• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.8. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap yakni: pertama editing yaitu kegiatan untuk mengecek atau mengoreksi data yang telah dikumpulkan. Tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan. Kedua coding yaitu pemberian kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Ketiga tabulating yaitu membuat tabel- tabel yang berisikan data yang telah diberi kode, sesuai dengan analisa yang dibutuhkan. Keempat Entry data merupakan suatu proses memasukkan data ke dalam paket program komputer untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan paket program komputer yang sesuai, dalam penelitian ini peneliti melakukan entry data jika sudah yakin bahwa data yang ada sudah benar, baik dari kelengkapan maupun pengkodeannya. Kelima Cleaning yaitu data yang telah

dientry dilakukan pembersihan terlebih dahulu, agar seluruh data yang diperoleh terbebas dari kesalahan sebelum dilakukan analisis.

4.9 Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 4.9.1 Analisa Univariat

Analisa univariat adalah suatu prosedur untuk menganalisa data dari suatu variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu hasil penelitian. Pada penelitian ini, univariat untuk data demografi, efikasi diri dan kualitas hidup. Hasil analisa akan ditampilkan dalam distribusi frekuensi.

4.9.2 Analisa Bivariat

Analisa bivariat merupakan analisa statistik yang dapat digunakan untuk menerangkan keeratan hubungan antara dua variabel. Analisa ini menggunakan uji statistik Chi Square (X2) dengan derajat kemaknaan α = 0,05 untuk menguji hubungan dua variabel yang nominal bernilai positif dengan bantuan komputerisasi. Keputusan Chi Square adalah apabila ditemukan nilai signifikan kurang dari 0,05 maka hubungan diantara keduanya adalah signifikan sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesa alternatif (Ha) diterima, dan dapat di interpretasikan sebagai terdapatnya hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru, sebaliknya apabila ditemukan nilai signifikan lebih dari atau sama dengan 0,05 maka hipotesa alternatif (Ha) ditolak dan menerima hipotesa null (Ho), hal ini dapat di interpretasikan sebagai tidak terdapatnya hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien Tuberkulosis paru.

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Bab ini akan menguraikan tentang hasil penelitian mengenai hubungan Efikasi diri dengan Kualitas hidup pasien tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan yang diperoleh melalui proses pengumpulan data yang dilakukan sejak 18 September sampai 12 November 2013. Responden pada penelitian ini adalah pasien tuberkulosis paru rawat inap diruang RA3 dengan jumlah 44 responden, hasil penelitian ini berupa hasil analisis univariat dari masing-masing variabel yang diteliti, analisis bivariat berupa korelasi antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependen.

5.1.1 Karakteristik Demografi

Dari penelitian yang telah dilakukan, deskripsi karakteristik demografi pasien tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan didapat dari 44 responden. Mayoritas usia responden ialah kelompok usia reproduktif yaitu usia 40-60 tahun sebanyak 28 orang (63,6%), mayoritas responden adalah laki-laki sebanyak 30 orang (61,8%). Tingkat pendidikan responden mayoritas sampai tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 24 orang (54,5%), Mayoritas pasien Tuberkulosis paru dengan status merokok sebanyak 26 orang (59,0%), diketahui bahwa pekerjaan responden terbanyak adalah petani sebanyak 19 orang (43,1%), mayoritas responden menikah sebanyak 40 orang (90,9%), selanjutnya penghasilan responden sebagian besar Rp 500.000-1.000.000 sebanyak 27 orang (61,3%). Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Menurut Karakteristik Responden di RSUP Haji Adam Malik Medan(N= 44)

Karakteristik penderita n % Usia 18-39 tahun 40-60 tahun >60 tahun 12 28 4 27,3 63,6 9,1 Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan 30 14 68,2 31,8 Pendidikan Terakhir SD SMP SMA S1 8 9 24 3 18,2 20,5 54,5 6,8 Status Merokok Tidak merokok

Merokok

18 26

40,9 59,1

Pekerjaan Tidak bekerja

Pensiunan Pedagang Petani Buruh Wiraswasta Pegawai swasta Pegawai negri 2 1 16 19 1 2 2 1 4,5 2,3 36,4 43,2 2,3 4,5 4,5 2,3 Status Menikah Menikah

Tidak menikah 40 4 90,9 9,1 Penghasilan Rp 500.000-1.000.000 Rp 1.500.000-2.000.000 Rp > 2.000.000 27 15 2 61,4 34,1 4,5

5.1.2 Efikasi Diri Pasien Tuberkulosis Paru

Dari 44 responden diketahui bahwa efikasi diri pasien sebanyak 23 orang (52,2%) termasuk dalam kategori baik dan 21 orang (47,8%) dalam kategori tidak baik. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.2

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Berdasarkan Efikasi Diri Pasien Tuberkulosis Paru Di RSUP Haji Adam Malik Medan 2013

Efikasi Diri Pasien Tuberkulosis Paru n %

Baik 23 52,2

Tidak baik 21 47,8

Total 44 100

5.1.3 Kualitas Hidup

Dari 44 responden diketahui bahwa kualitas hidup pasien sebanyak 26 orang (59%) termasuk dalam kategori baik dan 18 orang (41%) dalam kategori buruk. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.3

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan 2013 Kualitas hidup pasien tuberkulosis paru n %

Baik 26 59

Buruk 18 41

Total 44 100

5.1.4 Analisa Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Paru

Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi square, diperoleh p value 0,016 karena p value < 0,05 maka Ho ditolak, artinya ada hubungan yang bermakna antara efikasi diri dengan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan. Nilai Odd Ratio (OR) = 5,850 (95% CI = 1,554- 22,023), menunjukkan bahwa responden dengan efikasi diri baik memiliki peluang 5,850 kali menunjukkan kualitas hidup baik dibandingkan dengan responden yang memiliki efikasi diri tidak baik. Berdasarkan analisis bivariat dapat diketahui bahwa dari 44 orang responden, terdapat pasien dengan Efikasi diri baik memiliki kualitas hidup baik sebanyak 18 orang (41%) sedangkan pasien

dengan efikasi diri tidak baik memiliki kualitas hidup buruk sebanyak 13 orang (29,5%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.4

Tabel 5.4 Hasil Analisa Korelasi Efikasi Diri Dengan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan

Efikasi Diri Pasien

Kualitas Hidup Pasien

N % p value OR 95% CI Buruk Baik n % n % Tidak baik 13 29,5 8 18,3 21 100 0,016 5,850 1,554-22,023 Baik Total 5 18 11,3 40,8 18 26 40,9 59,2 23 44 5.2 Pembahasan

5.2.1 Efikasi diri pasien tuberkulosis paru

Efikasi diri adalah keyakinan pasien akan kemampuannya untuk berubah yang dapat meningkatkan pencapaian keberhasilannya dalam melakukan perubahan perilaku atau tindakan yang benar-benar dilakukan individu tersebut, seberapa besar usaha yang dilakukan dan seberapa besar ketahanan perilaku tersebut untuk mencapai tujuan akhir (Bandura, 1997).

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 didapatkan bahwa sebagian besar responden sebanyak 23 orang (52,2%) memiliki efikasi diri baik dan 21 orang (47,8%) memiliki efikasi diri tidak baik, ini menunjukkan bahwa rata-rata pasien tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan sudah memiliki efikasi diri yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Sedjati (2011) pada pasien tuberkulosis paru di BP4 Yogyakarta menyebutkan 56,6% responden memiliki efikasi diri yang baik dan 43,3% responden memiliki efikasi diri yang tidak baik. Kemudian penelitian Hendiani et al, (2012) pada pasien tuberkulosis paru di BKPM Semarang menyebutkan 56,8% responden memiliki efikasi diri yang tinggi dan 43,1 % responden memiliki efikasi diri yang rendah. Hendiani et

al, (2012) menyatakan deskripsi kategori efikasi diri pasien tuberkulosis paru yang memiliki efikasi diri baik, yaitu ditandai dengan keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk optimis, merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan berperilaku sehat.

Upaya pencegahan tuberkulosis paru salah satunya yaitu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Menurut Depkes (2008) terdapat sepuluh indikator gaya hidup sehat yaitu membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari agar rumah mendapat sinar matahari dan udara yang cukup, menjemur kasur, bantal, dan guling secara teratur sekali seminggu, kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian, menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan sekitar rumah, lantai diplester atau dipasang keramik, bila batuk dan bersin mulut ditutup serta membuang tisu dengan tepat, mencuci tangan dengan baik, tidak meludah disembarang tempat tapi menggunakan tempat khusus, istirahat cukup dan tidak tidur larut malam, makan makanan bergizi dan seimbang dan hindari polusi udara dalam rumah seperti asap dapur dan asap rokok. Teori tersebut didukung hasil penelitian terkait item kuesioner tentang kemampuan pasien dengan sangat yakin untuk menjaga kebersihan diri seperti mandi, gosok gigi dua kali dalam sehari secara teratur ditemukan 68,1%. Pasien yakin mampu melakukan salah satu dari sepuluh indikator gaya hidup sehat menurut Depkes (2008).

Sedjati (2011) menyatakan bahwa pasien yang memiliki efikasi diri baik pada umumnya cenderung sangat baik dalam menentukan atau memastikan terpenuhinya motif yang mengarah pada tindakan yang diharapkan sesuai situasi yang dihadapi, dan memiliki inisiatif untuk mengadopsi perilaku hidup sehat, misalnya menjalankan hidup dengan efektif sekalipun menderita penyakit

tuberkulosis paru dan keyakinan individu mengenai kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi rintangan yang muncul, selama mampu berperilaku sehat maka akan membentuk karakter pada usaha dan ketekunan pasien untuk menjalani hidupnya secara sehat, baik secara fisik maupun psikologis.

Hendiani et al, (2012) juga menyatakan bahwa pasien tuberkulosis paru yang termasuk dalam kategori baik memiliki keyakinan yang kuat pada kemampuan dengan mengerahkan segala usaha untuk mencapai kesembuhan, pasien ingin sembuh dari penyakit tuberkulosis paru sehingga mematuhi semua nasihat petugas kesehatan, pasien tetap meminum obat meskipun sebagian pasien merasakan efek samping dari obat anti tuberkulosis, pasien menyatakan bahwa tetap ingin minum obat sampai dinyatakan sembuh oleh dokter. Agar penderita mau minum obat dengan teratur dan patuh perlu adanya komunikasi, informasi, edukasi yang berkesinambungan oleh petugas kesehatan, sehingga termotivasi minum obat secara teratur. Salah satu proses pembentukan efikasi diri adalah motivasi. Seseorang dapat termotivasi oleh tujuan dan harapan yang diinginkannya, selain itu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi diri sendiri dengan mengevaluasi penampilan pribadinya merupakan sumber utama motivasi (Bandura, 1997).

Komunikasi yang cukup efektif dalam bentuk edukasi lisan pada pasien maupun Pengawas Minum Obat akan membuat pasien lebih mengerti, memahami dan menyadari tentang penyakitnya sehingga patuh mengikuti anjuran petugas kesehatan untuk berobat teratur sampai selesai (Iseman, 2003). Pernyataan tersebut didukung hasil penelitian terkait item kuesioner tentang kemampuan pasien termotivasi untuk minum obat oleh karena komunikasi dan informasi yang

baik dari petugas kesehatan ditemukan 70,4%, kemampuan pasien menjalani pengobatan dengan teratur sampai dinyatakan sembuh ditemukan 63,6% dan kemampuan pasien minum obat secara teratur tanpa pengawasan 77,2%.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Garrod (2008) ditemukan bahwa efikasi diri terbukti mempengaruhi keputusan individu untuk melakukan tindakan perawatan diri. Dikemukakan bahwa efikasi diri bertindak sebagai mediator antara perubahan dalam kualitas hidup, gejala dan fungsi fisiologis pada kepatuhan berobat dan rehabilitasi paru. Pengukuran efikasi diri dirancang untuk menguji keyakinan individu untuk melakukan kegiatan yang dipilih sebagai usaha yang diinginkan, efikasi diri dapat memberikan prediksi terhadap kepatuhan seseorang dalam melakukan perawatan dirinya sendiri.

Peningkatan efikasi diri berhubungan dengan peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan, perilaku promosi kesehatan dan menurunkan gejala fisik dan psikologis. Ketidakmampuan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan penyakitnya dapat mengakibatkan hasil yang negatif seperti ketidakpatuhan dalam pengobatan dan penurunan kualitas hidup. Efikasi diri memiliki peran dalam inisiasi dan pemeliharaan perilaku kesehatan, sehingga diyakini bahwa peningkatan efikasi diri pada perilaku kesehatan akan mengakibatkan perbaikan kesehatan dan meningkatkan perilaku sehat serta kualitas hidup (Kara & Alberto, 2006).

Hasil penelitian menggambarkan bahwa pasien tuberkulosis paru yang memiliki efikasi diri yang baik mampu berperilaku sehat, mampu memenuhi kebutuhan nutrisi, mampu patuh dalam program pengobatan sampai dinyatakan sembuh, tidak bosan mengkonsumsi obat, mampu melakukan tindakan yang

mendukung kesembuhannya seperti tarik nafas dalam saat mengalami sesak nafas, batuk yang efektif, tidak merokok dan percaya bahwa penyakit yang dialaminya merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Menurut Bandura (1994) menyatakan bahwa seseorang yang senantiasa diberikan keyakinan dan dorongan untuk sukses, maka akan meningkatkan perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan sebaliknya seseorang dapat menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti dari sekitarnya.

Efikasi diri yang tinggi yang dimiliki oleh sekelompok orang menurut Bandura (1994) akan dapat merubah situasi sosial. Banyaknya tantangan kehidupan yang harus dihadapi memerlukan upaya kolektif untuk menghasilkan perubahan yang signifikan. Seperti yang dikemukakan oleh Rini (2011) bahwa efikasi diri yang tinggi akan menjadi suatu upaya untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dan meningkatkan kualitas hidup mereka melalui usaha yang terpadu. Dari usaha yang dilakukan inilah akan muncul suatu penemuan baru yaitu keyakinan yang tinggi, seberapa banyak usaha yang mereka lakukan dan seberapa tahan mereka terhadap hambatan yang ditemui akan berpengaruh terhadap keberhasilan kolektif dari usaha yang mereka lakukan.

5.2.2 Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Paru

Kualitas hidup sebagai persepsi kehidupan individu dalam konteks sistem budaya dan nilai dimana mereka hidup berhubungan dengan tujuan, harapan, standar dan kekhawatiran yang dihadapinya. Kualitas hidup menyangkut dimensi yang lebih luas termasuk kesehatan fisik, psikologis, tingkat kemandirian,

hubungan sosial, keyakinan tentang penyakit yang diderita dan lingkungan (WHO, 1997).

Aspek yang paling banyak berkaitan dengan kualitas hidup adalah wellbeing, satisfaction with life & happiness. Wellbeing diartikan sebagai hidup yang sejahtera, tidak hanya secara superficial tetapi termasuk pemenuhan kebutuhan dan realisasi diri. Satisfaction with life adalah perasaan bahwa ketika harapan, kebutuhan, dan keinginan seseorang itu terpenuhi maka orang tersebut akan merasa puas. Kepuasan adalah kenyataan mental tentang heppiness yang berarti bahagia, merupakan sesuatu yang terdapat didalam diri seseorang yang melibatkan keseimbangan khusus didalam dirinya (Ventegodt dalam Rini, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3 didapatkan bahwa sebagian besar responden sebanyak 26 orang (59%) memiliki kualitas hidup baik dan 18 orang (41%) memiliki kualitas hidup yang buruk. Penelitian Prisilia (2012) pada pasien tuberkulosis paru di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado ditemukan 64 orang (66,0%) memiliki kualitas hidup baik dan 7 orang (7,2%) memiliki kualitas hidup buruk. Hasil penelitian Ratnasari (2012) pada pasien tuberkulosis paru di BP4 Yogyakarta ditemukan 34 orang (68%) responden memiliki kualitas hidup yang baik dan hanya 1 orang (2%) dengan kualitas hidup yang jelek. Hasil penelitian pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata pasien tuberkulosis paru rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan sudah memiliki kualitas hidup yang baik, dapat disimpulkan bahwa responden merasa puas dengan kualitas hidup yang dimiliki, baik dari segi fisik, psikologis salah satunya perasaan positif dan segi sosial.

Perasaan positif merupakan item yang mengacu kepada seberapa banyak pengalaman perasaan positif individu dari kesukaan, keseimbangan, kedamaian, kegembiraan, harapan, kesenangan dan kenikmatan dari hal-hal baik dalam hidup,pandangan individu dan perasaan pada masa depan (WHOQOL – BREF dalam Sekarwiri, 2008). Teori tersebut didukung hasil penelitian terkait item kuesioner yang menunjukkan 31,8% pasien jarang memiliki perasaan negatif seperti kesepian, putus asa, cemas dan depresi. Menurut Donald dalam Rochmayanti (2011) kualitas hidup mendeskripsikan istilah yang merujuk pada emosional, sosial dan kesejahteraan fisik seseorang, juga kemampuan mereka untuk berfungsi dalam hubungan sosialnya sehingga individu tersebut merasakan hidupnya berarti.

Dukungan sosial, merupakan item yang mengacu pada apa yang dirasakan individu pada tanggung jawab, dukungan, dan tersedianya bantuan dari keluarga dan teman. Hal ini berfokus kepada apa yang dirasakan individu pada dukungan keluarga dan teman, faktanya pada tingkatan mana individu tergantung pada dukungan di saat sulit (WHOQOL-BREF dalam Sekarwiri, 2008). Kartika (2011) mengatakan bahwa dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang- orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari- hari dalam kehidupan. Pernyataan tersebut didukung hasil penelitian terkait item kuesioner menunjukkan 45,4% pasien sangat puas dengan dukungan yang diperoleh dari teman-teman.

Ratnasari (2012) mengemukakan bahwa kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti

morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Kualitas hidup merupakan harapan seseorang terhadap kehidupan dibandingkan dengan kenyataan yang dihadapinya, mendefinisikan kualitas hidup cukup sulit karena setiap orang mempunyai harapan yang berbeda dibandingkan dengan orang lain terhadap kehidupan.

Penilaian kesehatan pasien sangat ditentukan oleh dokter, dokter menilai indikator kesembuhan seseorang berdasarkan data klinis, laboratorium dan radiologis yang dapat mewakili kapasitas fungsi fisik. Padahal fungsi fisik bukanlah satu-satunya yang penting, tetapi persepsi pasien tentang kesehatannya juga menjadi bagian yang penting dalam mempertahankan kualitas hidup. Faktor lain yang menjadi alasan pentingnya kualitas hidup adalah adanya perbedaan kemampuan adaptasi seseorang terhadap penyakit. Misalkan pasien dengan tuberkulosis paru mengalami gejala batuk yang berkepanjangan, produksi dahak yang meningkat, keringat pada malam hari, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri otot, nyeri dada, merasa lelah, sesak dan penyakit tuberkulosis paru yang mudah menular. Tetapi dampak yang ditimbulkan pada status fungsional dan status emosional yang berbeda. Rochmayanti (2011)

Semakin tinggi efikasi diri pasien maka semakin baik kondisi fisiknya dan demikian pula kondisi fisik yang baik akan mendukung munculnya efikasi diri yang baik. Apabila seseorang memiliki kepercayaan diri akan kemampuannya untuk menyelesaikan barbagai masalah atau beradaptasi dengan berbagai kondisi seperti emosi yang negatif, maka orang tersebut akan memilih dan melakukan tindakan yang bermanfaat dan efektif untuk menyelesaikan masalahnya dengan baik. Kepercayaan tersebut akan mencegah dan mengurangi stress yang akan

berdampak pada peningkatan kemampuan untuk melakukan aktifitas sehari-hari, meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kepercayaan dirinya serta kualitas hidupnya (Colodro & Godoy, 2010) dalam Rini (2011).

Selain Efikasi diri yang tinggi terdapat beberapa faktor yang meningkatkan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru. Rochmayanti (2011) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah usia. Kristofferzon (2005) dalam Rochmayanti (2011) mengemukakan bahwa semakin bertambahnya usia maka kualitas hidup akan menurun, hal ini terjadi akibat penurunan fungsi fisiologis yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia dan penurunan fungsi fisiologis ini menyebabkan seseorang mengalami hambatan dalam setiap upaya untuk meningkatkan gaya hidup dan meningkatkan kualitas kesehatan yang berhubungan dengan kehidupan pasien. Teori tersebut didukung hasil penelitian pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tergolong dalam kategori usia 40-60 tahun sebanyak 63,6%. Bandura (1994) menyatakan dibutuhkan keyakinan yang kuat tentang sebuah keberhasilan untuk membentuk kembali dan mempertahankan hidup yang produktif.

Kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin menunjukkan bahwa pada pasien tuberkulosis paru laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih buruk dari pada perempuan. Hal ini dikarenakan kebiasaan merokok pada laki-laki. Perbedaan kebiasaan dalam mencari pertolongan medis yang menyebabkan deteksi yang buruk terhadap kejadian penyakit dikalangan wanita, stigma buruk yang ditempelkan terhadap wanita yang terdiagnosis positif tuberkulosis paru menyebabkan banyak wanita yang akhirnya enggan mencari pengobatan, jadi mereka tidak mencari pertolongan medis sampai

penyakitnya menjadi berat (Waisbord, 2006). Pernyataan tersebut didukung hasil penelitian pada tabel 5.1 didapatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki 68,2%.

Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis. Rendahnya tingkat pendidikan ini, akan berpengaruh pada pemahaman tentang penyakit tuberkulosis. Masyarakat yang tingkat pendidikannya tinggi, tujuh kali lebih waspada terhadap tuberkulosis paru (gejala, cara penularan, pengobatan) bila dibandingkan dengan masyarakat yang hanya menempuh pendidikan dasar atau lebih rendah. Tingkat pendidikan yang rendah dihubungkan dengan rendahnya tingkat kewaspadaan terhadap penularan tuberkulosis paru (Waisbord, 2006). Menurut Zahran (2005) dalam Rini (2011) menyatakan tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah dan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya, perilaku kesehatan yang mendukung kualitas hidup sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Individu dengan pendidikan sekolah menengah kebawah mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk bila dibandingkan dengan individu yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dan berpengetahuan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dona (2006) dalam Rini (2011) menyebutkan seseorang akan memiliki tingkat keyakinan diri lebih tinggi dalam berperilaku yang lebih baik bila mempunyai sistem pendukung pendidikan. Pernyataan tersebut didukung hasil penelitian pada tabel 5.1 ditemukan bahwa

sebagian besar responden tergolong dalam tingkat pendidikan sekolah menengah sebanyak 54,5%.

Selain faktor usia, jenis kelamin dan pendidikan. Status pekerjaan juga berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth, et al (2005) dalam Rini (2011) menyatakan bahwa status pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien, pekerjaan berhubungan dengan aktualisasi diri seseorang dan mendorong seseorang lebih bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas. Namun responden yang bekerja kemungkinan besar mempunyai kegiatan yang lebih padat dan mengalami stres yang lebih tinggi terhadap pekerjaannya, sehingga dapat mempengaruhi efikasi diri dan kualitas hidup seseorang. Pernyataan tersebut didukung hasil penelitian pada tabel 5.1 ditemukan bahwa status pekerjaan responden sebagian besar petani 43,2%.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2011) menyebutkan bahwa penderita tuberkulosis paru pada umumnya adalah masyarakat yang tergolong miskin. Peneliti mengemukakan kemiskinan secara langsung menjadi faktor risiko menderita tuberkulosis paru dan cenderung akan menurunkan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru, karena hal ini dapat memperberat kondisi pasien. Penyakit tuberkulosis paru sudah lama dihubungkan dengan kemiskinan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang sering terjadi pada masyarakat miskin. Orang yang tidak bekerja mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah serta mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah bila dibandingkan dengan orang yang mempunyai pekerjaan. Pernyataan

tersebut didukung hasil penelitian pada tabel 5.1 ditemukan bahwa pendapatan keluarga perbulan ditemukan rata-rata Rp 500.000-1.000.000 sebanyak 61,4%.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bentsen, et al (2010) menyatakan bahwa merokok secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien, bila

Dokumen terkait