BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PENGOLAHAN DATA GPR
Penelitian kali ini dilakukan dengan mengambil sebanyak dua puluh sembilan jumlah lintasan GPR di daerah Sumber Beji, Jombang, Jawa Timur. Dari beberapa hasil radargram di daerah penelitian kali ini banyak terdapat anomali-anomali atau refleksi yang memiliki banyak informasi mengenai keadaan di bawah permukaan daerah penelitian. Untuk alat GPR yang digunakan merupakan GPR dengan jenis dual source dimana memiliki dua frekuensi dominan yaitu sebesar frekuensi rendah 160 MHz dan frekuensi tinggi 670MHz dan spasi antara transmitter dengan receiver sebesar 1 meter.
Dari rekaman data GPR yang diperoleh terdapat 2 jenis data yang memiliki frekuensi berbeda yaitu frekuensi tinggi 670 MHz dan frekuensi rendah 160 Mhz.
Untuk pengolahan data kali ini, yang digunakan merupakan data frekuensi tinggi (Frekuensi Dominan 670 MHz). Bisa dilihat pada gambar diatas bahwa resolusi untuk data frekuensi tinggi lebih baik dan jauh lebih detail untuk membedakan adanya objek-objek dangkal sedangkan untuk data frekuensi rendahh. Langkah-langkah pengolahan data Ground Penetrating Radar adalah sebagai berikut:
4.1.1 Lintasan A (Test Line- 06-hari ke-2)
Sebelum dilakukan pengolahan pada tampilan base map memperlihatkan lintasan GPR yang akan digunakan sebagai lintasan untuk testing parameter merupakan lintasan 06 yang dipilih berdasarkan proses quick processing pada semua lintasan GPR yang telah diakuisisi. Lintasan 06 menunjukkan banyak difraksi dan juga fitur-fitur lain yang paling lengkap dibandingkan dengan semua data GPR yang
Universitas Pertamina - 31
telah diakuisisi sehingga lintasan ini digunakan sebagai testing parameter untuk penelitian kali ini.
A. Input Data
Pada pengolahan menggunakan software MATGPR yang dilakukan pertama kali adalah mengimport data raw GPR langsung dari alat yang memiliki format internal(rd3). berikut tampilan data raw GPR pada gambar 4.3.
Gambar 4. 3 Raw Data GPR
Setelah data mentah di import ke software MATGPR bisa dilihat bahwa fitur-fitur yang terekam masih belum bisa teridentifikasi dengan baik diakibatkan oleh adanya atenuasi gelombang elektromagnetik yang merambat ke medium bawah permukaan.
B. Inverse Amplitude Decay
Universitas Pertamina - 32
Langkah selanjutnya adalah melakukan invers amplitude decay yang nantinya bertujuan untuk membuat amplitude di semua kedalaman trace menjadi sama rata. Cara kerja dari proses ini adalah dengan merata-ratakan nilai ampilutde di setiap kedalaman setelah itu dilakukan pembobotan untuk membuat nilai amplitudnya seimbang. Hal ini dilakukan karena sinyal radar yang dihasilkan oleh transmitter menjalar dengan sangat cepat, oleh karena itu sinyal akan mengalami atenuasi. Fenomena atenuasi ini sangat terlihat di data terutama ketika dilihat semakin dalam yang akan memberikan informasi sinyal yang tidak begitu jelas.
Dalam proses ini pemilihan invers amplitude decay digunakan karena pada data GPR yang telah di akuisisi memiliki atenuasi yang lebih sederhana dari pada atenuasi pada data seismic sehingga proses yang digunakan pada data GPR akan menggunakan metode yang lebih cepat pada waktu pengolahannya. Berikut hasil perbandingan kurva atenuasi sebelum dan sesudah invers amplitude decay pada gambar 4.5.
Bisa dilihat bahwa kurva atenuasi sebelum dilakukan proses gain sinyal memiliki nilai amplitude yang tidak seimbang dan semakin turun dengan membesarnya waktu penjalaran gelombang dan setelah dilakukannya proses invers
amplitude decay nilai amplitude menjadi lebih seimbang.
Gambar 4. 5 Karakteristik amplitude pada data test line
Gambar 4. 4 Profile amplitude sebelum dilakukan inverse amplitude decay (kiri),
Universitas Pertamina - 33
Berdasarkan kurva amplitude pada gambar 4.5 kita bisa melihat bahwa amplitude dari sinyal GPR berkurang secara logaritmik sehingga dengan melihat pada karakteristik amplitude pada gambar 4.7 nilai atenuasi berkurang secara logaritmik sebesar e-0.0316 t dimana t (Waktu rambat gelombang dalam ns). Sehingga untuk merata-ratakan nilai amplitude pada proses invers amplitude decay didapat persamaan berikut 𝐴(𝑡) = 𝑐1. 𝑒−0.0316 t + 𝑐2. 𝑒−0.0316 t + ⋯ + 𝑐𝑛. 𝑒−0.0316 t ( Persamaan dapat dilihat pada bagian dasar teori ) yang nanti nilai dari proses rata-rata diatas akan digunakan pada gain model g(t) = [ A(t) / max{A(t)} ]-1. Gain model ini secara sederhana merupakan perbandingan antara nilai amplitude tertinggi pada data GPR dengan nilai amplitude disetiap interval waktu. Setelah nilai gain model ditentukan maka langkah selanjutnya adalah mengalikan nilai gain model terhadap nilai amplitude di setiap interval waktu.
Gambar 4. 6 Tampilan Trace Sebelum dan Sesudah Invers Amplitude
Decay
Dan pada tampilan trace memberikan nilai amplitude yang seimbang pada setiap kedalaman menandakan bahwa hasil dari invers amplitude decay ini memberikan hasil yang baik. Setelah melakukan proses tersebut maka data raw GPR akan menjadi seperti pada gambar 4.10.
Gambar 4. 7 Sebelum proses invers
amplitude decay
Gambar 4. 8 Hasil setelah proses invers amplitude decay
Setelah dilakukan invers amplitude decay terlihat perbedaan dengan data raw awal dimana pola-pola difraksi dan refleksi mulai terlihat seperti di gambar selanjutnya dengan lingkaran merah dan garis horizontal muncul akibat efek samping
Universitas Pertamina - 34
amplitude yang di seimbangkan. Dari hasil ini kita menjadi lebih mudah untuk mengidentifikasi adanya difraksi-difraksi yang dihasilkan oleh benda-benda yang terkubur di bawah permukaan seperti pada gambar 4.9 dibawah ini.
Gambar 4. 9 Pola difraksi semakin jelas setelah proses invers amplitude decay
C. Bandpass Filter
Proses selanjutnya adalah bandpass filter dimana tujuannya adalah untuk menghilangkan/meminimalisir noise yang berada di luar spektrum frekuensi dari sinyal yang diinginkan. Pada proses terlebih dahulu adalah menentukan batas atas dan batas bawah frekuensi yang dianggap sebagai noise. Untuk penentuan batas bawah frekuensi dan batas atas frekuensi kita harus mengacu pada frekuensi alat yang digunakan dimana alat GPR yang digunakan memiliki 2 frekuensi dominan yaitu 160 MHz dan 670 MHz dan untuk data kali ini yang diolah merupakan data frekuensi tinggi dengan frekuensi dominan berada pada 670 MHz maka dari itu untuk rentang frekuensi harus mencakup frekuensi dominan. Berdasarkan data dan karakteristik amplitudonya maka pada data ini diambil nilai dua nilai untuk dibandingkan yaitu yang pertama dari 264.75MHz -889.39MHz dan yang kedua dari 267.5 MHz – 1791 MHz. berikut hasil dari proses ini ditampilkan pada gambar 4.10.
Gambar 4. 10 Proses penentuan cut off frekuensi dengan 2 parameter
Universitas Pertamina - 35
Bisa dilihat bahwa penentuan untuk batas atas dan juga batas bawah frekuensi sinyal dilakukan berdasarkan keadaan data namun harus tetap mengacu kepada rentang frekuensi alat yang digunakan sehingga sinyal yang akan diloloskan tidak hilang ataupun tidak membawa noise yang terlalu banyak. Berikut hasil proses dari bandpass dapat dilihat pada gambar 4.14 dan 4.15.
Gambar 4. 11 sebelum proses bandpass filter
Gambar 4. 12 Hasil Setelah Proses Bandpass Filter dengan frekuensi
Universitas Pertamina - 36
.
Gambar 4. 13 Hasil setelah proses bandpass filter dengan rentang frekuensi
265-1791 MHz
Setelah dilakukan bandpass filter terihat bahwa sinyal semakin kuat di beberapa daerah dan ada yang melemah. hal ini disebabkan karena pada proses bandpass filter beberapa frekuensi sudah di hilangkan sehingga akan muncul sinyal yang diperkuat maupun diperlemah. Untuk hasil perbandingan diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa untuk hasil parameter kedua lebih banyak membawa noise non koherent sehingga parameter yang dipilih adalah parameter pertama dikarenakan kita juga harus melihat source utama dari data yaitu sebesar 670 MHz sehingga peak sinyal pastinya akan berada pada rentang nilai tersebut. Dapat terlihat pada gambar 4.14 dan
Universitas Pertamina - 37
4.15perbandingan noise non koherent lebih banyak muncul pada proses bandpass filter dengan rentang frekuensi 265 MHz- 1791 MHz.
Gambar 4. 14 Bandpass
Filter dengan frekuensi 265-890 MHz
Gambar 4. 15 Bandpass
filter dengan rentang frekuensi 265-1791 MHz
Dari perbandingan adanya noise dari kedua parameter menunjukkan signal to
noise ratio dari parameter pertama lebih tinggi dibandingkan parameter kedua.
Terdapat juga pola noise yang masih tetap ada setelah dilakukan bandpass filtering, berupa garis-garis horizontal sehingga perlu dilakukan proses filtering lanjutan yaitu proses global removal.
D. Global Background Removal
Proses ini bertujuan untuk menghilangkan noise yang disebabkan oleh alat itu sendiri dan juga benda-benda yang berada di permukaan saat dilakukan proses pengambilan data, biasanya akan berbentuk pola horizontal yang berulang disetiap kedalaman. Cara kerja proses ini adalah mengambil nilai rata-rata amplitude setiap intervalnya sehingga nantinya akan digunakan sebagai pengurangan nilai amplitude
Universitas Pertamina - 38
yang akan menyisakan sinyal yang lebih sedikit noise. Berikut hasil setelah proses global removal.
Terlihat bahwa pola-pola noise horizontal dapat dihilangkan dengan sempurna dan pola refleksi sebelumnya menjadi lebih jelas.untuk perbandingan hasil sebelum dilakukan global removal dapat dilihat pada gambar dibawah.
Gambar 4. 17 Perbandingan hasil sebelum dan setelah proses background
removal
Berdasarkan perbandingan data diatas bisa dilihat bahwa secara umum pola noise horizontal hilang namun ada yang tidak dihilangkan juga dikarenakan proses ini dapat mendeteksi adanya fitur-fitur asli atau sinyal yang memang berbentuk horizontal seperti batas lapisan dan disatu sisi memunculkan pola multiple yang lebih
Gambar 4. 16 Sebelum proses background removal (kiri0, setelah proses
Universitas Pertamina - 39
jelas sehingga untuk mengatasi ini harus dilakukan proses selanjutnya yaitu predictive deconvolution.
E. Predictive Deconvolutions
Tahapan ini dilakukan untuk menghilangkan multiple dan reverberasi yang ada pada data GPR dimana dibutuhkan 3 jenis operator yang akan mempengaruhi seberapa sukses hasil dari predictive deconvolution ini. Proses ini akan di tes menggunakan 3 parameter yang berbeda untuk melihat hasil yang optimal. Berikut paramternya
Gambar 4. 18 Tiga parameter uji untuk predictive deconvolutions
Tiga parameter uji diatas dilakukan berdasarkan keadaan data dimana untuk nilai prediction length didapat dari hasil autokorelasi dengan nilai 2 ns yang artinya merupakan jarak antara refleksi primer dengan multiple pertama.Untuk parameter yang diuji disini merupakan operator length yang akan mempredisksi jumlah multiple yang terjadi dalam waktu yang telah diprediksi. Setelah di pilih 3 parameter yang akan di tes,maka akan dipilih hasil predictive deconvolution yang paling optimum. Berikut hasil setelah di aplikasikan proses predictive deconvolution.
Universitas Pertamina - 40
Gambar 4. 20 Hasil setelah proses predictive deconvolutions (Op.length 15
ns)
Gambar 4. 21 Hasil setelah proses predictive deconvolutions (Op.length 20
ns)
Gambar 4. 22 Hasil setelah proses predictive deconvolutions (Op.length 25
Universitas Pertamina - 41
Setelah dilakukanya predictive decon dapat terlihat bahwa pola-pola multiple pada refleksinya berkurang. Untuk operator length 15 ns didapat data yang cukup bagus akan tetapi pola reverberasi masih tersisa cukup banyak, sedangkan untuk
operator length 25 ns mengasilkan data yg cukup bagus dan bisa menghilangkan
reverberasi dengan dengan bagus akan tetapi difraksi dari sinyal kita cukup banyak yang dihilangkan sehingga dengan membandingkan kedua hasil ini dengan operator
length 20 yang berhasil menghilangkan reverberasi tanpa meredam sinyal difraksi
data kita maka operator optimal pada testing parameter kali ini digunakan sebesar 20 ns. Dari analisa ini kita bisa katakan bahwa proses predictive decon sangat baik untuk mengatasi noise yang berupa multiple. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada perbandingan di bawah ini.
Gambar 4. 23 Perbandingan hasil sebelum dan sesudah predictive decon
Untuk lebih fokusnya pada lingkaran merah bisa telihat bahwa pola multiple dan reverberasi menjadi berkurang dan pola difraksi sebenarnya menjadi lebih tegas. Namun,noise non-koherent masih terlihat sangat banyak pada data kali ini sehingga harus dilakukan proses selanjutnya yaitu FX Deconvolutions.
F. FX Deconvolutions
Proses F-X deconvolution berfungsi untuk menghilangkan noise yang bersifat non-koherent sehingga signal to noise ratio dari data GPR meningkat. Untuk cara kerja dari proses ini nantinya dilakukan pada domain F-X (frekuensi – spasial). Parameter inputan yang digunakan pada proses ini berupa operator length. Untuk nilai inputan ini sangat bergantung kepada data sehingga untuk data yang berbeda
Universitas Pertamina - 42
parameter yang digunakan juga berbeda. Berikut hasil setelah dilakukan F-X deconvolution.
Gambar 4. 24 Sebelum proses FX Deconvolutions
Gambar 4. 25 Hasil setelah proses FX Deconvolutions
Berdasarkan hasil diatas terlihat bahwa pola difraksi menjadi lebih jelas dikarenakan proses ini bekerja dengan sangat baik untuk meningkatkan signal to noise
ratio dari data kita dan juga struktur bawah permukaan menjadi lebih bagus. Dari hasil
proses ini kita sudah bisa melihat fitur-fitur lebih jelas yang dihasilkan oleh difraksi pada data GPR ini. Pada perbandingan gambar dibawah (lingkaran merah) terlihat
Universitas Pertamina - 43
bahwa pola difraksi menjadi lebih jelas dan pola-pola noise non-koheren menjadi hilang.
Gambar 4. 26 Sebelum FX
Decon
Gambar 4. 27 Setelah FX Decon
Untuk menghilangkan noise yang tersisa masih bisa dilakukan dengan cara yang berulang seperti tahap sebelumnya akan tetapi pada data ini karena sudah dianggap baik maka dari itu akan dilanjutkan dengan melakukan FK migration. Sebelum melakukan migrasi dilakukan fiting hyperbolic untuk menentukan halfspace velocity.
G. Analisa Kecepatan Menggunakan Fiting Hyperbolic
Analisa kecepatan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode salah satunya untuk Analisa kecepatan di data GPR dapat dilakukan dengan melakukan
fiting hyperbolic. Tujuan dari fitting hyperbolic ini adalah untuk menentukkan
kecepatan yang akan digunakan pada saat melakukan proses migrasi data GPR, namun karena terdapat banyak pola-pola difraksi pada data test GPR ini maka akan dilakukan
Universitas Pertamina - 44
beberapa kali proses fitting hyperbolic untuk menentukkan kecepatan rata-rata untuk data GPR ini.
Gambar 4. 28 Data GPR Sebelum proses fiting hyperbolic
Berdasarkan beberapa data GPR sebelum dilakukan proses fiting hyperbolic terlihat bahwa pola -pola difraksi sangat banyak sehingga harus dilakukan beberapa kali fiting hyperbolic untuk menentukan nilai kecepatan dari daerah penelitian.
Gambar 4. 29 Data GPR setelah dilakukan beberapa kali fiting hyperbolic
Pada proses fiting hyperbolic ini akan dilakukan Analisa nilai kecepatan untuk semua lintasan GPR. Contoh gambar 4.29 merupakan proses penentuan nilai kecepatan yang akan digunakan saat proses migrasi dimana hasil menunjukkan pada kedalaman yang sama nilai kecepatan rata-rata diproleh sebesar 0.251 m/ns. Hal ini didapat dikarenakan pola difraksi berada di kedalaman yang sama sehingga nilai kecepatan yang didapat tidak akan memiliki perbedaan yang signifikan. Oleh karena itu setelah mendapatkan persebaran nilai kecepatan pada penelitian kali ini, asumsi yang digunakan untuk pengolahan data selanjutnya adalah model kecepatan konstan sebesar 0.251m/ns. Untuk memvalidasi nilai kecepatan ini harus dilakukan proses migrasi untuk semua lintasan dengan asumsi bahwa variasi kecepatan konstan ini akan bekerja untuk semua daerah/semua lintasan GPR. Setelah dilakukan pemilihan kecepatan dominan maka akan dilanjutkan ke tahap migrasi.
H. FK Migrasi
Proses migrasi pada data GPR ini menggunakan salah satu metode migrasi yang ada yaitu FK Migrasi yang bertujuan untuk membawa reflector ke posisi
Universitas Pertamina - 45
sebenarnya dan meningkatkan resoulusi sinyal GPR secara horizontal. Proses ini dilakukan dalam domain frekuensi dan bilangan gelombang. Berikut hasil dari FK migrasi dengan menggunakan model kecepatan sebesar 0.251 m/ns.
Gambar 4. 30 Sebelum proses migrasi
Gambar 4. 31 Hasil Setelah proses migrasi
Setelah dilakukan migrasi terlihat beberapa pola difraksi yang sebelumnya menjadi satu objek/struktur datar yang semakin jelas setelah itu untuk objek yang berbentuk datar memiliki kemenerusan yang jelas sehingga dengan melihat perubahan data setelah migrasi dapat diasumsikan bahwa nilai kecepatan yang digunakan masih cukup baik untuk proses migrasi ini. Untuk daerah dangkal sekitar 0 hingga 50 ms terlihat bahwa hasil migrasi bekerja dengan baik akan tetapi untuk kedalaman lebih dari 50 ms hasil migrasi tidak terlalu baik, hal ini dikarenakan model kecepatan yang digunakan hanya menggunakan model kecepatan konstan sehingga belum memperhitungkan lapisan yang berbeda.Selain itu akibat dari migrasi ini akan
Universitas Pertamina - 46
memunculkan pola-pola smilling dimana pola ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi ketika data sudah dilakukan migrasi.
I. Time to Depth Conversion
Untuk langkah selanjutnya adalah proses time to depth conversion dimana pada proses ini skala kedalaman akan diubah menjadi dalam bentuk meter. Untuk cara kerja pada proses ini memerlukan data kecepatan yang sudah ditentukan pada proses sebelumnya, setelah itu dikonversi dengan menggunakan persamaan dix maka didapat tampilan data dengan skala sumbu y menjadi kedalaman. Berikut hasil setelah time to depth conversion.
Gambar 4. 32 Hasil setelah konversi time to depth
Gambar 4. 33 Skala warna yang diubah untuk melihat pola refleksi yang
lebih jelas
Setelah dilakukan konversi dari waktu ke dalam meter telihat bahwa zona -zona interest berada pada kedalama 1 sampai 4 meter.
J. Interpolasi Koordinat untuk Setiap Trace
Untuk tahapan selanjutnya merupakan tahapan interpretasi data akan tetapi data inputan yang akan digunakan pada software petrel memiliki beberapa kendala
Universitas Pertamina - 47
yaitu setiap trace belum memiliki koordinat sehingga harus dilakukan proses input koordinat secara manual menggunakan bantuan software Vista 7 dan proses pengolahan koordinat dilakukan dengan menggunakan pendekatan interpolasi linear. Berikut contoh hasil sampel koordinat pada lintasan GPR yang didapatkan setelah dilakukan proses interpolasi linear:
Gambar 4. 34 Contoh Hasil koordinat dari interpolasi linear (Test Line-06)
Setelah itu dilakukan proses input di software Vista 7 untuk memastikan koordinat yang akan digunakan sudah benar. Berikut contoh hasil koordinat x dan y pada salah satu lintasan GPR:
9152426 9152428 9152430 9152432 9152434 9152436 9152438 638524.5 638525 638525.5 638526 638526.5 638527 638527.5
Universitas Pertamina - 48
Gambar 4. 35 Data GPR yang sudah memiliki koordinat di setiap trace