• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Pengolahan Hasil Perikanan Tangkap

Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya murah. Ikan juga merupakan salah satu komoditi ekspor yang sangat potensial di Indonesia (Satria,2009). Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati adalah penyebab pembusukan tersebut. Oleh sebab itu pengawetan ikan perlu diketahui oleh semua lapisan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Pengawetan ikan secara tradisional bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak.

Untuk mendapatkan hasil awetan yang bermutu tinggi diperlukan perlakukan yang baik selama proses pengawetan seperti : menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan, menggunakan ikan yang masih segar, serta garam yang bersih. Ada bermacam-macam pengawetan ikan, antara lain dengan cara: penggaraman, pengeringan, pemindangan, pengasapan, peragian, dan pendinginan ikan. Mutu olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya.

Perempuan nelayan mempunyai peran penting dalam pengolahan hasil perikanan, karena pada umumnya mereka ikut membantu suami mereka untuk mencari penghasilan tambahan bagi kebutuhan keluarga. Hasil suatu kajian menunjukkan bahwa 79,3 % perempuan pesisir terlibat dalam aktifitas mencari nafkah untuk keluarga. Selama ini perempuan pesisir bekerja menjadi pembakul, pengumpul, pengolah, pembersih perahu, membuat atau memperbaiki alat tangkap, pedagang ikan, dan warung. Sama seperti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perempuan yang terdapat di Desa Tambak Lekok, Pasuruan selama ini untuk tambahan penghasilan dalam rumah tangga nelayan (Dani et al. 1999). Banyak data diperoleh yang menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan pesisir bekerja sebagai pedagang dan pengolah ikan namun pendidikan serta

pengetahuan perempuan dalam mengelola lingkungan masih rendah (Safitri dan Dewi, 2003).

Beberapa usaha produktif yang dilakukan oleh perempuan nelayan dalam perikanan tangkap adalah: tepung ikan, pemindangan ikan, pengasinan ikan, pengeringan ikan, kerupuk, terasi, pengasapan ikan, fillet ikan, dan nugget ikan.

2.3.1 Akses dan Kontrol terhadap Sumber Daya Perikanan Tangkap

Akses adalah peluang yang dapat diperoleh perempuan dan laki-laki untuk melakukan sesuatu, memiliki sesuatu, menikmati sesuatu (Handayani dan Sugiarti, 2001). Sementara kontrol menyangkut sejauh apa perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan atau kemampuan dalam proses pengambilan keputusan dalam suatu hal. Akses ke berbagai sumber daya ditentukan oleh perbedaan gender dalam pengetahuan tentang sumber daya dan bagaimana menggunakannya. Perbedaan tersebut bergantung pada tradisi dan lingkungan sosial ekonomi masyarakat yang bersangkutan.

Akses dan kontrol perempuan pada sumber daya, termasuk lingkungan, di Indonesia masih tergolong rendah. Akses dan kontrol masih didominasi oleh kaum laki-laki. Pemerintah juga masih terlihat kurang melibatkan perempuan dalam program-program yang ada. Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah penelitian yang dilakukan oleh Safitri dan Dewi (2003) pada masyarakat Banawa Selatan. Penelitian ini menyatakan bahwa kearifan lokal kaum perempuan dalam melestarikan hutan di Banawa Selatan tidak lagi dianggap penting karena pengetahuan perempuan dalam menentukan pohon apa yang cocok untuk reboisasi pada tanah mereka diabaikan. Penelitian yang dilakukan pada masyarakat Uiasa (Soewarlan dan Ninef, 2000) juga memperlihatkan rendahnya akses dan kontrol perempuan terhadap informasi. Hal tersebut dapat dilihat dari pengambilan kayu bakar di hutan yang tidak terkontrol karena tidak menerapkan sistem tebang-pilih berdasarkan norma konservasi. Kekurang terlibatan perempuan dalam pengelolaan sumber daya pesisir secara nyata dikarenakan faktor budaya yang menganggap perempuan adalah golongan subordinat dan laki-laki adalah buffer informasi untuk keluarganya.

Belum ada literatur yang secara pasti menyebutkan jenis sumber daya yang dapat diakses dan dikontrol dalam pengolahan hasil perikanan tangkap. Peneliti membagi sumber daya tersebut berdasarkan tiga tahapan pengolahan, yaitu: input, proses, dan hasil. Sumber daya yang dimaksudkan adalah bahan baku, fasilitas yang disediakan untuk pengolah, dan upah untuk pengolah. Indonesia telah meratifikasi CEDAW yang dituangkan dalam UU nomor 7 tahun 1984 (Kalyanamedia, 2005), oleh karena itu Indonesia mempunyai kewajiban secara politis untuk mengimplementasi pasal-pasal yang terdapat di dalamnya. Termasuk keadilan dan kesetaraan yang seharusnya terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat nelayan.

2.3.2 Kendala Perempuan Nelayan dalam Pengolahan Perikanan Tangkap Perempuan nelayan dalam tugasnya mengelola hasil perikanan tangkap, seringkali dihadapi oleh kesulitan dalam memproduksi dengan mutu tinggi. Perolehan mutu yang tinggi sangat berkaitan dengan mutu bahan baku yang dipakai dalam produksi. Pengelolaan hasil perikanan tangkap yang dilakukan oleh perempuan pesisir sebenarnya menaikkan nilai ekonomis ikan-ikan yang bernilai jual rendah. Dengan demikian, sudah seharusnya seluruh pihak memperhatikan apa saja yang menjadi kendala para perempuan pesisir dalam pengolahan perikanan tangkap yang bermutu.

Berikut adalah beberapa kendala yang dihadapi oleh para perempuan nelayan dalam mengolah hasil perikanan tangkap :

a. Ketersediaan bahan baku

Selama ini masyarakat nelayan beranggapan bahwa sumber daya laut yang terkandung di dalamnya merupakan sumber daya yang tidak akan pernah habis dimanfaatkan oleh manusia dan lautan memiliki daya tampung yang tidak ada batasnya sehingga dianggap sebagai tempat pembuangan sampah dan sisa lainnya sepanjang masa, oleh karena itu usaha pelestarian di dalam lingkungan lain dianggap tidak perlu (Resosudarmo et al. 1998). Pemikiran seperti itu dalam masyarakat pesisir sebetulnya salah, karena sebenarnya sumber daya laut memiliki batas-batas tertentu untuk dimanfaatkan oleh manusia (Nanlohy, 1986).

Kurangnya bahan baku untuk diolah yang dialami oleh perempuan pesisir sebetulnya disebabkan oleh kelestarian lingkungan pesisir yang tidak dapat mereka jaga. Sebagai contoh adalah pembuatan tambak-tambak yang dilakukan pada lingkungan pesisir. Pembuatan tambak tersebut secara langsung menghilangkan hutan mangrove yang seharusnya berfungsi dalam produktivitas perikanan. Hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Dit. Bina Pesisir 2004 (http://www.dephut.go.id diakses pada tanggal pada tanggal 19 Maret 2011), menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan. Semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat karena hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Limbah dan sampah masyarakat sendiri juga yang menyebabkan penurunan produktivitas hasil tangkapan, karena limbah dan sampah yang mencemari aliran air di wilayah pesisir berdampak pada eksistensi hutan mangrove yang ada.

Pada kecamatan Blanakan terlihat bahwa warna air berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau yang menyengat. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa wilayah aliran air di pesisir Blanakan telah tercemar dan pencemaran tersebut berdampak pada berkurangnya produktivitas hasil perikanan tangkap.

b. Keterbatasan pengetahuan

Perempuan di dalam masyarakat Indonesia masih dianggap kaum subordinat apabila dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut mengakibatkan minimnya pengetahuan dan pendidikan perempuan di lingkungan pesisir. Selama ini segala informasi tentang lingkungan dan pengelolaan sumber daya pesisir yang seharusnya dimiliki oleh perempuan lebih banyak diberikan pada laki-laki, salah satu yang menimbulkan hal tersebut adalah masih melekatnya budaya patriarki dalam kehidupan keluarga masyarakat pesisir (Harahap dan Abidin, 2003).

Kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan pada Pesisir Blanakan menyebabkan tidak terkelolanya lingkungan pesisir dengan sustainable. Hal ini dapat terlihat dari pencemaran-pencemaran yang terdapat dalam pesisir Blanakan, yang ditandai dengan keruhnya aliran air wilayah tersebut. Limbah-limbah hasil industri pengolahan perikanan, banyak yang dibuang langsung ke

laut tanpa penyaringan terlebih dahulu. Padahal wilayah pesisir yang tercemar mengakibatkan penurunan produktivitas perikanan yang akan berdampak pada pengolahan hasil perikanan perempuan-perempuan nelayan Blanakan, yang secara langsung mengakibatkan turunnya tingkat ekonomi nelayan.

c. Perhatian pihak-pihak terkait

Alternatif pemberdayaan dan campurtangan pihak-pihak terkait seringkali tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat nelayan pada umumnya dan perempuan nelayan khususnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahyono et al. (2001) terhadap nelayan yang terdapat di Cirebon, maka seharusnya alternatif pemberdayaan nelayan adalah, sebagai berikut:

1) Adanya keberadaan lembaga yang menggantikan tengkulak, dengan didirikannya bank rakyat yang dapat memberikan kredit sesuai dengan kemampuan nelayan yang memiliki siklus pendapatan yang tidak pasti.

2) Mengembangkan kepemilikan alat tangkap secara kolektif. 3) Meningkatkan peran KUD dan TPI.

4) Adanya aturan tertulis tentang bagi hasil dan pengupahan nelayan maupun pengolah.

5) Meningkatkan pengolahan pasca panen dan diversifikasi usaha perikanan.

Dokumen terkait