• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Hipotesis

Gambar 4.4. Hasil Model Struktural

Hasil dari pengolahan smartPLS versi 3.0 dapat dilihat pada Gambar 4.4 diatas. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada variabel commitment management memiliki nilai tertinggi pada CM2 (rasa saling percaya/trust) dengan nilai sebesar 0,908. Variabel collaborating planning memiliki nilai indikator tertinggi pada CP3 (terbuka pada mitra dalam berbagi informasi) dengan nilai sebesar 0,901. Variabel ketiga, yaitu information sharing memiliki nilai indikator tertinggi pada IS3 (informasi yang diperoleh dari mitra lengkap dan sesuai kebutuhan) dengan nilai sebesar 0,928. Variabel keempat, yaitu buyer-supplier relationship, memiliki nilai indikator tertinggi pada BS4 (perusahaan dan mitra berupaya meningkatkan kapasitas produksi) dengan nilai sebesar 0.929. Pada variabel supplay chain performance nilai indikator tertinggi pada SP1 (berhasil menjaga kestabilan pasokan bahan baku) dengan nilai sebesar 0,939. Nilai – nilai pada indikator-indikator yang tertinggi ini memiliki pengaruh dan menentukan keberhasilan dari penelitian.

0,387

0,337 0,344

Gambar 4.5. Hasil Analisa Model Struktural Setelah Trimming

Hubungan kausalitas yang dikembangkan dalam hipotesis ini perlu diuji dengan cara menguji hipotesis nol. Pengujian hipotesis pada penelitian ini dilakukan dengan pengujian outer model untuk setiap indikator dan inner model yakni variabel laten eksogen terhadap endogen dan variabel laten endogen terhadap endogen. Berdasarkan uji signifikansi yang dilakukan pada sub bab 4.2.2.2, maka dilakukan triming dengan cara Commitment

management

Collaborative planning

Supplay chain performance Buyer-supplier

relationship

membuang jalur – jalur yang tidak signifikan sehingga didapatkan hasil analisa jalur pada Gambar 4.5.

Melalui Gambar 4.5, dapat dilihat kita lihat bahwa collaborative planning yang terbentuk dalam rantai pasok tidak berpengaruh atau tidak mempengaruhi buyer-supplier relationship. Top manajemen memiliki peranan yang paling besar terhadap terjalinnya buyer-supplier relationship, namun untuk mencapai supplay chain performance tentunya peranan buyer-supplier relationship sangat besar pengaruhnya.

4.4 Pembahasan

Hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan model persamaan struktural (PLS) melalui program smartPLS menghasilkan bahwa dari enam hipotesis terdapat empat hipotesis yang diterima. Dua hipotesis yang kurang signifikan adalah collaborating planning berdampak positif terhadap buyer-supplier relationship, dan information sharing memberikan dampak positif terhadap buyer-supplier relationship.

4.4.1 Pengaruh Commitment Management terhadap Buyer-Supplier Relationship

Komitmen merupakan motivasi untuk memelihara dan memperpanjang hubungan (Handoko, 2008). Menurut Morgan dan Hunt (1994) komitmen harus menjadi sebuah variabel penting dalam menentukan kesuksesan hubungan. Berry dan Parasuraman (1991, dalam Handoko, 2008) menyarankan hubungan bergantung pada komitmen yang saling menguntungkan antara pembeli dan penjual. Ketika motivasi untuk memelihara hubungan tinggi, maka ada kemungkinan dimana kualitas hubungan juga tinggi. Hubungan yang awet menunjukkan sebuah kepastian derajad komitmen antara pembeli-penjual (Parsons, 2001). Studi Wetzels et.al. (1998), dalam Handoko, (2008) menyatakan semakin tinggi komitmen yang di bangun dari kepuasan dan kepercayaan maka semakin tinggi kualitas hubungan saluran antara pemasok dan penyalur. Hal senada juga dinyatakan oleh Morgan dan Hunt (1994), yaitu semakin tinggi komitmen

yang dibangun atas kepercayaan dan kepuasan layanan maka semakin tinggi kualitas hubungan yang berkesinambungan. Gundlach et.al., (1995, dalam Soetomo, 2004) menyatakan bahwa semakin tinggi komitmen yang dapat dibangun baik oleh pemasok maupun pembeli akan memperkokoh hubungan kerjasama yang mereka bangun.

Dari hasil pengolahan SmartPLS.3 pada penelitian ini menunjukkan nilai estimasi parameter pengaruh commitment management terhadap buyer-supplier relationship sebesar 0.337 dengan nilai critical ratio sebesar 2.03. Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa commitment management memberikan pengaruh terhadap terjalinnya buyer-supplier relationship. Pada indikator perusahaan dan mitra menjalankan kontrak kerja secara konsisten (dalam variabel Commitment managent) mendapatkan respon yang penilaian yang tinggi, dimana implementasi dilapangan peneliti mendapatkan fakta bahwa komitment manajemen kepada mitra kerjanya untuk melakukan pembayaran kepada supplier sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati, memberikan dampak yang positif kepada kinerja supplier untuk memberikan pelayanan pasokan bahan baku lebih baik. Tidak kalah pentingnya untuk indikator perusahaan dan mitra kerja saling memupuk rasa saling percaya, dampak positif yang dirasakan kedua belah pihak adalah tidak ada rasa saling curiga dalam proses supplay dan penerimaan bahan baku sehingga kualitas hubungan kerja antara kedua belah pihak menjadi lebih baik (Handoko, 2008).

Untuk itu dapat disimpulkan bahwa untuk mendukung terjalinnya buyer-supplier relationship, sangat dibutuhkan commitment management yang menjalankan kontrak kerja secara konsisten dan komitment untuk memupuk rasa saling percaya atara perusahaan dan mitra kerjanya (Venska Stefani, Oki Sunardi, 2014).

4.4.2 Pengaruh Commitment Management terhadap Information Sharing Komitmen manajemen puncak terhadap mitra rantai pasok untuk memfasilitasi akses informasi akan meningkatkan aktivitas hubungan

kerjasama (Chambra dan Polo, 2010), serta dapat membantu menghindari konflik antar mitra rantai pasok (Kim et al., 2009). Untuk mendukung arus informasi yang transparan dari seluruh mata rantai pasok yang terlibat diperlukan komitmen disertai dengan ketersediaan database (Gaspersz, 2002). Komitmen manajemen puncak untuk terbuka dalam berbagi informasi memungkinkan anggota rantai pasok untuk mendapatkan, menjaga, dan menyampaikan informasi yang dibutuhkan untuk memastikan pengambilan keputusan manjadi efektif, dan merupakan faktor yang mampu mempererat elemen-elemen kolaborasi secara keseluruhan (Simatupang & Sridharan dalam Yaqoub, 2012).

Dari hasil pengolahan SmartPLS.3 pada penelitian ini menunjukkan nilai estimasi parameter pengaruh commitment management terhadap information sharing sebesar 0.273 dengan nilai critical ratio sebesar 1.13. Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa commitment management tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap information sharing.

Peranan commitment management terhadap information sharing sangat penting dalam keberlangsungan rantai pasok (Chambra dan Polo, 2010). Namun dalam menjalankan hal tersebut sering terjadi kendala-kendala yang membuat komitmen manajemen tidak dapat dijalankan sepenuhnya. Seperti contohnya dari pihak manajemen perusahaan yang kurang kooperatif dalam berbagi informasi kepada pemasok, dimana pihak manajemen hanya menganggap kerjasama dengan supplier hanya sebatas pemenuhan bahan baku saja, sehingga pemasok tidak terlalu memahami rutinitas perusahaan dalam hal kebutuhan bahan baku perusahaan. Pihak manajemen perusahaan juga tidak memfasilitasi para karyawan dengan teknologi informasi yang memadai untuk melakukan transaksi informasi dengan mitra kerja seperti contoh pengadaan internet dan alat pendukungnya, karena pihak manajemen menganggap internet belum bisa dipergunakan diwilayah perusahaan karena layanan internet sering mengalami masalah. Untuk saat ini kebanyakan perusahaan memberikan informasi kepada mitra kerjanya melalui fax, namun pengiriman informasi

melalui fax saat ini kurang efektif karena kualitas informasi yang diberikan sering tidak dapat diolah dengan baik (kualitas tinta dan ketersediaan kertas fax). Dari permasalahan diatas peneliti menyimpulkan bahwa faktor karakteristik alam dan tidak adanya komitmen manajemen untuk terbuka dalam berbagi informasi dan memfasilitasi sarana teknologi informasi yang memadai, menjadi penyebab tidak siknifikannya variabel Commitment management terhadap Information sharing.

4.4.3 Pengaruh Commitment Management terhadap Collaborative Planning Penerapan supplay chain management akan semakin baik jika dalam sebuah perusahaan tercipta komitmen dan kolaborasi maupun komitmen dengan mitra kerja perusahaan. Brown et al. (1995) menyatakan ketika komitmen muncul diantara individu, maka perusahaan akan menciptakan tujuan dan nilai yang menguntungkan dan akan semakin dekat dalam pencapaian tujuan individu maupun tujuan perusahaan. Kolaborasi supply chain menghubungkan dua atau lebih anggota supply chain dalam membangun komitmen dan memper-tahankan proses hubungan dengan sasaran strategis, yang mana mereka menggunakan kemampuan intinya untuk menangani perubahan dan tantangan yang sesuai (Bowersox et al., 2003). Hubungan kolaboratif membutuhkan komitmen agar dapat bekerjasama dalam jangka panjang dengan kesediaan untuk saling berbagi risiko (Sahay & Maini, 2002). Sebuah komitmen yang kuat untuk berkolaborasi merupakan sarana untuk memastikan kelangsungan hubungan (Mugarura, 2010). Stefani & Sunardi (2014) yang mengatakan bahwa komitmen merupakan faktor utama yang mendukung kolaborasi perusahaan dengan supplier. Komitmen yang serius dari kedua belah pihak akan mendukung terlaksananya kolaborasi yang efektif. Komitmen memberikan dasar semangat kerjasama yang menuju pada terbentuknya kemitraan yang lebih kuat (Salam, 2011).

Dari hasil pengolahan SmartPLS.3 pada penelitian ini menunjukkan nilai estimasi parameter pengaruh commitment management terhadap collaborative planning sebesar 0.387 dengan nilai critical ratio

sebesar 3.14. Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa commitment management memberikan pengaruh signifikan terhadap collaborative planning.

Dalam melakukan collaborative planning antar perusahaan dengan supplier harus ada rasa saling percaya (Trust) dikedua belah pihak agar kolaborasi yang dijalankan akan berjalan sesuai dengan harapan. Begitu juga dengan strategi perusahaan untuk memberikan solusi dalam penyelesaian masalah yang dialami mitra kerja, akan berdampak pada timbulnya rasa loyalitas dari mitra kerja terhadap perusahaan. Dalam kegiatan kolaborasi antara perusahaan dan mitra harus ada keterbukaan dalam berbagi informasi untuk mencegah kesalah pahaman informasi dan menghindari konflik.

4.4.4 Pengaruh Collaborative Planning terhadap Buyer-supplier Relationship

Kolaborasi yang yang dibangun oleh perusahaan dengan pemasoknya akan meningkatkan kemampuan pemasok sekaligus untuk mengembangkan pemasok (Tarigan, 2009). Stefani dan gunardi (2014) mengatakan bahwa dengan menjalin hubungan kerja dengan pemasok, maka kestabilan pasokan bahan baku dapat dipastikan sehingga memperlancar perencanaan dan pelaksanaan produksi. Hubungan perusahaan dengan pemasoknya merupakan kolaborasi yang paling kuat dalam konteks rantai pasok (Lestari, 2009). Kolaborasi rantai pasok diperlukan agar perusahaan mampu mengintegrasikan informasi dari berbagai mitra rantai pasok (Daugherty et al., 2005).

Melihat dari hasil pengolahan SmartPLS.3 pada penelitian ini menunjukkan nilai estimasi parameter pengaruh collaborative planning terhadap buyer-supplier relationship sebesar 0.152 dengan nilai critical ratio sebesar 0.77. Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa collaborative planning tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap buyer-supplier relationship.

Peran collaborative planning terhadap hubungan antara pembeli dengan pemasok sangat penting, namun dalam kasus yang didapatkan dilapangan sangat berbeda, hal ini disebabkan pihak perusahaan enggan untuk terbuka dalam hal berbagi informasi, begitu juga dengan hal keterlibatan pemasok dalam perencanaan dan pengendalian stok bahan baku produksi, perusahaan sangat membatasi bahkan tidak melibatkan pemasok. Hal inilah yang menyebabkan pemasok enggan terlibat langsung dalam perencanaan dan pengendalian stok, pemasok hanya sebatas mengirim bahan baku setelah itu pemasok tidak merasa mempunyai tanggung jawab tentang pengendalian dan perencanaan stok bahan baku.

Inilah masalah yang didapatkan pada perusahaan tambang khususnya didaerah Banten.

4.4.5 Pengaruh Information Sharing terhadap Buyer-Supplier Relationship Ariani (2013) menyebutkan bahwa keberhasilan antara pembeli dan pemasok sangat tergantung pada sistem informasinya, dengan adanya informasi rekan bisnis dalam rantai pasok dapat diperhitungkan (Pujawan dan Mahendrawathi, 2010). Kurangnya keterbukaan dalam berbagi informasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok akan menimbulkan distorsi informasi (Parwati dan Andrianto, 2009). Dengan adanya sharing informasi maka rantai pasok di sebuah perusahaan bisa lebih efektif dan efisien, yang tentunya bisa berdampak pada biaya operasional. Selain itu kualitas informasi juga penting diperhatikan untuk menjaga kinerja yang baik antara pemasok dan perusahaan. Information sharing sangat diperlukan karena pemasok harus mengetahui keinginan perusahaan terhadap barang yang diinginkan dan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Dalam penelitiannya, Filiani (2009) mengungkapkan bahwa sharing informasi berpengaruh positif terhadap kepuasan pemasok dalam hubungan kerjasama pembeli-pemasok.

Melihat dari hasil pengolahan SmartPLS.3 pada penelitian ini menunjukkan nilai estimasi parameter pengaruh information sharing terhadap buyer-supplier relationship sebesar 0.004 dengan nilai critical ratio

sebesar 0.02. Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa information

sharing tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap buyer-supplier

relationship.

Ketidak signifikannya variabel information sharing terhadap buyer-supplier relationship disebabkan oleh keterbatasan infrakstruktur lingkungan tempat kerja/tambang sehingga informasi yang diberikan oleh mitra kerja ataupun sebaliknya tidak dapat diakses secara cepat. Contohnya adalah jaringan telepon seluler yang tidak stabil dan jaringan internet yang belum bisa menjangkau ke daerah proyek tambang.

4.4.6 Pengaruh Buyer-Supplier Relationship terhadap Supplay Chain Performance

Dari hasil pengolahan SmartPLS.3 pada penelitian ini menunjukkan nilai estimasi parameter pengaruh buyer-supplier relationship terhadap supplay chain performance sebesar 0.344 dengan nilai critical ratio sebesar 1.98. Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa buyer-supplier relationship memberikan pengaruh signifikan terhadap supplay chain performance.

Tujuan perusahaan melakukan suatu hubungan kerjasama dengan pemasok adalah untuk mencapai performa rantai pasok yang ada di perusahaan menjadi lebih baik. Kepastian pasokan bahan baku, ketepatan jumlah pasokan, mengurangi masalah-masalah dalam pengiriman bahan baku dan peningkatan standart bahan baku merupakan kinerja yang dihasilkan dari kolaborasi antara perusahaan dengan pemasok atau disebut juga dengan supplay chain performance.

Hubungan perusahaan dengan supplier yang dibangun melalui komunikasi dan kolaborasi yang lebih efektif telah memberikan perbaikan-perbaikan pada performa produksi (Tarigan, 2009) . Ronald H. Ballou et al.

(2005) dalam bukunya business logistic/supply chain management mendefenisikan rantai pasokan sebagai seluruh rangkaian aktifitas yang berhubungan dengan aliran transformasi barang dari tahapan bahan baku sampai ke pengguna akhir, begitupun dengan aliran informasinya.

Material/barang bersama-sama mengalir dari hulu ke hilir dalam rantai pasokan. Sedangkan manajemen rantai pasokan menurut Ballou (2005) adalah integrasi dari seluruh aktifitas dalam rantai pasokan , sampai meningkatkan hubungan untuk mendapatkan keunggulan bersaing.

Pengintegrasian aktifitas pengadaan bahan dan pelayanan, pengubahan menjadi barang setengah jadi dan produk akhir, serta pengiriman ke pelanggan, seluruh aktifitas tersebut mencakup pembelian dan outsourching, ditambah fungsi lain yang penting bagi hubungan antara pemasok dan pembeli merupakan rangkaian aktifitas dalam manajemen rantai pasokan menurut Heyzer dan Render (2005),

Berdasarkan pendapat dari para peneliti-peneliti yang diuraikan diatas tergambar jelas betapa penting sebuah hubungan kerjasama rantai pasokan dalam sebuah perusahaan, jika kinerja rantai pasokan perusahaan meningkat maka perusahaan semakin dekat dengan tujuan akhirnya atau target yang ingin dicapai. Levi, Kaminsky, Levi (2000, dalam Arifin, 2004).

Dokumen terkait