BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA DATA
4.2 Pengujian dan Analisis Sistem secara Keseluruhan
4.2.2 Pengujian Autotracking Sudut Elevasi
Pengujian autotracking sudut elevasi dilakukan di lapangan Departemen Teknik Elektro (DTE) Universitas Sumatera Utara yang berada di Jl. Politeknik. Alasan dipilihnya lokasi ini adalah karena pengujian sudut elevasi membutuhkan perbedaan ketinggian antara stasiun pengirim dan stasiun penerima dan pengujian membutuhkan kondisi LOS (Line of Sight) agar pengiriman data tidak terganggu. Gambar 4.13 adalah tampilan posisi stasiun penerima (RX) dan stasiun pengirim (TX), dimana TX1, TX2 dan TX3 berada di koordinat yang sama, yang membedakan hanya ketinggian dari stasiun pengirim. Gambar 4.14 menunjukkan proses pengujian autotracking sudut elevasi di lapangan. Untuk memaksimalkan keakuratan penelitian, dilakukan sebanyak 10 kali percobaan dengan nilai input yang sama.
Gambar 4.13 Posisi stasiun penerima (RX) dan stasiun pengirim (TX) pada
pengujian autotracking sudut elevasi
1. Stasiun penerima dihadapkan ke posisi timur sesuai dengan pembacaan modul digital kompas yang telah dikalibrasi sebelumnya, nilai pembacaan digital kompas ditampilkan di layar LCD.
2. Nilai latitude, longitude dan ketinggian dari kedua stasiun dimasukkan ke dalam program autotracking Arduino IDE kemudian program di-upload ke Arduino Nano pada stasiun penerima.
3. Stasiun penerima dihidupkan.
4. Pertama antena akan menghadap lurus ke depan, kemudian antena akan berputar ke atas dan berhenti berputar di posisi yang diperintahkan oleh program.
5. Jarum penunjuk pada aktuator akan menunjuk ke posisi sudut dimana antena berhenti.
6. Ukur dan catat besar sudut elevasi yang terbentuk berdasarkan nilai sudut yang ditunjuk oleh jarum penunjuk pada aktuator.
7. Stasiun penerima dimatikan.
8. Ulangi langkah ke 3 - 7 sebanyak 10 kali percobaan.
A. Pengujian 1
Posisi stasiun penerima berada di latitude 3.561927°, longitude 98.654806° dan berada pada ketinggian 71 meter, tepatnya di dekat lorong antara DTE dan Teknik Mesin. Sedangkan posisi stasiun pengirim berada di latitude 3.556495°, longitude 98.659589° dan berada pada ketinggian 76 meter, tepatnya di lantai 2 DTE di depan ruangan Ikatan Mahasiswa Teknik Elektro (IMTE).
Gambar 4.15 menunjukkan posisi sudut elevasi pada pengujian 1. Berikut adalah perhitungan sudut elevasi secara teoritis :
x1 = 3.561927 y1 = 98.654806 z1 = 71 x2 = 3.561932 y2 = 98.654962 z2 = 76
Gambar 4.15 Gambaran posisi sudut elevasi pada pengujian 1
Dimana untuk mendapatkan nilai jarak, digunakan persamaan Euclidean : Jarak = (√ + ) x 111.319
Untuk mendapatkan nilai A, nilai latitude stasiun pengirim dikurang nilai latitude stasiun penerima.
A = x2 – x1 = 3.561932 - 3.561927 = 0.000005
Untuk mendapatkan nilai B, nilai longitude stasiun pengirim dikurang nilai longitude stasiun penerima.
B = y2 – y1 = 98.654962 - 98.654806 = 0.000156
Karena nilai A dan B sudah diketahui, maka nilai Jarak dapat dicari : Jarak = (√ + ) x 111.319
Jarak = (√ . + . ) x 111.319
Jarak = 0.00015608 x 111.319 Jarak = 17,37 meter
Untuk mendapatkan nilai C, nilai ketinggian stasiun pengirim dikurang nilai ketinggian stasiun penerima.
C = z2 – z1 = 76 – 71 = 5 meter
Karena nilai C dan Jarak sudah didapatkan, maka besar sudut elevasi dapat dicari menggunakan rumus pythagoras.
Ø = tan �⁄ Maka,
Ø = tan ⁄ , Ø = Arc tan (0.287852619) Ø = , ° = °
Jadi, didapatkan besar sudut elevasi yang terbentuk antara posisi stasiun pengirim dan posisi stasiun penerima sebesar °. Tabel 4.4 adalah hasil pengujian sudut elevasi pada pengujian pertama.
Tabel 4.4 Hasil pengujian autotracking sudut elevasi pertama
No Ketinggian RX (m) Ketinggian TX (m) Jarak kedua Stasiun (m) Besar Sudut Perhitungan Besar Sudut Pengukuran Besar Kesalahan 1 71 76 17,37 16° 16° 0° 2 71 76 17,37 16° 17° 1° 3 71 76 17,37 16° 16° 0° 4 71 76 17,37 16° 16° 0° 5 71 76 17,37 16° 16° 0° 6 71 76 17,37 16° 17° 1° 7 71 76 17,37 16° 17° 1° 8 71 76 17,37 16° 16° 0° 9 71 76 17,37 16° 16° 0° 10 71 76 17,37 16° 15° 1° Rata- Rata 71 76 17,37 16° 16,2° 0,4°
Dari tabel 4.4 didapatkan rata-rata besar sudut pengukuran sebesar 16,2° dan rata-rata kesalahan sudut sebesar 0,4°. Gambar 4.16 menunjukkan grafik hasil pengukuran autotracking sudut elevasi pertama. Grafik berwarna biru adalah grafik hasil perhitungan sedangkan grafik berwarna merah adalah grafik hasil pengukuran. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa hasil pengukuran dari percobaan 1, 3, 4, 5, 8 dan 9 sesuai dengan hasil perhitungan, kemudian percobaan 2, 6 dan 7 melenceng 1° lebih besar dari hasil perhitungan, serta percobaan 10 melenceng 1° lebih kecil
Gambar 4.16 Grafik hasil pengujian autotracking sudut elevasi pertama
B. Pengujian 2
Posisi stasiun penerima berada di latitude 3.561927°, longitude 98.654806° dan berada pada ketinggian 71 meter, tepatnya di dekat lorong antara DTE dan Teknik Mesin. Sedangkan posisi stasiun pengirim berada di latitude 3.556495°, longitude 98.659589° dan berada pada ketinggian 81 meter, tepatnya di lantai 3 DTE di atas ruangan Ikatan Mahasiswa Teknik Elektro (IMTE).
Gambar 4.17 menunjukkan posisi sudut elevasi pada pengujian 2. Berikut adalah perhitungan sudut elevasi secara teoritis :
x1 = 3.561927 y1 = 98.654806 z1 = 71 x2 = 3.561932 14 14.5 15 15.5 16 16.5 17 17.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 BE SA R S U D U T ( D E R A JA T ) PERCOBAAN
P E N G UJ I A N AU TOT R AC K I N G E L E VA S I 1
y2 = 98.654962 z2 = 81
Gambar 4.17 Gambaran posisi sudut elevasi pada pengujian 2
Dimana untuk mendapatkan nilai jarak, digunakan persamaan Euclidean : Jarak = (√ + ) x 111.319
Untuk mendapatkan nilai A, nilai latitude stasiun pengirim dikurang nilai latitude stasiun penerima.
A = x2 – x1 = 3.561932 - 3.561927 = 0.000005
Untuk mendapatkan nilai B, nilai longitude stasiun pengirim dikurang nilai longitude stasiun penerima.
B = y2 – y1 = 98.654962 - 98.654806 = 0.000156
Karena nilai A dan B sudah diketahui, maka nilai Jarak dapat dicari : Jarak = (√ + ) x 111.319
Jarak = (√ . + . ) x 111.319
Jarak = 0.00015608 x 111.319 Jarak = 17,37 meter
C = z2 – z1 = 81 – 71 = 10 meter
Karena nilai C dan Jarak sudah didapatkan, maka besar sudut elevasi dapat dicari menggunakan rumus pythagoras.
Ø = tan �⁄ Maka,
Ø = tan ⁄ , Ø = Arc tan (0.575705238) Ø = , ° = °
Jadi, didapatkan besar sudut elevasi yang terbentuk antara posisi stasiun pengirim dan posisi stasiun penerima sebesar °. Tabel 4.5 adalah hasil pengujian sudut elevasi pada pengujian kedua.
Tabel 4.5 Hasil pengujian autotracking sudut elevasi kedua
No Ketinggian RX (m) Ketinggian TX (m) Jarak kedua Stasiun (m) Besar Sudut Perhitungan Besar Sudut Pengukuran Besar Kesalahan 1 71 81 17,37 30° 31° 1° 2 71 81 17,37 30° 32° 2° 3 71 81 17,37 30° 30° 0° 4 71 81 17,37 30° 31° 1° 5 71 81 17,37 30° 31° 1° 6 71 81 17,37 30° 31° 1° 7 71 81 17,37 30° 32° 2° 8 71 81 17,37 30° 31° 1° 9 71 81 17,37 30° 31° 1° 10 71 81 17,37 30° 31° 1° Rata- Rata 71 81 17,37 30° 31,1° 1,1°
Dari tabel 4.5 didapatkan rata-rata besar sudut pengukuran sebesar 31,1° dan rata-rata kesalahan sudut sebesar 1,1°. Gambar 4.18 menunjukkan grafik hasil pengukuran autotracking sudut elevasi kedua. Grafik berwarna biru adalah grafik hasil perhitungan sedangkan grafik berwarna merah adalah grafik hasil pengukuran. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa hasil pengukuran dari percobaan 3 sesuai dengan hasil perhitungan, kemudian percobaan 1, 4, 5, 6, 8, 9 dan 10 melenceng 1° lebih besar dari hasil perhitungan, serta percobaan 2 dan 7 melenceng 2° lebih besar dari hasil perhitungan.
Gambar 4.18 Grafik hasil pengujian autotracking sudut elevasi kedua
C. Pengujian 3
Posisi stasiun penerima berada di latitude 3.561927°, longitude 98.654806° dan berada pada ketinggian 71 meter, tepatnya di dekat lorong antara DTE dan Teknik Mesin. Sedangkan posisi stasiun pengirim berada di latitude 3.556495°, longitude 98.659589° dan berada pada ketinggian 86 meter, tepatnya di lantai 4
29 29.5 30 30.5 31 31.5 32 32.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 BE SA R S U D U T ( D E R A JA T ) PERCOBAAN
P E N G UJ I A N AU TOT R AC K I N G E L E VA S I 2
DTE. Gambar 4.19 menunjukkan posisi sudut elevasi pada pengujian 3. Berikut adalah perhitungan sudut elevasi secara teoritis :
x1 = 3.561927 y1 = 98.654806 z1 = 71 x2 = 3.561932 y2 = 98.654962 z2 = 86
Gambar 4.19 Gambaran posisi sudut elevasi pada pengujian 3
Dimana untuk mendapatkan nilai jarak, digunakan persamaan Euclidean : Jarak = (√ + ) x 111.319
Untuk mendapatkan nilai A, nilai latitude stasiun pengirim dikurang nilai latitude stasiun penerima.
A = x2 – x1 = 3.561932 - 3.561927 = 0.000005
Untuk mendapatkan nilai B, nilai longitude stasiun pengirim dikurang nilai longitude stasiun penerima.
B = y2 – y1 = 98.654962 - 98.654806 = 0.000156
Jarak = (√ + ) x 111.319
Jarak = (√ . + . ) x 111.319
Jarak = 0.00015608 x 111.319 Jarak = 17,37 meter
Untuk mendapatkan nilai C, nilai ketinggian stasiun pengirim dikurang nilai ketinggian stasiun penerima.
C = z2 – z1 = 86 – 71 = 15 meter
Karena nilai C dan Jarak sudah didapatkan, maka besar sudut elevasi dapat dicari menggunakan rumus pythagoras.
Ø = tan �⁄ Maka,
Ø = tan ⁄ , Ø = Arc tan (0.86357858) Ø = , ° = °
Jadi, didapatkan besar sudut elevasi yang terbentuk antara posisi stasiun pengirim dan posisi stasiun penerima sebesar °. Tabel 4.6 adalah hasil pengujian sudut elevasi pada pengujian ketiga.
Tabel 4.6 Hasil pengujian autotracking sudut elevasi ketiga
No Ketinggian RX (m) Ketinggian TX (m) Jarak kedua Stasiun (m) Besar Sudut Perhitungan Besar Sudut Pengukuran Besar Kesalahan 1 71 86 17,37 41° 41° 0° 2 71 86 17,37 41° 41° 0° 3 71 86 17,37 41° 40° 1° 4 71 86 17,37 41° 40° 1°
5 71 86 17,37 41° 41° 0° 6 71 86 17,37 41° 41° 0° 7 71 86 17,37 41° 41° 0° 8 71 86 17,37 41° 41° 0° 9 71 86 17,37 41° 41° 0° 10 71 86 17,37 41° 41° 0° Rata- Rata 71 86 17,37 41° 40,8° 0,2°
Dari tabel 4.6 didapatkan rata-rata besar sudut pengukuran sebesar 40,8° dan rata-rata kesalahan sudut sebesar 0,2°. Gambar 4.20 menunjukkan grafik hasil pengukuran autotracking sudut elevasi ketiga. Grafik berwarna biru adalah grafik hasil perhitungan sedangkan grafik berwarna merah adalah grafik hasil pengukuran. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa hasil pengukuran dari percobaan 3 dan 4 melenceng 1° lebih kecil dari hasil perhitungan, sedangkan percobaan yang lain sesuai dengan hasil perhitungan.
Gambar 4.20 Grafik hasil pengujian autotracking sudut elevasi ketiga
39.4 39.6 39.8 40 40.2 40.4 40.6 40.8 41 41.2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 B E SA R S U D U T ( D E R A JA T ) PERCOBAAN
P E N G UJ I A N AU TOT R AC K I N G E L E VA S I 3
Dari ketiga hasil pengukuran secara keseluruhan dapat dihitung rata-rata kesalahan besar sudut pengukuran elevasi yaitu sebesar 0,56° dengan maksimal kesalahan sebesar 2° dan minimal kesalahan sebesar 0°. Sama halnya dengan hasil pengukuran sudut azimuth, hasil pengukuran sudut elevasi memiliki kesalahan dikarenakan tingkat akurasi dari motor servo yang tidak maksimal, namun motor servo pada sudut elevasi memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan motor servo pada sudut azimuth. Hal tersebut dapat terlihat dari rata-rata kesalahan pada hasil pengukuran sudut elevasi yang lebih kecil dibandingkan rata-rata kesalahan pada hasil pengukuran sudut azimuth.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada bab 4, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Sistem autotracking antena stasiun penerima berhasil dirancang meskipun tetap memiliki kesalahan keakuratan pengarahan.
2. Sistem ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat melakukan autotracking dengan sudut pengarahan 360°.
3. Didapatkan rata-rata besar kesalahan sudut pengarahan antena pada sudut azimuth sebesar 0,8° pada pengujian pertama, 1° pada pengujian kedua dan 1,8° pada pengujian ketiga.
4. Didapatkan rata-rata besar kesalahan sudut pengarahan antena pada sudut elevasi sebesar 0,4° pada pengujian pertama, 1,1° pada pengujian kedua dan 0,2° pada pengujian ketiga.
5.2 Saran
Adapun saran bagi penelitian berikunya adalah :
1. Penelitian dapat dikembangkan dengan menggunakan motor servo 360° agar antena dapat melakukan autotracking ke segala arah secara kontinyu. 2. Pada pengembangan berikutnya, peneliti dapat mengunakan jenis antena
3. Pada pengembangan berikutnya, peneliti dapat menggunakan jenis motor yang lain sebagai pembanding kinerja sistem autotracking.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Antena
Antena adalah perangkat media transmisi wireless (nirkabel) yang memanfaatkan udara atau ruang bebas sebagai media penghantar. Antena mempunyai fungsi untuk merubah energi elektromagnetik terbimbing menjadi gelombang elektromagnetik ruang bebas (gelombang mikro) yang merupakan fungsi antena sebagai transmitter(Tx). Energi listrik dari transmitter dikonversi menjadi gelombang elektromagnetik dan oleh sebuah antena yang kemudian gelombang tersebut dipancarkan menuju udara bebas. Pada receiver(Rx) akhir gelombang elektromagnetik dikonversi menjadi energi listrik dengan menggunakan antena. Gambar 2.1 menunjukkan antena sebagai pengirim dan penerima[2].
Gambar 2.1 Antena sebagai pengirim dan penerima
2.1.1 Parameter Karakteristik Antena
Parameter karakteristik antena digunakan untuk menguji atau mengukur performa antena yang akan digunakan. Berikut penjelasan beberapa parameter antena yang sering digunakan yaitu direktivitas antena, gain antena, pola radiasi antena, beamwidth antena, bandwidth antena dan voltage standing wave ratio (VSWR).
2.1.1.1Direktivitas
Keterarahan dari suatu antena didefinisikan sebagai ’’perbandingan antara intensitas radiasi maksimum dengan intensitas radiasi dari antena referensi isotropis”. Keterarahan dari sumber non-isotropis adalah sama dengan perbandingan intensitas radiasi maksimumnya di atas sebuah sumber isotropis[4]. Keterarahan pada antena secara umum dinyatakan dari Persamaan 2.1[4]:
= . 4.�. ���
��� (2.1)
Dimana :
= directivity (dB)
= intensitas radiasi maksimum (watt) = daya radiasi total (watt)
2.1.1.2Gain
Gain (directive gain) adalah karakter antena yang terkait dengan kemampuan antena mengarahkan radiasi sinyalnya atau penerimaan sinyal dari arah tertentu. Gain bukanlah kuantitas yang dapat diukur dalam satuan fisis pada umumnya seperti watt, ohm, atau lainnya, melainkan suatu bentuk perbandingan. Oleh karena itu, satuan yang digunakan untuk gain adalah decibel [7].
Gain dari sebuah antena adalah kualitas nyala yang besarnya lebih kecil daripada penguatan antena tersebut yang dapat dinyatakan pada Persamaan 2.2[5]
Gain = G = k.D (2.2)
Dimana :
Gain dapat dihitung dengan membandingkan kerapatan daya maksimum antena yang diukur dengan antena referensi yang diketahui gainnya. Maka dapat dituliskan pada Persamaan 2.3 [4]:
= ���� � �
���� � (2.3)
Atau jika dihitung dalam nilai logaritmik dirumuskan oleh Persamaan 2.4 [4]:
= [ − ] + (2.4)
Dimana :
= Gain total antena
= Nilai level sinyal maksimum yang diterima antena terukur (dBm) = Nilai level sinyal maksimum yang diterima antena referensi (dBm)
= Gain antena referensi
2.1.1.3Pola Radiasi
Pola radiasi dari sebuah antena didefinisikan sebagai fungsi matematis atau gambaran secara grafis dari karakteristik radiasi sebuah antena sebagai fungsi dari koordinat ruang. Pada kasus secara keseluruhan, pola radiasi dihitung/diukur pada medan jauh dan digambarkan kembali sebagai koordinat arah. Karakteristik radiasi mencakup rapat flux daya, intensitas radiasi, kuat medan, keterarahan/direktivitas, fasa atau polarisasi. Karakteristik radiasi yang menjadi pusat perhatian adalah distribusi energi radiasi dalam ruang 2 dimensi maupun 3 dimensi sebagai fungsi dari posisi pengamat di sepanjang jalur dengan jari-jari yang konstan. Contoh koordinat yang sesuai diperlihatkan pada Gambar 2.2[4]. Radiasi antena terdiri dari tiga komponen medan elektromagnetik (medan listrik dan medan magnet) yaitu ,
Ø, ɵ dan , Ø, ɵ dimana r adalah radius radiasi, Ø adalah lebar sudut radiasi terhadap azimuth, dan ɵ adalah lebar sudut radiasi terhadap elevasi.
Gambar 2.2 Sistem koordinat untuk menganalisis antena
2.1.1.4Beamwidth
Beamwidth adalah besamya sudut berkas pancaran gelombang frekuensi radio utama (main lobe) yang dihitung pada titik 3 dB menurun dari puncak lobe utama [2]. Besarnya beamwidth dapat dihitung dengan persamaan 2.5[6] :
= .�, (2.5)
Dimana :
Bw = 3 dB beamwidth (derajat) f = frekuensi (GHz)
Gambar 2.3 menunjukkan tiga daerah pancaran yaitu lobe utama (main lobe, nomor 1), lobe sisi samping (side lobe, nomor 2) dan lobe sisi belakang (back lobe, nomor 3).
Gambar 2.3 Beamwidth antena
Half Power Beamwidth (HPBW) adalah daerah sudut yang dibatasi oleh titik-titik setengah daya atau -3 dB atau 0.707 dari medan maksimum pada lobe utama. First Null Beamwidth (FNBW) adalah besar sudut bidang diantara dua arah pada main lobe yang intensitas radiasinya nol.
2.1.1.5Bandwidth
Bandwidth suatu antena didefinisikan sebagai rentang frekuensi dimana kerja yang berhubungan dengan berapa karakteristik (seperti impedansi masukan, pola, beamwidth, polarisasi, gain, efisiensi, VSWR, return loss, axial ratio) memenuhi spesifikasi standar [4]. Gambar 2.4 menunjukkan bandwidth antena.
Dari Gambar 2.4 diketahui f1 adalah frekuensi bawah, f2 adalah frekuensi atas dan fc merupakan frekuensi tengah. Dengan melihat Gambar 2.4 bandwidth dapat dicari dengan menggunakan Persamaan 2.6 [5] :
% = − % (2.6)
Bandwidth yang dinyatakan dalam persen seperti ini biasanya digunakan untuk menyatakan bandwidth antena yang memiliki band sempit (narrow band). Sedangkan untuk band yang lebar (broad band) biasanya digunakan definisi rasio antara batas frekuensi atas dengan frekuensi bawah.
2.1.1.6Voltage Standing Wave Ratio (VSWR)
VSWR adalah perbandingan antara amplitudo gelombang berdiri (standing wave) maksimum (|V|max) dengan minimum (|V|min). Pada saluran transmisi ada dua komponen gelombang tegangan, yaitu tegangan yang dikirimkan ( +) dan tegangan yang direfleksikan ( −). Pebandingan tegangan yang direfleksikan dengan yang dikirimkan disebut sebagai koefisien refleksi tegangan (Γ) yang dapat dicari dengan Persamaan 2.7 [8] :
Γ = �− �+ =
�− �
�+ � (2.7) di mana � adalah impedansi beban (load) dan adalah impedansi saluran. Rumus untuk mencari VSWR dituliskan pada Persamaan 2.8 [4] :
= | || | � = +|Γ|−|Γ| (2.8)
Kondisi yang baik adalah ketika VSWR bemilai 1, yang berarti tidak ada refleksi ketika saluran dalam keadaan matching sempurna. Namun, kondisi ini
kenyataannya sulit diperoleh. Oleh karena itu, nilai standar VSWR yang diijinkan dalam perancangan antena adalah < 2.
2.1.2 Antena Omnidireksional
Antena omnidireksional adalah sebuah perangkat antena yang mampu mengirim dan menerima sinyal ke dan dari segala arah. Antena jenis ini memiliki sudut pancaran (beamwidth) yang besar, namun memiliki jarak jangkauan yang kecil. Antena omnidireksional biasanya digunakan untuk keperluan hotspot atau access point karena cocok untuk hubungan komunikasi point-to-multi-point. Pola radiasi dari antena omnidireksional berbentuk seperti donat, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.5. Contoh dari antena omnidireksional yaitu antena ¼ lamda, antena monopole, antena rubber duck, dan lain-lain.
Gambar 2.5 Pola radiasi antena omnidireksional
2.1.3 Antena Unidireksional
Antena unidireksional memancarkan dan menerima sinyal hanya dari satu arah. Antena unidireksional mempunyai kemampuan direktivitas yang lebih dibandingkan jenis-jenis antena lainnya. Kemampuan direktivitas ini membuat
antena ini lebih banyak digunakan untuk koneksi jarak jauh. Dengan kemampuan direktivitas ini membuat antena mampu mendengar sinyal yang relatif kecil dan mengirimkan sinyal lebih jauh. Umumnya antena unidireksional mempunyai spesifikasi gain tinggi tetapi beamwidth kecil. Hal ini menguntungkan karena kecilnya beamwidth menyebabkan berkurangnya derau yang masuk kedalam antena. Semakin kecil bidang tangkapan(aperture), semakin naik selektivitas antena terhadap sinyal wireless yang berarti semakin sedikit derau yang ditangkap oleh antena tersebut[7].
Beberapa macam antena unidireksional antara lain antena Yagi-Uda, antena parabola, antena helix, antena biquad, antena log-periodik, dan lain-lain. Gambar 2.6 menunjukkan pola radiasi dari antena unidireksional.
Gambar 2.6 Pola radiasi antena unidireksional
2.2 Azimuth dan Elevasi
Azimuth ialah sudut dalam derajat yang diukur sepanjang garis horizon, diantara utara yang sesungguhnya dan titik posisi satelit yang ditranslasikan ke garis horizon. Azimuth selalu direpresentasikan searah jarum jam dari utara sebenarnya, dan selalu menunjukan nilai positif.
Elevasi (altitude) ialah sudut yang diukur sepanjang garis vertikal, antara horizon dengan target. Secara teori, elevasi dapat bernilai positif dan negatif, namun pada prakteknya nilai negatif tidak mungkin ditemui, karena hal itu berarti target berada di bawah garis horizon (di bawah permukaan bumi). Gambar 2.7 menunjukkan posisi dari sudut azimuth dan elevasi.
Gambar 2.7 Posisi sudut azimuth dan elevasi
Karena sudut azimuth dan elevasi terbentuk dari posisi stasiun pengirim dan stasiun penerima, maka dapat digunakan persamaan segitiga pythagoras untuk menentukan besar sudut azimuth maupun sudut elevasi.
Gambar 2.8 Merupakan segitiga siku-siku. Jika kita ingin mencari besar sudut di titik A, maka dapat dinyatakan pada Persamaan 2.9 [14] :
= tan ⁄ (2.9)
2.2.1 GPS (Global Positioning System)
GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi global yang dimungkinkan dengan beroperasinya satelit penentu posisi milik negara Amerika Serikat. Asalnya adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satelite Timing and Ranging Global Positioning System), yang kemudian disingkat GPS merupakan sistem radio navigasi satelit yang dikembangkan oleh United State Departement of Defense (DoD) untuk keperluan militer dalam penentuan posisi, kecepatan dan waktu secara teliti dalam segala cuaca pada sembarang waktu dimuka bumi (darat, laut dan udara). Selanjutnya dengan persetujuan US Congress, GPS kemudian dikembangkan untuk keperluan non–militer. Secara Teknis GPS adalah perpaduan satelit dan receiver yang mampu menunjukkan dan mencatat posisi suatu obyek dimuka bumi secara global.
Koordinat Geografi diukur dalam lintang dan bujur dalam besaran derajat desimal, derajat menit desimal, atau derajat menit detik. Lintang diukur terhadap ekuator sebagai titik NOL (0° sampai 90° positif kearah utara dan 0° sampai 90° kearah selatan). Bujur diukur berdasarkan titik NOL di greenwich (0° sampai 180° kearah timur dan 0° sampai 180° kearah barat)[9]. Gambar 2.9 merupakan tampak globe yang menunjukan letak lintang dan bujur pada bumi[8].
Gambar 2.9 Sistem kordinat latitude dan longitude
Dari berbagai format penulisan koordinat, ada tiga macam format koordinat yang dipakai pada GPS sebagai titik penentu lokasi suatu area, yakni[9]:
1. Koordinat yang mengandung derajat (degree), menit (minutes), dan detik (seconds), disebut juga DMS.
Format: derajat menit detik koma detik (dd mm ss.ss) Contoh: 40:26:46.302N 79:56:55.903W
Arti: Pada Lintang Utara (Latitude North) 40 derajat 26 menit 46,302 detik, Pada Bujur Barat (Longitude West) 79 derajat 56 menit 55,903 detik.
2. Koordinat yang mengandung derajat (degree) dan menit (minutes), disebut juga MinDec.
Format: derajat menit koma menit (dd mm.mmmm) Contoh: 76° 77.4564, -54° 34.5657
Arti : Pada Lintang Utara 76 derajat 77,4564 menit, Pada Bujur Barat 54 derajat 34,5657 menit.
3. Koordinat yang mengandung derajat saja (DegDec) Format: derajat koma derajat (dd.dddddd)
Arti: Pada Lintang Selatan 6, 257508 derajat, Pada Bujur Timur 106,745980 derajat.
2.2.2 Teorema Euclidean Distance
Euclidean distance adalah perhitungan jarak dari 2 buah titik dalam Euclidean space. Euclidean space diperkenalkan oleh Euclid, seorang matematikawan dari Yunani sekitar tahun 300 B.C.E. untuk mempelajari hubungan antara sudut dan jarak. Euclidean ini berkaitan dengan Teorema Phytagoras dan biasanya diterapkan pada 1, 2 dan 3 dimensi. Gambar 2.10 menunjukkan jarak antara dua titik koordinat. Untuk mencari jarak antara dua titik dinyatakan pada Persamaan 2.10 [14]:
= √ − + − (2.10) Dimana :
d = jarak antara kedua titik x1 = posisi titik A pada sumbu x x2 = posisi titik B pada sumbu x y1 = posisi titik A pada sumbu y y2 = posisi titik B pada sumbu y
Teori ini dapat digunakan untuk mencari jarak antara dua buah koordinat latitude dan longitude yang dapat dilihat pada Persamaan 2.11 [14]:
= √ � − � + � − � (2.11) Hasil perhitungan dari persamaan jarak diatas masih dalam satuan decimal degree (sesuai dengan format latitude dan longitude yang digunakan) sehingga untuk menyesuaikannya perlu dikalikan dengan 111,319 km (1 derajat bumi = 111,319 km) agar satuannya berubah menjadi km.
2.3 Dasar Teori Sistem Kontrol
Sistem kendali dapat didefinisikan sebagai hubungan antara komponen yang membentuk sebuah konfigurasi sistem, yang akan menghasilkan tanggapan sistem yang diharapkan. Jadi harus ada yang dikendalikan, yang merupakan suatu sistem fisis, yang biasa disebut dengan kendalian (plant).
Masukan dan keluaran merupakan variabel atau besaran fisis. Keluaran merupakan hal yang dihasilkan oleh kendalian, artinya yang dikendalikan; sedangkan masukan adalah yang mempengaruhi kendalian, yang mengatur keluaran.
A. Sistem kendali lup terbuka
Sistem kendali lup terbuka merupakan sebuah sistem dimana tidak terdapat elemen yang mengamati keluaran yang terjadi untuk dibandingkan dengan masukannya (yang diinginkan), meskipun menggunakan sebuah pengendali (controller) untuk memperoleh tanggapan yang diinginkan[10]. Gambar 2.11 menunjukkan bentuk diagram blok sistem kendali open loop.
Gambar 2.11 Blok diagram sistem kendali open loop
B. Sistem kendali lup tertutup
Sistem kendali lup tertutup adalah sistem kendali yang mempunyai umpan balik, yang berfungsi untuk mengamati keluaran yang terjadi untuk dibandingkan dengan masukannya (yang diinginkan). Gambar 2.12 menunjukkan bentuk diagram blok sistem kendali close loop.
Gambar 2.12 Blok diagram sistem kendali close loop
2.4 Arduino
Arduino didefinisikan sebagai sebuah platform elektronik yang open source, berbasis pada sofwtare dan hardware yang fleksibel dan mudah digunakan, yang ditujukan untuk para seniman, desainer, hobbies, dan setiap orang yang tertarik dalam membuat objek atau lingkungan yang interaktif[11].
Nama Arduino di sini tidak hanya dipakai untuk menamai papan rangkaiannya saja, tetapi juga untuk menamai bahasa dan software pemrogramannya, serta lingkungan pemrogramannya atau IDE-nya (IDE =
Integrated Development Environment). Gambar 2.13 menujukkan tampilan dari beberapa Arduino.
Gambar 2.13 Jenis-jenis Arduino
Kelebihan Arduino dari platform hardware mikrokontroler lainnya adalah: