• Tidak ada hasil yang ditemukan

5) Tumpang tindih ( Overlay )

4.2 Pembangkitan Gelombang di Laut Dalam

4.4.3 Pengolahan dengan Digitasi

Hasil pengolahan citra menggunakan algoritma digunakan sebagai acuan atau batasan saat melakukan digitasi. Proses ini dilakukan agar dapat

menghasilkan data vektor garis pantai yang lebih baik dan mengacu pada hasil algoritma batas darat dan laut. Proses digitasi dilakukan secara langsung

(digitizing on screen) terhadap citra dengan menggunakan komposit kanal RGB 542 untuk memperoleh tampilan citra yang lebih jelas. Hasil digitasi citra yang ditumpang tindihkan dengan masing-masing citra tahun 1989 dan 2002

menghasilkan tampilan seperti ditunjukkan pada Gambar 33.

Gambar 33. Hasil tumpang tidih (overlay) pengolahan citra menggunakan digitasi dengan masing-masing citra tahun 1989 (kiri) dan 2001 (kanan)

diukur berdasarkan Mean Sea Level (MSL). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kerancuan posisi garis pantai yang selalu berubah-ubah karena pengaruh pasang surut air laut. Analisis pasang surut di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan data komponen pasang surut Dishidros pada stasiun Semarang karena dianggap paling dekat dengan Pekalongan dan Batang. Tipe pasang surut adalah kombinasi semi diurnal tide (pasang ganda harian) dan dan diurnaltide (pasang tunggal harian) dimana terdapat satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari. Tunggang pasang surut sebesar 1 m dengan tinggi muka air pada saat MSL adalah 60 cm. Data komponen pasang surut stasiun Semarang dapat dilihat pada Lampiran 11.

Perekaman citra Landsat 4 TM akuisisi data tanggal 21 Januari 1989 dilakukan pada pukul 09.45 waktu setempat pada saat tinggi muka air 42,1 cm. Perekaman citra dilakukan pada saat air laut surut dengan selisih 17,9 cm terhadap MSL, sehingga setelah dikoreksi terhadap MSL garis pantai citra tahun 1989 mundur ke arah daratan (Gambar 34a). Perekaman citra Landsat 7 ETM+ akuisisi data tanggal 5 Agustus 2002 dilakukan pada pukul 10.15 waktu setempat pada saat tinggi muka air 90,2 cm. Perekaman citra dilakukan pada saat air laut pasang dengan selisih 30,2 cm terhadap MSL, sehingga setelah dikoreksi terhadap MSL garis pantai tahun 2002 maju ke arah laut (Gambar 34b). Tinggi muka air pada saat perekaman citra ditunjukkan pada Lampiran 12. Koreksi garis pantai terhadap pasang surut pada tiap grid sepanjang garis pantai dapat dilihat pada Lampiran 13. Garis pantai hasil koreksi ini digunakan untuk analisis perubahan garis pantai.

(a)

(b)

Gambar 34. Posisi garis pantai citra tahun 1989 (a) dan 2002 (b) sebelum dan setelah koreksi terhadap pasang surut

tumpang tindih garis pantai citra tahun 1989 dan 2002 seperti ditunjukkan pada Gambar 35. Pada beberapa lokasi pantai Pekalongan dan Batang mengalami kemunduran (abrasi) dan kemajuan (akresi). Perubahan ini dapat dilihat pada hasil tumpang tindih garis pantai citra tahun 1989 (berwarna hitam) dan garis pantai citra tahun 2002 (berwarna merah). Besar kecilnya perubahan garis pantai ini dapat dilihat pada Gambar 36. Perubahan garis pantai khususnya pada lokasi A, B, C dan D (lokasi yang diberi kotak berwarna kuning) dapat dilihat pada perbesaran Gambar 35 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 37.

Gambar 35. Hasil tumpang tindih (overlay) garis pantai pengolahan citra

C A

B

Gambar 36. Jarak perubahan garis pantai hasil citra tahun 2002

(A) (B)

(C) (D)

Gambar 37. Perbesaran hasil tumpang tindih (overlay) garis pantai citra tahun 1989 dan 2002 pada lokasi A, B, C dan D

-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 30 270 510 750 990 1230 1470 1710 1950 2190 2430 2670 2910 3150 3390 3630 3870 4110 4350 4590 4830 5070 5310 5550 5790 Jar ak t egak l u ru s p an tai (m )

Jarak sepanjang pantai (m)

Laut

Darat

B C D

pantai tahun 1989. Perbesaran profil perubahan garis pantai pada lokasi A, B, C dan D ditunjukkan pada Gambar 37. Nilai positif pada Gambar 36 menunjukkan kemajuan (akresi) sedangkan nilai negatif menunjukkan kemunduran (abrasi). Pada Gambar 37, pada saat garis pantai berwarna hitam berada lebih ke arah laut dibandingkan yang berwarna merah, maka pantai menunjukkan kemunduran (abrasi) garis pantai. Sebaliknya pantai mengalami kemajuan (akresi) yang ditandai oleh lebih ke arah lautnya garis pantai yang berwarna merah.

Berdasarkan Gambar 36 dan 37, proses abrasi lebih dominan terjadi di pantai Pekalongan dan Batang dibandingkan akresi (sedimentasi). Hal tersebut ditunjukkan oleh jarak perubahan garis pantai yang sebagian besar bernilai negatif pada Gambar 36. Lokasi yang mengalami perubahan garis pantai terbesar

ditunjukkan oleh bagian yang diberi lingkaran kuning pada Gambar 37 .

Pada lokasi A, pantai mengalami kemuduran terbesar pada jarak ke-240 m (grid ke-8) yaitu sebesar 43,83 m. Pada jarak ke-690 m (grid ke-23) pantai mengalami akresi hingga sejauh 7,77 m. Kemuduran garis pantai lebih dominan pada lokasi B yaitu pada jarak ke-1980 m (grid ke-66) yaitu sebesar 53,42 m dan pada lokasi C pada jarak ke-3450 m (grid ke-115) yaitu sebesar 89,50 m dan sedangkan akresi terbesar pada jarak ke-3630 m (grid ke-121) sebesar 9,04 m. Pada lokasi D, pantai mengalami kemuduran yang cukup besar jarak ke-4530 m (grid ke-151) yaitu sebesar 22,52 m dan akresi pada pada jarak ke-5700 m (grid ke-190) yaitu sebesar 58,11 m.

Perubahan garis pantai yang cukup besar pada beberapa lokasi di pantai Pekalongan dan Batang dapat disebabkan oleh faktor lain seperti keberadaan muara sungai, pembukaan lahan tambak, pembabatan lahan mangrove, pembuatan bangunan pantai dan aktivitas manusia lainnya. Menurut Bapedalda Jawa Tengah (2002) dalam Dephut Provinsi Jawa Tengah (2006), tingkat abrasi di Pekalongan mencapai 6,1 Ha dan di Batang mencapai 2,5 Ha.

Penggunaan citra Landsat untuk melihat perubahan garis pantai memiliki beberapa kekurangan karena tingkat akurasi yang dihasilkan masih rendah. Hal ini dikarenakan resolusi citra yang tergolong dalam resolusi medium (30 m x 30 m) sehingga informasi yang bias dapat terjadi (seperti keberadaan muara sungai, dermaga, pelabuhan, breakwater, dan bangunan pantai lainnya yang kurang detail). Menurut Ruiz et al. (2007), citra Landsat memberikan dua kelebihan yaitu ketersediaan seri data citra (Landsat telah beroperasi sejak tahun1970-an) dan penggunaan citra Landsat dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan jika dibandingkan dengan citra resolusi tinggi. Selain itu, Ruiz juga menambahkan bahwa algoritma yang digunakan pada pemisahan darat dan laut tidak bersifat mutlak dan perlu adanya revisi untuk mengurangi dampak kesalahan sistematik yang diproyeksikan di laut.

Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil pengolahan garis pantai citra yaitu penentuan nilai digital untuk memisahkan darat dan laut, kemudian pendigitasian garis pantai yang kurang akurat karena dapat bersifat subjektif. Tidak dilakukannya analisis penutupan lahan di wilayah pantai juga dapat mempengaruhi hasil interpretasi data citra perubahan garis pantai.

pantai Pekalongan dan Batang selama empat belas tahun (1989-2002) ditunjukkan pada Gambar 38. Arah angkutan sedimen sepanjang pantai sebagian besar ke arah barat laut dan sebagian lagi ke arah tenggara. Angkutan sedimen bersih setiap tahun dominan ke arah barat laut. Hal tersebut dikarenakan orientasi pantai yang menghadap ke timur laut dan arah datang gelombang dominan berasal dari timur dan timur laut sehingga pada saat gelombang pecah di dekat pantai akan

membangkitkan angkutan sedimen sepanjang pantai ke arah barat laut. Gelombang yang berasal dari arah utara bukan merupakan gelombang yang dominan terjadi di pantai Pekalongan dan Batang, sehingga hanya sedikit angkutan sedimen yang menuju ke arah tenggara. Hasil perhitungan angkutan sedimen ini dapat dilihat pada Lampiran 14.

Gambar 38. Histogram laju angkutan sedimen total (m3/tahun) selama empat belas tahun (1989-2002) -5000 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 A ngk ut an se di m en se jaj ar pan tai (m 3/t ah u n ) Tahun

Netto Barat laut Tenggara

Ke Tenggara Ke Barat laut

Angkutan sedimen terbesar terjadi pada tahun 1991 sebesar 26440,10 m3 dan pada tahun 1997 sebesar 25422,50 m3 ke arah barat laut. Angkutan sedimen terendah terjadi pada tahun 1989 sebesar 6894,20 m3. Angkutan sedimen ke arah tenggara terbesar terjadi pada tahun 1994 sebesar 2522,10 m3. Arah angkutan sedimen bersih selama empat belas tahun (1989-2002) ke arah barat laut. Besar angkutan sedimen pada tahun tertentu dipengaruhi oleh tinggi gelombang pecah di dekat pantai yang terjadi pada tahun tersebut. Pada tahun 1991 dan 1997 terjadi gelombang di laut dalam dengan ketinggian gelombang yang cukup tinggi dari arah timur dan timur laut sehingga gelombang yang pecah di dekat pantai memiliki nilai yang cukup tinggi pula untuk membangkitkan angkutan sedimen sepanjang pantai yang besar ke arah barat laut. Pada tahun 1994 gelombang dari arah utara juga dominan terjadi sehingga menyebabakan angkutan sedimen yang besar ke arah tenggara.

Angkutan sedimen total sepanjang pantai Pekalongan dan Batang selama tahun (1989-2002) pada tiap lokasi ditunjukkan pada Gambar 39. Arah angkutan sedimen sepanjang pantai pada lokasi A, B, C dan D sebagian besar menuju ke arah barat laut dan hanya sebagian kecil yang ke arah tenggara. Besar angkutan sedimen ke arah barat laut dan tenggara dinyatakan dengan angkutan sedimen bersih. Angkutan sedimen terbesar terjadi di lokasi A, dibandingkan lokasi lainnya, sedangkan angkutan sedimen total terkecil pada lokasi D.

Angkutan sedimen bersih yang terbesar terjadi pada lokasi A yaitu sebesar 57269,50 m3/tahun sedangkan yang terkecil terjadi pada lokasi D yaitu sebesar 39046,40 m3/tahun. Arah angkutan sedimen bersih pada keempat lokasi adalah ke arah barat laut. Angkutan sedimen terbesar yang ke arah barat laut terjadi pada

tenggara terjadi pada semua lokasi hanya jumlahnya lebih kecil. Angkutan sedimen terbesar yang ke arah tenggara terjadi pada lokasi C yaitu sebesar

1336,90 m3/tahun dan pada lokasi D sebesar 1439,10 m3/tahun.

Gambar 39. Angkutan sedimen total (m3/tahun) setiap lokasi sepanjang pantai selama empat belas tahun (1989-2002)

Besar angkutan sedimen yang bervariasi pada tiap lokasi dipengaruhi oleh perbedaan tinggi gelombang pecah, sudut gelombang pecah dan kelerengan pantai pada tiap lokasi. Lokasi A, B dan C memiliki lereng pantai yang curam sehingga tinggi dan sudut gelombang pecah yang terjadi pada lokasi tersebut lebih besar lokasi D sehingga angkutan sedimen pada lokasi A, B dan C lebih besar dibandingkan lokasi D. Lokasi D yang lebih laindai sehingga tinggi dan sudut gelombang pecah lebih kecil dan angkutan sedimen yang dibangkitkan pada lokasi ini lebih kecil.

-10000 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D

Angk u tan s ed im en s ej aj ar gar is p an tai (m 3/t ah u n )

Netto Barat laut Tenggara Ke Tenggara Ke Barat laut

Fitrianto (2010) telah menghitung angkutan sedimen di sekitar jetty

Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Glayem-Juntinyuat Indramayu. Angkutan sedimen yang dibangkitkan oleh angin timur lebih besar dibandingkan angin dari tenggara. Angkutan sedimen yang dibangkitkan oleh angin timur bergerak ke arah barat laut dan sebagian kecil ke arah tenggara. Besarnya angkutan sedimen yang ke barat laut dibandingkan yang ke tenggara disebabkan oleh nilai gelombang pecah (Hb) angin dari timur lebih besar dari angin dari tenggara.

4.6 Model Perubahan Garis Pantai

Hasil model perubahan garis pantai yang ditumpang tindihkan dengan garis pantai awal (garis pantai citra tahun 1989) ditunjukkan pada Gambar 40.

Perubahan garis pantai dapat diamati dari posisi garis pantai model (garis pantai berwarna hitam) terhadap garis pantai awal (garis pantai berwarna merah) pada Gambar 40. Apabila posisi garis pantai awal lebih ke arah laut dibandingkan garis pantai model maka pantai mengalami abrasi dan sebaliknya pada akresi. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa selama tahun 1989 hingga 2002 sepanjang garis pantai Pekalongan dan Batang mengalami kemunduran (abrasi) dan kemajuan (akresi) pada beberapa titik tertentu sementara pada titik lainnya tetap atau tidak mengalami perubahan terhadap garis pantai awal.

Besarnya perubahan garis pantai hasil model terhadap garis pantai awal dapat dilihat pada Gambar 41. Nilai positif pada Gambar 41 menunjukkan kemajuan (akresi) sedangkan nilai negatif menunjukkan kemunduran (abrasi) garis pantai. Hasil simulasi model perubahan garis pantai Pekalongan dan Batang menunjukkan bahwa selama tahun 1989 hingga 2002 proses abrasi lebih dominan

Gambar 40. Tumpang tindih (overlay) garis pantai hasil citra dan model

Lokasi penelitian dikelompokkan menjadi empat lokasi kajian yaitu lokasi A, B, C dan D (lokasi yang diberi kotak berwarna merah pada Gambar 40) untuk keperluan analisis perubahan garis pantai sepanjang pantai Pekalongan dan Batang yang lebih rinci,. Perbesaran profil perubahan garis pantai hasil model pada lokasi A, B, C dan D dapat dilihat pada Gambar 42. Berdasarkan Gambar 41 dan 42 dapat dilihat pola perubahan garis pantai baik abrasi, akresi maupun garis pantai yang tetap tidak mengalami perubahan terhadap garis pantai awal pada tiap

C A

B

lokasi seperti yang telah ditunjukkan oleh Gambar 41. Perubahan garis pantai yang terjadi dilihat dari lokasi paling barat ke timur, pantai mengalami proses abrasi dan akresi di bagian barat (lokasi A), kemudian proses abrasi lebih dominan pada bagian tengah pantai (lokasi B dan C), sedangkan pada bagian timur (lokasi D) proses akresi lebih dominan terjadi.

Pada Gambar 42, garis pantai hasil model ditumpang tindihkan dengan garis pantai awal dan garis pantai hasil pengolahan citra tahun 2002. Garis pantai hasil model ditunjukkan oleh garis pantai berwarna hitam, garis pantai awal

ditunjukkan oleh garis pantai berwarna merah dan garis pantai citra tahun 2002 ditunjukkan oleh garis pantai berwarna biru.

Gambar 41. Jarak perubahan garis pantai hasil model terhadap garis pantai awal

-80 -60 -40 -20 0 20 40 60 30 270 510 750 990 1230 1470 1710 1950 2190 2430 2670 2910 3150 3390 3630 3870 4110 4350 4590 4830 5070 5310 5550 5790 Jar ak t egak l u ru s p an tai (m )

Jarak sepanjang pantai (m)

Laut

Darat

(A) (B)

(C) (D)

Gambar 42. Perbesaran hasil tumpang tindih garis pantai model dengan citra tahun 1989 dan 2002 (Gambar 39) pada lokasi A, B, C dan D

Pada lokasi A, pantai mengalami proses abrasi yang dominan pada beberapa sisi dan hanya sedikit akresi pada sisi lain. Abrasi terbesar terjadi pada jarak ke-1140 m (grid ke-38) sebesar 34,80 m, sedangkan akresi terbesar terjadi pada jarak ke-810 m (grid ke-27) sebesar 5,49 m. Lokasi A memiliki profil kelerengan pantai yang curam sehingga menyebabkan jarak gelombang pecah tidak jauh dari pantai dan membangkitkan angkutan sedimen yang besar pada lokasi tersebut. Selain itu, morfologi garis pantai awal lokasi A sedikit berkelok-kelok sehingga terdapat profil garis pantai yang sedikit menjorok ke laut dan ke darat dengan kontur

kedalaman perairan mengikuti pola garis pantai. Hal tersebut menyebabkan sudut gelombang pecah yang terjadi bervariasi pada tiap lokasi sehingga pola perubahan garis pantai yang terjadi ada yang mengalami abrasi dan akresi.

Pada lokasi B, pantai mengalami proses abrasi dominan dan tidak terjadi akresi. Abrasi terbesar terjadi pada jarak ke-2130 (grid ke-71) sebesar 46,29 m. Lokasi B memiliki profil kelerengan pantai yang curam seperti lokasi A sehingga gelombang pecah terjadi tidak jauh dari pantai. Selain itu, morfologi garis pantai awal dan kontur kedalaman lokasi B sedikit berkelok-kelok sehingga pada lokasi tertentu terdapat bagian yang sedikit menjorok ke laut menyebabkan jarak

gelombang pecah yang dekat dengan pantai. Gelombang pecah terus menghantam lokasi tersebut dan membangkitkan angkutan sedimen yang besar sehingga proses abrasi yang lebih dominan terjadi.

Pada lokasi C, pantai dominan mengalami abrasi dan hanya sedikit sekali akresi. Abrasi terbesar terjadi pada jarak ke-3450 (grid ke-115) sebesar 66,18 m, sedangkan akresi terbesar terjadi pada jarak ke-3630 (grid ke-121) sebesar 7,77 m. Lokasi C memiliki profil kelerengan pantai yang lebih curam dibandingkan lokasi A dan B sehingga jarak gelombang pecah lebih dekat dengan pantai. Pada

beberapa lokasi tertentu, morfologi garis pantai awal dan kontur kedalaman lokasi C sedikit berkelok sehingga sudut gelombang pecah yang terjadi bervariasi pada tiap lokasi dan membangkitkan angkutan sedimen yang pada lokasi tersebut menyebabkan abrasi yang besar dan hanya sedikit yang mengalami akresi.

Pada lokasi D pantai mengalami proses akresi dan abrasi. Abrasi terbesar terjadi pada jarak ke-4530 (grid ke-151) sebesar 13,03 m, sedangkan akresi terbesar terjadi pada jarak ke-5700 (grid ke-190) sebesar 39,19 m. Lokasi D

lainnya. Morfologi garis pantai awal lokasi D cenderung stabil dan sedikit

berkelok di bagian timur. Namun pada beberapa lokasi tertentu kontur kedalaman sedikit berkelok dan jarak gelombang pecah lebih dekat dengan pantai sehingga angkutan sedimen yang dibangkitkan pada lokasi ini menyebabkan proses abrasi sedangkan pada lokasi lainnya mengalami proses akresi yang lebih dominan.

Besar perubahan garis pantai suatu lokasi dipengaruhi oleh profil kelerengan pantai, kontur kedalaman perairan di dekat pantai dan morfologi garis pantai di lokasi tersebut. Ketiga faktor tersebut mempengaruhi tinggi dan jarak gelombang pecah yang terjadi di dekat pantai yang menentukan besarnya kecilnya angkutan sedimen yang dibangkitkan pada lokasi tersebut. Hal tersebut sesuai dengan yang diperoleh Rosul (2006) bahwa gerakan transpor sedimen yang terjadi di pantai Pekalongan mendapat pengaruh dari angin signifikan yang bertiup dari arah timur terutama pada musim timur.

Secara umum, hasil model perubahan garis pantai ini telah memperlihatkan pola perubahan garis pantai Pekalongan dan Batang yang dihitung berdasarkan proses-proses dinamika oseanografi yang terjadi di dekat pantai. Komponen-komponen yang mempengaruhi perubahan garis pantai tersebut berbeda-beda pada tiap-tiap lokasi tergantung pada karakteristik profil pantai dan aksi gelombang di pantai.

Hasil tumpang tindih garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 seperti yang diperlihatkan pada Gambar 42, menunjukkan bahwa pola perubahan garis pantai yang ditunjukkan hasil model dan citra yang hampir sama dan tidak jauh

berbeda. Namun pada beberapa titik garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 masih terdapat perbedaan. Garis pantai citra tahun 2002 menunjukkan perubahan garis pantai yang lebih besar dibandingkan yang ditunjukkan hasil model terhadap garis pantai awal. Perbandingan terbesar perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 relatif terhadap garis pantai awal pada tiap lokasi A, B, C dan D hasil tumpang tindih Gambar 42 ditunjukkan pada Tabel 10. Koordinat garis pantai dan selisih hasil model dan hasil pengolahan citra tahun 2002 per grid ditunjukkan pada Lampiran 15.

Tabel 10. Perbandingan perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 terhadap garis pantai awal (garis pantai citra tahun 1989)

Lokasi Abrasi (m) Akresi (m) Selisih (m) No.

Grid

Model Citra No. Grid

Model Citra Abrasi Akresi A 8 34,80 43,29 27 1,00 5,49 8,49 4,49 B 71 46,29 41,14 - - - 5,15 - C 115 66,18 89,50 121 7,33 9,04 23,32 1,71 D 151 13,03 22,52 190 39,19 58,11 9,49 18,92

Hasil model perubahan garis pantai pada lokasi A menunjukkan proses abrasi dan akresi yang hampir sama dengan pola garis pantai citra tahun 2002. Garis pantai model mengalami abrasi sebesar 34,80 m pada grid ke-8 sedangkan garis pantai citra tahun 2002 mengalami abrasi sebesar 43,29 m, selisih antara garis pantai model dan citra tahun 2002 sebesar 8,49 m. Garis pantai model mengalami akresi sebesar 1,00 m pada grid ke-27 sedangkan garis pantai citra tahun 2002 sebesar 5,49 m, dengan selisih 4,49 m.

Pada lokasi B, baik model dan citra tahun 2002 mendeteksi kejadian akresi dan abrasi pada titik grid yang sama. Model dan citra tahun 2002 mendeteksi abrasi pada grid ke-71, garis pantai model mengalami abrasi sebesar 46,29 m sedangkan garis pantai citra tahun 2002 sebesar 41,14 m, selisih model dan citra

Pada lokasi C, model mendeteksi proses abrasi dan akresi, sedangkan garis pantai citra tahun 2002 menunjukkan hanya terjadi proses abrasi pada lokasi tersebut. Kejadian abrasi pada grid ke-115 hasil garis pantai model sebesar 66,18m dan citra tahun 2002 sebesar 89,50 m, selisih antara garis pantai model dan citra tahun 2002 sebesar 23,32 m. Hasil model menunjukkan proses akresi sebesar 6,1m pada grid ke-102 sementara citra tidak mengalami akresi.

Pada lokasi D, baik model dan citra tahun 2002 mendeteksi proses abrasi dan akresi pada lokasi tersebut. Kejadian abrasi pada grid ke-151, garis pantai model menunjukkan perubahan garis pantai sebesar 13,03 m sedangkan garis pantai citra tahun 2002 sebesar 22,52 m, selisih antara garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 sebesar 9,49 m. Kejadian akresi pada grid ke-190, garis pantai model mengalami abrasi sebesar 39,19 m sedangkan garis pantai citra tahun 2002 sebesar 58,11 m, selisih antara perubahan garis pantai model dan citra tahun 2002 sebesar 18,92 m.

Secara umum perubahan garis pantai model menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan citra tahun 2002. Selisih terbesar antara garis pantai model dan citra tahun 2002 yaitu sebesar 23,32 m pada grid ke-115 di lokasi C. Selisih antara hasil model dan citra ini dianggap masih dapat ditoleransi karena data citra yang digunakan memiliki resolusi spasial 30 x 30 m per piksel, sehingga perubahan garis pantai yang ditunjukkan oleh hasil model masih berada dalam satu piksel citra. Hasil model menunjukkan pola perubahan garis pantai yang sama dengan citra tahun 2002, meskipun masih terdapat selisih besar perubahan

garis pantai. Misalnya pada grid ke-21 dan 22 di lokasi A, hasil model garis pantai menunjukkan akresi sementara citra tahun 2002 tidak menunjukkan akresi.

Namun perubahan garis pantai atau abrasi pada lokasi ini lebih rendah dibanding titik grid di sekitarnya yang mengalami abrasi yang besar.

Garis pantai hasil pengolahan citra tahun 2002 menunjukkan perubahan yang lebih besar dibandingkan garis pantai hasil model. Hal tersebut diperkirakan karena pengaruh faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam model. Model garis pantai ini hanya menghitung perubahan garis pantai karena proses angkutan sedimen sepanjang pantai yang dibangkitkan oleh gelombang pecah dari laut dalam. Model ini merupakan penyederhanaan dari proses perubahan garis pantai disebabkan oleh faktor oseanografis yang komplek di alam. Proses oseanografis di alam yang kompleks tidak semuanya dapat diikutsertakan dalam model.

Dari hasil survei susur pantai, pada bagian barat pantai mengalami abrasi yang cukup besar. Pada lokasi paling barat pantai terdapat bangunan pantai (jetty) di PPN Pekalongan dan pada lokasi paling barat pantai terdapat bangunan pantai di muara Sambong yang tidak dimasukkan dalam obyek kajian model perubahan garis pantai ini. Secara teoritis, dengan gelombang dominan dari arah timur dan timur laut dan adanya bangunan pantai tersebut, seharusnya pantai bagian barat dominan mengalami akresi dan pantai bagian timur mengalami abrasi. Adanya bangunan pantai di sisi barat akan menghalangi pergerakan sedimen di lokasi tersebut, sehingga proses angkutan sedimen menjadi tertahan dan pantai

mengalami akresi. Pada sisi timur adanya bangunan pantai menyebabkan masukan sedimen menjadi terhalang dan terjadinya gerakan eddy, sehingga terjadi proses abrasi. Akan tetapi baik hasil model maupun citra menunjukkan hasil perubahan

mempengaruhi angkutan sedimen pada lokasi tersebut. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh faktor lain seperti perubahan morfologi maupun vegetasi pantai, penggunaan lahan pesisir, penambangan pasir, penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.

Pada bagian tengah pantai baik hasil model maupun garis pantai citra tahun 2002 menunjukkan proses abrasi yang besar. Perubahan garis pantai yang

ditunjukkan hasil model tidak sebesar perubahan garis pantai citra tahun 2002.

Dokumen terkait