• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prediksi Penurunan Kualitas Minyak Goreng Kelapa Sawit menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy dengan Analisis Multivariat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prediksi Penurunan Kualitas Minyak Goreng Kelapa Sawit menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy dengan Analisis Multivariat"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

PREDIKSI PENURUNAN KUALITAS MIN YAK GORENG

KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN FOURIER TRANSFORM INFRARED (FTIR)

SPECTROSCOPY DENGAN

ANALISIS MULTIVARIAT

SKRIPSI

JORDAN KAHFI

F24070117

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PREDICTION OF PALM OIL DET ERIORATION US ING FOURIER TRANS FORM INFRARED (FTIR) SPECTROSCOPY WITH MULTIVARIATE ANALYS IS

Jor dan Kahfi, Nur heni Sri Palupi, dan Di dah Nur Fari dah

Depart ment of Food Science and Technology. Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 857 8071 8434, e -mail: J_Kahfi@yahoo.co.id

ABSTRACT

This study aims to investigate the FFA value, peroxide value, an d spectroscopic profile of frying oil during short term of frying and to find out their relationship using multivariate statistics. Two batches of

commercial palm frying oil are used to fry cat fish for nine times. Each frying is done at 185o C for 15

minutes. The control sample and the odd frying number samples are tak en to undergo analysis of FFA value, peroxide value, and spectroscopics profile. In batch 1, the FFA value is decreased from 0,80 mg NaOH/ g sample in control sample to 0,22 mg NaOH/ g sample in the ninth frying samples. In batch 2, the FFA value is decreased from 0,66 mg NaOH/ g sample in control sample to 0,30 mg NaOH/ g sample in the ninth frying samples. The peroxide value shows increasing and then decreasing trend. In batch 1, the third

frying sample contains the highest peroxide value (23,93 meq O2/ k g sample) before it decreases on the

ninth frying sample (4,83 meq O2/ k g sample). In batch 2, the third frying sample contains the highest

peroxide value (27,48 meq O2/ kg sample) before it decreases on the ninth frying sample (5,87 meq O2/ kg

sample). The main peak positions from FTIR spectroscopy are located on 722, 872, 912,5, 966, 1032, 1091,

1400,5, 1418, 1654, 1729, 2974,36, 3005,54, 3474,91, and 3530 cm-1. These peak sare correlated with

oil functional groups such as alk yl, esther, saturated and unsaturated fatty acid. The correlation of FFA

value and percentage of absorbance’s intensity shows equation with R2

= 0,955 and P value 0,042. While

the equation for the peroxide value one shows R2 = 0,963 and P value 0,030. Both of the equation use

significance level 5%.

(3)

Jordan Kahfi. F24070117. Pre diksi Penurunan Kualitas Minyak Goreng Kelapa Sawi t menggunakan

Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy dengan Analisis Multi variat. Di bawah bimbingan Dr.

Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si dan Dr. Didah Nur Faridah, M.Si. 2012

RINGKASAN

Produk gorengan merupakan makanan yang digemari o leh masyarakat Indonesia. Sayangnya, seringkali produk ini d iproduksi dengan cara yang kurang baik. Di antaranya adalah penggunaan minyak goreng secara berlebihan yang menjadikannya tidak layak pakai dan berbahaya bagi kesehatan. Oleh sebab itu, diperlu kan pengujian penurunan kualitas minyak goreng. Penelit ian ini bertujuan menentukan profil bilangan asam, bilangan peroksida, dan spektrum absorbansi FTIR pada minyak goreng kelapa sawit selama penggorengan serta membuat korelasi bilangan asam dan bilangan peroksida dengan spektrum absorbansi FTIR menggunakan analisis mu ltivariat.

Penelitian in i dibagi men jadi empat tahap, yaitu: persiapan sampel, analisis titrimet ri b ilangan asam dan bilangan peroksida, analisis spektofotometri FTIR, dan analisis statistik mult ivariat. Dari persiapan sampel d iperoleh sampel minyak goreng kontrol, hasil penggorengan pertama, ke tiga, ke lima, ke tujuh, dan

ke sembilan. Masing-masing penggorengan dilaku kan selama 15 menit pada suhu 1800C. Perlakuan

tersebut dilaku kan pada dua batch minyak goreng dengan dua kali ulangan.

Bilangan asam minyak goreng mengalami penurunan dengan penurunan terbesar terjadi antara

sampel kontrol dengan sampel penggorengan pertama. Pada batch 1, bilangan asam turun sebesar 0.5089

mg NaOH/ g sampel dari 0.8046 mg NaOH/ g sampel pada sampel kontrol menjad i 0.2957 mg NaOH/ g

sampel pada sampel penggorengan 1 kali. Sementara pada batch 2, bilangan asam turun sebesar 0.1850 mg

NaOH/ g sampel dari 0.6648 mg NaOH/ g sampel pada sampel kontrol menjadi 0.4789 mg NaOH/ g sampel pada sampel penggorengan 1 kali. Bilangan peroksida mengalami tren kenaikan dan diikuti penurunan hingga ulangan penggorengan ke semb ilan. Penggorengan 3 kali memiliki bilangan peroksida yang paling

tinggi dengan nilai 23.9338 meq O2/ kg sampel pada batch 1 dan 27.4820 meq O2/ kg sampel pada batch 2.

Pengukuran FTIR menunjukkan bahwa bilangan gelo mbang utama yang terdapat di dalam minyak goreng kelapa sawit adalah 722, 872, 912,5, 966, 1032, 1091, 1400,5, 1418, 1654, 1729, 2974,36, 30 05,54,

3474,91, dan 3530 cm-1 yang menunjukkan adanya ikatan ester, alkena, dan senyawa oksidasi sekunder.

Dari hasil pembuatan model OLS antara bilangan gelombang dengan bilangan asam, d iperoleh persamaan

Bilangan Asam dengan nilai R2 sebesar 0.955 dan nilai P sebesar 0.042 (signifikan) pada taraf kepercayaan

95%. Sementara dari hasil pembuatan model OLS antara bulangan gelo mbang dengan bilangan peroksida,

diperoleh persamaan Bilangan Peroksida dengan nilai R2 sebesar 0.963 nilai P sebesar 0.30 (signifikan)

(4)

PREDIKSI PENURUNAN KUALITAS MIN YAK GORENG

KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN FOURIER TRANSFORM INFRARED (FTIR)

SPECTROSCOPY DENGAN

ANALISIS MULTIVARIAT

S K RI P SI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gela r SARJA NA TEKNOLOGI PERTANIAN pada

Departe men Ilmu dan Teknologi Pa ng a n, Fakultas Teknolog i Pe rta nia n,

Institut Pertanian Bog or

Oleh : Jordan Kahfi

F2 40 7 01 1 7

FAKULTAS TEKNOLOGI PE R T A N I A N INSTITUT PERTA NIAN B O G O R

(5)

Judul Skripsi : Prediksi Penurunan Kualitas Minyak Goreng Kelapa Sawit menggunakan

Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy deng an Analisis

Multi vari at

Nama : Jordan Kahfi

NIM : F24070117

Menyetujui,

Mengetahui,

Tanggal lulus:

Dosen Pemb imbing I

(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M .Si.) NIP 19610802 198703 2 002

Dosen Pembimbing II

Dr. Didah Nur Faridah, STP, MSi.

19711117.199802.2.001

Dosen Pemb imbing II

(Dr. Didah Nur Faridah, STP, M.Si.) NIP 19711117 199802 2 001

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Studi Kualitas

Bilangan Asam, Bilangan Per oksida, dan S pektrum Absor basi Minyak Goreng Kelapa Sa wit

menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy dengan Analisis Multi vari at

adalah hasil karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diaju kan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Su mber informasi yang bera sal atau dikutip dari karya yang diterbit kan maupun tidak d iterbit kan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustakan di bagian akhir skripsi in i

Bogor, September 2012

(7)

© Hak cipta milik Jordan Kahfi, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,

(8)

i

BIODATA PENULIS

Penulis dilah irkan di kota Banjarnegara pada tanggal 11 April 1989 sebagai putra kedua dari dua bersaudara pasangan Syamsu Hidayat dan Poppy Paramitha. Penulis telah men jalan i pendidikan mulai dari SD Trisula Perwari I Jakarta, SLTPN 216 Jakarta, SMA Taruna Nus antara Magelang, dan kemudian melanjutkan pendidikan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalu i jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Selama menjalani pendidikan, penulis aktif sebagai anggota divisi Hu mas HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) tahun 2008-2009 dan ketua divisi Hu mas HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia) tahun 2009-2011. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan, d i antaranya sebagai Komandan Batalion V Ko misi Disiplin MPKM B (Masa Perkenalan Kuliah Mahasiswa Baru) angkatan 45 tahun 2008, Ketua Divisi Hu mas kepanit iaan Workshop Nasional HMPPI 2008, dan Ketua Divisi Danus dan

Sponsorship PLASMA (Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal) 2009. Beberapa prestasi yang

berhasil dicapai penulis di antaranya adalah Mahasiswa Berprestasi TPB dengan IPK 4.00 tahun 2008, juara ket iga presentasi poster pada KMTPIG (Konferensi Mahasiswa Teknologi Pangan dan Ilmu Gizi) di Aceh tahun 2009, penerima dana usaha Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) IPB 2010

dengan judul proposal “Usaha Pembesaran Belut Rawa Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Desa

Ciampea”, dan sebagai peserta dalam program pertukaran pelajar MIT (Malaysia-Indonesia-Thailand)

(9)

i

KATA PENGANTAR

Bismillah irrah man irrahim

Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala karena atas pertolongan dan hidayah-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Prediksi Penurunan Kualitas Minyak Goreng Kelapa Sawit menggunakan Fourier Transform In frared (FTIR) Spektroskopi dengan Analisis Multivariat. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si. sebagaiosen pembimb ing pertama saya yang telah banyak

memberikan arahan dan masukan selama penyusunan skripsi in i.

2. Dr. Didah Nur Faridah, STP., M.Si. sebagai dosen pembimb ing kedua saya yang telah banyak

memberikan saran dan bimbingan lapang baik selama penelitian maupun penyelesaian skripsi in i.

3. Dr. Hanifah Nuryani Lioe, STP., M.Si. sebagai dosen penguji skripsi saya yang telah berkenan

meluangkan waktunya untuk menguji skripsi penulis.

4. Tim manajemen Laboratoriu m Jasa Analisis Pangan, Departemen ITP, Fakultas Teknologi

Pertanian atas bantuannya dalam memb iayai penelitian ini.

5. Ayahanda tercinta Bapak Syamsu Hidayat, ibunda tercinta Poppy Paramitha, dan kakak tersayang

Audrey Navastia yang selalu dan senantiasa memberikan doa serta semangat dan dukungan baik secara moral maupun material.

6. Paman tercinta Bapak Nunung Nuryartono dan Ibu Iis Triana Anggraeni yang banyak memberikan

bantuan kepada penulis selama studi dan menyelesaikan skripsi.

7. Sahabat saya, Muhamad Yusup Saputra, Lukman Saifatah, Malik Mudapar, dan Achmad Riffi

Julian yang saling berbagi dalam suka dan duka.

8. Adik kelas saya, Dian yang telah banyak membantu penulis dalam mencetak skripsi in i.

9. Semua pihak lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu dan telah banyak membantu

penulis selama menyelesaikan tugas akhir. Mudah-mudahan Allah membalas kebaikan mereka, men jaga dan memperbaiki amal mereka, serta melimpah kan rahmat dan kasih sayang -Nya kepada mereka dan keluarga mereka.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada seluruh pihak yang ingin memberikan masukan baik berupa kritik maupun saran. Mudah-mudahan tulisan ini bisa men jadi pelajaran bagi penulis untuk menghasilkan karya yang lebih baik dan bermanfaat.

Bogor, Ju li 2012

(10)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... 1

DAFTAR IS I... ii

DAFTAR TAB EL... iv

DAFTAR GAMB AR... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

I.PENDAHUL UAN... ... 1

A. LATA R BELA KANG... 1

B. TUJUAN PENELITIA N... 2

II.TINJ AUAN PUS TAKA... .... 3

A. PENGGORENGA N... 3

1. Interaksi Bahan Pangan dan Minyak Go reng Selama Penggorengan ... 3

2. Proses Kerusakan Minyak... 3

a.Ketengikan hid rolisis ... 4

b.Ketengikan oksidatif... 5

c.Oksidasi termal... 5

3. Pengujian Kualitas Minyak Goreng... 5

a.Bilangan peroksida... 6

b.Bilangan asam lemak bebas... 6

B. MINYAK KELA PA SAWIT... ... 7

1. Trigliserida... .... 8

2. Asam Lemak... 8

a. Asam lemak jenuh... 8

b.Asam lemak t idak jenuh... 8

C. LELE... 9

1. Karakteristik Lele... ... 14

2. Produksi dan Konsumsi Lele... 14

D. Fourier Transform In fra Red (FTIR) Spectroscopy... 11

1.Interfero meter... 12

2.Detektor... 13

3.Interferogram... ... 13

E. Analisis Mult ivariat... ... 13

1.Overview Data... 14

2.Pengklasifikasian Data... 15

3.Pembuatan Model Regresi... 15

III.METODOLOGI PENEL ITIAN... 16

A.WAKTU DAN TEM PAT... 16

B.BAHA N DAN A LAT... 16

(11)

iii

1. Persiapan Sampel... 17

a. Penyiapan lele... 17

b. Penggorengan lele... 18

c. Penyiapan sampel... ... 19

2. Analisis Laboratoriu m... 19

a. Analisis bilangan asam (AOA C o fficial method 940.28)... 19

b. Analisis bilangan peroksida (A OAC o fficial methods 965.33)... 20

c. Analisis spektrum absorbansi sampel dengan spektroskopi FTIR... 20

3. Analisis Statistika Mu ltivariat... 20

IV.HAS IL DAN PEMBAHASAN... 22

A. PROFIL BILANGAN ASAM MINYAK GORENG KELA PA SAWIT... 22

B. PROFIL BILANGA N PEROKSIDA MINYAK GORENG KELA PA SAWIT... 26

C. PROFIL SPEKTRUM SPEKTRUM A BSORBANSI MINYA K GORENG KELAPA SAWIT... 27

D.PROFIL SPEKTRUM ABSORBANSI SAMPEL DENGA N ANA LISIS MULTIVARIAT... ... 32

1.Pengelo mpokkan sampel dengan PCA (Principal Component Analysis)... 32

2.Korelasi data titrimetri dan spektrometri dengan OLS (Ordinary Least Square)... 35

V.KES IMPULAN DAN SARAN... 38

A. KESIMPULAN... .... 38

B. SA RAN... .... 39

DAFTAR PUS TAKA... 40

(12)

iv

DAFTAR TABEL

1. Persyaratan Minyak Goreng ( SNI 01-3741-2002)... 6

2. Suplai dan distribusi minyak nabati dunia (x106 ton)... 7

3. Ko mposisi asam lemak minyak kelapa sawit... 9

4. Negara penghasil lele utama dunia... ... 10

5. Data produksi lele du mbo (ton) tahun 1999-2003... 11

6. Perbandingan bilangan asam sampel dengan SNI... ... 23

7. Perbandingan nilai bilangan asam minyak goreng selama penggorengan... 24

8. Perbandingan nilai bilangan peroksida sampel dengan SNI... 27

9. Bilangan gelombang utama yang terdapat pada sampel minyak goreng... ... 29

(13)

v

DAFTAR GAMBAR

1. FTIR spektroskopi... 11

2. Interfero meter... 12

3. Diagram alir metode penelitian... 17

4. Diagram alir persiapan sampel... 18

5. Profil bilangan asam sampel minyak goreng kelapa sawit berdasarkan frekuensi penggorengan lele pada suhu 1800C... 22

6. Reaksi pembentukan ko mpleks as am lemak teroksidasi dengan protein lisin... 25

7. Profil bilangan peroksida sampel minyak goreng kelapa sawit berdasarkan frekuensi penggorengan lele pada suhu 180oC... 26

8. Profil spektru m bilangan gelo mbangminyak goreng produksi-1 minyak goreng kontrol (warna merah) dan penggorengan 9 kali (warna hitam)... 28

9. Profil spektru m bilangan gelo mbangminyak goreng produksi-2 minyak goreng kontrol (warna h itam) dan 9 kali penggorengan (warna biru)... 28

10. Diagram loading plot bilangan asam minyak goreng... 32

11. Diagram biplot bilangan gelombang minyak goreng... 34

12. Plot nilai bilangan asam pred iksi OLS (Pred(Y1)) dengan bilangan asam sesungguhnya (Y1)... 36

13. Plot nilai bilangan peroksida prediksi OLS (Pred(Y1)) dengan bilangan asam sesungguhnya (Y1)... 37

(14)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

1a. Bilangan asam minyak goreng produksi-1... 41

1b. Bilangan asam minyak goreng produksi-1 (lan jutan)... 41

2a. Bilangan asam minyak goreng produksi-2... 41

2b. Bilangan asam minyak goreng produksi-2 (lan jutan)... 41

3a. Bilangan peroksida minyak goreng produksi-1... 41

3b. Bilangan peroksida minyak goreng produksi-1 (lanjutan)... 41

4a. Bilangan peroksida minyak goreng produksi-2... 41

4b. Bilangan peroksida minyak goreng produksi-2 (lanjutan)... 41

5a. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 1 kontrol... 41

5b. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 1 penggorengan pertama... 41

5c. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 1 penggorengan ke tiga... ... 41

5d. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 1 penggorengan ke lima... ... 41

5e. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 1 penggorengan ketujuh... 41

5f. Spekt ru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 u langan 1 penggorengan ke sembilan... 41

6a. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 2 kontrol... 41

6b. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 2 penggorengan pertama... 41

6c. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 2 penggorengan ke tiga... 41

6d. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 2 penggorengan ke lima... 41

6e. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 ulangan 2 penggorengan ke tujuh... 41

6f. Spekt ru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-1 u langan 2penggorengan ke sembilan... 41

7a. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 ulangan 1 kontrol... 41

7b. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 ulangan 1 penggorengan pertama... 41

7c. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 ulangan 1 penggorengan ke tiga... 41

(15)

vii

7d. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 ulangan 1 penggorengan ke

lima... 41

7e. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 ulangan 1 penggorengan ke tujuh... 41

7f. Spekt ru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 u langan 1 penggorengan ke sembilan... 41

8a.Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 ulangan 2 kontrol... 41

8b.Spekt ru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 u langan 2 penggorengan pertama... 41

8c. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 ulangan 2 penggorengan ke tiga... ... 41

8d.Spekt ru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 u langan 2 penggorengan ke lima...,... 41

8e. Spektru m absorbansi FTIR minyak goreng produksi-2 ulangan 2 penggorengan ke tujuh... 41

9. Persentase intensitas absorbansi bilangan gelo mbang (%) pada tiap sampel.... ... 41

10a. Eigenvalue pada PCA sampel minyak goreng... 41

10b. Scree plot pada PCA sampel minyak goreng... 41

10c. Loading factor PCA sampel minyak goreng... 41

10d. Score factor PCA sampel minyak goreng... 41

11a. Statisit ik kurva OLS bilangan gelo mbang-bilangan asam... 41

11b. Anova kurva OLS bilangan gelombang-bilangan asam... 41

12a. Statisit ik kurva OLS bilangan gelo mbang-bilangan peroksida... 41

(16)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Dari sekian banyak kegiatan pengolahan pangan, penggorengan merupakan pengolahan yang cukup populer dan digemari mas yarakat (Winarno, 1999). Hal in i dapat dilihat dari tingginya angka konsumsi minyak goreng di Indonesia. Konsumsi minyak goreng per kap ita pada tahun 2008 di Indonesia mencapai 9,638 liter/orang dengan total konsumsi 2,2 juta liter. Sementara pada tahun 2013 diperkirakan angka ini naik mencapai 10,273 liter/orang dengan total konsumsi 2,5 juta liter (Prianto, 2010). Hal ini cukup wajar mengingat tingginya produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Sebagai minyak goreng yang paling digemari di Indon esia, minyak kelapa sawit ini digunakan secara luas dari berbagai macam kalangan. Mulai dari ru mah tangga, pedagang kaki lima, ru mah makan, hingga industri. Sayangnya, seringkali pengguna minyak goreng kelapa sawit tersebut melakukan praktik penggorengan yang salah. Oleh sebab itu, penentuan profil kualitas minyak goreng yang masih layak untuk dikonsumsi menjadi hal yang penting. Penentuan ini dapat dilakukan dengan cara menguji sampel minyak goreng hasil penggorengan.

Menurut Al-Degs et al. (2011), sampel makanan untuk penggorengan diperlukan untuk

mendapatkan hasil yang baik. Beberapa peneliti menggunakan sampel penggorengan yang berbeda

-beda, di antaranya kentang goreng (Kalogianni et al., 2011), falafel(bola kue yang terbuat dari kacang

giling) (Al-Degs et al., 2011), dan ikan (Manral et al., 2007). Pemilihan sampel penggorengan

tersebut didasarkan pada makanan yang umu m d ikonsumsi o leh masyarakat .

Di Indonesia, ikan goreng seperti halnya lele goreng merupakan makanan yang digemari o leh masyarakat. Lele goreng merupakan makanan ikan dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga produk ikan lainnya. Di samping itu, lele goreng ini tersusun atas ko mponen yang lebih komp leks dibandingkan dengan produk gorengan lainnya seperti tahu dan tempe. Dengan demikian, d iharapkan penggorengan menggunakan lele ini dapat memberikan profil yang lebih ko mprehensif. Oleh sebab itu, penelitian kali ini menggunakan lele sebagai sampel penggorengannya.

Terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menguji kualitas minyak goreng. Di antaranya adalah bilangan asam lemak bebas dan bilangan peroksida dari minyak goreng. Secara konvensional, pengukuran nilai bilangan asam lemak bebas dan nilai b ilangan peroksida dilaku kan melalui analisis laboratoriu m dengan metode titrimetri.

Di sisi lain, dewasa ini telah dikembangkan suatu instrumen yang bernama FTIR (Fourier

Transform Infra Red) Spektroskopi. Instru men ini memiliki kelebihan yakni mampu mendeteksi

ko mponen suatu sampel bahan pangan dengan cepat dan mu rah karena tidak memerlukan persiapan bahan pereaksi. Alat ini pun telah diaplikasikan pada bahan pangan secara meluas. Teknik ini merupakan metode yang penting dalam pengontrolan kualitas dan pemonitoran proses dalam industri pangan karena harganya yang murah, kerjanya yang baik, dan penggunaannya yanglebih mudah dibandingkan dengan metode yang lain. Di samp ing itu, tekn ik in i juga menawarkan metode yang cepat dan nondestruktif baik untuk pengukuran kuantitatif maupun pengukuran kualitatif (Cronin dan McKenzie, 1990).

(17)

2

mu ltivariat merupakan analisis yang digunakan untuk mengolah dan menghubungkan data dengan ju mlah besar, baik dari segi ju mlah variabel maupun dari segi ju mlah sampel.

B.

TUJUAN PEN ELITIAN

Penelit ian in i bertujuan untuk:

1. Mempero leh profil perubahan bilangan asam dan bilangan peroksida sampel minyak goreng

selama penggorengan pada suhu 1800C

2. Mempero leh profil spektu m bilangan gelo mbang FTI R utama yang terdapat pada minyak goreng

3. Mempero leh korelasi antara spektrum b ilangan gelo mbang FTIR dengan bilangan asam dan

(18)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

PENGGOR ENGAN

Menggoreng merupakan salah satu metode tertua yan g digunakan untuk mengolah bahan pangan. Kegiatan ini dapat digunakan untuk mengolah berbagai macam bahan makanan, mulai dari

daging, ikan, hingga sayuran (Rossell, 2000). Di seluruh dunia, metode penggorengan deepfat frying

memiliki peran yang sangat penting dalam industri. Diperkirakan ju mlah o mset totalnya senilai dengan satumiliar dolar. Angka ini tidak hanya meliputi minyak yang digunakan untuk menggoreng saja, tetapi juga mencakup nilai ritel dan komersial produk makanan yang digoreng baik pada indust ri maupun restoran (Blu menthal, 1996).

Deep fat frying merupakan teknik yang paling ko mpleks dalam penggunaan minyak ataupun

lemak yangdapat dimakan (Gert z, 2000). Sifat minyak goreng yang tidak memiliki rasa yang menyimpang dan praktis untuk digunakan merupakan kriteria utama dalam memilih minyak goreng (Dunford, 2003).

1.

Inte raksi Bahan Pangan dan Minyak Goreng Selama Penggorengan

Menurut Lalas (2009), penggorengan dapat dikatakan sebagai proses dehidrasi denganmenggunakan minyak sebagai med iu mperpindahan panasnya. Dalam proses ini, sebagian dari minyak goreng akan terserap masuk pada bahan pangan dan mempengaruhi kualitas organoleptiknya. Penyerapan minyak pada bahan pangan ini dapat bervariasi besarnya dengan nilai min imal 6 persen (Saguy dan Dana, 2003).

Pada awal penggorengan, temperatur dari minyak goreng akan menurun pada saat dimasuki oleh bahan pangan. Temperatur dalam bahan pangan akan men ingkat secara perlahan seiring dengan berpindahnya panas dari minyak ke bahan pangan . Kenaikan suhu ini akan mengakibatkan penguapan air ke luar bahan pangan. Adanya penguapan air ini membuat suhu maksimal di dalam bahan pangan

stabil pada 100oC. Di samping itu, uap air ini akan membatasi minyak yang terserap oleh bahan

pangan. Hal ini akan menyebakan bahan pangan terbagi menjadi dua daerah yaitu bagian permu kaan dan bagian dalam. Pada daerah permu kaan terjadi perubahan utama bahan pangan akibat penggorengan. Sementara bagian dalam mengalami perubahan yang lebih ringan dengan suhu yang

tidak mencapai 100oC (Lalas, 2009).

Parameter utama yang mempengaruhi kehilangan air dan penyerapan minyak adalah suhu dan lama penggorengan. Semakin tinggi suhu pemasakan, semakin rendah pula minyak yang diserap oleh permu kaan bahan makanan dan semakin sedikit pula waktu yang dibutuh kan untuk memasak (Lalas, 2009).

Di samp ing itu, terdapat beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi pelepasan air dan penyerapan minyak adalah bahan pangan dan minyak goreng yang digunakan. Hal tersebut meliputi ko mposisi bahan pangan, struktur permu kaan dan komposisi bagian dalam, kelembaban dan kandungan lemak, bentuk produk, rasio luas permu kaan -berat, porositas, dan perlakuan sebelum penggorengan (Saguy dan Dana, 2003).

2.

Proses Kerusakan Minyak

(19)

4

menghasilkan produk samping berupa katalisator kuat yang dapat menyebabkan kerusakan lebihlanjut pada minyak yang terkandung pada produk gorengan selama penyimpanan (Gupta, 2005).

Selama penggorengan, bahan pangan yang masuk ke dalam minyak goreng akan mengalami kontak dengan udara dan minyak selama pemanasan. Oleh sebab itu, terdapat tiga reaksi perubahan minyak utama yang menyebabkan kerusakan minyak, yaitu : kandungan air dari bahan pangan yang men ingkatkan reaksi hidro lisis, oksigen dari udara yang meningkatkan reaksi oksidasi, dan panas dari penggorengan yang menyebabkan terjadinya reaksi termal (Lillard , 1983).

Reaksi hirdrolisis merupakan reaksi pemutusan ikatan ester pada struktur trigliserida, digliserida, ataupun monogliserida yang menyebabkan terbentuknya asam lemak bebas. Adapun reaksi o ksidasi dan reaksi termal terjad i pada rantai asam lemak tidak jenuh trigliserida (Lalas , 2009). Ketiga reaksi perubahan minyak selama penggorengan ini merupakan reaksi yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sebagai misal, temperatur pemasakan yang tinggi menginduksi terjadinya peningkatan laju reksi oksidasi yang menghasilkan produk-produk oksidatif, baik senyawa dimer maupun polimer. Di sisi lain, asam lemak bebas yang terbentuk dari reaksi hidro lisis akibat adanya kandungan air pada bahan makanan lebih mudah terekspos oleh oksidasi daripada asam lemak

yang masih terikatdengan gugus gliserol (Gutierrez et al., 1988).

Secara garis besar, produk-produk degradasi bahan pangan selama penggorengan dibagi men jadi dua kelo mpok, yakn i: ko mponen volatil dan komponen nonvolatil. Yang termasuk dalam ko mponen volatil meliputi aldehid, keton, alkohol, asa m, ester, hidrokarbon, lakton, dan senyawa aromat ik. Ko mponen ini berperan penting dalam karakteristik organoleptik minyak dan produk gorengan. Sebagian dari ko mponen ini hilang saat penggorengan.

Adapun yang termasuk dalam ko mponen nonvolatil adalah seny awa-senyawa yang memiliki berat mo lekul yang tinggi (Lalas , 2009). Senyawa in i pada umu mnya terbentuk karena adanya oksidasi termal dan polimerisasi asam lemak t idak jenuh pada media penggorengan. Produk ini tidak hilang selama p roses penggorengan dan berperan dalam menyebabkan terjadinya kerusakan minyak goreng lanjutan. Di samping itu, produk in i nantinya akan terserap oleh bahan pangan sehingga ikut terkonsumsi oleh manusia sehingga dapat menimbulkan masalah kesehatan (Gert z, 2000).Menurut Lalas (2009), reaksi yang terjadi dalam proses kerusakan minyak selama penggorengan meliputi ketengikan hidrolisis, ketengikan oksidatif, oksidasi termal, terbentuknya produk volatil, terbentuknya ko mponen siklik, dan terbentuknya senyawa dimer dan polimer.

a.

Ketengikan hidrolisis

Menurut Velasco et al (2009), reaksi hidrolisis merupakan reaksi yang cukup dikenal dalam

proses penggorengan dan seringkali men jadi reaksi utama disebabkan oleh adanya kandungan air pada bahan pangan. Di samping itu, reaksi ini juga menimbu lkan masalah tersendiri karena asam lemak

bebas yang dihasilkan dapat menurunkan titik pengasapan (smok e point), membentuk senyawa volatil

dan flavor berlebih, serta menurunkan tegangan permukaan minyak

Meskipun demikian, dari sisi nutrisi asam lemak bebas ini tidak banyak berpengaruh karena senyawa ini sama dengan asam lemak bebas yang dihasilkan selama proses pencernaan lemak o leh

enzim lipase sebelum d iserap oleh usus halus. (Velasco et al., 2009).

Reaksi hidro lisis merupakan satu-satunya reaksi pemutusan trigliserida dengan adanya bantuan air. Set iap kali reaksi ini terjadi, satu asam lemak bebas akan dilepas dari trigliserida sehingga menghasilkan digliserida. Reaksi hid rolisis lanjutan dapat menghasilkan monogliserida ataupun gliserol. Selama penggorengan, reaksi ini berlangsung dengan cepat. Di samping itu, tidak ada satu pun bahan tambahan pangan yang mampu mencegah terbentuknya asam lemak bebas

(20)

5

bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi o ksidasi asam lemak yang masih terikat dengan gliserol.

b.

Ketengikan oksidatif

Ketengikan oksidatif merupakan reaksi yang dihasilkan dari proses oksidasi lemak yang ko mpleks. Proses oksidasi merupakan reaksi pembentukan radikal terinduksi yang berlangsung

menurut tahapan inisiasi, propagasi, branching, dan terminasi (Belit z dan Grosch, 1987).

Selama proses inisiasi, oksigen bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh menghasilkan hidroperoksida dan radikal bebas yang sangat reaktif. Reaksi ini dipercepat oleh beberapa senyawa, seperti halnya pengoksidasi kimia, logam t ransisi, dan enzim. Di samping itu, panas dan cahaya juga dapat mempengaruhi laju reaksi oksidasi lemak (Belitz dan Grosch , 1987).

Senyawa-senyawa reaktif ini kemudian akan bereaksi dengan molekul lemak membentuk senyawa kimia reakt if lainnya. Proses propagasi dari oksidasi lemak lanjutan ini d ikenal juga dengan istilah autooksidasi. Reaksi autooksidasi ini merupakan faktor utama penyebab terbentuknya ketengikan oksidatif pada minyak goreng. Reaksi in i bergantung pada jumlah asam lemak bebas yang terbentuk yang dapat bereaksi dengan oksigen (Lalas, 2009).

Secara u mu m, lamanya waktu induksi dan laju o ksidasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: kenaikan temperatur, irad iasi, peningkatan rasio permukaan -volu me minyak goreng, keberadaan katalis seperti hidroperoksida, klorofil, dan logam transisi, serta ko mposisi asam lemak bebas pada minyak. Semakin banyak gugus alil (gugus hidrokarbon yang mengandung ikatan rangkap), semakin cepat pula waktu induksi dan semakin tinggi pula laju oksidasinya (Lalas , 2009).

c.

Oksidasi termal

Oksidasi termal dapat menghasilkan berbagai macam produk. Oksidasi minyak pada temperatur yang tinggi berbeda dengan oksidasi minyak p ada temperatur yang lebih rendah. Di samping berbeda dari laju reaksinya, perbedaan juga terdapat pada mekanis me reaksinya. Hal ini disebabkan produk oksidatif yang terbentuk pada temperatur yang rendah cenderung kurang stabil untuk menyebabkan reaksi oksidatif dibandingkan pada temperatur yang tinggi. Produk yang dihasilkan dari o ksidasi termal ini di antaranya adalah ko mponen volatil, ko mponen siklik, serta dimer dan polimer (Lalas, 2009).

3.

Pengujian Kualitas Minyak Goreng

Sebagian dari minyak yang digunakan dalam penggorengan akan diserap oleh bahan pangan. Minyak ini akan ikut masuk ke dalam tubuh manusia bersamaan dengan dikonsumsinya makanan tersebut. Oleh sebab itu, pengujian kualitas minyak goreng dalam bahan pangan penting untuk dilakukan (Rossell, 2000). Menurut Gupta (2005), selain dapat mengurangi potensi yang membahayakan kesehatan, pengujian kualitas minyak goreng juga dapat digunakan untuk menentukan umur simpan suatu produk pangan.

(21)

6

Oleh sebab itu, beberapa metode pengujian minyak secara kuantitatif dan objekt if pun telah dikembangkan, baik secara kimia, fisik, maupun menggunakan instrumen. Menurut Paradis dan Nawar (1981), metode pengujian minyak goreng yang sederhana dan objektif merupakan hal yang penting. Pada industri pangan, pengujian yang tepat akan mampu menghasilkan keuntungan ekonomis yang signifikan.

Pengujian dengan metode kimia menit ikberat kan pada beberapa produk hasil o ksidasi dan kerusakan termal yang mengakibatkan ketengikan. Pengujian fisik menit ikberat kan pada terbentuknya

polimer selama penggorengan. Beberapa metode lainnya bersifat instrumental. Menurut Miyagawa et

al. (1991), tidak terdapat satu pun metode tunggal yang dapat digunakan untuk memperkirakan

seluruh kerusakan. Oleh sebab itu, penggunaan metode uji yang terpadu dibutuhkan untuk memahami kerusakan minyak goreng secara lebih menyeluruh.

a.

Bilangan pe roksida

Produk utama dari o ksidasi lipid adalah hidroperoksida yang umu mnya dikenal dengan istilah peroksida. Peroksida merupakan ko mponen organik tidak stabil yang terbentu k dari trigliserida. Metode pengujian bilangan peroksida telah lama dikembangkan oleh Lawson (1985) dan Rossell (1983). Metode ini mengukur pembentukan senyawa hidroperoksida intermediat dalam satuan miliekuivalen oksigen aktif per kilogram sampel. Hidroperoksida yang yang dihasilkan selama oksidasi minyak akan bereaksi dengan ion iodid a membentuk iodin yang pada akhirnya akan d iukur dengan menggunakan titrasi tiosulfat.

b.

Bilangan asam le mak bebas

Tabel 1. Persyaratan Minyak Goreng ( SNI 01-3741-2002)

Kriteri a uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II

Keadaan

Bau Normal Normal

Rasa Normal Normal

Warna Putih, kuning pucat Putih, kuning pucat

sampai kuning sampai kuning

Kadar Air % b/b Maks 0,1 Maks 0,3

Bilangan asam mg KOH/gr Maks 0,6 Maks 2

Asam linoleat (C18:3) dalam ko mposisi asam lemak minyak

% Maks 2 Maks 2

Bilangan peroksida meq O2/kg Maks 10 Maks 10

Cemaran logam

Timbal (pb) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

Timah (Sn) mg/kg Maks 40/ 250 Maks 40/ 250

Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,05 Maks 0,05

Tembaga (Cu) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

Arsen (As) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

Minyak Pelikan Negatif Negatif

(22)

7

Tabel 2. Sup lai dan distribusi minyak nabati dunia (x106 ton) (USDA-FAS 2006)

antara yang termasuk dalam kriteria kimia standar minyak goreng adalah bilangan asam yang tidak boleh melebih i batas 0,6 mg NaOH/g sampel untuk kualitas 1 dan 2 mg NaOH/g sampel untuk kualitas 2.

Metode bilangan asam lemak bebas merupakan metode yang sering digunakan dalam

pengujian minyak goreng. Metode ini sering kali digunakan oleh quality control dalam pengujian

minyak goreng (Stauffer, 1996). Selama pemasakan, peningkatan nilai bilangan asam lemak bebas secara bertahap dapat disebabkan akibat adanya hidrolisis maupun akibat terbentuknya komponen karboksilat dalam senyawa polimer produk yang digoreng (Tyagi dan Vasishta, 1996).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah ju mlah bilangan asam lemak bebas yang terukur tidak murni berasal dari ju mlahyang dihasilkan selama penggorengan. Jumlah tersebut dapat berasal dari bilangan asam aku mu latif yang sudah terkandung di dalam bahan sebelum penggorengan (Lalas , 2009).

B.

MINYAK KELAPA SAWIT

Minyak kelapa sawit berasal dari tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Tanaman

yang tumbuh di daerah tropis ini berasal dari ordo Arecales dan famili Aracaceae (Dransfield et al.,

2005). Tanaman in i tumbuh pada tanah aluvial yang subur (Corley dan Tinker, 2003). Tingginya dapat mencapai 30 meter dengan diameter rentang daun 10-16 meter. Oleh sebab itu, tanaman ini membutuhkan lahan perkebunan yang luas untuk mencegah ko mpetisi dengan sesama (Cruden , 1988 di dalam Rival, 2010).

Tanaman kelapa sawit in i termasuk dalam salah satu tanaman yang paling produktif dengan ju mlah panen rata-rata di negara penghasil utama mencapai 4 ton minyak kelapa sawit/hektar/tahun (Murphy, 2003). Diperkirakan, produksi minyak kelapa sawit dunia telah mengalami peningkatan 15

kali lipat sejak tahun 1948 dan pada tahun 2007 ju mlahnya dapat mencapai sekitar 38x106ton. Dua

negara penghasil minyak kelapa sawit utama adalah Indonesia dan Malaysia yang menyumbang 86% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia (USDA -FAS, 2006).

Minyak Nabati

Tahun

2002-2003 2003-2004 2004-2005

20005-2006

20006-2007

Minyak kedelai 30,56 29,94 32,47 34,37 34,94

Minyak kelapa sawit 27,71 29,59 33,88 35,37 37,37

Minyak biji bunga

matahari 8,12 9,13 9,01 10,17 10,10

Minyak kacang 4,62 5,01 5,06 5,18 5,00

Minyak kapas 3,51 3,83 4,73 4,56 4,74

Minyak kelapa 3,16 3,29 3,44 3,54 3,26

Minyak zaitun 2,51 3,00 2,74 2,28 2,85

(23)

8

Menurut Patterson (2009), di dalam minyak nabati terdapat beberapa komp onen utama, di antaranya adalah trigliserida, asam lemak, asam lemak jenuh, dan asam lemak tidak jenuh.

1.

Trigliserida

Unit dasar dari lemak terdiri atas sebuah molekul g liserol yang diko mbinasikan dengan tiga mo leku l asam lemak. Pada saat ketiga asam lemak tersebut berasal dari jenis yang sama, maka trigliserida itu disebut juga dengan triglisireda sederhana. Adapun jika ket iga asam lemak berasal lebih dari satu jenis, maka trigliserida itu disebut dengan trigliserida campuran (Patterson, 2009).

Trig liserida ini berukuran antara 1.5 – 2.0 n m, sehingga bisa masuk ke dalam adsorben yang

berukuran meso dan makro. Oleh sebab itu, karakteristik in i digunakan dalam ads orbsi minyak kelapa sawit menggunakan arang aktif untuk proses pemurniannya (Patterson, 2009).

2.

Asam Lemak

Berdasarkan gugus fungsinya, asam lemak dikenal juga dengan nama asam karboksilat. Secara struktural, gugus ini memiliki ru mus fungsi RCOOH. Meskipun demikian, tidak semua senyawa dalam gugus fungsi tersebut dimasukkan ke dalam asam lemak. Sebagai misal, t iga senyawa dengan ju mlah karbon yang paling kecil, yakn i: format, asetat, dan propionat dikecualikan dari asam lemak

karena ket iga senyawa tersebut tidak memiliki karakteristik immiscible (tidak larut) dengan air.

Senyawa asam butirat, yang memiliki empat rantai karbon dimasukkan ke dalam asam lemak

dikarenakansenyawa ini secara alami terdapat pada mentega. Tingkat immiscibility (ketidaklarutan

dalam air) meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon mulai dari asam kaproat, yakni senyawa asam lemak dengan 6 rantai karbon (Patterson, 2009).

a. Asam lemak jenuh

Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang semua atom karbonnya terisi penuh oleh hidrogen. Dengan kata lain, asam lemak jenuh ini t idak memiliki ikatan rangkap. Senyawa ini merupakan asam lemak yang paling stabil, baik dalam keadaan bebas maupun dalam keadaan terikat (Kress-Rolgers, 1990). Dalam keadaan padat, moleku l-mo leku l asam lemak tidak jenuh ini lebih mudah untuk tersusun bersama dengan rapat dikarenakan strukturnya yang lurus.

Oleh sebab itu, asam lemak t idak jenuh memiliki tit ik leleh yang lebih tinggi. Nilai tit ik leleh ini semakin meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon. Adapun nilai hidrofobisitasnya juga turut meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon.Beberapa asam lemak tidak jenuh yang paling umum ditemukan adalah asam lau rat (C12), asam palmitat (C16), dan asam stearat(C18) (Patterson, 2009).

b.

Asam lemak tidak jenuh

Asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak yang memiliki ikatan rangkap pada rantainya.

Asam lemak yang hanya memiliki satu ikatan rangkap dikenal dengan nama monounsaturated fatty

acid. Ikatan rangkap ini merupakan titik yang potensial untuk diserang oleh reaksi o ksidasi.

(24)

9

Tabel 3. Ko mposisi asam lemak minyak kelapa sawit (Rival, 2010)

isomer, yakni cis dan trans. Keisometrian in i terjad i karena ikatan rangkap bertindak sebagai penghalang sterik yang menyebabkan rotasi atom C menjad i terbatas (Patterson, 2009).

Isomer trans memiliki tit ik leleh yang lebih tinggi dikarenakan strukturnya yang memudahkannya membentuk gabungan asam lemak yang solid. Sementara isomer cis, yang sering ditemu i pada bahan-bahan alami, memiliki sifat yang lebih liku id (Patterson, 2009). Di antara yang termasuk dalamasam lemak t idak jenuh adalah asam oleat. Asam lemak tidak jenuh ini memiliki

karakteristik yang penting terhadap flavor minyak.

Asam lemak Ko mposisi (%)

Asam kaprilat C8:0 0,00

Asam kaprat C10:0 0,00

Asam laurat C12:0 0,00

Asam miristat (C14:0) 1,00

Asam palmitat (C16:0) 44,30

Asam stearat (C18:0) 4,60

Asan oleat (C18:1) 38,70

Asam linoleat (C18:2) 10,50

Tabel 3 menunjukkan dilihat bahwa asam lemak dalam minyak kelapa sawit terdiri atas dua jenis, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh di dalam minyak kelapa sawit berasal dari asam miristat, palmitat, dan stearat sedangkan kandungan asam lemak tidak jenuhnya berasal dari asam o leat dan linoleat. Kandungan keduanya di dalam minyak kelapa sawit lebih ku rang seimbang. Asam lemak jenuh memiliki persentase sebesar 48,9% dan asam lemak tidak jenuh sekitar 49,2%.

C.

LELE

Lele merupakan ikan yang berasal dari genus Clarias (Silu roidae, Clariidae). Secara lengkap, hewan ini termasuk ke dalam kingdom Animalia, subkingdom Metazoa, filu m Chordata, subfilu m Vertebrata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluro idea, familia Clariidae,

dan genus Clarias (Djat mika et al., 1986).. Hewan ini memiliki penyebaran yang luas pada perairan

tawar di wilayah Afrika dan Asia. Diperkirakan nenek moyang lele in i berasal dari genus Pliocene yang hidup 7-10 juta tahun yang lalu pada zaman tersier (Sudarto, 2007). Dewasa in i, terdapat total 58 spesies lele di seluruh dunia. Dari ju mlah tersebut, sebanyak 33 spesies berasal dari Afri ka dan 25 spesies berasal dari Asia.

1.

Karakteristik Lele

Secara u mu m, ciri-ciri lele dapat dilihat pada tubuhnya yang panjang, sisik bagian samping dan analnya yang panjang, serta empat pasang sirip. Genus ini juga memiliki kekhasan yaitu adanya organ

suprabranchial (Teugels, 2003). Organ ini berfungsi seperti halnya paru -paru dan meningkatkan

(25)

10

Tabel 4. Negara penghasil lele utama dunia (FAO, 2009)

Habitat lele ialah air tawar. Meskipun tempat tumbuhnya yang paling baik adalah pada air irigasi, air sungai, air mata air dan air su mur, namun lele dapat juga hidup pada lingkungan yang kurang baik seperti halnya air kotor dan penuh lumpur, Lele juga dapat hidup pada kolam dengan padat penebaran yang tinggi. Kemampuan genus ini untuk tumbuh dan berkembang biak pada tempat yang miskin akan oksigen, perkembangannya yang cepat, makannya yang tidak sulit, dan ketahanannya yang tinggi terhadap stres membuat banyak orang yang tertarik untuk membudidayakannya (Na-Nakorn dan Bru mmett, 2009).

2.

Produksi dan Kons umsi Lele

Diperkirakan lele ini d ibudidayakan dalam sekala besar pada 30 negara dengan total produksi melebih i 300.000 ton pada tahun 2006. Ju mlah ini setara dengan nominal 400 juta US$ (FA O, 2009). Sebanyak 20 negara di Afrika, Asia, dan Eropa memp roduksi sekurangnya 100 ton lele per tahunnya. Pada Tabel 4, produksi lele di Indonesia mencapai angka 77.332 ton pada tahun 2006 dan menempati peringkat dua negara produsen utama lele.

Adapun enam jen is ikan lele yang dikembangkan di Indonesia adalah Clarias batrachus yang

lebih dikenal dengan nama ikan lele lokal, Clarias teysmani atau ikan lele kembang, Clarias

melanoderma, Clarias nieuhofi, Dlarias localanthus, dan Clarias gariepinus yang dikenal juga

sebagai ikan lele dumbo (Djat mika et al., 1986). Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan lele

yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi di Indonesia. Lele du mbo merupakan jen is lele

hasil persilangan antara lele betina Clarias fuscus yang berasal dari Taiwan dengan lele pejantan

Clarias mossambicus yang berasal dari Australia. Lele dumbo memiliki sifat yang lebih unggul

dibandingkan dengan lele lainnya, di antaranya adalah pertumbuhannya yang cepat, pemberi pakannya yang mudah, dan pemeliharaanny a yang tidak sulit (Hernowo dan Suyanto, 2003 dan Mahyuddin, 2008).

No Negara Jumlah (ton)

1 Thailand 146.000

2 Indonesia 77.332

3 Nigeria 51.916

4 Uganda 20.941

5 Malaysia 18.486

6 Belanda 4.500

7 Filipina 2.376

8 Hungaria 1.724

9 Suria 1.030

10 Kamboja 800

11 Brazil 362

12 Kenya 302

13 Mali 300

14 Polandia 280

15 Belgia 250

16 Togo 200

17 Ru mania 118

18 Italia 115

19 Kamerun 110

(26)

11

Gambar 1. FTIR spektroskopi

Tabel 5. Data produksi lele du mbo (ton) tahun 1999 -2003 (Mahyuddin 2008)

Daerah Tahun

1999 2000 2001 2002 2003

Sumatera Utara 1.343 1.354 1.327 1.446 2.534

Riau 2.013 3.428 6.369 555 1.569

Jawa Timur 7.295 7.286 7.981 14.792 25.689

Jawa Tengah 5.110 6.491 7.573 7.554 9.416

Jawa Barat 5.666 7.233 6.246 6.941 8.376

Yogyakarta 1.781 1.063 1.751 2.258 2.518

Lain-lain 1.783 2.136 2.889 4.505 7.638

Total 24.991 28.991 34.136 38.051 57.740

Menurut Mahyuddin (2008) pada Tabel 5, berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan, perkembangan produksi lele dumbo di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 18,3% per tahun dari 24.991 ton pada tahun 1999 menjadi sebesar 57.740 ton pada tahun 2003. Pada tahun 2004, produksi lele mencapai angka 60.000 ton. Sementara pada tahun 2005 nilai in i meningkat men jadi 79.000 ton. Kebutuhan benih juga mengalami peningkatan pesar dari 156 juta ekor pada tahun 1999 menjadi 360 juta ekor pada tahun 2003. Angka peningkatan rata-ratanya mencapai 46% per tahun.

Pasar utama lele adalah warung lesehan dan pecel lele. Di samp ing itu, pasar lele saat ini juga telah menjangkau restoran, supermarket, dan industri olahan. Permintaan lele untuk konsumsi cukup besar. Untuk pasar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, permintaannya setiap hari tidak kurang dari 75 ton atau 2.250 ton/bulang dengan nilai perputaran uang mencapai Rp 20 miliar per bulan. Adapun permintaan dari wilayah Yogyakarta mencapai 20 ton per hari dan dari Jawa Timur mencapai 30 ton per hari (Mahyuddin, 2008).

D.

Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spectroscopy

Fourier Transform In fra Red spectroscopy adalah metode spektroskopi infra merah melalui

sinar radiasi infra merah yang dilalukan dalam sebuah sampel padat, cair, atau gas dalam spektrum absorpsi, emisi, fotokonduktivitas atau pembiasan Raman(Connes dan Connes , 1996). Beberapa radiasi infra merah ini diserap oleh sampel dan beberapa diteruskan. Hasil dari spektrum terdapat

dalam absorpsi molekular dan transmisinya, mencit rakan fingerprint moleku lar sampel. Hal inilah

(27)

12

Gambar 2. Interfero meter (Markovich dan Pidgeon, 1991)

Spektroskopi FTIR ini berbeda dengan spektroskopi biasa. Spektroskopi b iasa umu mnya menggunakan metode spektroskopi dispersif. Metode ini menyinari s eberkas sinar monokro mat is pada sampel, kemud ian mengukur seberapa banyak cahaya yang diserap, dan mengulang langkah in i u mtuk setiap panjang gelombang yang berbeda (Connes dan Connes , 1996).Sebaliknya, FTIR tidak menggunakan berkas sinar monokro mat is. Metode ini menggunakan sinar dengan beberapa frekuensi sinar yang berbeda, dan mengukur berapa banyak sinar yang dia bsorbsi oleh sampel. Sinar ini dimodifikasi dengan mengomb inasikan frekuensi yang berbeda untuk menghasilkan data sekunder. Proses ini berlangsung berulang kali dalam waktu yang singkat. Hasilnya kemudian diinterpretasikan oleh ko mputer yang berupa nilai absorbansi sampel pada tiap panjang gelombang (Connes dan Connes, 1996).

Teknik spektroskopi FTIR merupakan alat yang penting dalam pengontrola n kualitas dan pemonitoran proses dalam industri pangan dikarenakan harganya yang murah, kerjanya yang baik, dan

penggunaannya yang lebih mudah dibandingkan metode lain (Van de Voort et al., 1992).

Banyak penelit i yang sudah menggunakan instrumen FTIR spektroskopi ini dalam bahan

pangan. Di antaranya adalah Hocevar et al. (2011) dalam minyak goreng, Roh man dan Che Man

(2010) dalam lemak hewani, A l-Degs et al. (2011) dalam lemak nabati, Marikkar et al. (2005) dalam

lemak hewani, Vlachos et al. (2006) dalam lemak nabati, Che Man et al. (2005) dalam pemalsuan

cokelat dengan lemak babi, dan Roh man et al. (2011) dalam pemalsuan bakso dengan daging babi.

Menurut Markovich dan Pidgeon (1991), instrumen FTIR spektroskopi terbagi men jadi beberapa bagian, yaitu:

1.

Inte rferometer

Interfero meter merupakan alat optik yang terdapat di dalam FTIR spektrofotometer. A lat ini dikembangkan menggunakan prinsip interfero meter Michelson. Interfero meter ini terdiri atas dua

cermin datar yang membentuk sudut siku satu sama lainnya dengan sebuah beam splitter (pemisah

sinar) pada sudut 450 dari cermin datar. Satu cermin berada pada kondisi stasioner, sementara cermin

yang lainnya dapat bergerak bebas.

Beam splitter membagi cahaya yang datang dari sumbernya menuju tiap leng an interferometer.

Sebanyak 50% dari sinar ini dipantulkan ke cermin stasioner dan 50% sisanya diteruskan ke cermin yang bergerak.

Berdasarkan gambar berikut, sinar yang masuk dibagi ke dalam dua jalur interfero meter. Satu bagian menuju ke lengan interferometer dengan cermin bebas sementara bagian lainnya masuk ke dalam lengan interfero meter dengan cermin tetap. Dua sinar ini pada akhirnya bersatu kembali di

(28)

13

diteruskan ke dalam sampel. Cahaya dari sampel yang tidak diserap akan diteruskan dan masuk ke dalam detektor.

Adanya perbedaan jalur optis sinar yang diakibatkan oleh cermin bergerak menyebabkan adanya perbedaan fase sinar. Hal ini menyebabkan timbulnya pola inte rferensi sinar yang berbeda pada detektor. Perbedaan pola ini, yang menyebabkan dapat diketahuinya informasi spektrm dari suatu sampel, dikenal dengan nama interferogram.

Interferogram juga dapat dikatakan sebagai plot antara intensitas cahaya dari yang mencapai detektor terhadap keterlambatan optis yang disebabkan oleh pergerakan cermin. Sensitiv itas instrumen dapat dihitung melalui intensitas maksimal yang mencapai detektor.

2.

Detektor

Terdapat dua macam t ipe detektor dalam FTIR spektroskopi, yakni deuterated triglycine

sulfate (TGS), pyroelectric bolometer, dan mercury cadmium telluride (MCT) photodetector.

Umu mnya detektor MCT digunakan untuk mengukur sampel dalam bentuk cair dikarenakan karakteristiknya yang lebih sensitif.

Intensitas cahaya yang berhasil menembus sampel dan ditangkap oleh detektor dihitung sebagai interval dari pergesaran cermin, yang memiliki nilai lebih kecil daripada satu mikro meter. Keluaran optis in i dih itung pada interval pergesaran cermin yang sama.

Di dalam spektrofoto meter FT IR terdapat laser heliu m-neon (He -Ne) yang digunakan untuk mengukur pergesaran linear dari cermin bergerak sehingga komputer dapat menghitung keluaran optis pada pergesaran cermin yang tepat dalam bentuk data digital. Oleh sebab itulah laser He -Ne ini bertindak sebagai jam internal spektrofotometer yang memberitahukan lokasi yang tepat untuk memperoleh sebuah data dalam pengukuran interferogram. Laser He -Ne in i memancarkan cahaya dengan panjang gelombang 0.63299 mikro meter.

3.

Inte rferogram

Pada saat seberkas sinar memasuki interfero meter, hanya satu panjang gelombang saja yang dapat keluar dari interfero meter. Pada detektor, cahaya ini mengalami perubahan mulai dari sinar terang ke sinar gelap. Hal in i terjadi karena adanya perbedaan fase sinar di mana sin yal sinar yang paling tinggi terjadi pada saat posisi cermin menghasilkan fase konstruktif dan sinar sinyal paling rendah pada saat posisi cermin menghasilkan fase destruktif. Pada posisi cermin di mana sinar yang dihasilkan terletak antara posisi interferensi konstruktif maksimu m dan posisi interferensi destruktif maksimu m, interferensi optis menyebabkan dihasilkannya sinar dengan pada intensitas intermed iat.

Hal inilah yang menyebabkan interfero meter mampu mengubah sinar menjadi beberapa intensitas yang berbeda meskipun berasal dari sumber yang sama.

Sebuah plot yang menggambarkan perubahan nilai intensitas yang teratur terhdapa pergeseran cermin dapat dilihat pada gambar berikut. Luaran dari interferogram ini menghasilkan arus AC dan arus DC. Arus DC kemudian dih ilangkan karena informasi spektral haruslah dalam bentuk AC.

E.

Analisis Multivariat

(29)

14

Melalui metode ini, variabel data tersebut akan diseleksi sedemikian rupa sehingga membuang data yang tidak penting dan menghasilkan sejumlah data yang paling informatif dan berpengaruh terhadap parameter yang diamati (Umetrics AB, 2006).

Beberapa hal yang termasuk ke dalam analisis mu ltivariat adalah merangku m dan memv isualisasikan serangkaian data, mengklasifikasikan data ke dalam kelo mpok tertent u, seerta menentukan hubungan kuantitatif antara variabel. Hal ini dapat dilakukan pada berbagai macam model data multivariat, mu lai dari banyak sedikitnya variabel, banyak sedikitnya variabel, hingga lengkap tidaknya data yang diperoleh (Umetrics AB, 2006).

Pada umu mnya, analisi multivariat terdiri atas multiple linear regression (MLR), linear

discriminant analysis (LDA), canonical correlation (CC), factor analysis (FA), dan principle

component analysis (PCA)(Umetrics AB, 2006).

Dalam beberapa kasus, seringkali analisis mu ltivariat diistilahkan dengan analisis megavariat. Bedanya, analisis megavariat digunakan pada data yang memiliki variabel laten untuk menghasilkan data mult ivariat. Oleh sebab itu, analaisis megavariat dapat diterapkan pada data yang tidak lengkap. Sebagai contoh adalah data yang diterapkan pada proses teknologi terapan yang memiliki beberapa variabel laten yang tidak nampak (Grainger, 2003).

Dalam aplikasi keseharian, analisis mult ivariat ini banyak digunakan pada Quality Control (QC), pemonitoran proses produksi, maupun di sektor-sektor industri meliputi kimia, petrokimia, polimer, plastik, serat, logam dan material, teleko mun ikasi, automobil, semikondukt or, hingga makanan dan minu man (Umetrics AB, 2006).

Dalam analisis mult ivariat, d ikenal dua istilah penting yakni observasi (N) dan variabel (K). Observasi seringkali disebut sebagai objek, sampel, ataupun benda yang diamati. Sedangkan variabel adalah properti yang diamati pada observasi(Umetrics AB, 2006).

Dalam bidang kimia, dikenal is tilah pengenalan pola (pattern recogniton). Istilah ini

sebenarnya merupakan sinonim dari analisis mult ivariat yang menekankan proses yang dilaku kan

untuk menemukan pola data dari satu atau beberapa tahap observasi (Wold et al., 1984). Po la in i lah

yang nantinya akan menyediakan in formasi mengenai hubungan antara observasi dalam satu kelas, mana yang dekat dan mana yang jauh , serta mana observasi yang tidak serupa dan merupakan pencilan. Melalu i metode ini juga dapat diperoleh informasi antara satu variabe l dengan variabel yang lain.

Jika ditemukan observasi yang memiliki pola yang berbeda, obseravasi tersebut akan dimasukan ke dalam kelas lain bersama dengan observasi lain yang mirip. Dengan demikian, terdapat tiga langkah utama dalam analisis mult ivariat, yakni: 1) perangku man dan penamp ilan data secara keseluruhan pada satu tabel, 2) pengklasifikasian beberapa kelo mpok observasi, dan 3) pembuatan model regresi antara dua blo k data (X dan Y)(Umetrics AB, 2006).

1.

Overvie w Data

Pada tahap awal, u mu mnya mas ih sedikit informasi yang diketahui. Oleh sebab itu, diperlukan cara untuk menyajikan data dalam bentuk yang sederhana dan mudah dimengerti. Proses penyajian ini

dapat dilakukan dengan menggunakan pricipal component analysis (PCA) (Jackson, 1991). PCA

(30)

15

2.

Pengklasifikasian Data

Pada tahap ini, observasi akan d iklasifikasi ke dalam kelo mpo k-kelo mpok. Pada tiap kelo mpok akan terdapat beberapa observsi yang memiliki kriteria mirip dan sesuai den gan kriteria kelo mpok tersebut. Dalam beberapa kasus, seringkali hanya diperoleh dua sampai tiga kelo mpok observasi saja. Hal in i menunjukkan diperlukannya pemodelan PCA lanjutan sehingga diperoleh hubungan yang lebih mudah dipahami. Di samping itu, dari hasil klasifikasi in i juga seringkali ditemu kan observasi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kelo mpok manapun. Observasi ini digolongkan sebagai pencilan(Umetrics AB, 2006).

3.

Pembuatan Model Regresi

Tahap terakhir dari analisis mult ivariat adalah pembu atan model regresi antara dua blok data.

Pemodelan jenis in i dilaku kan dengan menggunakan metode partial least square-ordinary least

square(OLS). Adapun dua blok data yang dikorelasikan umu mnya dinyatakan sebagai X dan Y. Blok

X seringkali d iistilahkan sebagai faktor atau prediktor sementara Y d iistilahkan sebagai respon(Umetrics AB, 2006).

(31)

16

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

WAKTU DAN TEMPAT

Penelit ian dilaksanakan selama t iga bulan (Desember 2011 s.d. Februari 2012). Penelit ian

dilaksanakan di Laboratoriu m Pengolahan Pilot Plant South East Asia Food Agricultural Science and

Technology Center (SEAFAST CENTER), Institut Pertanian Bogor dan Laboratoriu m Kimia Pangan

serta Laboratoriu m Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknolog i Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B.

BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan sebagai sampel adalah minyak goreng kelapa sawit ko mersial

yang berasal dari dua batchyang berbeda, yakni minyak goreng produksi-1dengan batchkode

produksi061013/01BJKU dan minyak goreng produksi-2 denganbatchkode produksi090813/02BJKU.

Bahan lain yang digunakan selama persiapan sampel penggorengan adalah lele dumbousia 2,5 bulan dengan ukuran 9 lele/kilogram, dan bumbu lele yang dibeli di pasaran. Sementara bahan yang digunakan untuk analisis bilangan asam adalah akuadestilata, larutan NaOH 0,1 N, kristal KHP,

indikator phenolphtalein (PP) dalam alkohol (1%), dan alkohol 96%. Adapun bahan yang digunakan

untuk analisis bilangan peroksida adalah akuadestilata, asam asetat glasial, larutan Na2S2O3 0,01 N,

larutan pati 1%, larutan KI jenuh. Adapun bahan yang digunakan selama analisis spektroskopi FTIR adalah heksan murni (PA).

Alat yang digunakan dalam tahap persiapan sampel adalah t imbangan digital, basko m, blender,

plastik pembungkus, deep fat fryerberpengontrol suhu merek Cecilware kapasitas 10 liter minyak

goreng dengan dimensi alat 48 cm x 30 cm x 20 cm dan keranjang keranjang penggorengan dengan dimensi 25 cm x 13,5 cm x 11 cm, botol kaca gelap ukuran 50 ml, vial kecil u kuran 5 ml, p lastisin,

gunting kecil, alu muniu m foil, tissue. Alat yang digunakan dalam tahap analisis bilangan asam dan

analisis bilangan peroksida adalah: botol kaca besar berwarna gelap untuk menyimpan larutan, pipet

tetes, labu takar, gelas ukur, gelas piala, biuret, labu erlen meyer, hot plate, sudip, bulb, pipet

volumetrik, sarung tangan, masker,neraca analit ik, dan refrigator. Adapun alat yang digunakan untuk

tahap analisis spektroskopi FTIR adalah tabung sentrifus, centrifuge Perkin-Elmer, sudip, tissue lensa,

neraca digital, dan refrigator.

C.

METODE PENELITIAN

Penelit ian in i dibagi menjadi tiga tahapan yang saling berurutan satu sama lainnya, yaitu: (1)tahap persiapan sampel yang meliputi persiapan penyiapan lele dan penggorengan lele, (2) tahap analisis laboratoriu m yang meliputi analisis bilangan asam dan bilangan peroksida minyak goreng, dan analisis spektrum minyak goreng dengan spektroskopi FTIR, serta (3) tahap analisis statistik

mu ltivariat data laboratoriu m yang menggunakan dua macam analisis, yakn i: PCA (Principle

Component Analysis) dan OLS (Ordinary Least Square). Secara umu m, tahapan ini tampak pada

(32)

17

1. Persiapan Sampel

Tahap persiapan sampel merupakan tahapan awal sebelu m d ilakukannya analisis. Pada Gambar 4, tahapan ini meliputi penyiapan lele, penggorengan lele, dan penyiapan sampel minyak goreng untuk dianalisis.

a. Penyiapan lele

Pada tahap ini, dibutuhkan lele sebanyak 9 kilogram untuk setiap batch penggorengan. Lele

yang digunakan berasal dari varietas lele dumbo usia 2,5 bulan dengan ukuran 9 lele/kg. Lele ini dibeli d i pasar Dramaga, Bogor. Lele yang telah diperoleh kemudian dibersihkan dan dibuang bagian insangnya. Setelah itu, lele dicuci hingga bersih.

Untuk memperoleh karakteristik penggorengan seakurat mungkin dengan kondisi nyata di lapangan, lele yang men jadi bahan penggorengan harus dibumbui terlebih dahulu. Sebanyak 250 gram bumbu lele yang dibeli di pasar Dramaga d icampur dengan 250 gram garam dan 500 ml cuka 7,5%. Sebanyak 9 kilogram lele yang telah dibersihkan tadi dilu muri dengan campuran bumbu hingga merata dan direndam selama 30 men it.

t = 15 menit T = 1800

[image:32.596.250.423.67.475.2]

C

Gambar 3. Diagram alir metode penelitian Disimpan dalam

refrigerator (T = -250C)

Analisis bilangan asam

Analisis bilangan peroksida

Analisis spektrum

FTIR

Analisis Statistika PCA Analisis

StatistikA PLS Penggorengan

lele (9 kali) Minyak goreng produksi-1

ulangan 1 dan 2 serta minyak goreng produksi-2

ulangan 1 dan 2

Sampel kontro (100 ml)

(33)

18

b. Penggorengan lele

Penggorengan ini dilaku kan dengan menggunakan deepfat fryer.Penggorengan lele dilakukan

[image:33.596.103.488.89.684.2]

dilakukan sebanyak sembilan kali menggunakan minyak goreng yang sama dengan lele yang berbeda. Sesuai dengan kapasitas alat, setiap kali penggorengan membutuhkan 1 kilogram lele dalam 10 liter

Gambar 4. Diagram alir persiapan sampel

t = 15 menit T = 1800

C

Lele Dumbo 9 kg (ukuran 9 lele/kg)

Dicampur, direndam selama 30 menit

Dipisah menjadi 9 bagian (1 kg/ bagian)

Dibersihkan, dicuci

M inyak Goreng Kelapa Sawit

10 liter

Sampel kontrol

M asukkan dalam

refrigator (T = -250C)

Analisis titrimetri

Sentrifus

Analisis FTIR

Supernatan

Bumbu lele 250 g

Garam dapur 250 g

Cuka makan 7,5% 500 ml

Penggorengan sampai 9 kali

Sampel penggorengan 1,3,5,7,9 (100 ml)

P

en

y

ia

p

an

le

le

P

en

g

go

re

ng

an

A

na

li

si

s

S

am

pe

l

(34)

19

minyak goreng. Penggorengan dilakukan pada suhu 1800 C. Suhu ini diatur menggunakan pengontrol

suhu yang terdapat pada alat deep fat fryer. Waktu tiap penggorengannya berlangsung selama 15

men it dengan jeda antara penggorengan yang satu dengan penggorengan yang lainnya berlansung selama 5 menit. Semua penggorengan ini dilakukan pada hari yang sama. Pengamb ilan sampel untuk analisis dilakukan seju mlah 100 ml pada minyak goreng yang belum d igoreng (sebagai kontrol), dan minyak goreng hasil penggorengan ke-1, 3, 5, 7, dan 9.

c. Penyiapan sampel

Dari hasil penggorengan, setiap batch akan memiliki 6 sampel minyak goreng. Sampel ini

kemudian dimasukkan ke dalam botol gelas yang berwarna gelap dan bagian tutupnya dibungkus dengan parafilm secara rapat untuk mencegah masuknya kontaminan dari luar gelas. Sampel ini kemudian dibagi menjad i dua perlakuan. Untuk analisis titrimetri, sampel minyak beku yang telah

di-thawing dapat langsung dianalisis. Adapun untuk analisis spektro metri, sampel beku yang telah

di-thawing harus disentrifus terlebih dahulu menggunakan alat sentrifus pada kecepatan 3000 RPM

selama 20 men it. Tahap ini dilaku kan untuk mengendapkan pengotor hasil penggorengan pada minyak goreng yang dapat mengganggu pengu kuran spektrometer. Setelah itu, supernatan kemudian diambil untuk dianalisis spektrometri dengan FTIR spektroskopi.

2. Analisis Laboratorium

a. Analisis bilangan asam (AOAC official method 940.28)

Analisis bilangan asam dilaku kan untuk mengukur b anyaknya asam lemak bebas yang terkandung di dalam sampel. Analisis ini dilakukan dengan menggunaka n metode titrimetri. Sebanyak 2,5 gram sampel minyak goreng hasil penggorengan dicampurkan dengan 50 ml larutan alkohol 96%

di dalam labu erlen meyer. Setelah itu, larutan ini dipanaskan sebentar di atas hot plate dan kemudian

dititrasi menggunakan larutan NaOH 0,1 N. Untuk menghitung bilangan asam, data volume hasil titrasi dimasukkan ke dalam ru mus berikut :

Bilangan asam (mg NaOH/g minyak) = � � 40

Di mana: V = Vo lu me NaOH (ml)

N = No rmalitas NaOH hasil standardisasi W = berat sampel minyak goreng (g)

Di samping itu, nilai bilangan asam juga dapat dinyatakan dalam satuan persentase asam oleat dengan rumus berikut in i.

Bilangan asam (% asam oleat) = � �

10 �

Di mana: V = Vo lu me NaOH (ml)

(35)

20

b. Analisis bilangan peroksida (AOAC official methods 965.33)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui bilangan oksidasi yang mencermin kan seberapa besar minyak goreng telah mengalami reaksi oksidasi. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode titrimetri. Sebanyak 0,25 gram sampel minyak goreng hasil penggorengan dicampurkan dengan 30 ml pelarut asam asetat glas ial, 30 ml air destilata, 0,5 ml KI jenuh, dan 1 ml indikator larutan pati 1% sesuai dengan prosedur. Setalah itu, campuran sampel ini kemudian d ititrasi dengan menggunakan

Na2S2O3 0,01 N sampai warna biru pada sampel menghilang.

Untuk menghitung bilangan peroksida, data selisih volume hasil titrasi dimasukkan ke dalam rumus berikut:

Bilangan peroksida (meq pero ksida/kg contoh) = − � � 1000

Di mana : Vs = Vo lu me natriu m t iosulfat untuk titrasi contoh (ml)

Vb = Vo lu me natriu m t iosulfat untuk titrasi blangko (ml)

N = Konsentrasi natriu m tiosulfat (N)

W = Berat contoh (g)

c. Analisis spektrum absorbansi sampel dengan spektroskopi FTIR

(Al-Degs et al 2011)

Analisis ini dilaku kan untuk mengetahui profil spektrum minyak goreng menggunakan

instrumen FTIR (Fourier Transform Infra Red) spektroskopi. Adapun FTIR yang digunakan

merupakan model IR-Prestige 21 produksi Sh imadzu

Gambar

Gambar 3. Diagram alir metode penelitian
Gambar 4. Diagram alir persiapan sampel
Tabel 6. Perbandingan bilangan asam sampel dengan  SNI
Tabel 7. Perbandingan nilai bilangan asam minyak goreng selama penggorengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 7 Nilai k dan umur simpan minyak goreng sawit curah bilangan peroksida 0,00; 3,99; 8,99 meq O2 aktif/kg minyak dengan fortifikasi vitamin A pada kondisi gelap dan

Gambar 6 Model perubahan kadar asam lemak bebas minyak goreng sawit curah (bilangan peroksida awal 1.99, 3.99, dan 9.99 meq O2/kg minyak) pada penyimpanan dengan intensitas

Kandungan asam lemak tidak jenuh atau ikatan rangkap pada asam lemak oleat dan linoleat pada minyak kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan pembuatan

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Analisis Lemak Babi dalam Minyak Sawit

Aisha Nastiti Rahayu, 2014, Pengaruh Lama Proses Adsorbsi Terhadap Penurunan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA) dan Bilangan Peroksida (PV) pada Minyak Sawit Mentah

Profil investasi industri minyak goreng kelapa sawit ini merupakan salah satu jawaban untuk menarik investor menanamkan modalnya di sektor ini dengan memberikan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menge- tahui kadar bilangan peroksida pada minyak go- reng kelapa sawit yang dilakukan penggorengan secara berulang dengan penambahan dan tanpa

Tujuan penelitian ini adalah untuk menge- tahui kadar bilangan peroksida pada minyak go- reng kelapa sawit yang dilakukan penggorengan secara berulang dengan penambahan dan tanpa