• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

B. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis menggunakan paduan obat dimaksudkan untuk membunuh basil dengan cepat, mencegah kekambuhan, mencegah resisitensi, mencegah kematian dan menurunkan tingkat penularan (Zubaidi, 1995).

Pengobatan tuberkulosis dibedakan menjadi dua kelompok obat, yaitu obat primer dan obat sekunder. Obat primer sering digunakan karena efektivitasnya yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar penderita sembuh dengan paduan obat tersebut. Isoniazid, rifampisin, pirazinamid,

21

etambutol dan streptomisin termasuk dalam kelompok obat ini. Kelompok obat sekunder kurang efektif, tetapi karena pertimbangan resistensi dan kontraindikasi dari penderita, maka paduan kelompok obat ini kadang digunakan. Kelompok obat ini meliputi etionamid, para-aminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin dan kanimisin (Zubaidi, 1995).

1. Prinsip Pengobatan

Prinsip pengobatan tuberkulosis paru dengan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis dengan jumlah dan dosis yang tepat selama 6-8 bulan, tujuannya agar semua kuman dapat termusnahkan. Pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan (Anonim, 2001).

Pada tahap intensif penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua Obat Anti Tuberkulosis. Apabila pengobatan pada tahap intensif diberikan secara tepat maka pada penderita tuberkulosis BTA positif yang sangat menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Pada akhir pengobatan tahap intensif sebagian besar penderita tuberkulosis paru BTA positif menjadi BTA negatif (Anonim, 2001).

Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat dalam jumlah yang lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lama. Pada tahap lanjutan sangat penting karena untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Anonim, 2001).

Pada tahap lanjutan, pengobatan tuberkulosis paru menggunakan isoniazid bersama rifampisin selama 7 bulan sehingga seluruh masa pengobatan menjadi 9 bulan. Dalam studi terbaru menyebutkan pengobatan selama 6 bulan yaitu melalui tahap intensif 2 bulan dan tahap lanjutan 4 bulan sama efektifnya dengan pengobatan selama 9 bulan (Tjay dan Rahardja, 2002).

2. Pemilihan Obat

Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis paru adalah isoniazid (INH), rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin merupakan lima agen baris pertama untuk mengobati tuberkulosis paru. Isoniazid dan rifampisin adalah dua obat yang paling aktif. Suatu kombinasi isoniazid dengan rifampisin yang diberikan selama 9 bulan akan menyembuhkan 95-98% kasus-kasus tuberkulosis. Tambahan pirazinamid pada kombinasi isoniazid-rifampisin untuk 2 bulan pertama akan mempersingkat lama terapi sampai menjadi 6 bulan tanpa kehilangan efikasinya. Pada prakteknya, suatu terapi tuberkulosis diawali dengan pemakian obat sekaligus yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol ataupun streptomisin (Katzung, 2004).

Obat-obat alternatif dalam lini kedua (second-line drugs) biasanya dipertimbangkan hanya dalam kasus resistensi terhadap obat-obat pilihan pertama, dalam kasus kegagalan respons klinis pada terapi konvensional dan berkenaan dengan efek-efek toksik. Obat Anti Tuberkulosis lini kedua antara lain amikasin, asam aminosalisilat, capreomisin, ciprofloksasin, klofazimin, cikloserin, etionamid, levofloxasin, rifabutin, dan rifapentin (Katzung, 2004).

23

Tabel I. Obat Anti Tuberkulosis (Katzung, 2004)

Obat Dosis Khusus Dewasa

isoniazid 300 mg/hari

rifampin 600 mg/hari

pirazinamid 25 mg/kg/hari

etambutol 15-25 mg/kg/hari

Agen baris pertama

streptomisin 15 mg/kg/hari

amikasin 15 mg/kg/hari

asam aminosalisilat 8-12 kg/hari

capreomycin 15 mg/kg/hari

ciprofloxacin 1500 mg/kg/hari

clofazimine 200 mg/hari

cycloserine 500-1000 mg/hari, terbagi

ethionamide 500-750 mg/hari

levofloxacin 500 mg/hari

rifabutin 300 mg/hari

Agen baris kedua

rifapentine 600 mg sekali atau dua kali seminggu

a. isoniazid (H)

Isoniazid yang dikenal dengan INH mempunyai sifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang (Anonim, 2001). Isoniazid aktif terhadap kuman yang berada intraseluler dalam makrofag maupun di luar sel (Tjay dan Raharja, 2002).

Mekanisme kerja dari INH berdasarkan terganggunya sistesis mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri. Isoniazid masih tetap merupakan obat kemoterapi terpenting tehadap berbagai tipe tuberkulosis paru dan selalu dalam bentuk multiple therapy dengan rifampisin dan pirazinamid (Tjay dan Raharja, 2002).

Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB. Efek samping

dari pengunaan INH antara lain timbul gatal-gatal, yang paling berat berupa hepatitis yang dapat terjadi pada kurang lebih 0,5% penderita (Anonim, 2001). Hepatitis akibat isoniazid merupakan efek toksik utama yang sering terjadi, dimana terjadi peningkatan aminotrasferase tiga atau empat kali keadaan normal. Risiko hepatitis lebih besar pada pecandu alkohol dan mungkin selama kehamilan dan pasca kehamilan (Katzung, 2004).

Pemberian dosis melebihi 400 mg akan terjadi polineuritis yaitu radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan. Penyebabnya adalah persaingan dengan piridoksin yang rumus kimianya mirip dengan INH, efek lain yang sering muncul perasaan tidak sehat, letih dan lemah, serta anoreksia. Untuk menghindari reaksi toksis ini biasanya diberikan vitamin B6 (piridoksin) 10-20mg sehari bersama vitamin B1 100mg (Tjay dan Raharja, 2002).

b. rifampisin (R)

Rifampisin bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid (Anonim, 2001). Rifampisin berkhasiat bakterisid luas terhadap fase pertumbuhan M. tuberkulosis dan M. leprae, baik

yang berada di luar maupun di dalam sel. Obat ini mematikan kuman yang

“dormant” selama fase pembelahan yang singkat. Oleh karena itu obat ini sangat penting untk membasmi semua basil guna mencegah kambuhnya tuberkulosis (Tjay dan Raharja, 2002).

Efek samping dari penggunaan rifampisin yaitu terjadi penyakit kuning, terjadi gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati kejang perut dan diare (Tjay dan Raharja, 2002). Rifampisin diberikan dengan dosis

25

600mg/hari (10mg/kg/hari) secara per oral bersama isoniazid, pirazinamid, dan etambutol untuk mencegah timbulnya resistensi kuman tuberkulosis (Katzung, 2004).

c. pirazinamid (Z)

Pirazinamid bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana asam (Anonim, 2001). Spektrum kerjanya sangat sempit yaitu hanya meliputi M. tuberculosis, khasiat dari pirazinamid diperkuat oleh INH. Penggunaan obat ini khusus pada fase intensif, digunakan pada fase pemeliharaan apabila terdapat multiresistensi. Absorpsinya cepat dan hampir sempurna, lebih kurang 70% pirazinamid diekskresikan melalui urin (Tjay dan Raharja, 2002).

Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kgBB. Efek samping penggunaan pirazinamid yaitu terjadi hepatitis, nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Selain itu dapat menimbulkan demam, mual, kemerahan dan rekasi kulit yang lain (Anonim,2001).

d. streptomisin (S)

Streptomisin merupakan senyawa yang bersifat bakterisid terhadap kuman Gram negatif dan Gram positif, termasuk M. tuberculosis. Streptomisin aktif

terhadap mycobacteria ekstraseluler yang sedang membelah aktif dan pesat.

jalan pengikatan RNA ribosomal. Resorpsi streptomisin diusus buruk sekali, sehingga diberikan sebagai injeksi i.m (Tjay dan Raharja, 2002).

Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Pada penderita yang berumur sampai 60 tahun dosis yang diberikan 0,75 gr/hari, sedangkan yang berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari. Efek samping utama dari streptomisin yaitu terjadi kerusakan saraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Kerusakan alat pendengaran biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging, pusing dan kehilangan keseimbangan (Anonim, 2001).

e. etambutol (E)

Etambutol berkhasiat spesifik terhadap M. tuberculosis yang bersifat bakteriostatis. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang membelah dan juga menghindari terbentuknya mycolic acid pada dinding sel (Tjay dan Raharja, 2002).

Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kgBB. Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Setiap penderita yang menerima etambutol harus diingatkan apabila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera melakukan pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan (Anonim, 2001).

27

3. Obat Anti Tuberkulosis

Dalam pengobatan tuberkulosis paru digunakan Obat Anti Tuberkulosis kombipak dan OAT-FDC (Fixed Dose Combination)

a. Obat Anti Tuberkulosis-kombipak (OAT-kombipak)

World Health Organization dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) merekomendasikan paduan OAT standart. 1) Kategori 1

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan pada kategori 1 yaitu 2HRZE/4H3R3, 2HRZE/4HR, 2HRZE/6HE.

Tabel II. Paduan OAT-kombipak kategori 1 (Anonim, 2001). Dosis per hari / kali

Tahap pengobatan Lamanya pengobatan H R Z E Jumlah Hari / kali Menelan obat Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan 1 1 3 3 60 Tahap lanjutan (dosis 3x seminggu) 4 bulan 2 1 --- --- 54 Keterangan : H : isoniazid (@ 300 mg) Z : pirazinamid (@ 500 mg) R: rifampisin (@ 450 mg) E : etambutol(@ 250 mg)

Obat yang digunakan pada tahap intensif terdiri dari isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z) dan etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan rifampisin (R), yang diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan pada penderita tuberkulosis paru BTA positif, penderita

tuberkulosis paru BTA negatif dengan rontgen pasitif yang “sakit berat” dan penderita tuberkulosis ekstra paru berat (Anonim, 2001).

2) Kategori 2

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan pada kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3, 2HRZES/HRZE/5HRE. Pada tahap intensif pengobatan diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan. Dilanjutkan 1 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Dalam penyuntikan streptomisin perlu diperhatikan yaitu diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan pada penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan pada penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) (Anonim, 2001).

Tabel III. Paduan OAT-kombipak kategori 2 (Anonim, 2001). E Tahap pengobatan Lamanya pengobatan H R Z @ 250 mg @ 500 mg S Jumlah Hari / kali Menelan obat Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan 1 bulan 1 1 1 1 3 3 3 3 0,75 gr 60 30 Tahap lanjutan (dosis 3x seminggu) 5 bulan 2 1 - 1 2 66

29 Keterangan : H : isoniazid (@ 300 mg) S : streptomisin R : rifampisin (@ 450 mg) Z : pirazinamid (@ 500 mg) E : etambutol 3) Kategori 3

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan pada kategori 3 : 2HRZ/4H3R3, 2HRZ/4HR, 2HRZ/6HE. Pada tahap intensif terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z) yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R) selama 4 bulan dan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan pada penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan serta penderita ekstra paru ringan yaitu tuberkulosis kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, tuberkulosis kulit, tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal (Anonim, 2001).

Tabel IV. Paduan OAT-kombipak kategori 3 (Anonim, 2001).

Tahap pengobatan Lama

pengobatan H R Z

Jumlah hari/kali menelan obat Tahap intensif

(dosis harian) 2 bulan 1 1 3

60

Tahap lanjutan

(dosis 3x seminggu) 4 bulan 2 1 -

54

Keterangan :

H : isoniazid (@ 300 mg) R : rifampisin (@ 450 mg) Z : pirazinamid (@ 500 mg)

4) Sisipan

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan pada fase sisipan yaitu HRZE. Obat Anti Tuberkulosis fase sisipan diberikan apabila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif dengan kategori 2 dimana hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif. Pemberian OAT sisipan setiap hari selama 1 bulan.

Tabel V. Obat Anti Tuberkulosis fase sisipan (Anonim, 2001). Tahap pengobatan Lama pengobatan H R Z E Jumlah hari/kali menelan obat Tahap intensif

(dosis harian) 1 bulan 1 1 3 3 30

Keterangan :

H : isoniazid (@ 300 mg) Z : pirazinamid (@ 500 mg)

R : rifampisin (@ 450 mg) E : etambutol (@ 250 mg)

b. Obat Anti Tuberkulosis–Fixed Dose Combination (OAT-FDC)

Obat Anti Tuberkulosis “fixed-dose combination” atau disingkat dengan OAT-FDC adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis obat anti tuberkulosis dengan dosis tetap.

Pengobatan tuberkulosis paru yang menggunakan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination (OAT-FDC) dibagi dalam dua kategori yaitu kategori 1 dan kategori 2.

1) Kategori 1

Pada tahap intensif digunakan 4FDC yang setiap tablet mengandung isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol diberikan tiap hari

31

selama 56 hari. Pada tahap lanjutan digunakan 2 FDC yang setiap tablet mengandung isoniazid dan rifampisin (Anonim, 2003b).

Tabel VI. Paduan OAT-FDC kategori 1 (Anonim, 2003b). Berat Badan Tahap Intensif tiap hari

selama 56 hari

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu 30 – 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC 38 – 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC 55 – 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC ≥ 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC

Kategori 1 diberikan pada penderita baru tuberkulosis paru dengan hasil laboratorium BTA positif, penderita baru tuberkulosis paru dengan BTA negatif/rontgen positif baik ringan atau berat, dan pada penderita tuberkulosis ekstra paru baik ringan atau berat. Pemeriksaan dahak harus tetap dilakukan karena untuk evaluasi pelaksanaan program penanggulanan tuberkulosis (Anonim, 2003b).

2) Kategori 2

Pada tahap intensif digunakan 4FDC yang setiap tablet mengandung isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol serta digunakan juga injeksi streptomisin, diberikan tiap hari selama 56 hari Pada tahap lanjutan digunakan 2FDC yang setiap tablet mengandung isoniazid dan rifampisin serta digunakan juga etambutol, diberikan selama 3 kali seminggu selama 20 hari. Kategori 2 diberikan pada penderita kambuh, gagal dan lalai setelah berobat dengan hasil BTA positif (Anonim, 2003b).

Tabel VII. Paduan OAT-FDC kategori 2 (Anonim, 2003b) Tahap Intensif

tiap hari Berat

Badan

selama 56 hari selama 28 hari

Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 20 minggu

30–37 kg 2tab 4FDC+500 mg

Streptomisin inj.

2 tab 4FDC 2tab 2FDC + 2 tab etambutol

38–54 kg 3tab 4FDC+750 mg

Streptomisin inj.

3 tab 4FDC 3tab 2FDC + 3 tab etambutol

55–70 kg 4tab4FDC+1000 mg

Streptomisin inj.

4 tab 4FDC 4tab 2FDC + 4 tab etambutol

≥ 71 kg 5tab4FDC

+ Streptomisin inj.

5 tab 4FDC 5tab 2FDC + 5 tab etambutol

Beberapa keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan tuberkulosis :

1) penderita akan lebih mudah dalam menggunakan obat anti tuberkulosis,

karena jumlah tabletnya sedikit

2) efek samping yang lebih kecil, karena formula dosis sangat mendekati

dasar perjitungan, yaitu antara berat badan dengan jumlah komponen obat.

3) tingkat kepatuhan penderita dalam menggunakan obat akan lebih tingi,

karena pengaruh psikis dari melihat jumlah tablet bila dibandingkan obat anti tuberkulosis kombipak

Dokumen terkait