1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan : a. Tanda / gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 ± 6 minggu.
B. Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB) 1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.
2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan berikan kortikosteroid
3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. 5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
C. TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB) 1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.
2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar.
3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk :
a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis) b. Pengobatan :
1) perikarditis konstriktiva
2) kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung, dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6 minggu.
D. TB Paru Dengan Diabetes Melitus (DM)
1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol
2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu konsult ke ahli paru)
3. Gula darah harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
E. TB Paru Dengan HIV / AIDS
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV da pat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary Counseling and Testing/VCT)
Tabel 13. Indikasi Tes Darah HIV Kombinasi dari A dan B (1 kelompok A dan 1 dari B)
A. Berat badan turun drastic TB paru
Sariawan / stomatitis berulang Sarkoma Kaposi
B. Riwayat perilaku risiko tinggi Pengguna NAZA suntikan Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat
1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang t epat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit
4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
5. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati
6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat r endah dalam serum
7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan MDR-TB
Waktu Memulai Terapi
1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 6)
Tabel 14. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV
Kondisi Rekomendasi Kondisi Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB ekstrapulmonal Mulai terapi OAT, segera mulai terapi ARV jika
toleransi terhadap AOT telah tercapai
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung limfosit
total < 1200 sel/mm3
Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai setelah 2 bulan
TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung limfosit
simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome / pneumonia P. Carinii/ toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo / kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml) Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida
4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan inhibitor protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin
F. TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui
1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.
G. TB Paru dan Gagal Ginjal
1. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan ca preomycin
2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faa l ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin) 4. Rujuk ke ahli Paru
H. TB Paru dengan Kelainan Hati
1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE
4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
I. Hepatitis Imbas Obat
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis)
Penatalaksanaan
1. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ® OAT Stop 2. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
3. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 ® OAT Stop 4. SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
5. SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan Paduan OAT yang dianjurkan :
1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
3. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
II.11 KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
1. Batuk darah 2. Pneumotoraks 3. Luluh paru 4. Gagal napas 5. Gagal jantung 6. Efusi pleura