• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.11. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul diolah, dianalisis, dan disajikan dengan menggunakan program komputer (SPSS versi 13). Interval kepercayaan yang digunakan adalah 95% dan batas kemaknaan P < 0,05.

Untuk menilai hubungan antara kadar albumin dan lama rawatan digunakan uji t independen. Sedangkan hubungan antara kadar albumin dengan mortalitas digunakan uji kai-kuadrat.

Untuk menilai hubungan antara faktor perancu dengan lama rawatan dan mortalitas digunakan analisis multivariat dengan regresi logistik.

Dari 68 pasien yang masuk ruang rawat intensif anak selama periode penelitian, didapatkan kelompok hipoalbuminemia 33 orang (48,5%) dan kelompok albumin normal 35 orang (51,4%). Dari kedua kelompok didapatkan rata-rata kadar albumin saat masuk 3,05 g/dL (0,749), dengan kadar terendah 1,5 g/dL dan tertinggi 4,7 g/dL.

Kadar albumin antara kedua kelompok berbeda bermakna, pada kelompok hipoalbuminemia rata-rata kadar albumin 2,33 g/dL dan pada kelompok albumin normal 3,62 g/dL dengan P=0,001

Hasil dari penelitian ini, pada kedua kelompok jumlah pasien laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Pada kelompok hipoalbuminemia jumlah pasien laki-laki 69,7% dan perempuan 30,3%. Sedangkan pada kelompok albumin normal, jumlah pasien laki-laki 68,6% dan perempuan 31,4%.

Selain itu, rata-rata umur, berat badan, status gizi dalam hal ini dinilai dengan EID indeks serta jenis kasus (bedah atau bukan bedah), antara kedua kelompok tidak memiliki perbedaan bermakna. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Parameter Hipoalbuminemia (n = 33) Albumin normal (n = 35) P Kadar albumin (g/dL); Rerata(SD) 2,33(0,40) 3,61(0,44) 0,001 Jenis kelamin (n;%) - Laki-laki - Perempuan 23;69,7 10;30,3 24;68,6 11;31,4 0,920 Umur (bln);rerata(SD) 53,3(49,98) 53,1(48,57) 0,921

Berat badan (Kg);rerata (SD) 15,6(13,13) 14,8(9,55) 0,203

Eid indeks (%);(SD) - <70 - 70-80 - 80-90 - 90-110 - 110-120 - >120 9;(27,3) 3;(9,10) 6;(18,2) 10;(30,3) 3;(9,10) 2;(6,10) 11;(31,4) 7;(20,0) 7;(20,0) 7;(20,0) 2;(5,70) 1;(2,90) 0,718 Jenis kasus (n;%) - Bedah - Bukan bedah 21;63,6 12;36,4 19;54,3 16;45,7 0,434

Pada studi ini didapatkan bahwa lama rawatan dan mortalitas pada kelompok hipoalbuminemia dan albumin normal tidak berbeda bermakna, seperti terlihat pada Tabel 4.2.

Parameter Hipoalbuminemia

(n = 33)

Albumin normal

(n = 35)

P

Lama rawatan (hari); rerata(SD) 7,6;(9,77) 4,7;(5,0) 0,134 Mortalitas (n;%) - Ya - Tidak 12;(36,4) 21;(63,6) 13;(37,1) 22;(62,9) 0,947

Untuk variabel perancu seperti status gizi dan jenis kasus apakah bedah atau bukan bedah dilakukan dengan analisa multivariat, seperti dalam Tabel 4.3 dan Tabel 4.4.

Tabel 4.3. Hasil analisis multivariat terhadap lama rawatan

Variabel B P 95% CI

Kadar albumin -3,502 0,049 -6,984;-0,020

Jenis kasus 6,424 0,001 - 2,838;10.010

Status gizi -0,146 0,808 -1,339;1,047

Dari Tabel 4.3. hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling besar kontribusinya dalam hubungannya dengan lama rawatan adalah jenis kasus.

Tabel 4.4. Hasil analisis multivariat terhadap mortalitas Variabel B P 95% CI Kadar albumin 0,371 0,540 0,442;4,775 Jenis kasus -2,093 0,001 0,038;0,403 Status gizi - (1) - (2) - (3) - (4) - (5) - (6) -6,73 -2,38 -0,378 0,677 0,734 2,331 0,816 0,621 0,758 0,654 0,450 0,430 0,322 0,035;7,338 0,174;3,578 0,110;3,577 0,340;11,40 0,205;3,511 0,123;4,712

Dari Tabel 4.4 hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling besar kontribusinya dalam hubungannya dengan mortalitas adalah jenis kasus.

BAB 5. PEMBAHASAN

Albumin memiliki beberapa fungsi fisiologis, dan sudah dipergunakan secara luas di bidang anastesi dan rawatan intensif sesuai indikasi. Setelah lebih dari 60 tahun penelitian klinis, pemberian albumin masih dipertanyakan. Pada pasien sakit kritis, beberapa proses patofisiologi seperti infeksi, trauma, atau pembedahan mayor mengakibatkan proses inflamasi yang akhirnya melepaskan mediator-mediator seperti sitokin dan aktivasi leukosit. Hal ini akan mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, meningkatkan permiabilitas mikrovaskular, dan ekstravasasi cairan (termasuk albumin) ke jaringan. Protein fase akut yang diproduksi hati adalah satu tanda inflamasi yang dipergunakan untuk melihat hubungan antara hipoalbuminemia dan hasil akhir yang buruk.29,30

Suatu studi prospektif tentang parameter laboratorium nutrisi rutin yang diperiksa kurang dari 24 jam pada 105 anak sakit berat saat tiba di ruang rawat intensif, didapatkan prevalensi hipomagnesemia 20%, hipertrigliseridemia 25%, uremia 30% dan hipoalbuminemia 52%.31

Dari penelitian ini, dari 68 sampel saat tiba di ruang rawat intensif, didapatkan hipoalbuminemia 33 orang (48,5%) dan albumin normal 35 orang (51,4%). Dari kedua kelompok didapatkan rata-rata kadar albumin saat masuk 3,05 g/dL (0,749), dengan kadar terendah 1,5 g/dL dan tertinggi 4,7

g/dL. Rata-rata kadar albumin pada kelompok hipoalbuminemia 2,33 g/dL dan kelompok albumin normal 3,62 g/dL.(Tabel 4.1)

Hipoalbuminemia merupakan penanda morbiditas dan mortalitas pada anak dengan penyakit kritis. Suatu penelitian retrospektif dengan membandingkan kelompok pasien dengan hipoalbuminemia dan kelompok dengan kadar albumin normal terhadap pasien di pediatric intensive care unit (PICU) didapat pada kelompok hipoalbuminemia lebih lama dalam perawatan di PICU (8,08 hari) dibandingkan dengan kelompok dengan kadar albumin normal (4,41 hari). Kelompok hipoalbuminemia mempunyai angka harapan hidup yang rendah dan gagal organ yang lebih tinggi.32

Pada penelitian ini kami juga mendapatkan kelompok hipoalbuminemia lebih lama rawatan (7,6 hari) dibandingkan dengan kelompok albumin normal (4,7 hari).

Suatu penelitian pada pasien bedah jantung, bukan bedah jantung dan gangguan ginjal, didapatkan bahwa hipoalbuminemia merupakan prediktor hasil akhir yang buruk, dimana setiap penurunan 10 g/dL serum albumin akan meningkatkan odds mortalitas 137%, morbiditas 89%, lama rawatan di unit perawatan intensif dan rawatan rumah sakit 28% dan 71%.33

Hal ini berbeda dari hasil penelitian ini, pasien tidak dibedakan apakah kasus bedah dan bukan bedah, dan didapatkan mortalitas lebih tinggi pada

Pada keadaan cedera berat, luka bakar atau sepsis, metabolisme protein menunjukkan dua kali peningkatan degradasi. Laju sintesis juga meningkat, akan tetapi tidak sebesar degradasi.12 Hipoalbuminemia merupakan hasil kombinasi inflamasi dan tidak adekuatnya masukan kalori pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Inflamasi dan malnutrisi akan menurunkan sintesis dan peningkatan katabolisme protein yang dapat menurunkan konsentrasi albumin.13

Pengeluaran albumin transkapiler meningkat 300% pada pasien dengan syok sepsis, dan 100% setelah tindakan bedah jantung. Pada pasien sepsis akan terjadi perubahan transkapiler bila mendapat pengobatan yang sesuai. Dengan meningkatnya aliran albumin melalui membran kapiler, terdapat peningkatan aliran balik limfa ke ruang intravaskular. Pergerakan albumin selama pembedahan mayor menunjukkan penurunan aliran limfa dan konsentrasi albumin di pembuluh limfa. Dari pengukuran total sirkulasi dan pertukaran albumin menunjukkan penurunan 30% dengan pembedahan mayor.4 Pada satu penelitian prospektif mendapatkan serum albumin sebagai prediksi hasil akhir pasien pascapembedahan.34

Pada penelitian ini, status gizi tidak memiliki hubungan yang bermakna baik terhadap lama rawatan dan mortalitas, tetapi jenis kasus apakah bedah atau bukan bedah memiliki hubungan yang bermakna terhadap lama rawatan dan mortalitas (P =0,001).

Telaah dari Cochrane Collaboration menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa albumin menurunkan mortalitas pada pasien dengan hipovolemia dibandingkan dengan alternatif yang lebih murah seperti normal salin dan pada pasien sakit berat dengan luka bakar atau hipoalbuminemia.35

Pada penelitian ini sesuai protokol ruang rawat intensif anak, semua pasien pada kelompok hipoalbuminemia mendapat substitusi albumin menurut kebutuhan.

Hipoalbuminemia merupakan fenomena yang sering pada penyakit kritis. Pengobatan berfokus pada penyebab utama hipoalbuminemia daripada memberikan albumin. Hasil dari beberapa penelitian meta analisis pemberian albumin pada pasien yang dirawat di rumah sakit tidak konsisten.17

Kegunaan albumin pada pasien sakit berat tidak ditunjang dengan bukti ilmiah. Koreksi hipoalbuminemia tidak memiliki keuntungan yang bermakna, pengobatan ditujukan terhadap penyakit dasar untuk mengobati hipoalbuminemianya.34 Direkomendasikan pemberian albumin sesuai dengan indikasi yang tepat untuk pasien di ruang rawat intensif.30

Pemberian albumin intravena sesuai diberikan pada pasien sirosis dengan asites, gagal ginjal dan hepatorenal syndrome yang menunggu transplantasi hati. Pada pasien dengan sindroma nefrotik yang tidak respon

Dari suatu studi invitro pasien sepsis dikatakan bahwa pemberian albumin tidak berpengaruh terhadap permiabilitas vaskular. Pemberian albumin 20% sebanyak 200 cc tidak bermakna dalam mengurangi kebocoran protein di mikrovaskular.38

Telaah suatu studi klinis acak, pemberian albumin hiperonkotik untuk resusitasi hipovolemia dalam jumlah kecil memiliki beberapa keuntungan seperti menurunkan morbiditas, gangguan ginjal dan edema.39

Penambahan albumin dalam larutan nutrisi parenteral juga tidak direkomendasikan. Dikatakan komplikasi yang fatal dapat terjadi dibandingkan keuntungan pemberian albumin melalui larutan nutrisi parenteral. Komplikasi yang mungkin terjadi seperti infeksi, ketidaksesuaian dan ketidakstabilan kimia dan fisika.40

Dinyatakan bahwa pemberian albumin akan menyebabkan penurunan angka harapan hidup pada pasien dengan penyakit kritis.28 Hal ini berbeda dengan penelitian suatu meta-analisis randomized controlled trial yang tidak menemukan efek albumin terhadap angka kematian.41

Dari penelitian ini juga tidak didapatkan perbedaan antara kelompok hipoalbuminemia dan albumin normal terhadap mortalitas (P =0,947).

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan berdasarkan hasil penelitian kami, ternyata kadar albumin tidak berpengaruh untuk lama rawatan dan mortalitas pasien di ruang rawat intensif.

Penelitian ini masih mempunyai beberapa kelemahan seperti desain penelitian yang hanya bersifat observasional, cara pengambilan sampel, jumlah sampel yang sedikit, serta faktor-faktor penganggu yang dapat menimbulkan bias, seperti status gizi dan jenis kasus yang dapat mempengaruhi hasil akhir penelitian ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan suatu studi acak tersamar dan jumlah sampel yang lebih besar .

Dokumen terkait