• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan data parameter kualitas perairan dilakukan secara insitu selama penelitian. Hal ini dimaksudkan agar selain mengamati ikan hasil tangkapan juga mengamati kondisi lingkungan perairan, sehingga dapat diketahui karakteristik habitat dari ikan yang diperoleh. Pengambilan sampelnya dilakukan setiap satu bulan sekali selama lima bulan dengan menggunakan kapal/perahu nelayan mencari ikan.

Prosedur Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang meliputi analisis parameter biologi dan analisis dinamika stok ikan. Berikut uraian setiap jenis analisis yang digunakan dalam pengolahan dan analisis data.

Parameter Biologi Komposisi jenis tangkapan

Komposisi jenis dianalisis berdasarkan hasil identifikasi, mulai dari famili, genus, spesies, nama umum, dan nama lokal. Hasil yang diperoleh selanjutnya dikelompokkan berdasarkan persentase, kemudian data tersebut ditabulasi dalam bentuk tabel dan diagram untuk diketahui distribusi secara spasial dan temporal. Selanjutnya untuk melihat ada tidaknya perbedaan data komposisi jenis dan hasil tangkapan nelayan antar stasiun pengamatan dan waktu (bulan) dilakukan uji t student dengan bantuan software Microsoft Excel 2010.

Struktur komunitas Ikan

Analisis struktur komunitas ikan menggunakan parameter keanekaragaman indek Shannon–Wiener (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D), Krebs (1989) yaitu:

a. Indeks keanekaragaman; yaitu kehadiran jumlah individu dalam suatu komunitas, atau dengan kata lain bisa dikatakan sebagai kekayaan spesies yang dilihat dari jumlah jenis dalam suatu komunitas dan kelimpahan relatif (jumlah individu tiap spesies). Persamaan yang digunakan adalah (Krebs 1989):

9

Keterangan:

H' = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener s = jumlah spesies

pi = perbandingan jumlah individu spesies ke-i dengan jumlah total individu (ni/N)

b. Indeks keseragaman; yaitu menggambarkan keseimbangan penyebaran individu jenis dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan menggunakan persamaan (Krebs 1989):

E =

Keterangan:

E = indeks keseragaman

H' = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Hmaks = indeks keanekaragaman maksimum (log2 S)

c. Indeks dominansi; untuk melihat adanya dominansi jenis ikan tertentu dalam suatu komunitas, dengan persamaan sebagai berikut (Krebs 1989):

Keterangan:

D = indeks Dominansi s = jumlah spesies

pi = perbandingan jumlah individu spesies ke-i dengan jumlah total individu (ni/N).

Analisis struktur komunitas ikan kerapu dilakukan secara spasial, yang dideskriptifkan dan ditabulasi dalam bentuk tabel. Selanjutnya untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan nilai indeks struktur komunitas antar stasiun pengamatan dan waktu (bulan) pengamatan dilakukan uji khi-kuadrat (x2) dengan persamaan yang dikemukakan oleh Bengen (2000):

Keterangan:

x2 = nilai statistik yang akan di uji n = ukuran contoh

a,b,c,d = jumlah contoh spesies x

Distribusi daerah tangkapan (fishing ground) ikan kerapu

Distribusi daerah tangkapan ikan kerapu dianalisis secara spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Data titik koordinat yang diperoleh di lapangan dengan menggunakan GPS kemudian di pindahkan ke perangkat lunak (laptob) untuk dilakukan analisis dengan menggunakan softwere Erdas, ArcGis.

10

Parameter lingkungan perairan

Data hasil pengukuran parameter lingkungan perairan di setiap lokasi pengamatan dianalisis secara deskriptif dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan standar baku mutu perairan yang optimum bagi kehidupan ikan kerapu dilaut.

Dinamika Stok Ikan Hubungan panjang-berat ikan kerapu

Pertumbuhan dapat digambarkan sebagai perubahan ukuran ikan tiap waktu dan dapat dihitung dari data ukuran atau umur dengan penambahan ukuran terhadap waktu. Penentuan umur ikan merupakan metode yang dipercaya untuk menghitung dan menggambarkan pertumbuhan ikan (Pauly 1984).

Analisis panjang-berat ikan bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan spesies ikan di alam. Untuk menganalisis hubungan panjang-berat digunakan persamaan yang dikemukakan oleh Effendie (1979), persamaan tersebut adalah:

W = aL b Keterangan:

W = Berat tubuh ikan (gram) L = Panjang total ikan (mm)

a dan b = nilai konstanta dari hasil regresi.

Nilai a dan b diduga dari bentuk linier persamaan: Log W = log a + b log L

Parameter penduga a dan b di peroleh dengan analisis regresi dengan log W sebagai y dan Log L sebagai x, sehingga diperoleh persamaan regresi:

yi= β0 + β1xi+ εi

Sebagai model observasi : ӯi = b0 + b1xi

Sebagai model dugaan, konstanta b1 dan b0 diduga dengan:

b

1

=

ni=1xiyi -1nni=1xini=1yi x2i -1

n(∑ni=1xi)2 n

i=1

b0 = y ̅- b1

Sedangkan a dan b diperoleh melalui hubungan b = b1 dan a = 10b0. Hubungan panjang-berat dapat dilihat dari nilai konstanta b (sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter) yaitu dengan hipotesis:

1. Bila b = 3, dikatakan memiliki hubungan isometrik (pola pertumbuhan bobot sebanding pola pertumbuhan panjang)

2. Bila b ≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik (pola pertumbuhan bobot tidak sebanding pola pertumbuhan panjang)

Pola pertumbuhan allometrik terbagi menjadi dua macam yaitu allometrik positif (b > 3) yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan berat lebih dominan

11 dibandingkan dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b < 3) yang berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan beratnya. Berikut rumus statistik uji untuk menguji hipotesis tersebut.

t

hitung

|

b1-3 Sb

|

Sb adalah galat baku dugaan b1 atau b yang diduga dengan:

S

b

=

s2 x2i -1 n(∑ni=1xi)2 n i=1 Selanjutnya, nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Pengambilan keputusannya yaitu jika thitung> ttabel, maka tolak hipotesis nol (H0) dengan pola pertumbuhan allometrik dan jika thitung <ttabel, maka gagal tolak atau terima hipotesis nol (H0) dengan pola pertumbuhan isometrik (Walpole 1993).

Faktor kondisi

Faktor kondisi merupakan keadaan atau kegemukan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data panjang dan berat ikan (Effendie 2002). Jika nilai b=3 (pola pertumbuhan bersifat isometrik), maka rumus yang digunakan adalah (Effendie 2002):

K

=

Jika nilai b≠3 (pola pertumbuhan bersifat allometrik), maka rumus yang digunakan adalah:

K =

Keterangan:

K = faktor kondisi

W = berat tubuh ikan berdasarkan pengamatan (gram) L = panjang total ikan (mm)

a dan b = nilai konstanta dari hasil regresi.

Nilai faktor kondisi (K) pada ikan yang badannya agak pipih berkisar antara 2-4, sedangkan yang badannya kurang pipih adalah 1-3 (Effendie 2002).

Sebaran frekuensi panjang

Sebaran frekuensi panjang didapatkan dengan menentukan lebar selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam setiap kelompok panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama, kemudian diplotkan dalam sebuah grafik.

Pendugaan parameter pertumbuhan ikan

Model pertumbuhan yang umum digunakan dalam kajian stok ikan adalah model pertumbuhan Von Bertalanffy di mana panjang badan sebagai fungsi dari umur (Sparre dan Venema 1999). Model ini telah menjadi salah satu dasar dalam biologi perikanan sebab digunakan sebagai sub model dalam sejumlah model

12

yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai dinamika populasi ikan. Model matematika dari persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy adalah sebagai berikut (Sparre dan Venema 1999):

Keterangan:

Lt = panjang ikan pada saat umur t (mm)

= panjang asimptotik yakni panjang dimana laju pertumbuhan secara teoritis nol (mm)

K = koefisien pertumbuhan (per satuan waktu)

t0 = umur teoritis ikan saat panjang ikan nol (satuan waktu)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan L dilakukan dengan menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model Von Bertalanffy, untuk t sama dengan t+1. Berikut merupakan persamaan Ford Wallford(Sparre dan Venema 1999):

Lt+1=L(1-e-K(t+1-t0)) Keterangan:

Lt+1 = panjang ikan pada saat umur t+1 (satuan waktu)

L =panjang maksimum secara teoritis atau panjang asimtotik (mm) K = koefisien pertumbuhan (persatuan waktu)

t0 =umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol. Berikut merupakan hasil substitusi dari kedua rumus di atas.

Lt+1- Lt = [L- Lt][1 - e-K]

atau:

Lt+1=L∞[1-e-K]+Lte-K

Persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier y = b0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y), sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L[1 – e-k]. Berikut rumus untuk mendapatkan nilai K dan L..

k =-ln(b) L= a

1-b

Berikut adalah rumus untuk mendapatkan nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol) diduga melalui persamaan Pauly (1983) dalam Sparre dan Venema (1999).

log -t0 =0.3 22-0.2 52 logL -1.03 log K Keterangan:

L = panjang asimtotik ikan (mm)

K = koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu) t0 = umur ikan saat panjang ikan ikan nol (satuan waktu).

Ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap

Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc) dilakukan dengan metode kantung berlapis (covered conden method). Hasil dari perhitungan tersebut membentuk kurva ogif selektifitas alat berbentuk sigmoid yang

13 menyerupai kurva distribusi normal komulatif yang mengacu pada Beverton dan Holt (1957) dalam Sparre dan Venema (1999) dengan persamaan:

L 25% L 50% L 75% Keterangan: SL = jumlah estimasi,

L = interval titik tengah panjang ke-l, S1 dan S2 = nilai konstanta.

Ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad

Penentuan ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad secara morfologis dapat dilakukan dengan cara melihat tanda-tanda umum serta ukuran gonad pada ikan. Menurut Udupa (1986), ukuran pertama kali matang gonad di duga dengan metode Spearman-Karber, yang menyatakan bahwa logaritma ukuran rata-rata mencapai matang gonad adalah dengan persamaan (Udupa 1986):

m ∑

Sehingga

m = antilog M

dan selang kepercayaan 95% dibatasi sebagai:

√ ∑

Keterangan:

m = logaritma panjang rata-rata ikan pertama kali matang gonad

xk = logaritma nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad x = logaritma pertambahan panjang pada nilai tengah

= proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i

ni = jumlah ikan pada kelas panjang ke-i = 1-pi

antilog M = panjang ikan pertama kali matang gonad (mm)

Tingkat kemantangan gonad (TKG) pada ikan merupakan tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Dalam penelitian ini penentuan tingkat matang gonadnya adalah secara morfologi yaitu berdasarkan bentuk, warna, ukuran bobot gonad, serta perkembangan isi gonad.

14

Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan

Secara umum, ikan akan mengalami kematian (mortalitas) yang dapat disebabkan oleh kematian alami dan penangkapan. Mortalitas alami biasanya diberi simbol M dan mortalitas penangkapan diberi simbol F sedangkan laju mortalitas total diberi simbol Z (Sparre dan Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang, sehingga diperoleh persamaan sebagi berikut (Sparre dan Venema 1999):

ln

Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:

Log M = exp (-0.0152 – 0.279 log L + 0.6543 log K + 0.463 log T) Keterangan:

M = mortalitas alami (per tahun) L = panjang asimtotik (mm)

K = koefisien pertumbuhan (mm/satuan waktu) T = suhu rata-rata di perairan (0C).

Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui, maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui persamaan (Sparre dan Venema 1999):

F = Z – M Keterangan:

F = mortalitas penangkapan (per tahun) Z = laju mortalitas total (per tahun) M = mortalitas alami

Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z), dengan persamaan sebagai berikut (Pauly 1984):

Keterangan:

F = mortalitas penangkapan (per tahun) Z = laju mortalitas total (per tahun) E = tingkat eksploitasi

Pauly (1984) menyatakan bahwa eksploitasi optimal dari suatu stok ikan terjadi jika mortalitas penangkapan sebanding dengan mortalitas alaminya, sehingga laju eksploitasi optimal (E) = 0.5. Suatu sumberdaya dikatakan mengalami penangkapan berlebih (overfishing) jika laju eksploitasinya lebih besar dari 0.5, sedangkan laju eksploitasi lebih kecil dari 0.5 hal ini menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi rendah (underfishing).

15

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Gambaran umum lokasi penelitian

Secara geografis Kabupaten Aceh Besar terletak di perairan utara dan barat Provinsi Aceh yang terletak pada 5.20 – 5.80 LU dan 95.00 – 95.80 BT, dengan luas daerah 2.974,12 km² (DKP 2013). Hampir 10 % luas daerah di Kabupaten Aceh Besar berada di daerah pesisir, dimana dari 23 Kecamatan yang ada di Aceh Besar 8 kecamatan berada di wilayah pesisir dan laut yang terbentang dari perbatasan Kabupaten Pidie hingga ke perbatasan Kabupaten Aceh Jaya (BPS 2014).

Secara administrasi batas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Selat Malaka dan Kota Banda Aceh Sebelah Selatan : Kabupaten Aceh Jaya

Sebelah Timur : Kabupaten Pidie Sebelah Barat : Samudra Hindia

Adapun 8 Kecamatan yang berada di wilayah pesisir terdiri dari Kecamatan Pulo Aceh, Lhoong, Leupung, Lhoknga, Peukan Bada, Baitussalam, Krueng Raya dan Seulimum. Sedangkan 15 Kecamatan lainnya berada di daerah pegunungan. Kecamatan Peukan Bada merupakan kecamatan yang paling banyak desa pesisir, dengan luas wilayah mencapai 36.25 km² dan terdiri atas 12 desa/gampong (BPS 2014). Hampir 90% desa yang berada di Kecamatan Peukan Bada termasuk kawasan pesisir (DKP 2013), sehingga daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan laut yang produktif di Aceh Besar.

Secara geografis batas wilayah Kecamatan Peukan Bada adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Selat Malaka

Sebelah Selatan : Kecamatan Lhoknga ( berbatasan Lhok Lampuuk) Sebelah Barat : Samudra Hindia

Sebelah Timur : Kota Banda Aceh Kecamatan Meuraxa

Menurut DKP Aceh Besar (2015) daerah Peukan Bada memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan antara lain hutan mangrove yang luasnya 65 ha, tambak untuk budidaya yang sudah digarap 57.50 ha, yang belum digarap 313.9 ha, dan sisanya 256.40 ha. Selain itu potensi lainnya adalah ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Bahri et al. (2015) mencatat lebih dari 50% tutupan karang keras ditemukan pada perairan Peukan Bada ini, kelimpahan makro invertebrata sebesar 40%. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Rudi (2013) ekosistem terumbu karang di Peukan Bada tergolong baik, yang tersebar di lima (5) titik sebaran, antara lain: (1) Tuan Pulau, (2) Lhok Mata Ie, (3) Lhok Keutapang, (4) Pulau Batee, dan (5) Pulau Bunta dengan kondisi sedang sampai dengan baik. Selain tutupan karang yang tinggi, di wilayah ini juga memiliki keanekaragaman ikan karang yang tinggi.

Komunitas ikan karang yang mendominasi di perairan Peukan Bada ini terdiri dari jumlah spesies ikan herbivora yang mencapai 70% (Rudi dan Fadli 2012), sehingga diharapkan populasi ikan herbivora meningkat dan terumbu karang menjadi sehat dan lebih baik. Menurut Ardiwijaya et al. (2007) sebanyak

16

358 spesies ikan karang ditemukan di perairan Pulau Weh dan Pulo Aceh, melalui pengamatan selama April 2005 tercatat famili Acanthuridae, Chaetodontidae, Pomacentridae, Labridae dan Scaridae tersebar di perairan tersebut.

Potensi lainnya yang dimiliki di Peukan Bada yang sangat menonjol serta menarik perhatian masyarakat perikanan dunia adalah keberadaan dan kelembagaan adat Panglima Laot Lhok (lokasi). Panglima Laot Lhok merupakan wadah sekaligus basis masyarakat nelayan lokal untuk membangun kesepakatan bersama dalam mengatur dan mengawasi pelaksanaan norma dan ketentuan tata-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan.

Perairan wilayah Peukan Bada (Lhok Lamtengoh dan Ujong Pancu) saat ini sedang dalam proses pengusulan oleh Panglima Laot untuk ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Perairan (KKP) Indrapurwa. Inisiatif ini mulai dilakukan pada tahun 2011 yang di prakarsai oleh Pemerintah Aceh untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut Aceh melalui pengukuhan sekitar 300.000 ha Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan maritim di delapan (8) Kabupaten di Aceh (DKP Aceh Besar 2015).

Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu

Jumlah hasil tangkapan ikan kerapu yang tertangkap di Perairan Peukan Bada menunjukkan nilai tertinggi ditemukan pada lokasi Lamteh (333 individu), kemudian Lamtengoh (258 individu) dan yang terendah adalah Ujong Pancu (244 individu). Seperti yang disajikan pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 Jumlah hasil tangkapan ikan kerapu yang tertangkap berdasarkan lokasi pengamatan.

Hasil tangkapan ikan kerapu yang paling tinggi ditemukan pada lokasi pendaratan ikan di Lamteh, dengan puncak nilai tertinggi diperoleh pada bulan Maret (123 individu). Lokasi Lamtengoh puncak tertinggi terjadi pada bulan April (88 individu), sedangkan Ujong Pancu pada bulan Mei (74 individu). Adanya perbedaan jumlah hasil tangkapan ini disebabkan karena intensitas tekanan penangkapan ikan kerapu yang dilakukan oleh nelayan di Peukan Bada berbeda-beda pada tiap bulan. Selain itu kondisi habitat disuatu perairan sangat mempengaruhi terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. Dimana dengan kondisi

15 55 64 74 36 18 67 88 41 44 10 123 50 75 75 0 20 40 60 80 100 120 140

Februari Maret April Mei Juni

Juml ah Ikan (I nd ) Waktu Pengamatan Ujong Pancu Lamtengoh Lamteh

17 terumbu karang yang baik dan ideal sangat mendukung bagi kehidupan biota laut (ikan kerapu), karena biota laut tersebut memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat feeding ground, spawning ground, dan nursery ground (Widodo 2010), sehingga menjadikan daerah ini sebagai target utama penangkapan jenis ikan karang (ikan kerapu). Setiap spesies ikan kerapu akan memperlihatkan kecocokan hábitat yang tepat dan sesuai dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung yang aman dan variasi parameter fisik, sehingga sejumlah spesies tertentu banyak ditemukan pada daerah terumbu karang.

Berdasarkan analisis uji t, hasil tangkapan ikan kerapu di Lamteh memiliki jumlah hasil yang lebih banyak dibandingkan Lamtengoh dan Ujong Pancu Secara keseluruhan, jumlah hasil tangkapan antar lokasi pengamatan tidak berbeda nyata (p>0.05), sedangkan antar bulan (waktu pengamatan) berbeda nyata (p<0.05). Kondisi ini diduga karena daerah tangkapan nelayan berbeda-beda.

Berdasarkan komposisi jenis dan distribusi pada masing-masing lokasi pengamatan menunjukkan bahwa jumlah spesies tertinggi ditemukan di Lamtengoh yaitu 20 spesies, diikuti Lamteh dan Ujong Pancu masing-masing 15 spesies ikan kerapu (Gambar 5). Komposisi jenis yang paling banyak tertangkap adalah spesies E. fasciatus, yakni di Lamteh ditemukan sebanyak 155 individu, Lamtengoh sebanyak 148 individu, dan Ujong Pancu sebanyak 150 individu (Lampiran 1). Banyaknya ikan jenis ini yang ditemukan mengidikasikan bahwa E. fasciatus menyebar luas di perairan Peukan Bada, sehingga memudahkan nelayan menangkapnya. Ada beberapa spesies yang kemunculan hanya pada daerah tertentu saja, seperti spesies Aethaloperca rogaa hanya kemunculannya pada lokasi pengamatan di Lamtengoh saja, sedangkan lokasi Lamteh dan Ujong pancu tidak ditemukan jenis ini. Lainnya halnya dengan spesies Cephalopholis spiloparaea yang hanya ditemukan pada lokasi Lamteh dan Ujong pancu, sedangkan di Lamtengoh tidak ditemukan jenis ini. Menurut Latuconsina et al.

(2012) ikan-ikan yang kemunculannya hanya pada daerah tertentu dan di musim tertentu saja diindikasi bahwa ikan tersebut sedang melakukan migrasi dan tertangkap oleh nelayan sehingga kehadirannya hanya bersifat pada waktu tertentu saja.

18

Struktur komunitas ikan kerapu

Hasil analisis beberapa indeks struktur komunitas ikan kerapu yang ditemukan di tiga (3) tempat pendaratan ikan (Lamteh, Lamtengoh dan Ujong Pancu) memiliki nilai indeks yang berbeda (Tabel 2). Berdasarkan distribusi secara spasial, nilai indeks keanekaragaman (H') tertinggi terdapat di Lamtengoh yaitu 2.5271, sedangkan terendah di Lamteh dengan nilai 2.1491 dan tidak berbeda dengan di Ujong Pancu yang bernilai 2.1632. Hal ini karena jumlah spesies yang ditemukan di Lamtengoh lebih banyak (20 spesies) dari pada di Lamteh dan Ujong Pancu yang masing-maisng hanya 15 spesies saja yang ditemukan.

Indeks keseragaman bertujuan untuk menggambarkan kemerataan distribusi komposisi spesies di suatu perairan. Keseragaman tertinggi juga terdapat di lokasi Lamtengoh (0.5847), sedangkan Ujong Pancu dan Lamteh hampir sama nilai indeks yang diperoleh. Keseragaman spesies ini menunjukkan kondisi baik karena tidak ada dominasi dari spesies tertentu (d<0.5). Nilai indeks Keseragaman (E) mendekati 1 menggambarkan pola distribusi cenderung seragam.

Tabel 2 Nilai indeks struktur komunitas ikan kerapu Lokasi Total (N) Jumlah spesies (S) Keanekaragaman (H') Keseragaman (E) Dominansi (D) Ujong Pancu 244 15 2.1632 0.5537 0.3984 Lamtengoh 258 20 2.5271 0.5847 0.3475 Lamteh 333 15 2.1491 0.5501 0.3261

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa nilai indeks struktur komunitas antar lokasi tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat dari nilai x2hitung (11.5728) lebih besar dari pada nilai x2 tabel (3.1824), yang artinya bahwa proporsi struktur komunitas di Lamteh lebih kecil dari pada di Ujong Pancu, sedangkan Lamtengoh tinggi.

Daerah penangkapan ikan kerapu

Setelah mendapatkan informasi dari nelayan daerah penangkapan (fishing ground) ikan kerapu melalui wawancara langsung (Lampiran 2), maka dilakukan survei ke daerah-daerah penangkapan ikan kerapu yang berada di perairan Peukan Bada. Sebaran daerah penangkapan ikan kerapu di perairan Peukan Bada membentang dari wilayah Tuan Pulau sampai Pulo Aceh (Gambar 6). Sebaran daerah penangkapan ikan kerapu paling banyak tersebar di daerah Tuan Pulau (34%), Pulau Batee dan Pulo Aceh masing-masing 19%, Arus Besar 15%, Arus Cut 8% dan Pulau Bunta hanya 6%. Persentase hasil ini berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan penangkap ikan kerapu dan survey yang telah dilakukan bersama dengan nelayan ke daerah penangkapan (fishing ground) ikan kerapu di perairan Peukan Bada.

Kaitan sebaran daerah tangkapan dengan jumlah hasil tangkapan ikan kerapu yang diperoleh nelayan dipengaruhi oleh karakteristik habitat terumbu karang dan faktor-faktor biologi lainnya, dimana karakteristik suatu habitat di perairan mempresentasikan tempat-tempat dimana individu, populasi, ataupun kumpulan ikan kerapu dapat ditemukan. Kesesuaian terhadap kualitas air juga

19 sangat mempengaruhi, selain itu juga ketersediaan makanan, reproduksi dan sebagai tempat perlindungan (Moberg dan Folke 1999).

Pada umumnya ikan kerapu hidup di daerah terumbu karang pada kedalaman 5-20 meter disemua tipe karang dengan kategori kondisi karang baik (Yeeting et al. 2001). Karakter habitat yang disukai ikan kerapu pada daerah terumbu karang berupa batu-batu besar yang menyediakan tempat untuk berlindung dimusim hangat, biasanya sampai ke perairan yang dangkal (Harmelin dan Vivien 1999). Keterkaitan sumberdaya ikan kerapu dengan karakteristik habitat pada ekosistem terumbu karang karena fungsi ekologis terumbu karang sebagai penyedia makanan, tempat hidup dan tempat perlindungan, sehingga banyak celah dan lubang diterumbu karang yang dijadikan sebagai tempat tinggal, berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi ikan karang yang ada di sekitarnya.

Gambar 6 Peta sebaran fishing ground ikan kerapu di perairan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar

Kondisi lingkungan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme di suatu perairan. Berdasarkan data pendukung parameter kualitas perairan di sekitar perairan Peukan Bada (Lampiran 4). Hasil pengukuran kualitas air di perairan Peukan Bada dengan baku mutu air laut untuk biota laut di perairan karang menunjukkan bahwa tidak terlalu jauh perbedaan nilai parameter fisika maupun kimia. Rata-rata hasil pengukuran parameter kualitas air setiap bulannya menunjukkan angka yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan sekitar Peukan Bada dilihat dari parameter fisika dan kimia

20

perairan masih sangat mendukung bagi keberlangsungan hidup ikan kerapu bahkan perairan tersebut masih tergolong baik.

Aspek-Aspek Pertumbuhan Polulasi ikan kerapu

Ikan kerapu yang ditemukan selama penelitian berjumlah 835 individu yang terdiri dari 21 spesies; Epinephelus fasciatus (453 individu), E. areolatus (15 individu), E. coioides (13 individu), E. macrospilos (41 individu), E. merra (29 individu), E. quoyanus (22 individu), E. tauvina (3 individu), E. spilotoceps (3 individu), E. corralicola (2 individu), E. longispinis (2 individu), E. fuscoguttatus

(2 individu), E. faveatus (12 individu), Aethaloperca rogaa (1 individu),

Cephalopholis argus (19 individu), C. boenak (3 individu), C. formosa (4 individu), C. miniata (43 individu), C. sonnerati (133 individu), C. spiloparaea (5 individu), Variola albimarginata (24 individu), dan V. louti (6 individu).

Berdasarkan hasil identifikasi, ada dua spesies yang dominan tertangkap di tiga lokasi pengamatan, yakni spesies E. fasciatus dan C. Sonnerati. Analisis pertumbuhan populasi kedua jenis tersebut yang dipilih. Hal ini dengan pertimbangan bahwa kedua jenis ikan ini yang paling umum ditangkap oleh nelayan di Peukan Bada pada saat itu, dengan total pengambilan contoh hasil tangkapan ikan kerapu spesies E. fasciatus adalah 453 individu dan C. sonnerati

berkisar 133 individu dari total hasil tangkapan 835 individu ikan kerapu yang di daratkan di Peukan Bada.

Hubungan panjang-berat

Hubungan panjang-berat ikan kerapu digunakan untuk menjelaskan pola pertumbuhan ikan. Hubungan ini dapat diestimasi melalui kecendrungan penyebaran data panjang-berat ikan kerapu yang diperoleh berdasarkan pengukuran panjang total ikan kerapu.

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang-berat spesies E. fasciatus

Dokumen terkait