• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

5.2.2. Tahap Measure

5.2.2.4. Pengolahan Data Kualitas Produk

Tujuan dari pengolahan data kualitas produk yaitu untuk mengetahui kualitas produk yang dihasilkan. Di dalam pengolahan data ini terdapat penentuan critical to

qualitydan perhitungan tingkat sigma dan DPMO.

a. Penentuan critical to quality (CTQ)

Critical to quality (CTQ) merupakan karakteristik kualitas yang mempengaruhi

Karakteristik kualitas dari setiap pemeriksaan yaitu warna gula dan ukuran kristal gula yang tidak sesuai standar.

b. Perhitungan tingkat sigma

Perhitungan tingkat sigma dilakukan untuk menyatukan ukuran kualitas yang terjadi pada tahap pemeriksaan sehingga dapat dibandingkan tahap pemeriksaan mana yang berada dalam kondisi paling buruk. Selain itu, juga akan dilakukan perbaikan pada proses yang hasil tahap pemeriksaan paling buruk. Perhitungan tingkat sigma dilakukan dengan melalui langkah-langkah berikut:

Jumlah total unit produksi yang dihasilkan = 18.960 ton Total produk yang cacat = 1663,94 ton

Tingkat kecacatan (defect per unit/DPU)

Defect opportunities (CTQ) = 2

Defect per Million Opportunities (DPMO)

Perhitungan tingkat sigma dilakukan dengan menggunakan Ms. Excel, yaitu dengan rumus:

=NORMSINV (1-DPMO/1.000.000) + 1,5 =NORMSINV (1-45.000/1.000.000) + 1,5

= 3,20

Dari perhitungan tingkat sigma diperoleh nilai sigma sebesar 3,20. Hal ini menunjukkan masih jauh dengan nilai sigma yang ingin dicapai yaitu 6 sigma. Nilai DPMO yang diperoleh 45.000 yang berarti untuk setiap 1.000.000 kali produksi kemungkinan terjadinya kecacatan adalah 45.000. Untuk meningkatkan nilai sigma ini, perlu dilakukan identifikasi dan analisis penyebab proses yang menghasilkan produk cacat sehingga dapat memberikan solusi perbaikan yang diharapkan untuk meningkatkan level sigma sekarang.

5.2.3. Analyze

Tahap analyze dilakukan dengan menggunakan digram sebab akibat

(fishbone diagram) dan diagram (five why). Penjelasan mengenai diagram sebab

akibat (fishbone diagram) dan diagram five why adalah sebagai berikut: a. Diagram Sebab Akibat (Fishbone Diagram)

Diagram sebab akibat (fishbone diagram) digunakan untuk membantu mengorganisasi informasi tentang penyebab-penyebab potensial suatu masalah. Analisis yang akan dilakukan meliputi analisis manusia, metode kerja, dan mesin dan peralatan terhadap jumlah produk yang dihasilkan. Diagram ini dibuat dengan melakukan brainstorming dengan pihak perusahaan.

Warna gula tidak putih Material

Manusia

Kurang teliti dalam mengatur suhu dan tekanan vakum

Metode

Mutu bahan baku kurang baik Operator kurang terampil Pemurnian yang tidak optimum Bahan baku kotor

Gambar 5.5. Fishbone Diagram Kecacatan Gula Tidak Putih

Cacat gula halus Metode

Mesin dan peralatan Kurang teliti dalam mengatur kadar air

Peralatan yang tidak memadai Manusia Pengerjaan tidak sesuai SOP Operator kurang terampil Tekanan vakum terlalu rendah

Gambar 5.6. Fishbone Diagram Kecacatan Gula Halus

b. Diagram Five Why

Diagram Five Why adalah suatu diagram yang digunakan untuk mengungkapkan akar dari permasalahan dari penyebab ketidaksesuaian, yang diperoleh dari diagram sebab akibat agar dapat diperbaiki dengan tepat dengan bertanya terus mengapa

data yang diperoleh dari diagram sebab akibat dan dari pengamatan di lantai produksi serta wawancaradengan pihak perusahaan maka diagram five why untuk setiap kecacatan dapat dilihat pada Tabel 5.14.

Tabel 5.14. Diagram Five Why untuk Kecacatan Warna Gula Tidak Putih

Masalah Why Why Why Why Why

Warna gula tidak putih Mutu bahan baku kurang baik Bahan baku kotor Banyaknya kotoran pada tebu yang terikut pada proses

memanen Kurangnya inspeksi saat memanen tebu Perusahaan tidak memiliki manajemen inspeksi secara khusus Suhu pemasakan terlalu tinggi Kurang teliti dalam mengontrol suhu dan tekanan vakum Operator kurang konsentrasi Operator mengobrol Kurangnya pengawasan Pemurnian yang tidak optimum Proses pemurnian tidak sesuai Pemurnian masih menggunakan metode sulfitasi - -

Tabel 5.15. Diagram Five Why untuk Kecacatan Gula Halus

Masalah Why Why Why Why Why

Gula Halus Kadar air tidak sesuai Air yang diberikan terlalu banyak Operator kurang konsentrasi Operator mengobrol Kurangnya pengawasan Proses masakan terlalu lama Tekanan vakum terlalu rendah Pengerjaan yang tidak sesuai SOP

Kurangnya pemahaman terhadap SOP

Perusahaan tidak mensosialisasikan SOP secara berkala Pemberian air

dilakukan secara manual

Peralatan yang tidak memadai

Tidak adanya alat khusus untuk mengatur kadar air

- -

5.2.4. Improve

Jenis pemborosan (waste) yang banyak terjadi pada proses produksi gula disebabkan oleh kegiatan transportasi dan waktu menunggu. Selain itu pemborosan juga disebabkan oleh kecacatan produk yang disebabkan oleh adanya kekurangan dari

beberapa faktor pendukung proses produksi seperti mesin/peralatan, manusia, material, metode dan lingkungan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan diagram Five Why, ditemukan permasalahan yang menyebabkan kecacatan yaitu tidak adanya pelatihan untuk penggunaan mesin, kurangnya pemahaman prosedur kerja yang terstandarisasi (SOP), kurangnya kualitas bahan baku yang masuk dan kurangnya keterampilan dan ketelitian operator. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya kecacatan yang terjadi disebabkan oleh:

1. Kadar kotoran (trash)

Batas kadar kotoran (trash) tebu yang terikut dalam proses produksi yaitu maksimal 5%. Banyaknya kadar kotoran yang terikut saat proses produksi dapat mengganggu proses pemurnian dan menyebabkan penurunan kualitas gula. Banyaknya kadar kotoran yang terikut saat proses produksi disebabkan oleh kurangnya inspeksi yang dilakukan oleh petugas pada saat memasukkan tebu untuk digiling. Tebu yang layak giling harus memiliki kriteria MBS (Manis, Bersih dan Segar) Oleh karena itu dibutuhkan inspeksi secara rutin agar meningkatkan mutu produk akhir.

2. Proses pemurnian yang tidak optimum

Proses pemurnian yang tidak optimum disebabkan oleh metode yang digunakan, PGKM menggunakan metode sulfitasi untuk melakukan pemurnian. Metode sulfikasi dilakukan dengan menambahkan kapur yang berlebih dan selanjutnya kapur dinetralkan dengan gas belerang dioksida (SO2). Metode ini menyebabkan hasil yang

dengan menggunakan metode yang lebih baik yaitu metode pemurnian karbonatasi. Pada sulfitasi, bahan pengotor yang dihilangkan masih lebih rendah dibandingkan karbonatasi. Selain itu, sulfitasi akan menyebabkan korosi besi pada pipa-pipa. Karbonatasi dilakukan dengan menggunakan susu kapur dan gas CO2 sebagai bahan pembantu. Susu kapur yang ditambahkan pada cara ini lebih banyak dibandingkan cara sulfitasi, sehingga menghasilkan endapan yang lebih banyak. Kelebihan susu kapur yang terdapat pada nira dinetralkan dengan menggunakan gas CO2 (Muqidah, 2013). Metode ini menghasilkan kualitas gula putih lebih baik dari metode sulfitasi

dengan kadar warna ≤ 100 IU. Perbandingan GKP yang diproses dengan

menggunakan metode sulfitasi dan karbonatasi dapat dilihat pada Gambar 5.7. dan 5.8.

Gambar 5.7. GKP dengan Metode Sulfitasi

3. Tekanan vakum terlalu rendah

Tekanan vakum digunakan untuk menghampakan tangki pemasakan dengan tujuan untuk menghindari proses pemasakan yang terlalu lama. Proses pemasakan yang terlalu lama dapat memecah sukrosa sehingga terbentuk caramel yang berwarna gelap. Standar tekanan vakum berkisar antara 60 mmHg-76 mmHg. Namun pada proses produksi seringkali tekanan vakum terlalu rendah sehingga menyebabkan lamanya proses masakan sehingga warna nira menjadi gelap. Selain itu proses pemasakan yang terlalu lama juga dapat menyebabkan sulitnya proses kristalisasi yang menyebabkan gula mudah hancur saat proses putaran. Hal ini disebabkan oleh operator yang lalai dalam melihat display tekanan vakum. Oleh karena itu dibutuhkan pengawasan terhadap operator agar dapat bekerja secara optimum sehingga dapat mempercepat proses pemasakan.

4. Kadar air siraman

Pada proses pemutaran dilakukan pemisahan antara gula, stroop dan tetes untuk menghasilkan kristal dalam bentuk murni. Larutan yang masih menempel pada kristal dihilangkan dengan cara dibantu dengan siraman air untuk memperoleh kristal gula. Standar jumlah air untuk penyiraman larutan adalah 5% dari kapasitas putaran, namun pada proses produksi seringkali jumlah air yang diberikan terlalu banyak sehingga menyebabkan kristal hancur dan menjadi abu. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya peralatan yang memadai untuk proses penyiraman. Sistem penyiraman

penakaran air secara visual saja. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dengan cara meyediakan bejana penampung untuk air dengan kapasitas 5% dari kapasitas putaran.

Dokumen terkait