen, kalium, serotonin (5HT), histamin, prostaglandin dan substansi P. Terjadinyakerusakan jaringan juga menyebabkan rusaknya membrane sel yang berakibat lepasnya senyawa phospolipid. Keberadaan enzim phospholipase A menyebabkan terlepasnya asam arakhidonat yang dapat menyebabkan aktivasi ujung saraf aferen nosiseptif. Selanjutnya atas pengaruh PG Endoperoxides synthaseterbentuk cyclic endoperoxides. Kemudian atas pengaruh enzim thromboxane synthase dan PG synthase serta prostacycline synthase terbentuk mediator inflamasi yang sekaligus mediator nyeri, yaitu masing-masing thromboxane (TXA2), prostaglandin (PGE2, PG2) dan prostacyclin (PGI2). Pada sisi lain asam arakhidonat mendapat pengaruh 5-lipoxygenase dan terbentuk leukotrien (LT). Dengan demikian akibat rusaknya jaringan, menimbulkan sinyal untuk terbentuknya mediator nyeri yaitu substansi P, PGs, LTs dan bradikinin. Sesudah terjadi ulang pada ujung saraf, dari sel mast terlepas histamin. Kombinasi

(40)

senyawa tersebut menimbulkan vasodilatasi lokal dan meningkatkan permeabilitas vaskuler lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi/ keluar dari lumen kapiler masuk ke dalam ruang interstitial jaringan yang rusak. Proses tersebut mengawali mekanisme respon inflamasi yang sekaligus merupakan langkah awal dalam proses pertahanan dan penyembuhan luka. Sedangkan PGs dan LTs tidak secara langsung mengaktifkan nosiseptor, melainkan mensensitisasi nosiseptor agar mudah distimulasi oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin dan sebagainya, sehingga terjadi hiperalgesia. Hiperalgesia adalah suatu peningkatan respon stimuli yang normalnya dengan stimuli tersebut sudah timbul nyeri.

2. Transmisi. Dalam keadaan hiperalgesia intensitas impuls nosiseptif berkembang semakin membesar, selanjutnya ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer lewat radiks posterior menuju cornu posterior medulla spinalis, yang mana terdapat gerbang kendali nyeri, di sini impuls nyeri mengalami modulasi.

3. Modulasi. Impuls nosiseptif mengalami proses modulasi artinya intensitas impuls mengalami perubahan dapat membesar atau mengecil. Proses modulasi tersebut dilakukan oleh sistem gerbang spinal kendali nyeri (the gate control theory of Pain) yang terdapat di dalam cornu posterior medulla spinalis. Di dalam otak, Beta-endorphin dilepas dari POMC (Propiomelanocortin) masuk ke dalam PAG (Pre Aquaeduct Grey) kemudian masuk ke dalam cairan ventrikulus otak. Pada dinding ventrikulus otak tersebut beta-endorphin menstimulasi pusat kendali inhibisi instinsik, menyebabkan terlepasnya banyak beta-endorphin yang

(41)

berjalan lewat serabut inhibitor asenden (fasikulus lateralis medulla spinalis) dan memberi cabang ke masing-masing segmen spinal. Pada tempat tersebut beta-endorphinbekerja sebagai neuromodulator di dalam substansia grisea cornu posterior medulla spinalis, ia mampu menghambat dengan kuat impuls nyeri nosiseptif dari perifer. Impuls nyeri dengan intensitas tinggi masih dapat melewati hambatan di dalam cornu posterior (sel transmisi T), sedangkan impuls yang intensitasnya rendah tidak dapat lewat. Selanjutnya impuls nyeri yang berhasil lewat berjalan terus menuju pusat-pusat yang lebih tinggi di otak (Dickenson, 1996 Cit. Mulyata, 2005).

4. Persepsi. Sel Transmisi T di dalam “sistem gerbang spinal kendali nyeri” menerima semua impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls yang lewat intensitasnya melebihi atau sama dengan ambang sel T, impuls nosiseptif tersebut dapat lewat sistem gerbang spinal kendali nyeri dan diteruskan ke pusat-pusat supraspinal yang lebih tinggi di korteks somatosensoris, korteks transisional, dan sebagainya. Kehadiran semua impuls nyeri sensoris perifer serta sinyal emosional dan sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan berintegrasi dan menimbulkan persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri. Secara sederhana persepsi dapat didefinisikan sebagai hasil integrasi dari apa yang ada pada pusat kognisi, pusat afeksi, dan sistem sensoris diskriminatif yang dirasakan oleh individu, serta bagaimana cara individu tersebut menghadapi nyerinya.

(42)

Gambar 2.1 Mekanisme Penjalaran Nyeri

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (misalnya: tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). (Gill, 1990)

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh American Society of Plastic Surgeons (ASPS) menemukan bahwa, perempuan memiliki lebih banyak reseptor saraf yang mengakibatkan perempuan merasakan nyeri yang lebih hebat dibanding laki-laki. Hal ini pun membuat perempuan membutuhkan perbedaan teknik operasi, penanganan ataupun dosis obat untuk mengontrol nyerinya. Berdasarkan penelitian tersebut, perempuan diketahui memiliki rata-rata 34 serabut saraf per sentimeter kuadrat di kulit wajahnya, sedangkan laki-laki hanya 17 serabut saraf. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki toleransi nyeri yang rendah. Selain itu,

(43)

perempuan juga dilaporkan merasakan lebih banyak nyeri selama hidupnya dan jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan merasakan nyeri di lebih banyak area tubuh dan dalam durasi yang lebih lama.

Sedangkan dari segi umur, hal ini mempengaruhi persepsi nyeri seseorang karena anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan dengan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan. Anak-anak belum mempunyai perbendaharaan kata yang cukup sehingga mereka sulit untuk mengungkapkan nyeri secara verbal dan sulit untuk mengekspresikannya kepada orang tua ataupun perawat. (Taylor, 1997)

Umumnya para lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya kondisi nyeri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal (Le Mone & Burke, 2008)

2.6 Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran seberapa parah nyeri yang dirasakan individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dapat dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. (Tamsuri, 2006)

(44)

Selain itu, pada dasarnya ada beberapa bagian tubuh yang sangat sensitif terhadap rangsang nyeri sehingga akan terasa sangat sakit bila terpukul, tertusuk ataupun terluka. Bagian tubuh itu adalah sebagai berikut:

1. Ujung jari

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Annals of Neurology, ujung jari merupakan bagian tubuh yang lebih sensitif terhadap nyeri dibandingkan hampir semua bagian tubuh yang lainnya. Hal inilah yang menyebabkan luka kecil seperti teriris kertas ataupun tertusuk jarum dapat membuat seorang pria dewasa kesakitan. Ujung jari manusia dipenuhi oleh ujung-ujung saraf, yang akan mengirimkan sinyal rasa sakit langsung ke dalam otak manusia. Hal ini berarti semakin banyak ujung saraf pada suatu bagian tubuh, maka semakin besar rasa sakit yang akan dirasakan.

2. Tulang kering (Tibia)

Tulang kering (tibia) merupakan tulang yang terdapat di bagian depan betis dilapisi oleh sangat sedikit otot dan lemak. Hal ini berarti tidak ada bantalan yang dapat melindung tulang bila terantuk. Sehingga, sedikit saja benturan terhadap meja dapat membuat rasa nyeri yang timbul menjadi dua kali lipat.

3. Lengkung kaki

Lengkung kaki memiliki lapisan kulit yang lebih tipis dibandingkan tumit ataupun bagian depan kaki yang lapisan kulitnya lebih tebal. Hal ini menyebabkan ujung saraf di bawah kulit lebih dekat ke permukaan sehingga lebih mudah terstimulasi.

(45)

4. Lutut bagian depan dan belakang

Seperti halnya tulang kering (tibia), lutut bagian depan dan belakang tidak memiliki banyak otot ataupun lemak sebagai bantalannya. Selain itu, tempurung lutut juga dipenuhi oleh saraf-saraf sensorik. Bagian belakang lutut juga tidak memiliki perlindungan apapun dan terletak bersebelahan dengan tulang paha. Jadi, saat bagian tubuh ini terbentur, maka rasa sakit akan berasal dari dua bagian tubuh, belakang lutut dan paha, sehingga akan dirasakan lebih sakit.

5. Siku bagian dalam

Siku bagian dalam dipenuhi oleh saraf ulnaris yang berasal dari bagian belakang siku. Saraf ini terletak di samping tulang lengan atas, humerus. Karena tidak adanya bantalan pelindung untuk saraf ini, maka saraf inipun lebih mudah terstimulasi saat bagian siku terbentur. Saraf terdiri dari serabut yang berbeda, ada yang berespon terhadap sentuhan, dan ada yang berespon terhadap nyeri. Dan saraf ulnaris ini adalah saraf yang berespon terhadap nyeri. Saraf ini berjalan ke arah telapak tangan dan jari tangan, maka benturan di daerah ini juga akan menyebabkan nyeri pada seluruh lengan bawah hingga ke jari tangan. (Wilhelmi, 2005)

Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri adalah hal yang sulit. Ada beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain:

(46)

a. Verbal Rating Scale (VRSs)

Menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan.

Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri, yaitu: – Tidak nyeri (none)

Nyeri ringan (mild)Nyeri sedang (moderate)Nyeri berat (severe)

Nyeri sangat berat (very severe). (Fillingim RB, 2001) b. Numeric Rating Scale (NRSs)

Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 1-10. “0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan “10” menggambarkan nyeri yang hebat. (FIllingim RB, 2001)

(47)

c. Visual Analogue Scale (VASs)

Metode ini menggunakan garis sepanjang 100 mm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien berada dalam nyeri hebat. (Fillingim RB, 2001)

Gambar 2.3 Visual Analogue Scale (VAS) d. The Face Pain Scale

Skala ini diatur secara visual dengan ekspresi guratan wajah untuk meunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan. Skala penilaian wajah pada dasarnya digunakan pada anak- anak tetapi juga bisa bermanfaat ketika orang dewasa yang mempunyai kesulitan dalam menggunakan angka-angka dari skala visual analog (VAS) yang merupakan alat penilaian pengkajian nyeri secara umum. (Suza, 2007)

Wong dan Baker (1988) mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri. Skala tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang

(48)

menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum “tidak merasa nyeri”, kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah yang kurang bahagia, wajah yang sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakutan “nyeri yang sangat”. (Potter & Perry, 2005)

Gambar 2.4 The Face Pain Scale

2.7 Penatalaksanaan Nyeri

Terdapat berbagai macam tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri yaitu mencakup tindakan non farmakologis dan tindakan farmakologis. Dalam beberapa kasus nyeri yang sifatnya ringan, tindakan non farmakologis adalah intervensi yang paling utama, sedangkan tindakan farmakologis dipersiapkan untuk mengantisipasi perkembangan nyeri. Pada kasus nyeri sedang sampai berat, tindakan non farmakologi menjadi suatu pelengkap yang efektif untuk mengatasi nyeri disamping tindakan farmakologis yang utama.

Tujuan penatalaksanaan nyeri yaitu:

(49)

2. Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala kronis yang persisten

3. Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri

4. Meminimalkan reaksi yang tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri

5. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. (Prasetyo SN, 2010)

Prinsip dalam pengobatan nyeri harus dimulai dengan analgesik yang paling ringan sampai ke yang paling kuat, secara garis besar strategi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder yaitu:

1. Tahap I yaitu untuk nyeri ringan (skala 1-3). Terapi pada tahap ini menggunakan obat pilihan non-opioid, meliputi paracetamol, NSAID, yang disertai dengan atau tanpa adjuvant (Tricyclic antidepressant atau anticonvulsant therapy)

2. Tahap II yaitu untuk nyeri sedang (skala 4-6). Terapi pada tahap ini menggunakan kombinasi opioid lemah (contoh: kodein) dengan analgesik non-opioid, yang disertai dengan atau tanpa adjuvant.

3. Tahap III yaitu untuk nyeri berat (7-10). Terapi pada tahap ini menggunakan opioid kuat (contoh: morfin) yang dapat disertai dengan atau tanpa non-opioid dan adjuvant. (Morgan GE, 1996)

(50)

Gambar 2.5 WHO Three Step Analgesic Ladder

2.8 Obat Analgesik

Analgetik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi SSP secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgesik bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit. (Siswandono, 2008)

Atas dasar cara kerja farmakologisnya, analgesik dibagi dalam 2 kelompok besar, yakni:

a. Analgesik perifer (non narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgesik antiradang termasuk dalam kelompok ini.

b. Analgesik narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fraktur dan kanker. (Tjay dan Rahardja, 2007)

2.8.1 Analgesik Non Narkotik

Analgesik non narkotik atau analgesik non-opioid atau NSAID/OAINS dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pascabedah ringan dan sedang, namun tidak

(51)

seperti opioid, non-opioid mempunyai efek atap (maksimum) analgesia, sehingga peningkatan dosis hanya akan meningkatkan insiden efek samping tanpa dapat meningkatkan efek analgesia. (Arvin BK, 1999)

Obat analgesik jenis ini tidak bekerja sentral sehingga disebut sebagai obat analgesik perifer. Cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat dan tidak memiliki efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada penggunanya, berbeda halnya dengan penggunaan obat analgetika jenis narkotik. Efek samping obat-obat analgesik perifer seperti kerusakan lambung, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta kerusakan kulit. (Tjay dan Rahardja, 2007)

Obat-obat analgesia non narkotik ini dibagi menjadi beberapa kelompok lain sebagai berikut: derivat asam salisilat misalnya aspirin, derivat paraaminofenol misalnya paracetamol, derivat asam propionat (ibuprofen, ketoprofen, naproksen), derivat asam fenamat misalnya asam mefenamat, derivat asam fenilasetat misalnya diklofenak, derivat asam asetat indol misalnya indometasin, derivat pirazolon (fenilbutazon, oksifenbutazon), dan derivat oksikam (piroksikam, oksifenbutazon). (Arvin BK, 1999)

Asetosal atau asam asetil salisilat atau aspirin iindikasikan untuk orang yang mengalami sakit kepala, nyeri muskuloskeletal sementara, disminore, dan demam. Aspirin ini mempunyai efek analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi. Pada beberapa kasus peradangan, kebanyakan klinisi lebih menyukai pengobatan dengan menggunakan antiinflamasi dengan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) lain

(52)

yang mungkin lebih dapat ditoleransi dan lebih nyaman bagi pasien. Aspirin juga digunakan untuk pencegahan terjadinya thrombus pada pembuluh darah koroner jantung dan pembuluh darah otak. Asetaminofen atau paracetamol memiliki efek analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan anti inflamasinya sangat lemah. Paracetamol kurang mengiritasi lambung dan karena itu lebih disukai daripada asetosal, khususnya digunakan pada lansia. Ibuprofen mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi, namun efek anti inflamasinya memerlukan dosis lebih besar. Efek samping dari obat ini ringan, seperti sakit kepala dan iritasi lambung ringan. Asam mefenamat memiliki efek analgetik dan anti inflamasi, tetapi tidak memberikan efek antipiretik. Efek samping dari asam mefenamat yaitu diare dan kadang-kadang anemia hemolitik dapat terjadi sehingga pengobatan harus dihentikan. Diklofenak diberikan untuk antiinflamasi dan bisa diberikan untuk terapi simptomatik jangka panjang untuk artritis rheumatoid, osteoarthritis, dan spondylitis ankilosa. Indometasin memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgetik sebanding dengan aspirin, tetapi lebih toksik. Fenilbutazon hanya digunakan untuk antiinflamasi dan mempunyai efek meningkatkan sekresi asam urat melalui urin, sehigga bisa digunakan pada artritis gout. Piroksikam hanya diindikasikan untuk inflamasi sendi. (BPOM, 2015)

2.8.2 Analgesik Narkotik

Analgesik narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut,

(53)

sesudah operasi atau penyakit ginjal. Analgesik narkotik sering juga digunakan untuk pramedikasi anestesi, bersama-sama digunakan dengan atropin, untuk mengontrol sekresi. (Siswandono, 2008)

Aktivitas analgesik narkotik jauh lebih besar dibandingkan dengan golongan analgesik non narkotik, sehingga disebut pula analgesik kuat. Golongan ini pada umumnya menimbulkan euforia sehingga banyak disalahgunakan. Pemberian obat secara terus-menerus dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan mental atau kecanduan, dan efek ini terjadi secara cepat. (Siswandono, 2008) Efek samping dari analgesik ini yaitu mual, muntah, mengantuk, dan konstipasi. Dosis yang lebih besar dapat menimbulkan depresi napas, hipotensi dan overdosis. (BPOM, 2015)

Atas dasar cara kerjanya obat-obat opioid dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu agonis opiat, yang dapat dibagi dalam alkaloida candu dan zat-zat sintesis. Yang termasuk dalam alkaloida candu adalah morfin, kodein, heroin, dan nikomorfin, sedangkan yang termasuk dalam zat-zat sintesis adalah metadon dan derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanyl, sufentanil) dan tramadol. Golongan yang kedua yaitu antagonis opiat, yang termasuk didalamnya yaitu nalokson, nalorfin, pentazosin, dan buprenorfin. Golongan yang terakhir yaitu golongan campuran, yang termasuk didalamnya yaitu nalorfin dan nalbufin. Sedangkan sediaan opioid yang terdapat di Indonesia antara lain adalah morfin, fentanyl, meperidin, kodein dan tramadol. (Tjay TH, 2007)

Selain kedua jenis analgesik diatas, juga terdapat analgesik adjuvant (adjuvant analgesic) yang merupakan obat yang mempunyai sifat analgesik lemah

(54)

atau tidak ada sifat analgesik sama sekali apabila diberikan sendiri, namun dapat meningkatkan efek agen analgesic lain. Obat ini dapat dikombinasikan dengan analgesic primer sesuai dengan sistem WHO Analgesic Ladder untuk mengurangi rasa nyeri. Analgesik adjuvant biasanya diberikan kepaada pasien yang menggunakan berbagai obat sehingga keputusan mengenai administrasi dan dosis obat harus dibuat dengan pemahaman yang jelas dari tahap penyakit dan tujuan perawatan.

Sebagian analgesic adjuvant mempunyai efek yang bagus pada beberapa situasi nyeri tertentu sehingga diberikan nama multipurpose adjuvant analgesics (antidepressants, corticosteroids, α2-adrenergic agonists, neuroleptics). Ada juga yang spesifik pada kondisi nyeri tertentu saja, seperti pada nyeri neuropatik (anticonvulsants, local anesthetics, N-methyl-D-aspartate receptor antagonists), nyeri tulang (calcitonin, bisphosphonates, radiopharmaceuticals), nyeri otot (muscle relaxants), atau nyeri pada obstruksi usus (octreotide, anticholinergics).

(55)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Skema 3.1 variabel dependen dan variabel independen Keterangan: = Variabel Dependen = Variabel Independen Pasien dengan keluhan Nyeri Jenis Kelamin Umur Durasi Nyeri Lokasi Nyeri Intensitas Nyeri Jenis Nyeri Diagnosis Penyakit Pengobatan Nyeri

(56)

3.2 Definisi Operasional 1. Jenis kelamin

Definisi : Perbedaan jenis kelamin dari pasien sesuai dengan yang tercatat dalam rekam medis.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. Hasil Ukur : Berupa data kategorik yaitu:

1. Laki-laki 2. Perempuan 2. Umur

Definisi : Lamanya penderita hidup, sejak dilahirkan sampai sekarang yang dinyatakan dalam satuan tahun. Umur dalam penelitian ini adalah umur yang tercatat dalam rekam medik pasien.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. Hasil Ukur : Berupa data kategorik yaitu:

1. 0-9 tahun 5. 40-49 tahun 2. 10 -19 tahun 6. 50-59 tahun 3. 20-29 tahun 7. 60-69 tahun 4. 30-39 tahun 8. >70 tahun

(57)

3. Durasi nyeri

Definisi : Lamanya pasien menderita keluhan nyeri sesuai dengan yang tercatat di rekam medis

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien.

Hasil Ukur : Berupa data angka dalam hitungan hari yang selanjutnya ditentukan durasi nyeri rata-rata

4. Lokasi nyeri

Definisi : Area dimana dirasakan nyeri sesuai dengan yang tercatat di rekam medis.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. Hasil Ukur : Berupa data kategorik yaitu:

1. 1 Lokasi 2. >1 Lokasi

Adapun lokasi nyeri, yaitu: 1. Nyeri kepala 2. Nyeri wajah 3. Nyeri leher 4. Nyeri dada 5. Nyeri abdomen 6. Nyeri punggung

(58)

7. Nyeri pinggang bawah 8. Nyeri pelvis

9. Nyeri ekstremitas 5. Intensitas nyeri

Definisi : Skala nyeri yang dirasakan oleh pasien yang diukur dengan menggunakan metode NRS (Numeric Rating Scale) dan sesuai dengan yang tercatat di rekam medis.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. Hasil Ukur : Berupa data kategorik yaitu:

1. NRS 1-3 : Nyeri Ringan 2. NRS 4-6 : Nyeri Sedang 3. NRS 7-10: Nyeri Berat 6. Jenis Nyeri

Definisi : Pembagian nyeri menurut mekanisme patofisiologi terjadinya nyeri sesuai yang tercatat dalam rekam medis.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. Hasil Ukur : Berupa data kategorik yaitu:

1. Nyeri Nosiseptif 2. Nyeri Neuropatik

(59)

7. Diagnosis Penyakit

Definisi : Jenis penyakit yang diderita oleh pasien sesuai yang tercatat dalam rekam medis.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. Hasil Ukur : 1. Penyakit infeksi dan parasit

2. Neoplasma

3. Penyakit darah dan organ pembentukan darah 4. Penyakit endokrin, nutrisi dan gangguan imunitas 5. Gangguan mental dan perilaku

6. Penyakit sistem saraf 7. Penyakit mata dan adnexa

8. Penyakit telinga dan processus mastoideus 9. Penyakit sistem peredaran darah

10. Penyakit sistem pernapasan 11. Penyakit sistem pencernaan

12. Penyakit kulit dan jaringan subkutan

13. Penyakit sistem otot rangka dan jaringan ikat 14. Penyakit sistem kencing dan kelamin

15. Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas 16. Keadaan tertentu yang berasal dari masa perinatal

17. Malformasi konginetal, deformitas dan abnormalitas kromosom

18. Gejala, tanda dan hasil klinik dan laboratorium abnormal yang tidak dapat diklasifikasikan

19. Cedera dan keracunan

(60)

21. Faktor yang mempengaruhi status kesehatan dan kontak dengan pelayanan kesehatan

8. Pengobatan nyeri

Definisi : Obat yang diberikan untuk mengatasi nyeri yang diderita oleh pasien dan sesuai dengan yang tercatat dalam rekam medis.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. Hasil Ukur : Berupa data kategorik yaitu:

1. Analgesik Non-Opioid 2. Analgesik Opioid 3. Analgesik Adjuvant 4. Kombinasi

Adapun jenis Analgesik Non-Opioid yaitu: 1. Ibuprofen

2. Natrium Diklofenak 3. Parasetamol

4. Asam Mefenamat

Sedangkan, jenis Analgesik Opioid yaitu: 1. Kodein

Dan jenis Analgesik Adjuvant yaitu: 1. Diazepam

(61)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif retrospektif untuk memberikan gambaran fakta mengenai beberapa karakteristik pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri berdasarkan data sekunder yang tercatat dalam rekam medik di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Batua yang terletak di Kecamatan Manggala, Kota Makassar.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu 1 bulan, yaitu pada tanggal 4 September hingga tanggal 4 Oktober 2017.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah semua data pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017.

(62)

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian data pasien rawat jalan dengan keluhan nyeri di Puskesmas Batua Kota Makassar pada bulan Februari 2017 yang memiliki data rekam medik yang lengkap sesuai dengan variabel yang diteliti.

a. Besar sampel

Besar sampel diperoleh dengan menggunakan rumus Slovin yang kemudian besar sampel ini dianggap telah mewakili seluruh populasi. Maka dari itu, ditetapkanlah batas toleransi kesalahan sebesar 5% sehingga sampel dapat semakin akurat dalam menggambarkan populasi. Besar sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

331 81 . 5 1924 81 . 4 1 1924 05 . 0 1924 1 1924 ) ( 1 2 2         n n n n d N N n Keterangan: n = Besar sampel N = Besar populasi

d = Batas toleransi kesalahan (Notoatmodjo S, 2003)

(63)

b. Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling. Yaitu sampel diambil dari populasi secara acak sebanyak yang dibutuhkan. Sehingga setiap populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Dimana sampel yang dipilih harus memiliki data rekam medik yang lengkap sesuai dengan variabel yang diteliti.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pencatatan pada rekam medik pasien di Puskesmas Batua Kota Makassar. Rekam medik pasien dengan keluhan nyeri yang dipilih sebagai sampel, dikumpul dan dilakukan pencatatan pada daftar tilik dengan tabel tertentu untuk mencatat data yang dibutuhkan dari rekam medik sesuai variabel yang diteliti.

4.5 Pengolahan dan Penyajian Data 4.5.1 Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan variabel yang diteliti yaitu jenis kelamin, umur, durasi nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, jenis nyeri, diagnosis penyakit dan pengobatan nyeri. Data yang didapatkan kemudian ditabulasi, lalu diolah dengan komputer yaitu menggunakan program Microsoft Excel secara statistik deskriptif yaitu dalam bentuk tabulasi berisi frekuensi dan persentase dari masing-masing variabel yang diteliti.

Gambar

Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik (Meliala, 2004)
Gambar 2.1 Mekanisme Penjalaran Nyeri
Gambar 2.4 The Face Pain Scale
Gambar 2.5 WHO Three Step Analgesic Ladder
+7

Referensi

Dokumen terkait

Likewise, if oneof social actor ' s name becomes the keyword of another social actor ' s name in the co-occurrence form, through the extracted social network, then

Kepala Sub Bidang I mempunyai tugas penyusunan rencara, mengevaluasi data Ekonomi dan Sumber Daya Alam melakukan penyiapan bahan mengumpulkan, menganalisa dan serta

Dengan adanya sumber belajar seperti multimedia interaktif berbasis budaya lokal yang akan membuat peserta didik senang karena penyajian materi yang memberikan

Bentuk yang lebih modern dari amnion ini adalah penggunaan ekstrak plasenta yang diketahui dapat mempercepat fibrogenesis dan angiogenesis, sehingga efektif jika digunakan

Sinopsis Kursus ini merangkumi pengurusan bilik darjah dan tingkah laku murid sekolah rendah; peranan guru dalam mengurus bilik darjah aliran perdana dan

Pemilihan dan penetapan tim pengelola kegiatan PNPM Mandiri di Desa Sepaso Kecamatan Bengalon masyarakat secara umum tidak mengetahui pastinya bagaimana proses

Sebab, sekali MK telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/ atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak