• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan dan Interpretasi Data

Pengolahan data satwa dilakukan untuk menghasilkan informasi frekuensi perjumpaan relatif (FR), kelimpahan relatif (KR), indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’), indeks kemerataan jenis (evenness) dan [jika diperlukan] indeks kemiripan antar komunitas (indeks Sorensen) untuk membandingkan dua komunitas secara spasial ataupun temporal. Data juga dapat diklasifikasikan sehingga mem-berikan informasi yang mudah dipahami dan berguna untuk pengambilan keputusan (Gunawan, in press).

Indeks keanekaragaman jenis dihitung dengan rumus dari Shannon (H’) yaitu (Magurran, 1988.):

pi pi H' ln yang mana N ni pi

pi ialah perbandingan antara jumlah individu spesies ke i dengan jumlah total individu. Logaritma yang digunakan ialah logaritma dasar 10 atau Ln (logaritma natural). Rumus ini dapat diubah menjadi (Soegianto, 1994):

 

N ni ni N N H

ln ln '

Untuk mengetahui struktur komunitas dalam setiap tipe habitat, nilai kemerataan antarjenis atau indeks evenness (E) dihitung dengan rumus sebagai berikut (Odum, 1994):

S

H

E

ln

'

yang mana A ialah kelimpahan (Abundance),

ni ialah jumlah individu spesies I, dan L ialah luas areal yang disurvei (dalam hektar atau km2).

Indeks kemiripan komunitas (Similarity Index) atau dike-nal dengan nama Indeks Sorensen antara dua sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Odum, 1994):

B

A

C

SI

2

SI ialah indeks kemiripan komunitas, A ialah jumlah jenis dalam sampel A, B ialah jumlah jenis dalam sampel B, dan C ialah jumlah jenis yang sama pada kedua sampel. Dengan demikian, indeks ketidaksamaan ialah 1 - S. Nilai indeks kemiripan komunitas berkisar antara 0–1. Semakin tinggi nilai indeks kemiripan komunitas antara dua sampel maka semakin miriplah kedua sampel tersebut, demikian pula sebaliknya.

Kelimpahan (abundance) yang sering disimbolkan dengan “N” ialah jumlah individu pada suatu wilayah yang sedang diteliti. Kelimpahan Relatif merupakan nilai relatif dari suatu jenis (spesies) terhadap total individu seluruh jenis yang sedang diteliti. Nilai ini bermanfaat untuk meng-gambarkan keadaan komunitas satwa liar di suatu wilayah studi yang tidak diketahui luasnya atau untuk studi yang kurang intensif. Kelimpahan suatu jenis pada suatu areal yang disurvei dihitung dengan formula:

L

ni

A

yang mana RA ialah kelimpahan relatif, ni ialah kelimpahan atau jumlah individu spe-sies i dan N adalah kelimpahan total atau jumlah seluruh individu dari seluruh spesies.

yang mana FOi ialah frekuensi perjumpaan (Frequency of Occurance), fi ialah jumlah perjumpaan suatu spesies (i), A ialah luas areal yang disurvei (hektar atau km2) dan T ialah lamanya waktu pengamatan (menit atau jam).

Kelimpahan Relatif dihitung dengan formula.

%

100

x

N

ni

RA

Dalam setiap survei satwa, seringkali kita perlu menun-jukan hasil kuantitatif yang bisa menggambarkan kondisi populasi atau komunitas satwa. Frekuensi perjumpaan atau frequency of occurance dapat menggambarkan seberapa sering atau seberapa mudah kita menjumpai suatu jenis satwa. Semakin tinggi nilai relatif frekuensi perjumpaan suatu jenis satwa, semakin mudah kita menjumpainya di areal tersebut. Frekuensi perjumpaan bisa berbasis luas areal pengamatan (jumlah perjumpaan pada suatu luasan wilayah pengamatan), atau bisa juga berbasis lamanya waktu pengamatan (jumah perjumpaan selama waktu pengamatan). Dengan demikian, nilai FR bisa menjadi petunjuk sebaran satwa, baik secara spasial (ruang) maupun temporal (waktu). Formula untuk meng-hitung frekuensi perjumpaan yaitu:

A fi

FO

i

atau T fi

FO

i

Yang mana FRi ialah frekuensi per-jumpaan relatif suatu spesies (i), fi ialah frekuensi atau jumlah perjum-paan dengan spesies i, dan F ialah total frekuensi perjumpaan seluruh spesies.

Formula yang digunakan untuk mendapatkan nilai frekuensi relatif sebagai berikut:

% 100 x F fi

FR

i

Interpretasi data satwa juga dibuat klasifikasi untuk memberikan informasi yang lebih sesuai dengan tujuan memudahkan pengambilan keputusan. Klasifikasi data satwa, khususnya burung, antara lain berdasarkan (Gunawan, in press):

 Kelompok makanan (feeding guilds).  Spesialisasi habitat: daratan dan perairan.

 Sifat tinggal: resident (penghuni tetap) dan migran lo-kal atau migran antar benua.

 Status endemisitas: endemik dan eksotik (tidak ende-mik).

 Status asal/keaslian: asli dan introduksi.

 Pemanfaatannya: komersial dan tidak komersial.  Status konservasi, seperti status perlindungan

berdasarkan PP 7/1999 (dilindungi/tidak dilindungi), status berdasarkan Appendix CITES (Appendix I, II, III atau Non-Appendix), dan status menurut Redlist IUCN.

 Berdasarkan tipe habitat yang diteliti, misalnya kebun, sawah, lahan terbuka, hutan tanaman monokultur, hutan tanaman campuran, hutan alam sekunder, hutan alam primer, dan lain-lain.

 Lainnya; misalnya berdasarkan prioritas konservasi nasional, prioritas konservasi daerah, maskot kabu-paten, maskot provinsi, maskot nasional, atau merupakan spesies kunci (keystone species), spesies payung (umbrella species), serta spesies bendera (flag species).

Klasifikasi berdasarkan feeding guilds untuk burung meliputi burung-burung pemakan daun disebut frugivora, pemakan biji disebut granivora, dan pemakan nektar disebut nektivora. Burung pemangsa satwa lain disebut karnivora atau raptor, pemangsa ikan disebut piscivora dan dan pemakan serangga disebut insektivora. Untuk bangsa satwa mamalia umumnya dikelompokkan menjadi herbivora (pemakan bagian tumbuhan), karnivora (pemangsa satwa lain), dan omnivora (pemakan segala). Berdasarkan spesialisasi habitatnya, burung-burung dikelompokkan menjadi burung daratan (terrestrial bird) yaitu burung yang sebagian besar hidupnya di daratan dan mencari makan di daratan dan burung air (water bird) yaitu burung yang sebagian besar hidupnya di perairan atau dalam mencari makan tergantung pada keberadaan perairan (umumnya makanannya ada di air, seperti ikan, udang, dan hewan air lainnya).

Klasifikasi berdasarkan status tinggal, yaitu satwa resident (penghuni tetap), migran lokal atau migran antar benua. Satwa penetap (resident) ialah satwa yang menempati habitat yang sama sepanjang tahun. Satwa migran lokal ialah satwa yang melakukan perpindahan dalam jarak yang dekat (beberapa kilometer) dari dan ke tempat berkembang biak (breeding). Satwa migran afrotropica ialah satwa yang berpindah cukup jauh dalam wilayah afrotropica (misalnya kebanyakan burung kukuk). Satwa migran paleartic adalah satwa yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di wilayah afrotropica tetapi bermigrasi ke wilayah paleartic untuk berkembang biak. Berdasarkan status endemisitasnya, satwa-satwa dapat dikelompokkan menjadi satwa endemik dan eksotik atau introduksi. Spesies endemik ialah satwa yang hidup di alam hanya pada suatu tempat, di saat sekarang dan masa lalu (Adisoemarto & Rifai, 1992). Spesies eksotik ialah spesies yang telah diintroduksi ke suatu tempat atau yang telah mengolonisasi suatu daerah dari tempat lain di masa lalu (Adisoemarto & Rifai, 1992).

Berdasarkan status asal atau keasliannya, satwa-satwa dikelompokkan menjadi satwa asli (indigenous) atau intro-duksi (didatangkan dari tempat lain). Spesies asli ialah spesies pribumi dan terdapat alami di suatu daerah. Berdasarkan pemanfaatannya, satwa dapat dikelompok-kan menjadi satwa komersial dan nonkomersial. Satwa

komersial ialah satwa yang memiliki nilai ekonomi dan diperdagangkan.

Klasifikasi berdasarkan Red List IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) versi 3.1 untuk satwa liar didasarkan pada tingkat keteran-camannya, mulai dari yang paling gawat hingga yang paling ringan dengan kategori sebagai berikut:

 Extinct (EX) = punah

 Extinct in the Wild (EW) = punah di alam  Critically Endangered (CR) = kritis

 Endangered (EN) = terancam  Vulnerable (VU) = rentan

 Near Threatened (NT) = mendekati terancam  Least Concern (LC) = kurang mendapat perhatian

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perda-gangan internasional spesies tumbuhan dan satwa liar terancam adalah perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union International Union for the Conser-vation of Nature and Natural Resources (WCU-IUCN) tahun 1963. Konvensi bertujuan mengendalikan perda-gangan flora dan fauna yang terancam kepunahan dan melindunginya terhadap perdagangan internasional yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978.

CITES menetapkan berbagai tingkatan proteksi terhadap lebih dari 33.000 spesies terancam yang dicantumkan dalam apendiks yang terdiri atas tiga apendiks, yaitu:

Apendiks I (sekitar 800 spesies) berisi daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dila-rang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Spesies yang dimasukkan ke dalam kategori ini ialah spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas tergolong ilegal (diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa).

Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I namun merupakan hasil penangkaran atau budi daya dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan Non-Detriment Finding (NDF) berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang dan memastikan negara peng-impor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak.

Satwa yang dimasukkan ke dalam Apendiks I, misal-nya harimau dan subspesiesnya, macan tutul, gajah Asia, dan semua spesies badak di Indonesia.

Apendiks II (sekitar 32.500 spesies) berisi daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan

Spesies dalam Apendiks II tidak segera terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar dan perdagangan terus berlanjut. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.

Apendiks III (sekitar 300 spesies) berisi daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitat-nya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I.

Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III ialah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan

Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (CoO).

Flagship species ialah spesies yang dipilih untuk meng-gambarkan kondisi lingkungan atau ekosistem yang membutuhkan upaya konservasi. Spesies ini dipilih karena kerentanan, daya tarik, atau keunikannya dalam rangka membangkitkan dukungan dan penghargaan publik bagi konservasi keseluruhan ekosistem dan spesies di dalam-nya. Contoh flagship species yaitu panda raksasa, orang-utan, gajah afrika, harimau india, monyet tamarin rambut emas, penyu belimbing, dan gorila gunung.

Spesies kunci (keystone species) merupakan spesies yang memiliki pengaruh besar pada lingkungannya, memenga-ruhi banyak organisme lain dalam ekosistem, dan menentukan tipe dan jumlah berbagai spesies dalam suatu komunitas. Banyak hewan pemangsa merupakan spesies kunci, seperti macan tutul di Jawa dan harimau di Suma-tera.

Spesies payung (umbrella species) ialah spesies yang dipilih dalam rangka pembuatan keputusan konservasi. Mengingat sulitnya menentukan status dari banyak spesies, pemilihan satu spesies payung dapat memudah-kan pengambilan keputusan konservasi. Segala upaya konservasi terhadap spesies payung akan berdampak positif (mengonservasi) juga bagi spesies lain. Spesies payung dapat digunakan membantu memilih lokasi yang sesuai untuk pencagaran, menentukan luasnya dan mengetahui komposisi, struktur, dan proses-proses eko-sistem. Contoh spesies payung, yaitu harimau india, harimau sumatera, orangutan kalimantan, dan elang jawa.

Hasil klasifikasi lebih menarik dan cepat dimengerti jika disajikan dalam bentuk tabel, gambar atau grafik, misalnya grafik pie, grafik line, atau histogram batang. Penyajian daftar jenis satwa dalam tabel sebaiknya disusun sistematik yang mencantumkan famili, genus, dan spesies.

Tabel 5. Contoh penyajian hasil olahan data satwa dalam bentuk tabel

Lokasi Jumlah Jenis Burung Indeks Keragaman Jenis (H') Indeks Evenness (E) Kalitengah Lor 13 1.94 0.76 Balerante 15 2.36 0.87 Deles Kemalang 14 2.02 0.77 Srumbung 18 2.40 0.83 Sumber: Gunawan et al. (2012)

Tabel 6. Contoh penyajian data indeks indeks kemiripan komunitas burung Lokasi Kalitengah Lor Balerante Deles Kemalang Srum- bung Kalitengah Lor - 0.54 0.37 0.26 Balerante - 0.69 0.42 Deles Kemalang - 0.31 Srumbung - Sumber: Gunawan et al. (2012)

Sumber: Gunawan et al., 2012

Gambar 6. Contoh penyajian hasil olahan data satwa dalam bentuk grafik pie

Sumber: Gunawan et al., 2005

Gambar 8. Berang-berang jawa (Aonyx cinereus) yang ter-tangkap camera trap di Taman Kehati PT. Tirta Investama Lido

I. Pelaporan

Hasil monitoring satwa dilaporkan kepada Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi atau Kabupaten (selaku Pem-bina Taman Kehati), Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor (selaku otoritas penelitian keanekaragaman hayati dan ekosistem), dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat selaku otoritas manajemen keanekaragaman hayati dan ekosistem, khususnya jenis langka dan/atau dilindungi. Rekapitulasi laporan moni-toring satwa dapat disajikan seperti format berikut.

Tabel 9. Form rekapitulasi laporan monitoring satwa

LAPORAN MONITORING SATWA

Nama Taman Kehati Lokasi Desa/Kec/Kab Petugas yang Memonitor Tanggal/Bulan/Tahun Jam Kondisi Cuaca HASIL MONITORING Tujuan Monitoring Obyek Monitoring Indikator

A. Kekayaan Spesies Sebelumnya Sekarang 1. Total spesies 2. Mamalia 3. Reptilia 4. Amfibia 5. Aves B. Indeks

Keaneka-ragaman Sebelumnya Sekarang

1. Total spesies 2. Mamalia 3. Reptilia 4. Amfibia

C. Indeks Kemerataan Sebelumnya Sekarang 1. Total spesies 2. Mamalia 3. Reptilia 4. Amfibia 5. Aves

Metode Transek dan IPA

Peralatan Binokuler, Kamera Lokasi Monitoring (Blok)

Periode Monitoring Januari-Juni / Juli-Desember Pihak yang Dilapori Badan Pengelola Lingkungan Hidup; Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan; Balai Konservasi Sumber Daya Alam

METODE MONITORING

KEANEKARAGAMAN HAYATI FLORA

Memonitor perkembangan komunitas tumbuhan di Taman Kehati sangat penting karena tumbuhan merupakan komponen pokok dari suatu ekosistem. Hal ini karena tumbuhan merupakan produsen utama dalam ekosistem yang dikonsumsi oleh konsumen pertama yaitu satwa-satwa herbivora. Selanjutnya, satwa-satwa herbivora dimakan oleh satwa karnivora pertama, dan satwa karnivora pertama dimakan oleh karnivora kedua atau karnivora puncak yang kemudian mati dan diuraikan oleh organisme pengurai (detritus) atau dimakan oleh pemakan bangkai (scavenger). Pada akhirnya, scavenger mati diuraikan oleh detritus dan menghasilkan unsur hara yang dikonsumsi kembali oleh tumbuh-tumbuhan. Demikian seterusnya, siklus rantai makanan (food chain) terjadi dalam suatu ekosistem.

Mengetahui status komunitas tumbuhan atau vegetasi di suatu ekosistem dapat menjadi prediksi bagi kondisi satwa-satwa yang menjadi konsumen tumbuhan, misalnya satwa pemakan daun, buah, biji, pucuk, nektar, dan umbi. Terdapat interaksi dan keterkaitan atau saling keter-gantungan antara unsur tumbuhan dan satwa liar. Oleh

karena itu, memonitor satwa liar berarti juga memonitor habitatnya. Dalam hal ini, tumbuhan merupakan bagian utama dari habitat satwa liar tersebut.

A. Tujuan

Monitoring keanekaragaman hayati flora atau tumbuhan bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi flora atau tumbuhan dari waktu ke waktu di Taman Kehati.

B. Sasaran Objek yang Dimonitor

Sasaran yang menjadi objek monitoring yaitu pohon-pohon hasil penanaman pada program pembangunan Taman Kehati dengan fokus pada jenis-jenis unggulan target konservasi. Terdapat dua kelompok sasaran moni-toring flora pohon, yaitu:

(1) Kelompok pohon muda, yaitu bibit-bibit yang baru ditanam hingga berumur kurang dari 10 tahun. As-pek yang dimonitor antara lain survival (daya hidup), pertumbuhan (tinggi dan diameter), dan kesehatan (hama dan penyakit).

(2) Kelompok pohon dewasa, yaitu pohon-pohon besar dengan diameter di atas 10 cm atau berumur lebih dari 10 tahun. Aspek yang dimonitor terutama pada fenologi (pembungaan) dan pembuahan. Selain itu, aspek kesehatan pohon dewasa lebih ditekankan pada kondisi fisik yang menyebabkan pohon rawan

tumbang, patah dahan, atau kondisi tajuk yang mungkin mengganggu pertumbuhan pohon lain.

C. Indikator yang Dimonitor

Indikator yang dimonitor dari kelompok pohon muda:  Tinggi total pohon

 Diameter batang

 Keberadaan hama atau penyakit

 Keberadaan gulma/tumbuhan pengganggu

Indikator yang dimonitor dari kelompok pohon dewasa:  Tinggi total pohon

 Tinggi bebas cabang

 Diameter setinggi dada (dbh)

 Pembungaan (waktu berbunga dan lamanya musim berbunga)

 Pembuahan (waktu berbuah dan lamanya musim buah)

 Keberadaan hama atau penyakit

 Keberadaan cacat pohon (berlubang, patah cabang, rawan tumbang, dan lain-lain)

 Satwa yang memanfaatkan (misalnya untuk bersarang atau dimakan buah, biji, daun atau nektarnya)

Tabel 10. Tally sheet monitoring vegetasi/pohon muda WAKTU MONITORING

1. Periode Monitoring Jan-Mar/Apr-Jun/Jul-Sep/Okt-Des 2. Tanggal Monitoring IDENTITAS POHON 3. Nomor Pohon 4. Nama Lokal 5. Nama Latin 6. Famili 7. Tahun tanam

INDIKATOR YANG DIMONITOR 8. Tinggi total (m)

9. Diameter (cm) 10. Keberadaan hama/

penyakit

 Jenis hama/penyakit

 Bagian yang diserang hama/penyakit  Upaya penanggulangan hama/penyakit 11. Keberdaan gulma/ tumbuhan pengganggu  Jenis gulma  Upaya penanggulangan gulma

Tabel 11. Tally sheet monitoring vegetasi/pohon dewasa WAKTU MONITORING

1. Periode Monitoring Jan-Mar/Apr-Jun/Jul-Sep/Okt-Des* 2. Tanggal Monitoring IDENTITAS POHON 3. Nomor Pohon 4. Nama Lokal 5. Nama Latin 6. Famili 7. Tahun tanam

INDIKATOR YANG DIMONITOR 8. Tinggi total (m)

9. Tinggi bebas cabang (m) 10. Diameter setinggi dada

(cm)

11. Keberadaan hama penyakit

 Jenis hama/penyakit

 Bagian yang diserang

 Upaya penanggulangan 12. Keberadaan cacat pohon

 Lubang/growong batang

 Patah cabang/ranting

 Rawan tumbang 13. Pembungaan (fenologi)

 Waktu mulai berbunga

 Lamanya musim berbunga

 Satwa pemakan nektar 14. Pembuahan

 Waktu mulai berbuah

 Lamanya musim buah

 Satwa pemakan buah/biji 15. Keberadaan sarang satwa * Lingkari yang sesuai.

D. Metode Pengumpulan Data

Monitoring terhadap tanaman pohon-pohon di Taman Kehati dapat dilakukan secara sensus ataupun sampling. Apabila jumlahnya tidak terlalu banyak, misalnya kurang dari 30 pohon, monitoring dilakukan secara sensus (100% diamati dan diukur). Namun, apabila jumlahnya terlalu banyak dan sumber daya yang tersedia terbatas (waktu, tenaga, dan biaya), sampling perlu dibuat. Sampling diha-rapkan dapat mewakili kondisi populasi pohon dari jenis yang sama pada umumnya. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan sampel, yaitu: (1) Sampling ditentukan pada saat pertama melakukan

monitoring. Pada monitoring berikutnya hanya mela-kukan pengukuran dan pengamatan ulang terhadap sampel yang telah ditentukan tersebut.

(2) Sampling (pemilihan pohon sampel) dilakukan seca-ra acak (random).

(3) Untuk mendapatkan keterwakilan dari berbagai kon-disi secara proporsional [jika diperlukan], stratifikasi dilakukan sebelum menentukan pohon-pohon yang akan dijadikan sampel untuk dimonitor.

(4) Stratifikasi dilakukan berdasarkan jenis pohon dan kelas umur (tahun tanam).

(5) Setelah distratifikasi, setiap strata dipilih 30 pohon secara acak.

(6) Pohon-pohon yang telah terpilih diberi tanda (no-mor) untuk mengingatkan kembali pada monitoring

E. Peralatan dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam monitoring flora pohon disajikan pada Tabel 12 berikut ini:

Tabel 12. Peralatan dan bahan monitoring pohon Taman Kehati No Alat/Bahan Kegunaan/Fungsi

1. Haga Altimeter Mengukur tinggi pohon dewasa 2. Caliper Mengukur diameter bibit dan pohon

kecil

3. Phi band Mengukur diameter pohon besar 4. Meteran roll Mengukur tinggi bibit kurang dari 2

meter

5. Gergaji pruning Pruning ranting tinggi 6. Gunting stek Pruning bibit

7. Gunting pruning Pruning daun dan ranting kecil 8. Chain saw Menebang pohon yang

membahayakan 9. Weeding tools Membuang gulma 10. Gergaji rumput Membuang gulma

11. Kamera Mendokumentasikan hasil pengamatan

12. Tally sheet Daftar checklist monitoring 13. Alat tulis Membuat catatan di lapangan

Gambar 9. Peralatan yang perlu dibawa pada saat monitoring

F. Lokasi Monitoring

Monitoring dilakukan pada semua perwakilan tanaman. Oleh karena itu, apabila tanaman telah dibagi menurut tema di dalam blok, perwakilan tanaman yang dimonitor harus ada di setiap blok. Untuk Taman Kehati Babakan Pari (Cidahu-Sukabumi), lokasi monitoring flora pohon dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Contoh lokasi monitoring flora pohon di Taman Kehati Babakan Pari, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi

Gambar 12. Pengukuran diamater pohon dewasa (A) dan pen-catatan kondisi gulma sekitar tanaman (B)

Gambar 13. Label pohon yang dimonitor: bagian depan berisi nama spesies, nomor pohon, dan nomor blok (A); dan bagian belakang berisi checklist tanggal monitoring (B)

A B

G. Periode Monitoring

Monitoring pohon muda, khususnya pada bibit-bibit yang baru ditanam hingga umur satu tahun, sebaiknya dilaku-kan lebih sering untuk mengetahui daya hidupnya, hama penyakit dan gulma pengganggunya yang dapat memati-kan atau menghambat pertumbuhan bibit tersebut. Dengan demikian, jika terjadi kematian bibit maka dapat segera diketahui dan dapat cepat dilakukan penyulaman. Pada tahun pertama, monitoring dapat dilakukan seming-gu sekali atau dua mingseming-gu sekali. Setelah melewati tahun pertama, kondisi bibit sudah relatif stabil sehingga frekuensi monitoring dapat dilakukan sebulan sekali hingga tiga bulan sekali.Pada pohon dewasa, monitoring cukup dilakukan tiga bulan sekali untuk mengantisipasi pohon tumbang dan cabang atau ranting patah. Meskipun demikian, pada musim hujan yang sering terjadi hujan angin, pemeriksaan pohon dewasa harus lebih sering dilakukan.

Monitoring yang umum dilakukan dalam periode tiga bulanan (triwulan), empat bulanan (caturwulan) atau enam bulanan (semester) dengan pengaturan sebagai berikut:

Tabel 13. Pembagian periode dan waktu monitoring

Periode Triwulan Waktu/Tanggal Monitoring Januari-Maret 31 Maret atau 1 April

April-Juni 30 Juni atau 1 Juli

Juli-September 31 Agustus atau 1 September Oktober-Desember 31 Desember atau 1 Januari Periode Caturwulan Waktu/Tanggal Monitoring Januari-April 30 April atau 1 Mei

Mei-Agustus 31 Agustus atau 1 September September-Desember 31 Desember atau 1 Januari Periode Semester Waktu/Tanggal Monitoring Januari-Juni 30 Juni atau 1 Juli

Juli-Desember 31 Desember atau 1 Januari

H. Pengolahan dan Interpretasi Data

Data hasil monitoring diolah untuk mendapatkan informasi persen hidup, laju pertumbuhan tinggi dan diameter, serta kesehatan pohon. Hasil olahan data disajikan dalam bentuk tabel dan/atau grafik. Garfik garis dapat digunakan untuk menunjukan pertumbuhan. Grafik pie dapat diguna-kan untuk menunjudiguna-kan persentase pohon hidup, per-sentase pohon sehat, atau perper-sentase serangan hama dan penyakit.

Data dan informasi yang didapat diinterpretasi dan

Dokumen terkait