• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

IV. METODE PENELITIAN

4.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

4.2.2. Pengujian Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

Agar hasil regresi dapat menjadi suatu model yang baik, dilakukan pengujian-pengujian terlebih dahulu. Pengujian tersebut adalah pengujian secara statistik dan ekonometrika.

Uji Statistik

1. Uji F

Uji F digunakan untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas secara keseluruhan atau uji hipotesis bagi koefisien regresi secara serentak. Atau uji ini menunjukan apakah sekelompok variabel secara bersamaan berpengaruh terhadap variabel terikat. Jika nilai F yang diperoleh (F-hitung) signifikan berarti semua variabel yang digunakan dalam menduga model secara bersamaan mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat (Ananta, 1987).

Hipotesis :H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = β6 = 0 H1 : minimal ada satu βi 0

Kriteria pengujiannya sebagi berikut :

Probability F-statistic > taraf nyata (α) : Tolak H0

Probability F-statistic < taraf nyata (α) : Terima H0

Jika H0 ditolak (nilai F yang diperoleh signifikan) maka variabel bebas yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas begitu juga sebaliknya jika H0 diterima maka variabel bebas yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas.

2. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Untuk melihat apakah model baik untuk digunakan ukuran ‘kebaikan suai’ (goodness of fit = R2). Koefisien R2 menyatakan seberapa besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas dalam model terhadap variabel tak bebas dan mengukur seberapa kuat variabel dalam model dapat menjelaskan model. Nilai besaran R2 memiliki batas antara 0 dan 1 (Gujarati, 2003). Jika R2 besar maka model yang digunakan cukup baik, jika R2 kecil bukan berarti model tidak baik tetapi ada variabel lain diluar persamaan yang berpengaruh terhadap variabel tak bebas.

3. Uji t

Uji ini digunakan untuk suatu hipotesis yang telah dijelaskan sebelumnya dan untuk mengetahui apakah koefisien yang digunakan setiap variabel berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Statistik t menunjukan peran tiap variabel secara sendirian, dikontrol oleh variabel bebas lainnya dalam persamaan yang bersangkutan dalam menerangkan variasi variabel terikat (Ananta, 1987).

43

Hipotesis : H0 : βi = 0 H1 : βi 0

Kriteria pengujiannya sebagai berikut :

Probability t-statistic > taraf nyata (α) : Tolak H0

Probability t-statistic < taraf nyata (α) : Terima H0

Jika H0 ditolak maka variabel bebas yang digunakan berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas . Maka tanda dan besarnya koefisien mempunyai makna. Bila H0 diterima maka variabel bebas yang digunakan tidak berpengaruh nyata. Tidak ada gunanya melihat tanda dan besarnya koefisien karena sesungguhnya nilai tersebut sama dengan nol (Ananta, 1987).

4. Uji Normalitas

Uji normalitas pada penelitian ini digunakan karena jumlah observasi pada penelitian ini kurang dari 30 observasi. Uji ini digunakan untuk melihat apakah error term mendekati distribusi normal. Dalam E-views 4.1 uji ini dilakukan dengan melihat nilai probabilitas Jarque-Bera. Jika nilai probabilitas tersebut lebih besar dari taraf nyata (α=10%) yang digunakan maka model OLS tidak memiliki masalah normalitas atau error term terdistribusi dengan normal.

Uji Ekonometrika

1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas menunjukan adanya hubungan linear diantara masing-masing variabel bebas yaitu adanya korelasi yang kuat pada sesama variabel bebas (Gujarati, 2003). Uji multikolinearitas dapat juga dilakukan dengan melihat

koefisien korelasi antar variabel bebas yang terdapat pada matriks korelasi. Suatu model tidak mengandung gejala multikolinearitas jika nilai mutlak koefisien korelasi antar variabel bebas lebih kecil dari ⎜0,8⎜.

Jika multikolinearitas terjadi sempurna akan berakibat tidak dapat ditentukannya koefisien dari variabel bebas dan standar deviasi dari koefisien dan varian akan sangat besar. Jika dari hasil uji didapatkan nilai R2 besar, F-hitung besar, dan t-hitung juga besar maka multikolinearitas tidak terjadi, atau terjadi multikolinearitas dengan derajat yang rendah.

Uji Klein dilakukan jika hasil pada matriks korelasi pada uji multikolinearitas masih terdapat nilai korelasi yang lebih tinggi dari ⏐0,8⏐. Dengan menggunakan uji Klein apabila nilai korelasi antar variabel bebas (r2) tersebut tidak melebihi nilai R-Squared (R2), maka multikolinearitasnya dapat diabaikan.

Menurut Klein, multikolinearitas terjadi apabila : r2 xi, xj R2 y, x1, x2, …, xk

2. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas terjadi jika nilai varian dari variabel bebas/eksogen memiliki nilai yang berbeda (Gujarati, 2003). Untuk mengetahui terjadinya heteroskedastisitas dengan melihat nilai probability Obs*R-Square pada uji White Heteroscedasticity, jika nilainya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan atau model tidak memiliki heteroskedastisitas. Akan tetapi meskipun ada heteroskedastisitas, nilai dugaan berdasarkan OLS akan tetap unbiased dan konsisten tapi tidak efisien, yang berarti nilai varian lebih besar dari varian yang minimum.

45

Kiteria Pengujiannya :

probabilityObs*R-Square < taraf nyata (α) : Tolak H0

probabilityObs*R-Square > taraf nyata (α) : Terima H0

Jika H0 ditolak maka terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, jika H0

diterima maka tidak terdapat gejala heteroskedastisitas pada model.

3. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil regresi model tidak mengandung korelasi serial diantara disturbance term. Autokorelasi adalah adanya korelasi antara error/gangguan anggota observasi (Ananta, 1987). Munculnya autokorelasi disebabkan oleh kesalahan spesifikasi misalkan terabaikanya suatu variabel penting atau bentuk persamaan/fungsi yang tidak tepat atau adanya lag (keterlambatan). Akibatnya varian yang diperoleh under estimated. Autokorelasi juga dapat dilihat dari Obs*R-Square pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM jika nilainya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan atau model tidak memiliki autokorelasi.

Kriteria Pengujiannya :

probabilityObs*R-Square < taraf nyata (α) : Tolak H0 probabilityObs*R-Square > taraf nyata (α) : Terima H0

Jika H0 ditolak maka terjadi autokorelasi (positif atau negatif) pada model, jika H0 diterima maka tidak terdapat autokorelasi pada model.

5.1. Kegiatan Impor Komoditas Keramik

Beberapa permasalahan yang dialami oleh para produsen dan pelaku bisnis di industri keramik Indonesia, menjadi alasan bagi para produsen untuk menjadi importir keramik daripada memproduksi keramik di dalam negeri. Permasalahan tersebut diawali dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas alam, rencana kenaikan tarif listrik, ancaman demonstrasi buruh, maraknya keramik ilegal dari China dengan harga yang lebih murah, hingga kebijakan pemerintah yang kurang mendukung. Permasalahan tersebut membuat para produsen memiliki anggapan lebih menguntungkan menjadi importir daripada memproduksi keramik di dalam negeri. Biaya produksi keramik di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan negara lain 1.

Dari segi bahan baku, selain mengimpor produk keramik (barang jadi), Indonesia juga mengimpor bahan baku keramik meskipun beberapa jenis bahan baku tersedia didalam negeri. Produsen keramik tableware (TW) (keramik pecah-belah/peralatan rumah tangga) mengimpor bahan baku keramik dan produk keramik setengah jadi yang sudah siap pakai untuk kemudian diselesaikan (finishing) di Indonesia dan diekspor kembali (Hasil Kajian Dirjen IKAH, Dept.Perindustrian, 2003).

47

Dari segi harga dan pasar, maraknya produk keramik impor dalam beberapa tahun terakhir ini dinilai oleh para produsen keramik Indonesia sangat merugikan. Hal ini terjadi karena produk-produk keramik impor tersebut sudah menguasai pasar keramik domestik dengan strategi harga yang lebih murah dibandingkan produk keramik domestik. Umumnya negara-negara pemasok keramik dapat menjual dengan harga yang lebih murah karena biaya produksi di negara pemasok tersebut lebih rendah.

Berdasarkan Tabel 6 (lampiran 1) menunjukan bahwa dari semua jenis produk yang dihasilkan oleh industri keramik Indonesia, ketiga jenis produk keramik yang dianalisis dalam penelitian ini merupakan produk keramik yang paling banyak diimpor. Oleh karena itu ketiga jenis produk keramik ini dijadikan objek penelitian yang diharapkan dapat mewakili industri keramik secara keseluruhan.

Selain dilihat dari sisi ekspor, ketiga jenis produk keramik yang dianalisis dalam penelitian ini juga lebih banyak diekspor dibandingkan produk keramik lainnya. Maraknya produk keramik impor (keramik lantai, tableware, dan saniter) di pasar keramik dalam negeri bukan berarti ketiga jenis produk keramik tersebut tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Dilihat dari jumlah yang diproduksi dan diekspor menunjukan bahwa maraknya impor bukan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dari ketiga jenis keramik yang dianalisis dalam penelitian ini, jenis keramik tableware (TW) adalah produk keramik yang paling banyak diimpor. Volume impor keramik TW yang lebih besar tersebut disebabkan karena produk keramik

TW lebih banyak jenis atau macamnya dan memiliki perbedaan harga yang cukup besar dengan produk keramik impor. Dari segi persaingan, lonjakan impor keramik ini membuat pemerintah menetapkan beberapa kebijakan untuk melindungi produsen domestik dan membatasi impor. Kebijakan pemerintah itu antara lain adalah peningkatan tarif Bea Masuk (BM), pengenaan tarif Safeguard, dan juga rencana verifikasi impor keramik di negara asal. Peningkatan impor juga dapat mengindikasikan bahwa dari segi produksi didalam negeri belum efisien, sehingga aspek produksi di industri keramik dalam negeri perlu diperbaiki.

5.2. Negara Pemasok Keramik Impor dan Komoditas Keramik Impor Utama Selain Indonesia yang memiliki industri keramik dan telah menghasilkan berbagai produk keramik berkualitas, terdapat juga beberapa negara sebagai penghasil keramik bahkan telah mengekspor keramik tersebut ke beberapa negara termasuk Indonesia. Dari beberapa negara pemasok keramik ke Indonesia, diantaranya adalah negara berkembang. Hal ini terjadi karena pendirian pabrik-pabrik pembuatan keramik akan menyebabkan polusi udara sebagai sisa dalam proses produksi, dan negara maju tidak menginginkan adanya polusi udara tersebut. Hal inilah yang menjadi penyebab mayoritas pabrik keramik didirikan di negara-negara berkembang. Begitu juga halnya dengan Indonesia, untuk keramik saniter di pasar domestik terdapat 8 produsen besar (PT Surya Toto Indonesia, PT Indo American Ceramic/American Standard Indonesia, PT Inti Furin Keramindo, PT Radian Ceramika, PT Phoenix Sanitair, PT Inax Internasional, PT Pearl, PT Sarana Purna Cipta) dengan kapasitas keseluruhan mencapai 4.36 juta unit,

49

dimana kedelapan produsen tersebut berstatus PMA (Penanaman Modal Asing) (www.republika.co.id).

Besarnya peluang pasar produk keramik (baik keramik lantai/ubin, TW, maupun saniter) di Indonesia, membuat Indonesia menjadi salah satu negara tujuan ekspor produk keramik dari negara-negara produsen lainnya. Pada akhirnya selain produksi lokal, terdapat juga produk-produk keramik dari negara lain yang juga mengisi pasar domestik.

Secara keseluruhan untuk ketiga jenis produk keramik, China merupakan negara pemasok utama produk-produk keramik impor ke Indonesia. Dimana serbuan keramik impor China khususnya yang ilegal telah merugikan produsen dan industri keramik domestik. Berdasarkan hasil penelitian Dept. Perindustrian, bahwa produk keramik impor yang masuk ke Indonesia 90 persennya berasal dari China.

Produk keramik ilegal yang masuk ke Indonesia sangat merugikan negara, karena produk-produk tersebut tidak membayar pajak yang telah ditetapkan. Berdasarkan data Bea dan Cukai China terjadi perbedaan nilai yang signifikan antara data ekspor keramik China ke Indonesia dengan data impor keramik Indonesia dari China (versi BPS).

Tabel 7. Perbedaan Data Ekspor China ke Indonesia dan Data Impor Indonesia dari China.

Tahun Satuan Bea Cukai China BPS Indonesia Selisih 2003 US$ 62500 39400 23100 2004 US$ 80000 55900 24100 2005 US$ 91500 41300 50200

Membanjirnya produk keramik impor mengancam industri keramik dalam negeri, karena harga beberapa produk impor lebih rendah sehingga persaingan dilihat dari segi harga bukan kualitas. Daya saing keramik domestik lemah dari segi harga, karena struktur biaya di Indonesia yang masih tinggi.

Tabel 8. Negara Pemasok Utama Keramik Lantai HS 6907 dan 6908. VOLUME (Kg) NEGARA PEMASOK UTAMA 1999 2000 2001 2002 2003 2004 REP.RAKYAT CINA 65192 854183 7423828 18134039 49671479 136189215 THAILAND 738476 4048695 1625643 751205 868591 1854918 SPANYOL 104890 1181808 1167850 3676763 1572337 1078025 ITALIA 106722 597020 668587 706058 549164 504024 TAIWAN 6497 276330 1443559 64893 12029 1540931 HONGKONG 1267 5280 656593 325608 447003 1287110 SINGAPURA 8305 512324 98352 6285 71624 994033 AUSTRALIA 23022 3390 133926 266553 134479 109405 Sumber : ASAKI, diolah.

Kondisi keramik lantai jauh lebih aman jika dibandingkan dengan keramik tableware (TW) dan keramik saniter. Dari segi kualitas produk keramik lantai lebih unggul dan tidak kalah bersaing dengan produk impor serupa. Selain itu supply dalam negeri juga tetap terjaga. Untuk keramik lantai, China masih menjadi negara pemasok terbesar diantara negara lainnya. Sama halnya dengan keramik saniter, negara-negara pemasok keramik lantai juga tidak hanya berasal dari benua Asia saja, tetapi juga dari Eropa. Meskipun impor keramik lantai dari China cukup besar, akan tetapi harga produk impor dari China masih diatas harga domestik sehingga produsen keramik lantai masih aman. Persaingan terjadi dari segi kualitas bukan harga.

51

Untuk keramik TW selain dari China, impor juga berasal dari Amerika Serikat, Australia, Hong Kong, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Malaysia, Perancis, Republik Korea, Singapura, Taiwan, dan Thailand.

Tabel 9. Negara Pemasok Utama Keramik TablewareHS 6911dan 6912. VOLUME (Kg) NEGARA PEMASOK UTAMA 1999 2000 2001 2002 2003 2004 REP.RAKYAT CINA 11664970 22802445 18517869 35795621 40522773 55818652 HONGKONG 25436 532821 370388 354140 1174323 627377 JEPANG 1740 34144 34147 286146 78817 31747 SINGAPURA 37525 257674 272936 38249 170366 132062 THAILAND 3952 72546 17845 110181 10575 46244 Sumber : ASAKI, diolah.

Dari tabel tersebut menunjukan bahwa negara yang pasokannya paling besar adalah China. Bahkan pada tahun 2002, produk impor China mencapai 97 persen dari total impor pada tahun itu dengan harga rata-rata impor US$ 400 per ton (Dept. Perindustrian, 2003). China memiliki daya saing dengan negara lain karena tersedianya bahan baku keramik dengan kualitas baik serta rendahnya tarif BM Indonesia untuk keramik TW baik untuk HS 6911 maupun HS 6912 yaitu sebesar 5 persen. Selain itu dari tabel diatas terlihat bahwa negara-negara pemasok keramik TW utama semuanya berasal dari Asia.

Besarnya volume impor China disebabkan produksi keramik TW di China telah melampaui kebutuhan nasionalnya, oleh karena itu China mengekspor produk-produk keramik tersebut ke berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. China juga membanjiri pasar dunia dengan harga yang murah. Berbeda dengan keramik lantai yang permintaannya masih cukup tinggi di negaranya (China), sehingga ekspor keramik lantai tergolong rendah.

Keramik TW adalah jenis keramik yang paling besar terkena dampak lonjakan impor. Berdasarkan hasil penelitian KPPI (Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia) dalam kurun waktu dari tahun 1999 sampai 2004, industri keramik TW dalam negeri menerima kerugian serius yang disebabkan kenaikan impor secara signifikan.

Keramik saniter pun terkena lonjakan impor, karena prospek pasar produk saniter yang bagus di Indonesia. Tingkat konsumsi bagi masyarakat kelas atas yang masih tinggi juga masih banyaknya kebutuhan akan produk saniter bagi masyarakat kelas menengah bawah membuat industri keramik saniter menarik bagi produsen dari luar negeri untuk mengisi pasar lokal. Sama halnya dengan keramik tableware (TW), China pun menempati urutan pertama sebagai negara pemasok produk saniter ke Indonesia. China mengisi segmen pasar bagi kelas menengah bawah dan lebih mementingkan volume daripada kualitas dan nilai produk. Keramik impor China tersebut banyak yang ilegal yang berarti tidak membayar pajak, sehingga harganya lebih rendah dari produk dalam negeri yang sejenis. Komoditi utamanya yaitu keramik kloset jongkok.

Tabel 10. Negara Pemasok Utama Keramik Saniter HS 6910. VOLUME (Kg) NEGARA PEMASOK UTAMA 1999 2000 2001 2002 2003 2004 REP.RAKYAT CINA 9398 137815 371612 977699 2120717 6859604 SINGAPURA 16613 23389 24631 7790 16959 106421 AMERIKA SERIKAT 8820 7129 50312 19881 14168 41167 ITALIA 41147 143 8511 10355 18777 19653 SPANYOL 111 0 2599 2557 7462 57889 TAIWAN 6149 30265 3457 7973 8285 787 JEPANG 3311 2285 149 348 1626 3802

53

Dilihat dari perkembangan negara pemasok keramik saniter ke Indonesia dari tahun 1999 sampai 2004, bahwa untuk keramik saniter negara pemasoknya lebih bervariasi tidak hanya dari Asia saja tetapi juga dari Eropa. Amerika serikat turut berperan karena salah satu pabrik keramik saniter di Indonesia merupakan kerjasama dengan Amerika (PMA dari Amerika), dimana merek keramik saniter perusahaan itu sudah terkenal dikalangan konsumen produk saniter. Meskipun harganya relatif mahal tapi tetap memiliki segmen pasar sendiri yaitu masyarakat kelas atas, perusahaan, dan hotel-hotel berbintang.

Dilihat secara keseluruhan, bahwa negara China memang mendominasi pasar domestik dengan berbagai jenis keramik. China memang memiliki bahan baku yang berkualitas dan memiliki struktur biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia dan juga negara lainnya. Sedangkan keramik impor paling banyak adalah keramik tableware (TW). Meskipun volume impor keramik lantai lebih besar dari keramik TW, akan tetapi dilihat dari volume produksi keramik TW domestik yang jauh lebih kecil dari keramik lantai, dengan volume impor sebesar itu, keramik TW jauh lebih besar terkena dampak impor keramik. Keramik TW juga memiliki bermacam-macam jenis dan bentuk sehingga lebih bervariasi dan banyak produk impornya.

5.3. Perkembangan Impor komoditas Keramik dari Beberapa Aspek 5.3.1. Aspek Pasar

Penguasaan pasar produk keramik impor tidak bisa dianggap sesuatu hal yang kecil. Dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, industri keramik nasional dihadapkan pada maraknya produk keramik impor dengan harga yang

lebih murah. Dengan strategi harga tersebut produk keramik impor mendapat posisi yang cukup kuat dipasar dalam negeri. Hal itulah yang dianggap para produsen sangat merugikan mereka, karena mempengaruhi sistem perdagangan didalam negeri dan menyebabkan persaingan yang tidak sehat antar sesama produsen lokal dalam mengimbangi harga produk keramik impor.

Bagi keramik tableware (TW) yang lebih terkena dampak lonjakan impor ini, adanya produk keramik impor sangat merugikan. Pada tahun 1999 nilai persentase impor dalam menyerap pasar domestik hanya sebesar 46.9 persen kemudian meningkat pada tahun 2000 menjadi sebesar 65.7 persen. Kemudian pada tahun 2001 persentase tersebut menurun menjadi sebesar 48.3 persen akan tetapi pada tahun 2003 meningkat tajam menjadi sebesar 70.7 persen. Hal tersebut juga terjadi pada keramik saniter dan keramik lantai.

Tabel 11. Persentase Total Impor Nasional Terhadap Kebutuhan Domestik. Tahun Keramik Lantai Keramik

Tableware Keramik Saniter 2000 0.5 65.7 20.0 2001 0.6 48.3 4.7 2002 1.3 72.4 3.3 2003 2.9 73.9 6.5 2004 5.8 81.0 15.6 2005 (November) 5.3 68.5 13.8 Sumber : ASAKI (2000-2005).

Dari persentase tersebut menunjukan bahwa keramik impor tersebut mampu menyerap kebutuhan domestik. Hal ini terjadi karena dari keseluruhan keramik impor yang masuk ke Indonesia terdapat beberapa keramik yang masuk ke Indonesia dengan cara yang ilegal. Selain itu beberapa produk keramik impor memiliki harga lebih murah dibandingkan dengan harga keramik domestik. Bagi

55

konsumen menengah bawah, dalam memilih produk keramik pertimbangan utamanya adalah masalah harga kemudian kualitas. Selama peluang pasar dalam negeri tetap terbuka, masih ada harapan bagi produsen dan industri keramik Indonesia untuk bisa menjadi ‘tuan rumah’ di negaranya sendiri.

5.3.2. Aspek Harga

Produk-produk keramik impor khususnya dari China memiliki daya saing dari segi harga, sehingga produsen lokal harus bersaing untuk mengimbangi harga keramik impor tersebut. Untuk keramik tableware (TW) dan keramik saniter terjadi perbedaan harga yang cukup besar antara keramik buatan lokal dengan keramik impor sehingga daya saing produk lokal dari segi harga cukup lemah. Produk keramik impor yang merugikan ini terutama berasal dari impor ilegal.

Pada tahun 2000 impor keramik TW masih dapat diimbangi oleh produk lokal karena dikategorikan sebagai barang mewah sehingga dikenai Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn-BM) sebesar 40 persen. Akan tetapi setelah pajak tersebut tidak diberlakukan terjadi peningkatan volume impor keramik TW. Sedangkan untuk keramik lantai, harga keramik lantai dari China sebagai pesaing utama diatas Rp 50000/meter. Dimana harga tersebut berada diatas harga keramik lantai domestik, sehingga posisi keramik lantai Indonesia masih aman.

Penentuan harga dalam industri keramik lantai dapat ditentukan oleh masing-masing pabrik dengan melihat biaya produksi yang telah dikeluarkan. Harga keramik lantai paling murah di dalam negeri yaitu sekitar Rp 20000 untuk jenis keramik polos dengan ukuran 30 X 30 cm, sedangkan untuk harga atas (harga tertinggi) tidak dibatasi. Penentuan harga di ASAKI dilakukan satu bulan

sekali pada saat rapat bulanan. Harga keramik lantai mengikuti hukum penawaran dan permintaan yaitu harga akan turun jika permintaan sedang sedikit begitu juga sebaliknya. Seperti pada Desember 2004 hingga Februari 2005 dimana harga keramik lantai saat itu naik hingga 20 persen.

Harga produk lokal yang lebih mahal dibandingkan dengan produk impor (dari China) disebabkan karena struktur biaya di Indonesia masih tinggi dibanding dengan negara lain. Struktur biaya yang tinggi disebabkan oleh biaya produksi yang masih relatif besar. Pemicunya adalah kenaikan harga BBM yang diikuti oleh kenaikan biaya transportasi dan upah tenaga kerja. Besarnya biaya produksi juga disebabkan masih banyaknya bahan baku yang harus diimpor dari negara lain. Peraturan jam kerja lembur (tenaga kerja) juga memicu besarnya biaya produksi.

5.3.3. Aspek Persaingan

Dengan masuknya produk keramik impor dipasar domestik, berarti semakin ketat persaingan bagi para produsen, terlebih lagi dalam mengimbangi harga beberapa produk impor yang relatif lebih rendah. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi terjadinya persaingan yang tidak sehat yaitu dengan menetapkan kebijakan Tarif Bea Masuk Indonesia (TBMI). Pada awalnya sebelum tahun 2005, tarif BM Indonesia untuk semua jenis keramik adalah 5 persen sedangkan negara-negara lainnya seperti China tarifnya sebesar 18 persen, Malaysia 30 persen, Filipina 30 persen, Vietnam 45 persen, Kamboja 7 persen, Laos 5 persen, Myanmar 3 persen dan Singapura sebesar 0 persen (Dept. Perindustrian, 2003).

57

Perbedaan itu menunjukan bahwa tarif yang berlaku di Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya.

TBMI yang rendah tersebut memicu besarnya nilai impor yang masuk ke Indonesia baik secara legal maupun ilegal. Sehingga semakin lama produsen domestik tidak bisa bersaing dengan produsen asing dan menyempitnya pasar produk keramik dalam negeri. Terlebih lagi untuk produk-produk TW setelah dibebaskannya tambahan tarif penjualan barang mewah untuk keramik TW impor maupun lokal sejak tahun 2000. Pada akhirnya, dibebaskannya PPn-BM sebesar 40 persen dari tarif BM 5 persen mengakibatkan produsen lokal semakin sulit bersaing dengan produk impor khususnya China (SK Menkeu No.381/KMK.03/2001, 25 Juni 2001 - Dept. Perindustrian, 2003). Sehingga untuk mengatasi terjadinya persaingan tidak sehat antara sesama produsen, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam SK Menteri Keuangan No.591/PMK.010/2004 tentang program harmonisasi Tarif BM tahun 2005-2010 untuk produk-produk Pertanian, Perikanan, Pertambangan, Farmasi, Keramik dan Besi baja.

Dokumen terkait