• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

3.11. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer. Untuk melihat apakah ada perbedaan hasil indurasi antara kedua kelompok digunakan uji Chi-Square. Dikatakan bermakna bila didapatkan nilai p < 0,05.

BAB 4 HASIL

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik DOTS Paru Dewasa RSUP H. Adam Malik, BP4 Paru dan praktek swasta jalan Jemadi Pulo Brayan Darat Medan. Diperoleh sampel 95 anak yang kontak TB paru dewasa, dimana 3 anak dikeluarkan dari sampel (1 anak menderita gizi buruk, 2 anak pergi keluar kota). Total sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 92 anak, dibagi menjadi dua kelompok yaitu 39 anak kontak TB paru dewasa yang kecacingan dan 53 anak kontak TB paru dewasa yang tidak kecacingan (Gambar 4.1).

Anak kontak TB paru dewasa, N = 95

3 anak dieksklusikan : 1 gizi buruk, 2 pergi keluar kota.

Mengisi formulir isian dan

pemeriksaan telur 92 anak yang memenuhi

kriteria inklusi dan k kl i

Anak kontak TB paru dewasa yang kecacingan (+)

n= 39

Anak kontak TB paru dewasa yang tidak kecacingan (-)

n= 53 Gambar 4.1. Profil penelitian

Tabel 4.1. Karakteristik dasar sampel

Karakteristik Kecacingan (+)

n= 39

Kecacingan (-) n= 53

Umur (tahun), rerata (SD) Jenis kelamin, n

- laki-laki - perempuan

Berat badan (kg), rerata (SD) Tinggi badan (cm), rerata (SD) Jumlah anggota keluarga, rerata (SD) Pendidikan ayah, n - SD - SMP - SMA - Perguruan Tinggi Pendidikan ibu, n - SD - SMP - SMA - Perguruan Tinggi Pekerjaaan orangtua, n - Nelayan - Wiraswasta - Pegawai Negeri - Pegawai Swasta - Buruh - Tidak bekerja Gizi, n - Kurang - Baik - Lebih 9.4 (3.69) 17 22 27.7 (12.52) 129.8 (17.70) 4.7 (1.09) 15 8 16 11 12 16 8 19 2 2 8 22 16 1 8.8 (4.49) 26 27 26.0 (12.56) 125.5 (21.34) 4.3 (1.02) 5 11 29 8 3 16 32 2 30 13 6 4 18 29 6

Pada tabel 4.1 rata-rata usia kelompok kecacingan adalah 9.41 tahun, dan kelompok tidak kecacingan 8.8 tahun. Jenis kelamin yang terbanyak pada kelompok kecacingan dan tidak kecacingan perempuan dengan 22 dan 27 anak.

SMAdan pekerjaan orang tua terbanyak wiraswasta. Status gizi pada kelompok kecacingan yang terbanyak adalah status gizi kurang 22 anak, sedangkan pada kelompok tidak kecacingan memiliki status gizi baik 29 anak. Dari total 39 sampel pada kelompok kecacingan, yang memiliki hasil uji tuberkulin positif lebih sedikit dibandingkan dengan hasil yang negatif yaitu 14 anak. Sedangkan hasil uji tuberkulin pada kelompok tidak kecacingan yang terbanyak adalah hasil yang positif sebanyak 33 anak (Gambar 4.2)

Gambar 4.2 Hasil uji tuberkulin pada kelompok kecacingan dan tidak kecacingan

Tabel 4.2 Perbandingan hasil uji tuberkulin dengan kecacingan Hasil Uji Tuberkulin Positif Negatif P n:47 % n:45 % Infeksi Kecacingan Ya 14 35.9 25 64.1 0.012 Tidak 33 62.3 20 37.7 0 5 10 15 20 25 30 35 Positif Negatif Kecacingan Tidak kecacingan

Dari tabel 4.2 menunjukkan hasil positif uji tuberkulin pada anak kecacingan lebih sedikit dibandingkan pada yang tidak kecacingan dengan perbandingan 35.9% dan 62.3%. Dengan menggunakan uji chi square

ditemukan perbedaan yang bermakna pada hasil uji tuberkulin antara kedua kelompok dengan nilai P= 0.012. Rasio prevalens pada penelitian ini didapat sebesar 0.48 dengan interval kepercayaan 95% yang artinya kecacingan merupakan suatu faktor proteksi terhadap uji tuberkulin, dimana kecacingan berpengaruh terhadap hasil uji tuberkulin.

BAB 5 PEMBAHASAN

Hingga saat ini banyak penelitian yang mencari hubungan antara kecacingan dengan TB. Pada penelitian ini bertujuan membandingkan hasil uji tuberkulin pada anak kontak TB paru dewasa dengan kecacingan dibandingkan dengan tidak kecacingan. Penelitian di China tahun 2013 menunjukan infeksi TB dan kecacingan dapat menjadi faktor risiko antara keduanya. Kecacingan secara siknifikan mempengaruhi sistem imunologi pasien terhadap infeksi TB.38

Penelitian ini adalah studi potong lintang, dimana subyek penelitian ini berasal dari sosio-demografi yang sama dengan kondisi lingkungan yang padat. Jenis kelamin yang terbanyak pada kedua kelompok adalah perempuan. Rerata usia pada kedua kelompok studi memiliki nilai yang hampir sama. Hal ini sesuai dengan laporan UNICEF bahwa infeksi TB dan juga infeksi cacing terbanyak pada anak usia sekolah.5

Tingkat pendidikan orang tua yang terbanyak adalah SMA dan pekerjaan orang tua terbanyak wiraswasta. Penelitian di Afrika Selatan menunjukan bahwa kondisi lingkungan perumahan yang padat, tingkat pendidikan orang tua yang rendah dan sosial ekonomi yang rendah akan meningkatkan risiko infeksi TB dan kecacingan.32

Hubungan antara infeksi, kebersihan, tingkat hunian yang padat, status ekonomi yang rendah akan mempengaruhi status gizi seseorang. Infeksi cacing merupakan penyebab terpenting perubahan status nutrisi dan kadar hemoglobin

anak. Pada penelitian ini didapatkan kelompok yang terinfeksi cacing memiliki status gizi kurang 56%, sedangkan kelompok yang tidak terinfeksi cacing memiliki status gizi kurang 34%. Pada penelitian di Ethiopia Utara yang mencari hubungan status gizi dengan kecacingan, didapatkan angka malnutrisi 35%.39

Sedangkan penelitian yang dilakukan di Venezuela didapatkan tingkat malnutrisi bervariasi dari 13% hingga 80%.40

Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Tetapi tidak semua anak yang telah terinfeksi akan mengalami sakit TB. Penelitian di Laos melaporkan risiko terjadinya infeksi TB pada anak yang kontak dengan penderita TB lebih besar pada anak yang kontak dengan penderita TB dengan BTA positif.33 Pada penelitian ini didapatkan rerata angka ko-infeksi TB dengan

kecacingan 42%, dan ini masih rendah jika dibandingkan dengan yang dilaporkan di Ethiopia Barat tahun 2002 yaitu 72%. Penelitian di Venezuela melaporkan bahwa angka prevalensi kecacingan 50% hingga 70%.40 Penelitian

kohort yang dilakukan di Swedia melaporkan prevalensi kecacingan pada penderita TB lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol 35% : 27%.24

Hal ini telah kita ketahui bahwa angka infeksi TB dan kecacingan tinggi di daerah dengan kondisi sosio-demografi padat dan sosio-ekonomi yang rendah.41

Menggunakan analisa Kai kuadrat didapatkan hasil uji tuberkulin pada penelitian ini memiliki perbedaan bermakna diantara kedua kelompok yaitu kelompok anak yang kecacingan memiliki hasil uji tuberkulin positif lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok yang tidak kecacingan dengan nilai P 0,012.

Perbedaan ini dapat dijelaskan melalui sistem imunitas tubuh. Uji tuberkulin merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 4 tergantung pada IFN- � yang dihasilkan oleh sel Th1 dalam aktivasi makrofag. Pada anak dengan kecacingan, sel Th2 lebih dominan dan akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 menstimulasi proliferasi dan diferensiasi limfosit B dan menekan aktifitas sel Th1 yang menyebabkan penurunan produksi IFN- �. Stimulasi sel Tregs akan memproduksi banyak sitokin anti inflamasi, sehingga akan menghambat reaksi inflamasi dan alergi.34,35Penelitian di Afrika

Selatan tahun 2009 menjelaskan bahwa kecacingan memiliki pengaruh yang siknifikan terhadap peningkatan serum IgE dan hasil uji tuberkulin.42Dan

penelitian pada tahun 2012 di Afrika selatan menjelaskan bahwa infeksi cacing dapat merubah respon sistem imunitas pada anak terutama di daerah dengan tingkat prevalensi kecacingan dan TB yang tinggi.32

Keterbatasan studi ini adalah jumlah sampel yang sedikit yaitu anak dengan riwayat kontak tanpa ada gejala klinis lainnya sehingga tidak dilakukan penilaian terhadap sakit TB. Tidak dilakukan pengukuran titer antibodi IgE pada semua sampel dan tidak mengukur tingkat keparahan infeksi cacing. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel penelitian yang lebih besar.

BAB 6

Dokumen terkait