c. Oksidasi termal
3. Pengujian Kualitas Minyak Goreng
Sebagian dari minyak yang digunakan dalam penggorengan akan diserap oleh bahan pangan. Minyak ini akan ikut masuk ke dalam tubuh manusia bersamaan dengan dikonsumsinya makanan tersebut. Oleh sebab itu, pengujian kualitas minyak goreng dalam bahan pangan penting untuk dilakukan (Rossell, 2000). Menurut Gupta (2005), selain dapat mengurangi potensi yang membahayakan kesehatan, pengujian kualitas minyak goreng juga dapat digunakan untuk menentukan umur simpan suatu produk pangan.
Dalam penerapannya di lapangan, pengujian kualitas minyak goreng ini seringkali dilakukan secara visual. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat perubahan yang terjadi di dalam minyak selama penggorengan. Parameter yang dilihat adalah warna, bau, rasa, terbentuknya busa yang berlebih, serta rasa produk gorengan. Metode ini bersifat sangat subjektif karena bergantung pada pengalaman orang yang mengamati (Lalas , 2009).
6
Oleh sebab itu, beberapa metode pengujian minyak secara kuantitatif dan objekt if pun telah dikembangkan, baik secara kimia, fisik, maupun menggunakan instrumen. Menurut Paradis dan Nawar (1981), metode pengujian minyak goreng yang sederhana dan objektif merupakan hal yang penting. Pada industri pangan, pengujian yang tepat akan mampu menghasilkan keuntungan ekonomis yang signifikan.
Pengujian dengan metode kimia menit ikberat kan pada beberapa produk hasil o ksidasi dan kerusakan termal yang mengakibatkan ketengikan. Pengujian fisik menit ikberat kan pada terbentuknya
polimer selama penggorengan. Beberapa metode lainnya bersifat instrumental. Menurut Miyagawa et
al. (1991), tidak terdapat satu pun metode tunggal yang dapat digunakan untuk memperkirakan
seluruh kerusakan. Oleh sebab itu, penggunaan metode uji yang terpadu dibutuhkan untuk memahami kerusakan minyak goreng secara lebih menyeluruh.
a. Bilangan pe roksida
Produk utama dari o ksidasi lipid adalah hidroperoksida yang umu mnya dikenal dengan istilah peroksida. Peroksida merupakan ko mponen organik tidak stabil yang terbentu k dari trigliserida. Metode pengujian bilangan peroksida telah lama dikembangkan oleh Lawson (1985) dan Rossell (1983). Metode ini mengukur pembentukan senyawa hidroperoksida intermediat dalam satuan miliekuivalen oksigen aktif per kilogram sampel. Hidroperoksida yang yang dihasilkan selama oksidasi minyak akan bereaksi dengan ion iodid a membentuk iodin yang pada akhirnya akan d iukur dengan menggunakan titrasi tiosulfat.
b. Bilangan asam le mak bebas
Tabel 1. Persyaratan Minyak Goreng ( SNI 01-3741-2002)
Kriteri a uji Satuan Persyaratan
Mutu I Mutu II
Keadaan
Bau Normal Normal
Rasa Normal Normal
Warna Putih, kuning pucat Putih, kuning pucat
sampai kuning sampai kuning
Kadar Air % b/b Maks 0,1 Maks 0,3
Bilangan asam mg KOH/gr Maks 0,6 Maks 2
Asam linoleat (C18:3) dalam ko mposisi asam lemak minyak
% Maks 2 Maks 2
Bilangan peroksida meq O2/kg Maks 10 Maks 10
Cemaran logam
Timbal (pb) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1
Timah (Sn) mg/kg Maks 40/ 250 Maks 40/ 250
Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,05 Maks 0,05
Tembaga (Cu) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1
Arsen (As) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1
Minyak Pelikan Negatif Negatif
Pada Tabel 1, disajikan persyaratan mutu standar minyak goreng berdasarkan SNI 01-3741-2002. Dari Tabel 1 tersebut, dapat dilihat kriteria fisik dan kimia standar dalam minyak goreng. Di
7
Tabel 2. Sup lai dan distribusi minyak nabati dunia (x106 ton) (USDA-FAS 2006)
antara yang termasuk dalam kriteria kimia standar minyak goreng adalah bilangan asam yang tidak boleh melebih i batas 0,6 mg NaOH/g sampel untuk kualitas 1 dan 2 mg NaOH/g sampel untuk kualitas 2.
Metode bilangan asam lemak bebas merupakan metode yang sering digunakan dalam
pengujian minyak goreng. Metode ini sering kali digunakan oleh quality control dalam pengujian
minyak goreng (Stauffer, 1996). Selama pemasakan, peningkatan nilai bilangan asam lemak bebas secara bertahap dapat disebabkan akibat adanya hidrolisis maupun akibat terbentuknya komponen karboksilat dalam senyawa polimer produk yang digoreng (Tyagi dan Vasishta, 1996).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah ju mlah bilangan asam lemak bebas yang terukur tidak murni berasal dari ju mlahyang dihasilkan selama penggorengan. Jumlah tersebut dapat berasal dari bilangan asam aku mu latif yang sudah terkandung di dalam bahan sebelum penggorengan (Lalas , 2009).
B. MINYAK KELAPA SAWIT
Minyak kelapa sawit berasal dari tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Tanaman
yang tumbuh di daerah tropis ini berasal dari ordo Arecales dan famili Aracaceae (Dransfield et al.,
2005). Tanaman in i tumbuh pada tanah aluvial yang subur (Corley dan Tinker, 2003). Tingginya dapat mencapai 30 meter dengan diameter rentang daun 10-16 meter. Oleh sebab itu, tanaman ini membutuhkan lahan perkebunan yang luas untuk mencegah ko mpetisi dengan sesama (Cruden , 1988 di dalam Rival, 2010).
Tanaman kelapa sawit in i termasuk dalam salah satu tanaman yang paling produktif dengan ju mlah panen rata-rata di negara penghasil utama mencapai 4 ton minyak kelapa sawit/hektar/tahun (Murphy, 2003). Diperkirakan, produksi minyak kelapa sawit dunia telah mengalami peningkatan 15
kali lipat sejak tahun 1948 dan pada tahun 2007 ju mlahnya dapat mencapai sekitar 38x106ton. Dua
negara penghasil minyak kelapa sawit utama adalah Indonesia dan Malaysia yang menyumbang 86% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia (USDA -FAS, 2006).
Minyak Nabati Tahun 2002-2003 2003-2004 2004-2005 20005-2006 20006-2007 Minyak kedelai 30,56 29,94 32,47 34,37 34,94
Minyak kelapa sawit 27,71 29,59 33,88 35,37 37,37
Minyak biji bunga
matahari 8,12 9,13 9,01 10,17 10,10
Minyak kacang 4,62 5,01 5,06 5,18 5,00
Minyak kapas 3,51 3,83 4,73 4,56 4,74
Minyak kelapa 3,16 3,29 3,44 3,54 3,26
Minyak zaitun 2,51 3,00 2,74 2,28 2,85
Seperti yang tertera pada Tabel 2, minyak kelapa sawit menempati urutan kedua dari minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia (USDA -FAS 2006). Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak kelapa sawit memiliki penggunaan yang paling luas (Henderson dan Osborne 2000, Edem 2002). Menurut Idris dan Samsuddin (1993), sekitar 90% dari produksi minyak kelapa sawit digunakan untuk konsumsi (minyak goreng, margarin, shortening, dan lain -lain) dan sisanya digunakan pada industri sabun dan kimia (surfaktan, deterjen, dan lain-lain).
8
Menurut Patterson (2009), di dalam minyak nabati terdapat beberapa komp onen utama, di antaranya adalah trigliserida, asam lemak, asam lemak jenuh, dan asam lemak tidak jenuh.
1. Trigliserida
Unit dasar dari lemak terdiri atas sebuah molekul g liserol yang diko mbinasikan dengan tiga mo leku l asam lemak. Pada saat ketiga asam lemak tersebut berasal dari jenis yang sama, maka trigliserida itu disebut juga dengan triglisireda sederhana. Adapun jika ket iga asam lemak berasal lebih dari satu jenis, maka trigliserida itu disebut dengan trigliserida campuran (Patterson, 2009).
Trig liserida ini berukuran antara 1.5 – 2.0 n m, sehingga bisa masuk ke dalam adsorben yang
berukuran meso dan makro. Oleh sebab itu, karakteristik in i digunakan dalam ads orbsi minyak kelapa sawit menggunakan arang aktif untuk proses pemurniannya (Patterson, 2009).
2. Asam Lemak
Berdasarkan gugus fungsinya, asam lemak dikenal juga dengan nama asam karboksilat. Secara struktural, gugus ini memiliki ru mus fungsi RCOOH. Meskipun demikian, tidak semua senyawa dalam gugus fungsi tersebut dimasukkan ke dalam asam lemak. Sebagai misal, t iga senyawa dengan ju mlah karbon yang paling kecil, yakn i: format, asetat, dan propionat dikecualikan dari asam lemak
karena ket iga senyawa tersebut tidak memiliki karakteristik immiscible (tidak larut) dengan air.
Senyawa asam butirat, yang memiliki empat rantai karbon dimasukkan ke dalam asam lemak
dikarenakansenyawa ini secara alami terdapat pada mentega. Tingkat immiscibility (ketidaklarutan
dalam air) meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon mulai dari asam kaproat, yakni senyawa asam lemak dengan 6 rantai karbon (Patterson, 2009).
a. Asam lemak jenuh
Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang semua atom karbonnya terisi penuh oleh hidrogen. Dengan kata lain, asam lemak jenuh ini t idak memiliki ikatan rangkap. Senyawa ini merupakan asam lemak yang paling stabil, baik dalam keadaan bebas maupun dalam keadaan terikat (Kress-Rolgers, 1990). Dalam keadaan padat, moleku l-mo leku l asam lemak tidak jenuh ini lebih mudah untuk tersusun bersama dengan rapat dikarenakan strukturnya yang lurus.
Oleh sebab itu, asam lemak t idak jenuh memiliki tit ik leleh yang lebih tinggi. Nilai tit ik leleh ini semakin meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon. Adapun nilai hidrofobisitasnya juga turut meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon.Beberapa asam lemak tidak jenuh yang paling umum ditemukan adalah asam lau rat (C12), asam palmitat (C16), dan asam stearat(C18) (Patterson, 2009).
b. Asam lemak tidak jenuh
Asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak yang memiliki ikatan rangkap pada rantainya.
Asam lemak yang hanya memiliki satu ikatan rangkap dikenal dengan nama monounsaturated fatty
acid. Ikatan rangkap ini merupakan titik yang potensial untuk diserang oleh reaksi o ksidasi.
Kemudahan diserang oleh reaksi oksidasi meningkat seiring dengan semakin banyaknya ikatan rangkap. Ikatan rangkap in i memiliki karateristik khusus karena mampu menghasilkan dua macam
9
Tabel 3. Ko mposisi asam lemak minyak kelapa sawit (Rival, 2010)
isomer, yakni cis dan trans. Keisometrian in i terjad i karena ikatan rangkap bertindak sebagai penghalang sterik yang menyebabkan rotasi atom C menjad i terbatas (Patterson, 2009).
Isomer trans memiliki tit ik leleh yang lebih tinggi dikarenakan strukturnya yang memudahkannya membentuk gabungan asam lemak yang solid. Sementara isomer cis, yang sering ditemu i pada bahan-bahan alami, memiliki sifat yang lebih liku id (Patterson, 2009). Di antara yang termasuk dalamasam lemak t idak jenuh adalah asam oleat. Asam lemak tidak jenuh ini memiliki
karakteristik yang penting terhadap flavor minyak.
Asam lemak Ko mposisi (%)
Asam kaprilat C8:0 0,00 Asam kaprat C10:0 0,00 Asam laurat C12:0 0,00 Asam miristat (C14:0) 1,00 Asam palmitat (C16:0) 44,30 Asam stearat (C18:0) 4,60 Asan oleat (C18:1) 38,70 Asam linoleat (C18:2) 10,50
Tabel 3 menunjukkan dilihat bahwa asam lemak dalam minyak kelapa sawit terdiri atas dua jenis, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh di dalam minyak kelapa sawit berasal dari asam miristat, palmitat, dan stearat sedangkan kandungan asam lemak tidak jenuhnya berasal dari asam o leat dan linoleat. Kandungan keduanya di dalam minyak kelapa sawit lebih ku rang seimbang. Asam lemak jenuh memiliki persentase sebesar 48,9% dan asam lemak tidak jenuh sekitar 49,2%.
C. LELE
Lele merupakan ikan yang berasal dari genus Clarias (Silu roidae, Clariidae). Secara lengkap, hewan ini termasuk ke dalam kingdom Animalia, subkingdom Metazoa, filu m Chordata, subfilu m Vertebrata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluro idea, familia Clariidae,
dan genus Clarias (Djat mika et al., 1986).. Hewan ini memiliki penyebaran yang luas pada perairan
tawar di wilayah Afrika dan Asia. Diperkirakan nenek moyang lele in i berasal dari genus Pliocene yang hidup 7-10 juta tahun yang lalu pada zaman tersier (Sudarto, 2007). Dewasa in i, terdapat total 58 spesies lele di seluruh dunia. Dari ju mlah tersebut, sebanyak 33 spesies berasal dari Afri ka dan 25 spesies berasal dari Asia.
1. Karakteristik Lele
Secara u mu m, ciri-ciri lele dapat dilihat pada tubuhnya yang panjang, sisik bagian samping dan analnya yang panjang, serta empat pasang sirip. Genus ini juga memiliki kekhasan yaitu adanya organ
suprabranchial (Teugels, 2003). Organ ini berfungsi seperti halnya paru -paru dan meningkatkan
kemampuan lele untuk berespirasi. Hal itulah yang menyebabkan lele masih dapat bernafas pada kondisi lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah. Dalam kondisi ters ebut, diperkirakan lele masih dapat memenuhi kebutuhan oksigennya sekitar 80 -90% (Moreau, 1988).
10
Tabel 4. Negara penghasil lele utama dunia (FAO, 2009)
Habitat lele ialah air tawar. Meskipun tempat tumbuhnya yang paling baik adalah pada air irigasi, air sungai, air mata air dan air su mur, namun lele dapat juga hidup pada lingkungan yang kurang baik seperti halnya air kotor dan penuh lumpur, Lele juga dapat hidup pada kolam dengan padat penebaran yang tinggi. Kemampuan genus ini untuk tumbuh dan berkembang biak pada tempat yang miskin akan oksigen, perkembangannya yang cepat, makannya yang tidak sulit, dan ketahanannya yang tinggi terhadap stres membuat banyak orang yang tertarik untuk membudidayakannya (Na-Nakorn dan Bru mmett, 2009).
2. Produksi dan Kons umsi Lele
Diperkirakan lele ini d ibudidayakan dalam sekala besar pada 30 negara dengan total produksi melebih i 300.000 ton pada tahun 2006. Ju mlah ini setara dengan nominal 400 juta US$ (FA O, 2009). Sebanyak 20 negara di Afrika, Asia, dan Eropa memp roduksi sekurangnya 100 ton lele per tahunnya. Pada Tabel 4, produksi lele di Indonesia mencapai angka 77.332 ton pada tahun 2006 dan menempati peringkat dua negara produsen utama lele.
Adapun enam jen is ikan lele yang dikembangkan di Indonesia adalah Clarias batrachus yang
lebih dikenal dengan nama ikan lele lokal, Clarias teysmani atau ikan lele kembang, Clarias
melanoderma, Clarias nieuhofi, Dlarias localanthus, dan Clarias gariepinus yang dikenal juga
sebagai ikan lele dumbo (Djat mika et al., 1986). Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan lele
yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi di Indonesia. Lele du mbo merupakan jen is lele
hasil persilangan antara lele betina Clarias fuscus yang berasal dari Taiwan dengan lele pejantan
Clarias mossambicus yang berasal dari Australia. Lele dumbo memiliki sifat yang lebih unggul
dibandingkan dengan lele lainnya, di antaranya adalah pertumbuhannya yang cepat, pemberi pakannya yang mudah, dan pemeliharaanny a yang tidak sulit (Hernowo dan Suyanto, 2003 dan Mahyuddin, 2008).
No Negara Jumlah (ton)
1 Thailand 146.000 2 Indonesia 77.332 3 Nigeria 51.916 4 Uganda 20.941 5 Malaysia 18.486 6 Belanda 4.500 7 Filipina 2.376 8 Hungaria 1.724 9 Suria 1.030 10 Kamboja 800 11 Brazil 362 12 Kenya 302 13 Mali 300 14 Polandia 280 15 Belgia 250 16 Togo 200 17 Ru mania 118 18 Italia 115 19 Kamerun 110 20 Afrika Selatan 100
11
Gambar 1. FTIR spektroskopi
Tabel 5. Data produksi lele du mbo (ton) tahun 1999 -2003 (Mahyuddin 2008)
Daerah Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 Sumatera Utara 1.343 1.354 1.327 1.446 2.534 Riau 2.013 3.428 6.369 555 1.569 Jawa Timur 7.295 7.286 7.981 14.792 25.689 Jawa Tengah 5.110 6.491 7.573 7.554 9.416 Jawa Barat 5.666 7.233 6.246 6.941 8.376 Yogyakarta 1.781 1.063 1.751 2.258 2.518 Lain-lain 1.783 2.136 2.889 4.505 7.638 Total 24.991 28.991 34.136 38.051 57.740
Menurut Mahyuddin (2008) pada Tabel 5, berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan, perkembangan produksi lele dumbo di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 18,3% per tahun dari 24.991 ton pada tahun 1999 menjadi sebesar 57.740 ton pada tahun 2003. Pada tahun 2004, produksi lele mencapai angka 60.000 ton. Sementara pada tahun 2005 nilai in i meningkat men jadi 79.000 ton. Kebutuhan benih juga mengalami peningkatan pesar dari 156 juta ekor pada tahun 1999 menjadi 360 juta ekor pada tahun 2003. Angka peningkatan rata-ratanya mencapai 46% per tahun.
Pasar utama lele adalah warung lesehan dan pecel lele. Di samp ing itu, pasar lele saat ini juga telah menjangkau restoran, supermarket, dan industri olahan. Permintaan lele untuk konsumsi cukup besar. Untuk pasar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, permintaannya setiap hari tidak kurang dari 75 ton atau 2.250 ton/bulang dengan nilai perputaran uang mencapai Rp 20 miliar per bulan. Adapun permintaan dari wilayah Yogyakarta mencapai 20 ton per hari dan dari Jawa Timur mencapai 30 ton per hari (Mahyuddin, 2008).
D. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spectroscopy
Fourier Transform In fra Red spectroscopy adalah metode spektroskopi infra merah melalui
sinar radiasi infra merah yang dilalukan dalam sebuah sampel padat, cair, atau gas dalam spektrum absorpsi, emisi, fotokonduktivitas atau pembiasan Raman(Connes dan Connes , 1996). Beberapa radiasi infra merah ini diserap oleh sampel dan beberapa diteruskan. Hasil dari spektrum terdapat
dalam absorpsi molekular dan transmisinya, mencit rakan fingerprint moleku lar sampel. Hal inilah
12
Gambar 2. Interfero meter (Markovich dan Pidgeon, 1991)
Spektroskopi FTIR ini berbeda dengan spektroskopi biasa. Spektroskopi b iasa umu mnya menggunakan metode spektroskopi dispersif. Metode ini menyinari s eberkas sinar monokro mat is pada sampel, kemud ian mengukur seberapa banyak cahaya yang diserap, dan mengulang langkah in i u mtuk setiap panjang gelombang yang berbeda (Connes dan Connes , 1996).Sebaliknya, FTIR tidak menggunakan berkas sinar monokro mat is. Metode ini menggunakan sinar dengan beberapa frekuensi sinar yang berbeda, dan mengukur berapa banyak sinar yang dia bsorbsi oleh sampel. Sinar ini dimodifikasi dengan mengomb inasikan frekuensi yang berbeda untuk menghasilkan data sekunder. Proses ini berlangsung berulang kali dalam waktu yang singkat. Hasilnya kemudian diinterpretasikan oleh ko mputer yang berupa nilai absorbansi sampel pada tiap panjang gelombang (Connes dan Connes, 1996).
Teknik spektroskopi FTIR merupakan alat yang penting dalam pengontrola n kualitas dan pemonitoran proses dalam industri pangan dikarenakan harganya yang murah, kerjanya yang baik, dan
penggunaannya yang lebih mudah dibandingkan metode lain (Van de Voort et al., 1992).
Banyak penelit i yang sudah menggunakan instrumen FTIR spektroskopi ini dalam bahan
pangan. Di antaranya adalah Hocevar et al. (2011) dalam minyak goreng, Roh man dan Che Man
(2010) dalam lemak hewani, A l-Degs et al. (2011) dalam lemak nabati, Marikkar et al. (2005) dalam
lemak hewani, Vlachos et al. (2006) dalam lemak nabati, Che Man et al. (2005) dalam pemalsuan
cokelat dengan lemak babi, dan Roh man et al. (2011) dalam pemalsuan bakso dengan daging babi.
Menurut Markovich dan Pidgeon (1991), instrumen FTIR spektroskopi terbagi men jadi beberapa bagian, yaitu:
1. Inte rferometer
Interfero meter merupakan alat optik yang terdapat di dalam FTIR spektrofotometer. A lat ini dikembangkan menggunakan prinsip interfero meter Michelson. Interfero meter ini terdiri atas dua
cermin datar yang membentuk sudut siku satu sama lainnya dengan sebuah beam splitter (pemisah
sinar) pada sudut 450 dari cermin datar. Satu cermin berada pada kondisi stasioner, sementara cermin
yang lainnya dapat bergerak bebas.
Beam splitter membagi cahaya yang datang dari sumbernya menuju tiap leng an interferometer.
Sebanyak 50% dari sinar ini dipantulkan ke cermin stasioner dan 50% sisanya diteruskan ke cermin yang bergerak.
Berdasarkan gambar berikut, sinar yang masuk dibagi ke dalam dua jalur interfero meter. Satu bagian menuju ke lengan interferometer dengan cermin bebas sementara bagian lainnya masuk ke dalam lengan interfero meter dengan cermin tetap. Dua sinar ini pada akhirnya bersatu kembali di
13
diteruskan ke dalam sampel. Cahaya dari sampel yang tidak diserap akan diteruskan dan masuk ke dalam detektor.
Adanya perbedaan jalur optis sinar yang diakibatkan oleh cermin bergerak menyebabkan adanya perbedaan fase sinar. Hal ini menyebabkan timbulnya pola inte rferensi sinar yang berbeda pada detektor. Perbedaan pola ini, yang menyebabkan dapat diketahuinya informasi spektrm dari suatu sampel, dikenal dengan nama interferogram.
Interferogram juga dapat dikatakan sebagai plot antara intensitas cahaya dari yang mencapai detektor terhadap keterlambatan optis yang disebabkan oleh pergerakan cermin. Sensitiv itas instrumen dapat dihitung melalui intensitas maksimal yang mencapai detektor.
2. Detektor
Terdapat dua macam t ipe detektor dalam FTIR spektroskopi, yakni deuterated triglycine
sulfate (TGS), pyroelectric bolometer, dan mercury cadmium telluride (MCT) photodetector.
Umu mnya detektor MCT digunakan untuk mengukur sampel dalam bentuk cair dikarenakan karakteristiknya yang lebih sensitif.
Intensitas cahaya yang berhasil menembus sampel dan ditangkap oleh detektor dihitung sebagai interval dari pergesaran cermin, yang memiliki nilai lebih kecil daripada satu mikro meter. Keluaran optis in i dih itung pada interval pergesaran cermin yang sama.
Di dalam spektrofoto meter FT IR terdapat laser heliu m-neon (He -Ne) yang digunakan untuk mengukur pergesaran linear dari cermin bergerak sehingga komputer dapat menghitung keluaran optis pada pergesaran cermin yang tepat dalam bentuk data digital. Oleh sebab itulah laser He -Ne ini bertindak sebagai jam internal spektrofotometer yang memberitahukan lokasi yang tepat untuk memperoleh sebuah data dalam pengukuran interferogram. Laser He -Ne in i memancarkan cahaya dengan panjang gelombang 0.63299 mikro meter.
3. Inte rferogram
Pada saat seberkas sinar memasuki interfero meter, hanya satu panjang gelombang saja yang dapat keluar dari interfero meter. Pada detektor, cahaya ini mengalami perubahan mulai dari sinar terang ke sinar gelap. Hal in i terjadi karena adanya perbedaan fase sinar di mana sin yal sinar yang paling tinggi terjadi pada saat posisi cermin menghasilkan fase konstruktif dan sinar sinyal paling rendah pada saat posisi cermin menghasilkan fase destruktif. Pada posisi cermin di mana sinar yang dihasilkan terletak antara posisi interferensi konstruktif maksimu m dan posisi interferensi destruktif maksimu m, interferensi optis menyebabkan dihasilkannya sinar dengan pada intensitas intermed iat.
Hal inilah yang menyebabkan interfero meter mampu mengubah sinar menjadi beberapa intensitas yang berbeda meskipun berasal dari sumber yang sama.
Sebuah plot yang menggambarkan perubahan nilai intensitas yang teratur terhdapa pergeseran cermin dapat dilihat pada gambar berikut. Luaran dari interferogram ini menghasilkan arus AC dan arus DC. Arus DC kemudian dih ilangkan karena informasi spektral haruslah dalam bentuk AC.
E. Analisis Multivariat
Analisis mult ivariat merupakan metode statistika pengolahan data yang dilaku kan untuk mengolah data yang memiliki variabel yang cukup banyak. Dalam terminologi sains dan teknologi, metode ini u mu mnya diterapkan dalam menghitung beberapa data variabel pada beberapa sampel.
14
Melalui metode ini, variabel data tersebut akan diseleksi sedemikian rupa sehingga membuang data yang tidak penting dan menghasilkan sejumlah data yang paling informatif dan berpengaruh terhadap parameter yang diamati (Umetrics AB, 2006).
Beberapa hal yang termasuk ke dalam analisis mu ltivariat adalah merangku m dan memv isualisasikan serangkaian data, mengklasifikasikan data ke dalam kelo mpok tertent u, seerta menentukan hubungan kuantitatif antara variabel. Hal ini dapat dilakukan pada berbagai macam model data multivariat, mu lai dari banyak sedikitnya variabel, banyak sedikitnya variabel, hingga lengkap tidaknya data yang diperoleh (Umetrics AB, 2006).
Pada umu mnya, analisi multivariat terdiri atas multiple linear regression (MLR), linear
discriminant analysis (LDA), canonical correlation (CC), factor analysis (FA), dan principle
component analysis (PCA)(Umetrics AB, 2006).
Dalam beberapa kasus, seringkali analisis mu ltivariat diistilahkan dengan analisis megavariat. Bedanya, analisis megavariat digunakan pada data yang memiliki variabel laten untuk menghasilkan data mult ivariat. Oleh sebab itu, analaisis megavariat dapat diterapkan pada data yang tidak lengkap. Sebagai contoh adalah data yang diterapkan pada proses teknologi terapan yang memiliki beberapa variabel laten yang tidak nampak (Grainger, 2003).