• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Populasi Ikan Kerapu (Serranidae) Yang Tertangkap Di Perairan Peukan Bada, Aceh Besar, Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Populasi Ikan Kerapu (Serranidae) Yang Tertangkap Di Perairan Peukan Bada, Aceh Besar, Provinsi Aceh"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POPULASI IKAN KERAPU (SERRANIDAE)

YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN PEUKAN BADA,

ACEH BESAR, PROVINSI ACEH

RIKA ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Populasi Ikan Kerapu (Serranidae) yang Tertangkap di Perairan Peukan Bada, Aceh Besar, Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Rika Astuti

(4)

RINGKASAN

RIKA ASTUTI. Analisis Populasi Ikan Kerapu (Serranidae) yang Tertangkap di Perairan Peukan Bada, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Dibimbing oleh YONVITNER dan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.

Ikan kerapu merupakan salah satu sumber daya perikanan karang yang memiliki nilai ekologis dan nilai ekonomis penting. Masyarakat nelayan di perairan Peukan Bada telah lama memanfaatkan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian, termasuk sumberdaya ikan kerapu dalam bentuk usaha penangkapan ikan di laut. Saat ini nelayan mulai merasakan adanya gejala tangkap lebih (overfishing) yaitu berkurangnya hasil tangkapan, dan semakin jarang/sedikit ikan yang tertangkap ukuran induk. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan komposisi jenis tangkapan dan struktur komunitas ikan kerapu, mendeskripsikan daerah penangkapan (fishing ground) ikan kerapu, serta mengkaji aspek-aspek pertumbuhan populasi dan merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya ikan kerapu untuk pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan.

Penelitian ini dilakukan di Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar mulai bulan Februari sampai dengan Juni 2015. Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan survei, yakni; 1) survei hasil tangkapan ikan kerapu yang dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan (Lamteh, Lamtengoh dan Ujong Pancu), 2) survei distribusi ikan kerapu berdasarkan daerah penangkapan di perairan Peukan Bada. Ikan kerapu yang menjadi obyek penelitian adalah ikan yang tertangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing. Ikan yang diperoleh dihitung jumlahnya, di ukur panjang total dengan menggunakan mistar ukur, ditimbang berat ikan dengan menggunakan timbangan elektrik dan di identifikasi hingga tingkatan spesies. Analisis data menggunakan penghitungan indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D), parameter pertumbuhan, perhitungan ukuran panjang ikan pertama kali ditangkap, ukuran pertama kali matang gonad, laju mortalitas dan laju eksploitasi.

Total ikan kerapu yang tertangkap selama penelitian adalah sebanyak 835 individu, yang termasuk ke dalam 4 genus (Aethaloperca, Cephalopholis,

Epinephelus dan Variola) dan 21 spesies. Jenis ikan kerapu yang dominan ditemukan pada lokasi penelitian terdiri dari jenis Epinephelus fasciatus dan

Cephalopholis sonnerati. Berdasarkan struktur komunitas nilai keanekaragaman (H') di Lamtengoh lebih beragam dibandingkan dengan Ujong Pancu dan Lamteh. Sebaran daerah penangkapan ikan kerapu di perairan Peukan Bada membentang sepanjang garis pantai ke arah laut dengan rata-rata tutupan karang yang masih dalam kondisi baik. Adapun daerah penangkapan yang menjadi target utama nelayan penangkap ikan kerapu yakni Tuan Pulau, Pulau Batee, Arus Besar, Arus Cut, Pulau Bunta dan Pulo Aceh.

Pola pertumbuhan jenis (E. fasciatus dan C. sonnerati) bersifat allometrik negatif, yang berarti bahwa pertambahan panjang lebih cepat dari pada berat. Parameter pertumbuhan E. fasciatus yang diperoleh adalah panjang asimtotik (L) = 300.30 mm, koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.49 per tahun, dan t0 = -0.18

(tahun). Spesies C. sonnerati L∞419.48 mm, K = 0.31 per tahun, dan t0 = -0.26

(5)

ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lc<Lm), hal ini menunjukkan bahwa

ikan yang tertangkap belum memijah/belum dewasa. Laju mortalitas alami (M) E. fasciatus (0.49) dan C. sonnerati (0.33). Laju eksploitasi E. fasciatus (0.62) dan C. sonnerati (0.55). Nilai laju eksploitasi kedua spesies ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan kerapu di perairan Peukan Bada telah melebihi eksploitasi optimum (0.5), artinya secara biologi sumberdaya tersebut di indikasikan telah mengalami over eksploitasi. Pengelolaan ikan kerapu di perairan Peukan Bada dapat dilakukan dengan pendekatan keberlanjutan dan konservasi. Kata kunci: ikan kerapu, perairan Peukan Bada, struktur komunitas, pertumbuhan,

(6)

SUMMARY

RIKA ASTUTI. Population Analysis of Grouper (Serranidae) That Caught in Peukan Bada waters, Aceh Besar, Aceh Province. Supervised by YONVITNER and MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.

Grouper is one of the reef fishery resources that has important ecological and economic value. Local fishermen in Peukan Bada waters have been using fisheries resources as livelihood since a long time, including exploiting grouper fish. Currently the fishermen began to feel the symptoms of overexploitation (overfishing). The reduction of the catch, and the less fish were caught on the adult size. This study aims to describe the species composition and community structure of grouper, to describe the fishing ground of grouper, as well as to assess the aspects of population growth, and to formulate strategies of grouper resource management for sustainable management.

This research was conducted in Peukan Bada, Aceh Besar district from February to June 2015. The study was conducted in two stages of the survey, there were; 1) survey of catch groupers in fish landing sites (Lamteh, Lamtengoh and Ujong Pancu), 2) surveys based on the distribution of grouper fishing area in Peukan Bada waters. Groupers which being the object of the study is fish caught by using fishing gear. Fish obtained were counted, measured the total length using a measuring ruler, weighed the weight of the fish using electric scales, and identified the species level. Analysis of data were using counting diversity index (H '), the evenness (E), and the dominance (D), the growth parameters, the calculation of the length of the fish, the size of the first ripe gonads, the mortality rate, and the rate of exploitation.

The total of grouper collented during study were 835 fish, which belong to the genus 4 (Aethaloperca, Cephalopholis, Epinephelus and Variola) and 21 stretches along the shoreline towards the sea with the average of coral cover that is still in good condition. The fishing ground which being the main targets of fishermen are Tuan Island, Batee Island, Arus Besar, Arus Cut, Bunta Island, and Pulo Aceh.

(7)

that the indicated biology resource has experienced over exploitation. Grouper management in Peukan Bada waters could be done with the approach of sustainability and conservation.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

ANALISIS POPULASI IKAN KERAPU (SERRANIDAE)

YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN PEUKAN BADA,

ACEH BESAR, PROVINSI ACEH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Analisis Populasi Ikan Kerapu (Serranidae) yang Tertangkap di Perairan Peukan Bada, Aceh Besar, Provinsi Aceh.

Nama : Rika Astuti NIM : C251130101

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Yonvitner, SPi MSi Ketua

Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr Sigid Hariyadi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai Juni 2015 ini adalah Analisis Populasi Ikan Kerapu (Serranidae) yang tertangkap di Perairan Peukan Bada, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Penelitian ini dapat diselesaikan dengan bantuan dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah memberikan kesempatan studi kepada penulis.

2. Bapak Dr Yonvitner, SPi MSi dan Dr Ir Mohammad Mukhlis Kamal, MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis dari tahap awal pelaksanaan penelitian sampai tahap akhir penulisan karya ilmiah ini.

3. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi SDP yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis.

4. Dr Ir. Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam penyempurnaan karya ilmiah ini.

5. Orang tua (Bapak Tarmizi Abdullah dan ibunda Ratna M. Amin) serta adik dan kakak yang telah memberikan motivasi, doa, kasih sayang dan perhatian yang tulus kepada penulis selama ini.

6. Pihak DIKTI melalui beasiswa BPP-DN tahun 2013 penulis dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik.

7. Pihak nelayan dan Panglima Laot Peukan Bada dan Aceh Besar yang telah membantu penulis selama penelitian di lapangan.

8. Pihak DKP Aceh Besar dan DKP Aceh yang telah membantu penulis untuk mengumpulkan data selama di lapangan.

9. Seluruh rekan-rekan dari WWF-Indonesia (Program Aceh), Jaringan KuALA, Yayasan Lamjabat (YL) dan Ocean Diving Club (ODC) yang telah membantu penulis selama penelitian berlangsung.

10.Teman-teman SDP 2013, teman-teman kosan Bara dan teman-teman IKAMAPA atas semangat, dukungan dan doa kepada penulis.

11.Pihak-pihak lainnya yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala doa dan bantuannya.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan pemerhati perikanan Indonesia pada umumnya, dan khususnya bagi para nelayan di Peukan Bada.

Bogor, Juni 2016

(14)

DAFTAR ISI

Pengumpulan data hasil tangkapan ikan kerapu 6 Pengumpulan data daerah penangkapan ikan kerapu 7

Pengumpulan data kualitas perairan 8

Prosedur Analisis Data 8

Parameter biologi 8

Komposisi hasil tangkapan 8

Struktur komunitas ikan 8

Distribusi daerah penangkapan ikan kerapu 9

Parameter lingkungan perairan 10

Dinamika stok ikan 10

Hubungan panjang-berat ikan kerapu 10

Faktor kondisi 11

Sebaran frekuensi panjang 11

Parameter pertumbuhan populasi ikan kerapu 11 Ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap 12 Ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad 13 Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kerapu 14

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Hasil 15

Gambaran umum lokasi penelitian 15

Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu 16

Struktur komunitas ikan kerapu 18

Daerah penangkapan ikan kerapu 18

Aspek-aspek pertumbuhan populasi ikan kerapu 20

Hubungan panjang-berat 20

Faktor kondisi 22

Sebaran frekuensi panjang 22

Parameter pertumbuhan populasi 24

(15)

Ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) 26

Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kerapu 27

Pembahasan 28

Komposisi jenis ikan kerapu 28

Struktur komunitas ikan kerapu 29

Daerah penangkapan ikan kerapu 30

Hubungan panjang-berat 32

Faktor kondisi 33

Sebaran frekuensi panjang 33

Parameter pertumbuhan populasi 34

Ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) 35

Ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) 35

Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kerapu 36 Strategi pengelolaan sumberdaya ikan kerapu 37

4 SIMPULAN DAN SARAN 39

Simpulan 39

Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 40

LAMPIRAN 45

(16)

DAFTAR TABEL

1 Jenis data dan alat yang digunakan 6

2 Nilai indeks struktur komunitas ikan kerapu 18

3 Hasil analisis hubungan panjang-berat spesies E. fasciatus 20 4 Hasil analisis hubungan panjang-berat spesies C. sonnerati 21 5 Sebaran ukuran panjang ikan kerapu E. fasciatus dan C. sonnerati 23 6 Parameter pertumbuhan ikan kerapu yang dominan tertangkap 24

7 Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) 25

8 Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) 26

9 Laju mortalitas dan laju eksploitasi hasil tangkapan ikan kerapu 27

10 Strategi pengelolaan sumber daya ikan kerapu 38

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran perumusan masalah 4

2 Peta lokasi penelitian pada 3 titik pendaratan ikan, yaitu Lamteh,

Lamtengoh dan Ujong Pancu 5

3 Diagram survey timed swim 8

4 Jumlah hasil tangkapan ikan kerapu yang tertangkap berdasarkan

lokasi pengamatan 16

5 Komposisi spesies ikan kerapu yang tertangkap selama penelitian 17 6 Peta sebaran fishing ground ikan kerapu di perairan Peukan Bada 19 7 Grafik hubungan panjang dan berat ikan kerapu E. fasciatus selama

pengamatan 21

8 Grafik hubungan panjang dan berat ikan kerapu C. sonnerati selama

pengamatan 21

9 Grafik faktor kondisi rata-rata ikan kerapu (a) E. fasciatus dan (b) C.

sonnerati 22

10 Grafik sebaran frekuensi panjang ikan kerapu (a) E. fasciatus dan (b)

C. sonnerati 24

11 Grafik kurva pertumbuhan Von bertalanffy ikan kerapu (a) E.

fasciatus dan (b) C. sonnerati 25

12 Grafik panjang ikan pertama kali tertangkap (a) E. fasciatus dan (b) C.

sonnerati 26

13 Grafik panjang ikan pertama kali matang gonad (a) E. fasciatus dan

(b) C. sonnerati 26

DAFTAR LAMPIRAN

1 Komposisi spesies hasil tangkapan ikan kerapu yang ditemukan

berdasarkan waktu pengamatan 45

2 Lokasi penangkapan ikan kerapu di perairan Peukan Bada berdasarkan

informasi nelayan penangkap ikan kerapu 46

(17)

4 Hasil pengukuran parameter kualitas air di perairan Peukan Bada 48 5 Nilai t, Lt, L∞ ikan kerapu spesies E. fasciatus dan C. sonnerati 48

6 Pendugaan ukuran rata-rata pertama kali ikan kerapu tertangkap (Lc) 49

7 Pendugaan panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) 50

8 Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi 52

9 Dokumentasi beberapa jenis ikan kerapu yang ditemukan selama

penelitian 53

10 Jenis substrat terumbu karang di daerah penangkapan 56 11 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian 57

(18)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan kerapu (famili Serranidae) pada umumnya hidup pada ekosistem terumbu karang yang memiliki nilai ekologis penting karena sebagai predator utama dalam rantai makanan (Ogden dan Quinn 2002). Ikan kerapu termasuk ikan karnivora (Harmelin dan Vivien 1999), hidup soliter, dan menetap (Sluka dan Sullivan 1996). Selain bernilai ekologis, ikan kerapu juga memiliki nilai ekonomis penting, diantaranya menjadi komoditi perikanan karang paling banyak dieksploitasi baik di pasar domestik maupun internasional (Soede et al. 1999). Sebagai contoh adalah perairan Peukan Bada di Aceh Besar, di mana ikan kerapu diperdagangkan untuk memenuhi permintaan pasar lokal hingga Medan dan Jakarta, bahkan diekspor ke berbagai negara termasuk Hongkong, Taiwan, China, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Thailand, Filipina, USA, Australia, Singapura, Malaysia dan Perancis (Kiara 2013). Menurut Rhodes dan Tupper (2007) ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan komersial hampir diseluruh dunia dengan permintaan pasar yang tinggi. Keuntungan ekonomi yang tinggi menyebabkan tingkat eksploitasi ikan kerapu semakin intensif sehingga berpotensi mengancam kelestariannya.

Heemstra dan Randall (1993) menyebutkan bahwa ikan kerapu yang tersebar meliputi perairan tropis dan subtropis, yakni di Pasifik Barat, mulai dari Jepang bagian selatan sampai Palau, Guam, Kaledonia Baru, kepulauan Australia bagian selatan serta laut India bagian timur dari Nicobar sampai Broome. Bahkan berdasarkan data Fishbase (2015) persebaran ikan kerapu sampai laut Mediteranian. Bariche dan Heemstra (2012) melalui pengamatan di laut Mediterranean menemukan jenis ikan kerapu Epinephelus fasciatus yang tertangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring trammel pada kedalaman 20-25 meter.

Wilayah sebaran ikan kerapu di Indonesia ditemukan di perairan Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara (Heemstra dan Randall 1993). Di Provinsi Aceh ikan kerapu banyak tersebar di perairan Aceh bagian utara yang meliputi daerah Pulau Weh (Sabang) dan daerah Aceh Besar (Ardiwijaya et al. 2007). Menurut Rudi dan Muchsin (2011) melalui pengamatan selama periode 2006-2009 ikan kerapu di perairan Aceh bagian utara ditemukan sekitar 28 spesies dari 7 famili yang banyak memiliki kemiripan dengan ikan-ikan yang ada di Phuket Thailand. Namun secara khusus di perairan Peukan Bada belum tersedianya data penelitian yang jelas tentang perikanan ikan kerapu, hanya pada tahun 2014 baru dilakukan pendataan tentang ikan karang oleh pihak WWF-Indonesia dan Jaringan KuALA (Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh).

(19)

2

penelitian yang dilakukan oleh Rudi (2013) ekosistem terumbu karang di Peukan Bada tergolong baik, yang tersebar di lima (5) titik sebaran, antara lain : (1) Tuan Pulau, (2) Lhok Mata Ie, (3) Lhok Keutapang, (4) Pulau Batee, dan (5) Pulau Bunta dengan kondisi sedang sampai dengan baik. Secara morfologi terumbu karang yang tersebar di lima daerah ini merupakan tipe terumbu karang tepi (fringing reef) dengan tutupan terumbu karang yang relatif tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Menurut Bahri et al. (2015) kondisi tutupan karang di Ujong pancu tergolong baik karena persentase tutupannya melebihi 50%, yang mana untuk tutupan karang keras di Pulau Tuan sebesar 53.75%, Lhok Mata Ie Peukan Bada menurut data DKP Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2015 adalah sebesar 572 ton/ tahun yang didominasi oleh kerapu dengan total produksi adalah 7.9 ton/ tahun.

Masyarakat nelayan di perairan Peukan Bada telah lama memanfaatkan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian termasuk sumberdaya ikan kerapu dalam bentuk usaha penangkapan ikan di laut. Tetapi kendala yang dihadapi oleh para nelayan saat ini adalah mulai berkurangnya hasil tangkapan yang disebabkan banyaknya penggunaan bahan yang berbahaya (sianida) serta terputusnya persediaan benih di alam bebas, hal ini di indikasikan mulai terjadi

overfishing dimana ikan yang menjadi induk semakin berkurang jumlahnya. Kondisi ini dapat mempengaruhi ketersediaan bibit induk di alam, sehingga dikhawatirkan akan berdampak buruk kepada nelayan dalam upaya penangkapan ikan.

Guna melakukan suatu pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dibutuhkan informasi dasar ilmiah yang kuat dan analisis stok untuk membuat langkah-langkah manajemen yang tepat (Hernandez dan Seijo 2003). Berdasarkan hal tersebut di perlukan adanya kajian mengenai analisis populasi ikan kerapu yang tertangkap di perairan Peukan Bada untuk dijadikan sebagai salah satu dasar dalam merekomendasikan alternatif pengelolaan perikanan yang ada di perairan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar.

Perumusan Masalah

(20)

3 dioperasikan di perairan ini, namun setiap alat tangkap akan membawa dampak tertentu terhadap lingkungan.

Penangkapan ikan kerapu yang dilakukan oleh nelayan di perairan Peukan Bada pada umumnya menggunakan alat tangkap pancing, akan tetapi alat tangkap ikan lainnya seperti bubu dan pukat pantai masih digunakan juga, bahkan masih ada nelayan yang menggunakan potassium untuk menangkap ikan. Menurut Rudi dan Fadli (2012) penangkapan ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan akan menimbulkan kerusakan terumbu karang. Dampak nyata lainnya yang ditimbulkan dalam kurun waktu tertentu akan terjadi penurunan biomassa atau stok yang disebabkan menurunnya daya dukung lingkungan yaitu sumber makanan dan ruang habitat. Penurunan jumlah hasil tangkapan, ukuran dan perubahan daerah penangkapan (fishing ground) merupakan bukti terjadinya tekanan terhadap sumber daya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka yang ingin dikaji pada penelitian ini meliputi komposisi jenis tangkapan ikan kerapu, struktur komunitas, aspek-aspek pertumbuhan populasi ikan kerapu yang tertangkap di perairan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh berdasarkan informasi biologis (ekologi). Kerangka perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan komposisi jenis tangkapan dan struktur komunitas ikan kerapu dari perairan Peukan Bada

2. Mendeskripsikan daerah penangkapan (fishing ground) ikan kerapu di perairan Peukan Bada

3. Mengkaji aspek-aspek pertumbuhan populasi yang terdiri dari hubungan panjang-berat, faktor kondisi, sebaran frekuensi panjang, parameter pertumbuhan, ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap, ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad, laju mortalitas dan eksploitasi ikan kerapu (Epinephelus fasciatus dan Cephalopholis sonnerati)

4. Merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya ikan kerapu untuk pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

(21)
(22)

Gambar 1 Kerangka pemikiran perumusan masalah Kualitas

lingkungan Perairan Aktivitas

Penangkapan

Kondisi fisik Perairan

- Pertumbuhan - Laju eksploitasi - Laju mortalitas

Strategi pengelolaan Ikan Kerapu Informasi

Biologi dan stok Ikan

kerapu Penurunan

stok Ikan kerapu di

alam Potensi

Sumberdaya ikan kerapu

Suhu Salinitas Kedalamanan

Kecerahan Substrat

Overfishing dan Overcapasity

Biologi

Dinamika Stok Ikan

- Komposisi spesies - Struktur komunitas - Distribusi

(23)
(24)

2 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama lima (5) bulan, yaitu pada bulan Februari sampai bulan Juni 2015. Lokasi pengambilan data contoh ikan kerapu dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang meliputi tiga (3) Lhok teupin (lokasi), yang terdiri dari; stasiun I adalah Lhok Lamteh, stasiun II adalah Lhok Lamtengoh, dan stasiun III adalah Lhok Ujong Pancu yang terletak di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh (Gambar 2). Adapun pemilihan ke tiga lokasi (Lamteh, Lamtengoh dan Ujong Pancu) didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagian besar hasil tangkapan ikan kerapu di perairan Peukan Bada di daratkan di tiga lokasi tersebut. Perairan Peukan Bada dengan luas areal terumbu karang mencapai 1.155 ha (Campbell et al. 2012) menjadikan daerah ini sebagai target utama nelayan di Aceh Besar untuk melakukan aktivitas menangkap ikan karang, khususnya ikan kerapu.

(25)

6

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ikan kerapu hasil tangkapan nelayan yang didaratkan dari Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Peukan Bada. Semua jenis ikan kerapu yang dikumpulkan adalah ikan hasil tangkapan yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri mistar ukur, timbangan elektrik, alat bedah ikan, thermometer, reftraktometer, tali, secchidisk, kamera underwater dan peralatan snorkling. Adapun jenis data dan alat yang digunakan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis data dan alat yang digunakan

No Variabel Data Satuan Alat Jenis ikan - Buku identifikasi 2 Jenis kelamin TKG - Alat bedah ikan metode survei deskriptif yang menggambarkan wilayah kajian. Adapun prosedur pengumpulan data yang dilakukan terdiri dari:

1. Pengumpulan data hasil tangkapan ikan kerapu

(26)

7 ditimbang berat dengan menggunakan timbangan elektrik SF-410 yang memiliki ketelitian 0.01 gram. Semua jenis ikan kerapu difoto dengan menggunakan kamera digital untuk selanjutnya diidentifikasi jenis ikan dengan menggunakan buku panduan ikan karang yang mengacu pada buku karangan Allen et al. (2003), Kuiter (2001), dan White et al. (2013). Beberapa contoh ikan kerapu dibedah dan diamati Tingkat Kematangan Gonad (TKG) serta penentuan jenis kelamin (jantan atau betina). Penentuan TKG mengaju pada ketentuan Effendie (2002), dimana secara morfologi dilihat berdasarkan bentuk, warna, ukuran dan perkembangan isi gonad ikan kerapu yang di temukan.

Pengambilan conton hasil tangkapan ikan kerapu untuk menganalisis aspek pertumbuhan dan status sumberdaya ikan kerapu di perairan Peukan Bada hanya dua (2) jenis ikan yang dipilih, yakni E. fasciatus dan C. Sonnerati. Kedua jenis ikan ini dipilih karena jenis ikan kerapu yang paling umum (dominan) ditangkap oleh nelayan di Peukan Bada pada waktu pengamatan. Selama penelitian telah dilakukan pengambilan contoh hasil tangkapan ikan kerapu spesies E. fasciatus

sebanyak 453 individu dan C. sonnerati sebanyak 133 individu dari total hasil tangkapan 835 individu ikan kerapu yang di daratkan di Peukan Bada.

2. Pengumpulan data daerah penangkapan ikan kerapu

Pemetaan daerah penangkapan ikan kerapu dilakukan untuk mengetahui kondisi habitat ikan kerapu di perairan Peukan Bada. Pengumpulan data dilakukan setiap satu bulan sekali selama lima (5) bulan. Pemetaan partisipatif ini berpedoman dari hasil wawancara nelayan yang menangkap ikan kerapu di perairan Peukan Bada. Setelah diketahui daerah tangkapan (fishing ground), maka bersama-sama dengan nelayan melakukan survei ke lokasi penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan kapal/perahu nelayan menangkap ikan di laut.

(27)

8

Gambar 3 Diagram survei timed swim (Adiwijaya et al. 2007)

3. Pengumpulan data kualitas perairan

Pengambilan data parameter kualitas perairan dilakukan secara insitu selama penelitian. Hal ini dimaksudkan agar selain mengamati ikan hasil tangkapan juga mengamati kondisi lingkungan perairan, sehingga dapat diketahui karakteristik habitat dari ikan yang diperoleh. Pengambilan sampelnya dilakukan setiap satu bulan sekali selama lima bulan dengan menggunakan kapal/perahu nelayan mencari ikan.

Prosedur Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang meliputi analisis parameter biologi dan analisis dinamika stok ikan. Berikut uraian setiap jenis analisis yang digunakan dalam pengolahan dan analisis data.

Parameter Biologi

Komposisi jenis tangkapan

Komposisi jenis dianalisis berdasarkan hasil identifikasi, mulai dari famili, genus, spesies, nama umum, dan nama lokal. Hasil yang diperoleh selanjutnya dikelompokkan berdasarkan persentase, kemudian data tersebut ditabulasi dalam bentuk tabel dan diagram untuk diketahui distribusi secara spasial dan temporal. Selanjutnya untuk melihat ada tidaknya perbedaan data komposisi jenis dan hasil tangkapan nelayan antar stasiun pengamatan dan waktu (bulan) dilakukan uji t student dengan bantuan software Microsoft Excel 2010.

Struktur komunitas Ikan

Analisis struktur komunitas ikan menggunakan parameter keanekaragaman indek Shannon–Wiener (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D), Krebs (1989) yaitu:

(28)

9

b. Indeks keseragaman; yaitu menggambarkan keseimbangan penyebaran individu jenis dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan menggunakan persamaan (Krebs 1989):

E =

Keterangan:

E = indeks keseragaman

H' = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Hmaks = indeks keanekaragaman maksimum (log2 S)

c. Indeks dominansi; untuk melihat adanya dominansi jenis ikan tertentu dalam suatu komunitas, dengan persamaan sebagai berikut (Krebs 1989):

Keterangan:

D = indeks Dominansi s = jumlah spesies

pi = perbandingan jumlah individu spesies ke-i dengan jumlah total individu

(ni/N).

Analisis struktur komunitas ikan kerapu dilakukan secara spasial, yang dideskriptifkan dan ditabulasi dalam bentuk tabel. Selanjutnya untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan nilai indeks struktur komunitas antar stasiun pengamatan dan waktu (bulan) pengamatan dilakukan uji khi-kuadrat (x2) dengan persamaan yang dikemukakan oleh Bengen (2000):

a,b,c,d = jumlah contoh spesies x

Distribusi daerah tangkapan (fishing ground) ikan kerapu

(29)

10

Parameter lingkungan perairan

Data hasil pengukuran parameter lingkungan perairan di setiap lokasi pengamatan dianalisis secara deskriptif dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan standar baku mutu perairan yang optimum bagi kehidupan ikan kerapu dilaut.

Dinamika Stok Ikan

Hubungan panjang-berat ikan kerapu

Pertumbuhan dapat digambarkan sebagai perubahan ukuran ikan tiap waktu dan dapat dihitung dari data ukuran atau umur dengan penambahan ukuran terhadap waktu. Penentuan umur ikan merupakan metode yang dipercaya untuk menghitung dan menggambarkan pertumbuhan ikan (Pauly 1984).

Analisis panjang-berat ikan bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan spesies ikan di alam. Untuk menganalisis hubungan panjang-berat digunakan persamaan yang dikemukakan oleh Effendie (1979), persamaan tersebut adalah:

W = aL b Keterangan:

W = Berat tubuh ikan (gram) L = Panjang total ikan (mm)

a dan b = nilai konstanta dari hasil regresi.

Nilai a dan b diduga dari bentuk linier persamaan: Log W = log a + b log L

Parameter penduga a dan b di peroleh dengan analisis regresi dengan log W sebagai y dan Log L sebagai x, sehingga diperoleh persamaan regresi:

yi= β0 + β1xi+ εi

Sebagai model observasi : ӯi = b0 + b1xi

Sebagai model dugaan, konstanta b1 dan b0 diduga dengan:

b

1

=

∑ni=1xiyi -1n∑ni=1xi∑ni=1yi

∑ni=1x2i -1n(∑ni=1xi)2

b0 = y ̅- b1x̅

Sedangkan a dan b diperoleh melalui hubungan b = b1 dan a = 10b0. Hubungan

panjang-berat dapat dilihat dari nilai konstanta b (sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter) yaitu dengan hipotesis:

1. Bila b = 3, dikatakan memiliki hubungan isometrik (pola pertumbuhan bobot sebanding pola pertumbuhan panjang)

2. Bila b ≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik (pola pertumbuhan bobot tidak sebanding pola pertumbuhan panjang)

(30)

11 dibandingkan dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b < 3) yang berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan beratnya. Berikut rumus statistik uji untuk menguji hipotesis tersebut.

kepercayaan 95%. Pengambilan keputusannya yaitu jika thitung> ttabel, maka tolak

hipotesis nol (H0) dengan pola pertumbuhan allometrik dan jika thitung <ttabel, maka

gagal tolak atau terima hipotesis nol (H0) dengan pola pertumbuhan isometrik

(Walpole 1993).

Faktor kondisi

Faktor kondisi merupakan keadaan atau kegemukan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data panjang dan berat ikan (Effendie 2002). Jika nilai b=3 (pola pertumbuhan bersifat isometrik), maka rumus yang digunakan adalah (Effendie 2002):

W = berat tubuh ikan berdasarkan pengamatan (gram) L = panjang total ikan (mm)

a dan b = nilai konstanta dari hasil regresi.

Nilai faktor kondisi (K) pada ikan yang badannya agak pipih berkisar antara 2-4, sedangkan yang badannya kurang pipih adalah 1-3 (Effendie 2002).

Sebaran frekuensi panjang

Sebaran frekuensi panjang didapatkan dengan menentukan lebar selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam setiap kelompok panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama, kemudian diplotkan dalam sebuah grafik.

Pendugaan parameter pertumbuhan ikan

(31)

12

yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai dinamika populasi ikan. Model matematika dari persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy adalah sebagai berikut (Sparre dan Venema 1999):

Keterangan:

Lt = panjang ikan pada saat umur t (mm)

= panjang asimptotik yakni panjang dimana laju pertumbuhan secara teoritis nol (mm)

K = koefisien pertumbuhan (per satuan waktu)

t0 = umur teoritis ikan saat panjang ikan nol (satuan waktu)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan L∞ dilakukan dengan menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model Von Bertalanffy, untuk t sama dengan t+1. Berikut merupakan persamaan Ford Wallford(Sparre dan Venema 1999):

Lt+1=L∞ (1-e-K(t+1-t0))

Keterangan:

Lt+1 = panjang ikan pada saat umur t+1 (satuan waktu)

L =panjang maksimum secara teoritis atau panjang asimtotik (mm) K = koefisien pertumbuhan (persatuan waktu)

t0 =umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol.

Berikut merupakan hasil substitusi dari kedua rumus di atas. Lt+1- Lt = [L∞ - Lt][1 - e-K]

atau:

Lt+1=L∞[1-e-K]+Lte-K

Persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier y = b0 + b1x, jika

Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y), sehingga terbentuk

kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L[1 – e-k]. Berikut rumus untuk mendapatkan nilai K dan L..

k =-ln(b) L∞= 1-ba

Berikut adalah rumus untuk mendapatkan nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat

panjang sama dengan nol) diduga melalui persamaan Pauly (1983) dalam Sparre dan Venema (1999).

log -t0 =0.3 22-0.2 52 logL∞ -1.03 log K

Keterangan:

L∞ = panjang asimtotik ikan (mm)

K = koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu) t0 = umur ikan saat panjang ikan ikan nol (satuan waktu). Ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap

Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc) dilakukan dengan

(32)

13 menyerupai kurva distribusi normal komulatif yang mengacu pada Beverton dan Holt (1957) dalam Sparre dan Venema (1999) dengan persamaan:

L 25%

L 50%

L 75%

Keterangan:

SL = jumlah estimasi,

L = interval titik tengah panjang ke-l, S1 dan S2 = nilai konstanta.

Ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad

Penentuan ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad secara morfologis dapat dilakukan dengan cara melihat tanda-tanda umum serta ukuran gonad pada ikan. Menurut Udupa (1986), ukuran pertama kali matang gonad di duga dengan metode Spearman-Karber, yang menyatakan bahwa logaritma ukuran rata-rata mencapai matang gonad adalah dengan persamaan (Udupa 1986):

m ∑

Sehingga

m = antilog M

dan selang kepercayaan 95% dibatasi sebagai:

√ ∑

Keterangan:

m = logaritma panjang rata-rata ikan pertama kali matang gonad

xk = logaritma nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad

x = logaritma pertambahan panjang pada nilai tengah

= proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i

ni = jumlah ikan pada kelas panjang ke-i

= 1-pi

antilog M = panjang ikan pertama kali matang gonad (mm)

(33)

14

Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan

Secara umum, ikan akan mengalami kematian (mortalitas) yang dapat disebabkan oleh kematian alami dan penangkapan. Mortalitas alami biasanya diberi simbol M dan mortalitas penangkapan diberi simbol F sedangkan laju mortalitas total diberi simbol Z (Sparre dan Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang, sehingga diperoleh persamaan sebagi berikut (Sparre dan Venema 1999):

ln

Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:

Log M = exp (-0.0152 – 0.279 log L∞ + 0.6543 log K + 0.463 log T) Keterangan:

M = mortalitas alami (per tahun) L = panjang asimtotik (mm)

K = koefisien pertumbuhan (mm/satuan waktu) T = suhu rata-rata di perairan (0C).

Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui, maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui persamaan (Sparre dan Venema 1999):

F = Z – M Keterangan:

F = mortalitas penangkapan (per tahun) Z = laju mortalitas total (per tahun) M = mortalitas alami

Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z), dengan persamaan sebagai berikut (Pauly 1984):

Keterangan:

F = mortalitas penangkapan (per tahun) Z = laju mortalitas total (per tahun) E = tingkat eksploitasi

(34)

15

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Gambaran umum lokasi penelitian

Secara geografis Kabupaten Aceh Besar terletak di perairan utara dan barat Provinsi Aceh yang terletak pada 5.20 – 5.80 LU dan 95.00 – 95.80 BT, dengan luas daerah 2.974,12 km² (DKP 2013). Hampir 10 % luas daerah di Kabupaten Aceh Besar berada di daerah pesisir, dimana dari 23 Kecamatan yang ada di Aceh Besar 8 kecamatan berada di wilayah pesisir dan laut yang terbentang dari perbatasan Kabupaten Pidie hingga ke perbatasan Kabupaten Aceh Jaya (BPS 2014).

Secara administrasi batas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Selat Malaka dan Kota Banda Aceh Sebelah Selatan : Kabupaten Aceh Jaya

Sebelah Timur : Kabupaten Pidie Sebelah Barat : Samudra Hindia

Adapun 8 Kecamatan yang berada di wilayah pesisir terdiri dari Kecamatan Pulo Aceh, Lhoong, Leupung, Lhoknga, Peukan Bada, Baitussalam, Krueng Raya dan Seulimum. Sedangkan 15 Kecamatan lainnya berada di daerah pegunungan. Kecamatan Peukan Bada merupakan kecamatan yang paling banyak desa pesisir, dengan luas wilayah mencapai 36.25 km² dan terdiri atas 12 desa/gampong (BPS 2014). Hampir 90% desa yang berada di Kecamatan Peukan Bada termasuk kawasan pesisir (DKP 2013), sehingga daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan laut yang produktif di Aceh Besar.

Secara geografis batas wilayah Kecamatan Peukan Bada adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Selat Malaka

Sebelah Selatan : Kecamatan Lhoknga ( berbatasan Lhok Lampuuk) Sebelah Barat : Samudra Hindia

Sebelah Timur : Kota Banda Aceh Kecamatan Meuraxa

(35)

16

358 spesies ikan karang ditemukan di perairan Pulau Weh dan Pulo Aceh, melalui pengamatan selama April 2005 tercatat famili Acanthuridae, Chaetodontidae, Pomacentridae, Labridae dan Scaridae tersebar di perairan tersebut.

Potensi lainnya yang dimiliki di Peukan Bada yang sangat menonjol serta menarik perhatian masyarakat perikanan dunia adalah keberadaan dan kelembagaan adat Panglima Laot Lhok (lokasi). Panglima Laot Lhok merupakan wadah sekaligus basis masyarakat nelayan lokal untuk membangun kesepakatan bersama dalam mengatur dan mengawasi pelaksanaan norma dan ketentuan tata-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan.

Perairan wilayah Peukan Bada (Lhok Lamtengoh dan Ujong Pancu) saat ini sedang dalam proses pengusulan oleh Panglima Laot untuk ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Perairan (KKP) Indrapurwa. Inisiatif ini mulai dilakukan pada tahun 2011 yang di prakarsai oleh Pemerintah Aceh untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut Aceh melalui pengukuhan sekitar 300.000 ha Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan maritim di delapan (8) Kabupaten di Aceh (DKP Aceh Besar 2015).

Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu

Jumlah hasil tangkapan ikan kerapu yang tertangkap di Perairan Peukan Bada menunjukkan nilai tertinggi ditemukan pada lokasi Lamteh (333 individu), kemudian Lamtengoh (258 individu) dan yang terendah adalah Ujong Pancu (244 individu). Seperti yang disajikan pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 Jumlah hasil tangkapan ikan kerapu yang tertangkap berdasarkan lokasi pengamatan.

Hasil tangkapan ikan kerapu yang paling tinggi ditemukan pada lokasi pendaratan ikan di Lamteh, dengan puncak nilai tertinggi diperoleh pada bulan Maret (123 individu). Lokasi Lamtengoh puncak tertinggi terjadi pada bulan April (88 individu), sedangkan Ujong Pancu pada bulan Mei (74 individu). Adanya perbedaan jumlah hasil tangkapan ini disebabkan karena intensitas tekanan penangkapan ikan kerapu yang dilakukan oleh nelayan di Peukan Bada berbeda-beda pada tiap bulan. Selain itu kondisi habitat disuatu perairan sangat mempengaruhi terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. Dimana dengan kondisi

(36)

17 terumbu karang yang baik dan ideal sangat mendukung bagi kehidupan biota laut (ikan kerapu), karena biota laut tersebut memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat feeding ground, spawning ground, dan nursery ground (Widodo 2010), sehingga menjadikan daerah ini sebagai target utama penangkapan jenis ikan karang (ikan kerapu). Setiap spesies ikan kerapu akan memperlihatkan kecocokan hábitat yang tepat dan sesuai dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung yang aman dan variasi parameter fisik, sehingga sejumlah spesies tertentu banyak ditemukan pada daerah terumbu karang.

Berdasarkan analisis uji t, hasil tangkapan ikan kerapu di Lamteh memiliki jumlah hasil yang lebih banyak dibandingkan Lamtengoh dan Ujong Pancu Secara keseluruhan, jumlah hasil tangkapan antar lokasi pengamatan tidak berbeda nyata (p>0.05), sedangkan antar bulan (waktu pengamatan) berbeda nyata (p<0.05). Kondisi ini diduga karena daerah tangkapan nelayan berbeda-beda.

Berdasarkan komposisi jenis dan distribusi pada masing-masing lokasi pengamatan menunjukkan bahwa jumlah spesies tertinggi ditemukan di Lamtengoh yaitu 20 spesies, diikuti Lamteh dan Ujong Pancu masing-masing 15 spesies ikan kerapu (Gambar 5). Komposisi jenis yang paling banyak tertangkap adalah spesies E. fasciatus, yakni di Lamteh ditemukan sebanyak 155 individu, Lamtengoh sebanyak 148 individu, dan Ujong Pancu sebanyak 150 individu (Lampiran 1). Banyaknya ikan jenis ini yang ditemukan mengidikasikan bahwa E. fasciatus menyebar luas di perairan Peukan Bada, sehingga memudahkan nelayan menangkapnya. Ada beberapa spesies yang kemunculan hanya pada daerah tertentu saja, seperti spesies Aethaloperca rogaa hanya kemunculannya pada lokasi pengamatan di Lamtengoh saja, sedangkan lokasi Lamteh dan Ujong pancu tidak ditemukan jenis ini. Lainnya halnya dengan spesies Cephalopholis spiloparaea yang hanya ditemukan pada lokasi Lamteh dan Ujong pancu, sedangkan di Lamtengoh tidak ditemukan jenis ini. Menurut Latuconsina et al.

(2012) ikan-ikan yang kemunculannya hanya pada daerah tertentu dan di musim tertentu saja diindikasi bahwa ikan tersebut sedang melakukan migrasi dan tertangkap oleh nelayan sehingga kehadirannya hanya bersifat pada waktu tertentu saja.

(37)

18

Struktur komunitas ikan kerapu

Hasil analisis beberapa indeks struktur komunitas ikan kerapu yang ditemukan di tiga (3) tempat pendaratan ikan (Lamteh, Lamtengoh dan Ujong Pancu) memiliki nilai indeks yang berbeda (Tabel 2). Berdasarkan distribusi secara spasial, nilai indeks keanekaragaman (H') tertinggi terdapat di Lamtengoh yaitu 2.5271, sedangkan terendah di Lamteh dengan nilai 2.1491 dan tidak berbeda dengan di Ujong Pancu yang bernilai 2.1632. Hal ini karena jumlah spesies yang ditemukan di Lamtengoh lebih banyak (20 spesies) dari pada di Lamteh dan Ujong Pancu yang masing-maisng hanya 15 spesies saja yang ditemukan.

Indeks keseragaman bertujuan untuk menggambarkan kemerataan distribusi komposisi spesies di suatu perairan. Keseragaman tertinggi juga terdapat di lokasi Lamtengoh (0.5847), sedangkan Ujong Pancu dan Lamteh hampir sama nilai indeks yang diperoleh. Keseragaman spesies ini menunjukkan kondisi baik karena tidak ada dominasi dari spesies tertentu (d<0.5). Nilai indeks Keseragaman (E) mendekati 1 menggambarkan pola distribusi cenderung seragam.

Tabel 2 Nilai indeks struktur komunitas ikan kerapu Lokasi Total

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa nilai indeks struktur komunitas antar lokasi tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat dari nilai x2hitung (11.5728) lebih besar dari pada nilai x2 tabel (3.1824), yang artinya bahwa proporsi struktur komunitas di Lamteh lebih kecil dari pada di Ujong Pancu, sedangkan Lamtengoh tinggi.

Daerah penangkapan ikan kerapu

Setelah mendapatkan informasi dari nelayan daerah penangkapan (fishing ground) ikan kerapu melalui wawancara langsung (Lampiran 2), maka dilakukan survei ke daerah-daerah penangkapan ikan kerapu yang berada di perairan Peukan Bada. Sebaran daerah penangkapan ikan kerapu di perairan Peukan Bada dilakukan bersama dengan nelayan ke daerah penangkapan (fishing ground) ikan kerapu di perairan Peukan Bada.

(38)

19 sangat mempengaruhi, selain itu juga ketersediaan makanan, reproduksi dan sebagai tempat perlindungan (Moberg dan Folke 1999).

Pada umumnya ikan kerapu hidup di daerah terumbu karang pada kedalaman 5-20 meter disemua tipe karang dengan kategori kondisi karang baik (Yeeting et al. 2001). Karakter habitat yang disukai ikan kerapu pada daerah terumbu karang berupa batu-batu besar yang menyediakan tempat untuk berlindung dimusim hangat, biasanya sampai ke perairan yang dangkal (Harmelin dan Vivien 1999). Keterkaitan sumberdaya ikan kerapu dengan karakteristik habitat pada ekosistem terumbu karang karena fungsi ekologis terumbu karang sebagai penyedia makanan, tempat hidup dan tempat perlindungan, sehingga banyak celah dan lubang diterumbu karang yang dijadikan sebagai tempat tinggal, berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi ikan karang yang ada di sekitarnya.

Gambar 6 Peta sebaran fishing ground ikan kerapu di perairan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar

(39)

20

perairan masih sangat mendukung bagi keberlangsungan hidup ikan kerapu bahkan perairan tersebut masih tergolong baik.

Aspek-Aspek Pertumbuhan Polulasi ikan kerapu

Ikan kerapu yang ditemukan selama penelitian berjumlah 835 individu yang terdiri dari 21 spesies; Epinephelus fasciatus (453 individu), E. areolatus (15 individu), E. coioides (13 individu), E. macrospilos (41 individu), E. merra (29 individu), E. quoyanus (22 individu), E. tauvina (3 individu), E. spilotoceps (3 individu), E. corralicola (2 individu), E. longispinis (2 individu), E. fuscoguttatus

(2 individu), E. faveatus (12 individu), Aethaloperca rogaa (1 individu),

Cephalopholis argus (19 individu), C. boenak (3 individu), C. formosa (4 individu), C. miniata (43 individu), C. sonnerati (133 individu), C. spiloparaea (5 individu), Variola albimarginata (24 individu), dan V. louti (6 individu).

Berdasarkan hasil identifikasi, ada dua spesies yang dominan tertangkap di tiga lokasi pengamatan, yakni spesies E. fasciatus dan C. Sonnerati. Analisis pertumbuhan populasi kedua jenis tersebut yang dipilih. Hal ini dengan pertimbangan bahwa kedua jenis ikan ini yang paling umum ditangkap oleh nelayan di Peukan Bada pada saat itu, dengan total pengambilan contoh hasil tangkapan ikan kerapu spesies E. fasciatus adalah 453 individu dan C. sonnerati

berkisar 133 individu dari total hasil tangkapan 835 individu ikan kerapu yang di daratkan di Peukan Bada.

Hubungan panjang-berat

Hubungan panjang-berat ikan kerapu digunakan untuk menjelaskan pola pertumbuhan ikan. Hubungan ini dapat diestimasi melalui kecendrungan penyebaran data panjang-berat ikan kerapu yang diperoleh berdasarkan pengukuran panjang total ikan kerapu.

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang-berat spesies E. fasciatus

dengan sampel ikan 453 individu, maka persamaan yang dibentuk adalah W = 0.0009L2.186 ,dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.8871% (Tabel 3). Setelah diuji dengan uji-t ternyata pola pertumbuhan menunjukkan allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat ikan (Gambar 7).

Tabel 3 Hasil analisis hubungan panjang berat spesies E. fasciatus

(40)

21

Gambar 7 Grafik hubungan panjang dan berat ikan kerapu E. fasciatuss selama pengamatan.

Analisis hubungan panjang-berat spesies C.sonnerati dengan jumlah sampel 133 individu, maka persamaan yang dibentuk adalah W=0.0083L1.7742, dimana nilai koefisien determinasi 94.47% (Tabel 4). Setelah diuji dengan uji-t ternyata pola pertumbuhan menunjukkan allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat ikan spesies C. sonnerati

(Gambar 8).

Tabel 4 Hasil analisis hubungan panjang berat spesies C. sonnerati

Februari Maret April Mei Juni Total Keterangan: - ; tidak ditemukan hasilnya

(41)

22

Faktor kondisi

Nilai rata-rata faktor kondisi ikan kerapu spesies E. fasciatus dan C. sonnerati berfluktuasi setiap bulannya (Gambar 9). Nilai tertinggi pada bulan Maret (1.4186) spesies E. fasciatus sedangkan spesies C. sonnerati pada bulan Februari (1.2652). Perbedaan nilai faktor kondisi antara spesies E. fasciatus dan C. sonnerati relatif kecil, dan ukuran ikan yang ditemukan untuk spesies E. fasciatus

lebih kecil dibandingkan spesies C. sonnerati.

(a) (b)

Gambar 9 Grafik faktor kondisi rata-rata ikan kerapu (a) E. fasciatus (b) C. sonnerati

Ikan kerapu spesies E. fasciatus dan C. sonnerati hidup dalam kondisi yang sama di perairan terumbu karang. Kondisi tersebut menguntungkan dari segi pertumbuhan, dimana masing-masing spesies memiliki peluang yang sama untuk bertahan hidup, tumbuh dan berkembang biak di perairan tersebut. Ikan kerapu banyak ditemukan di perairan tropis dan subtropis (Sluka et al. 2001). Menurut Effendie (2002) variasi nilai factor kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad ikan.

Sebaran frekuensi panjang

Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu hasil tangkapan nelayan di perairan Peukan bada selama kurun waktu 5 bulan menunjukkan kondisi yang berfluktuasi. Hasil penelitian yang diperoleh spesies E. fasciatus sebanyak 453 individu, yang terdiri dari 375 individu jantan, dan 78 individu betina. Panjang berkisar antara 106-290 mm, dengan ukuran panjang maksimum total spesies adalah 290 mm, sedangkan menurut data Fishbase (2015) panjang maksimum spesies E. fasciatus

(42)

23 Tabel 5 Sebaran ukuran panjang ikan kerapu E. fasciatus dan C. sonnerati

E. fasciatus C. sonnerati

No Selang Kelas (mm)

frekuensi (individu)

Selang Kelas (mm)

frekuensi (individu)

1 106-124 4 50-93 1

2 125-143 1 94-138 2

3 144-162 24 138-181 11

4 163-181 78 182-225 52

5 182-200 170 226-269 41

6 201-219 45 270-313 19

7 220-238 80 314-357 5

8 239-257 36 358-401 2

9 258-276 8

10 277-295 7

(43)

24

Gambar 10 Grafik sebaran frekuensi panjang ikan (a) E. fasciatus dan (b) C. sonnerati.

Parameter pertumbuhan populasi

Hasil analisis parameter pertumbuhan (L∞ dan K) menggunakan aplikasi FISAT II versi 3. Panjang asimtotik (L∞) untuk spesies E. fasciatus 300.30 mm, koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.49 (mm/tahun) dan t0 adalah -0.18 tahun

pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy. Hal ini menunjukan bahwa panjang ikan E. fasciatus tidak akan mencapai ukuran panjang 300.30 mm, namun akan mendekati 300.30 mm. Panjang asimtotik (L) spesies C. sonnerati

adalah 419.48 mm, dengan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.31 (mm/tahun) dan t0 sebesar -0.26 tahun (Tabel 6). Spesies C. sonnerati memiliki

nilai koefisien pertumbuhan lebih kecil dibandingkan spesies E. fasciatus,

sehingga lebih lama untuk mencapai L∞. Jika semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhan ikan, maka akan semakin cepat mencapai panjang asimtotik, sehingga ikan akan semakin cepat mengalami kematian alami.

Tabel6 Parameter pertumbuhan ikan kerapu yang dominan tertangkap

Spesies K (/th) L (mm) t0 (/th)

Epinephelus fasciatus 0.49 300.30 -0.18

Cephalopolis sonnerati 0.31 419.48 -0.26

(44)

25

a) b)

Gambar 11 Grafik Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kerapu (a) E. fasciatus (b) C. sonnerati.

Panjang ukuran maksimum E. fasciatus yang tertangkap yaitu 290 mm, panjang ikan ini lebih kecil dibandingkan dengan panjang asimtotik (300.30 mm). Begitu juga dengan spesies C. sonnerati dimana panjang ukuran maksimum ikan yang tertangkap adalah 400 mm, dan panjang asimtotik sebesar 419.48 mm. Ikan yang cepat pertumbuhan cenderung cepat matang gonad, dan juga akan lebih cepat tertangkap. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa tingginya tingkat kematian seiring dengan tingginya laju eksploitasi, sehingga tingkat resiko yang tinggi pada ikan yang belum matang gonad juga ikut tertangkap.

Ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc)

Panjang ikan pertama kali tertangkap adalah panjang ikan yang sebanyak 50% ditangkap di suatu perairan (Ault et al. 2005). Ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap dihitung dengan menggunakan data frekuensi dan selang kelas panjang total ikan kerapu. Analisis panjang ikan kerapu pertama kali tertangkap dan panjang ikan pertama kali matang gonad disajikan pada Tabel 7

Tabel 7 Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc)

Spesies Parameter

Lc (mm) Estimasi growth overfishing (%)

Epinephelus fasciatus 194.81 76

Cephalopolis sonnerati 212.83 89

Berdasarkan data sebaran kelas frekuensi panjang ikan spesies E. fasciatus, maka nilai Lc yang diperoleh adalah 194.81 mm, sedangkan spesies C. sonnerati

(45)

26

Gambar 12 Grafik panjang ikan pertama kali tertangkap (a) E. fasciatus (b) C. sonnerati.

Ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm)

Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) dianalisis berdasarkan

data tingkat kematangan gonad ikan (TKG). Berdasarkan data TKG maka dapat dilakukan analisis untuk menghitung panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) yang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm)

Spesies Parameter

Lm (mm) Estimasi recruitmen overfishing (%)

Epinephelus fasciatus 237 29

Cephalopolis sonnerati 254 50

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan kerapu spesies E. fasciatus

ukuran pertama kali matang gonad adalah 237 mm, dengan selang kelas 227-248 mm. Sedangkan spesies C. sonnerati ukuran pertama kali matang gonad mencapai 254 mm pada selang kelas 263-246 mm (Gambar 13).

(46)

27 Spesies E. fasciatus mencapai matang gonad pada ukuran 237 mm. Data yang didapat dari Fishbase (2015) menunjukkan bahwa pada kisaran 16 cm (160 mm) spesies E. fasciatus baru matang gonad. Berbedanya ukuran yang ditemukan dengan data Fishbase dikarenakan rasio jenis kelamin yang tertangkap lebih mendominansi jenis kelamin jantan dari pada betina. Jumlah jantan yang didapat 375 individu dengan Tingkat kematangan Gonad (TKG) 1 sebanyak 361 individu, dan TKG 2 sebanyak 41 individu. Sedangkan jenis kelamin betina hanya 78 individu yang didapatkan, dimana Tingkat Kematangan Gonad (TKG) 1 sebanyak 47 individu, TKG 2; 26 individu, TKG 3; 4 individu, dan TKG 4 hanya 1 individu yang ditemukan.

Spesies C. sonnerati pertama kali matang gonad pada ukuran 254 mm. Berdasarkan data dari Fishbase (2015) pada ukuran panjang 28 cm (280 mm) spesies ini matang gonad. Jumlah ikan yang tertangkap jenis ini juga didominansi oleh jenis kelamin jantan (113 individu), dengan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) 1 mencapai 106 individu, dan TKG 2 hanya 7 individu yang didapat. Jumlah jenis kelamin betina sebanyak 20 individu, dengan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) 1 hanya 1 individu, TKG; 2 individu, TKG 3; 14 individu, dan TKG 4 sebanyak 5 individu.

Laju mortalitas dan laju eksploitasi

Pendugaan laju mortalitas dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan sehingga berbasis data panjang. Laju eksploitasi ikan kerapu spesies E. fasciatus dan C. sonnerati di perairan Peukan Bada di indikasikan telah mengalami tangkap lebih (overfishing), dengan indikator yang digunakan yakni; tingkat mortalitas total (Z), mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) yang disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Laju mortalitas dan laju eksploitasi hasil tangkapan ikan kerapu

Spesies Parameter

Z (/tahun) M (/tahun) F (/tahun) E (%)

Epinephelus fasciatus 1.28 0.49 0.79 0.62

Cephalopolis sonnerati 0.73 0.33 0.40 0.55

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat mortalitas total spesies E. fasciatus adalah 1.28, tingkat mortalitas alami berkisar 0.49, dan tingkat mortalitas tangkapan sebesar 0.79. Suhu rata-rata permukaan air di perairan Peukan Bada berdasarkan hasil survey lapangan selama penelitian berlangsung sebesar 30 0C, sehingga diperoleh nilai laju eksploitasi (E) sebesar 0.62%. Hal ini menunjukkan bahwa sudah terjadi over exploited terhadap sumberdaya ikan kerapu di perairan Peukan Bada.

(47)

28

banyak mati akibat aktivitas penangkapan (eksploitasi) dari pada yang mati secara alami. Laju eksploitasi yang melebihi nilai optimum 0.5 menurut Gulland (1971) mengindikasikan bahwa suatu sumber daya telah mengalami tangkap lebih (over eksploitasi).

Pembahasan

Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu

Jumlah hasil tangkapan ikan kerapu yang didapatkan selama penelitian, berbeda dari hasil penelitian di lokasi lain. Penelitian ini menggunakan alat tangkap pancing. Hasil tangkapan yang ditemukan yakni 21 jenis ikan kerapu dan 4 genus yang terdiri dari Epinephelus (12 jenis), Cephalopholis (6 jenis), Variola

(2 jenis), dan Aethaloperca (1 jenis). Penelitian yang dilakukan oleh Nuraini (2007) di perairan Berau, Kalimantan Timur dengan menggunakan alat tangkap pancing, bubu, sero dan bagan di temukan sebanyak 25 jenis ikan kerapu dan 5 genus yang terdiri Epinephelus (15 jenis), Cephalopholis (2 jenis), Plectropomus

(5 jenis), Variola (2 jenis), dan Cromileptes (1 jenis). Penelitian yang dilakukan oleh Agembe et al. (2010) di perairan pantai Kenya ditemukan 37 spesies ikan kerapu yang terdiri dari 6 genus, yakni Anyperodon, Cephalopholis, Dermatolepis, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola.

Beberapa penelitian yang menggunakan metode transek sabuk dan sensus visual seperti di perairan pesisir timur Pulau Weh, Sabang ditemukan sebanyak 14 jenis ikan kerapu (Hastuty et al. 2014), 12 jenis ikan kerapu di perairan Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Rondo dan Taman Laut Rinoi dan Rubiah Naggroe Aceh Darussalam (Edrus et al. 2013), dan 28 jenis ikan kerapu yang ditemukan selama pengamatan periode tahun 2006 sampai 2009 di perairan Aceh bagian utara (Rudi dan Muchsin 2011), 7 jenis di Karimunjawa (Mujiyanto dan Sugianti 2014), 4 jenis di Pulau Eggano, Privinsi Bengkulu (Adrim 2007). Adanya perbedaan jenis ikan kerapu yang ditemukan di perairan Peukan Bada dengan lokasi-lokasi lainnya diduga karena adanya perbedaan ekosistem dan lingkungan habitat yang di dalamnya memiliki perbedaan komposisi biota. Penggunaan alat tangkap juga sangat mempenggaruhi terhadap hasil tangkapan ikan kerapu, seperti yang dilaporkan oleh Hartati et al. (2011) di perairan Kepulauan Seribu dengan pemakaian alat tangkap muroami, bubu dan pancing ulur terjadi penurunan hasil tangkapan ikan kerapu dibandingkan dengan jenis ikan ekonomis lainnya (ikan ekor kuning dan kakak tua).

(48)

29 karang dan kondisi hidrologis dan sedimen. Chabanet et al. (1997) menambahkan variable substrat bentik karang yang ada di kepulauan Reunion, laut Hindia berkorelasi erat dengan kekayaan spesies dan keanekaragaman ikan karang.

Berdasarkan komposisi spesies terdapat beberapa jenis ikan kerapu yang memiliki hasil tangkapan tertinggi pada penelitian ini yakni E. fasciatus (455), dan C. sonnerati (133). Hal ini disebabkan sifat ikan E. fasciatus yang mudah beradaptasi pada kondisi lingkungan perairan dari laguna sampai daerah terumbu karang (Allen et al., 2003). Umumnya hidup secara soliter (Kuiter, 2001) dan termasuk jenis ikan demersal yakni ikan-ikan yang berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan, sehingga sangat mungkin jenis ikan ditemukan dalam jumlah yang besar (Unsworth et al. 2007). Menurut Tucker (1999) ikan kerapu menetap di perairan dangkal untuk mencari tempat berlindung, pada saat ukurannya bertambah panjang (dewasa) maka akan bergerak ke perairan yang lebih dalam, namun kebanyakan tetap tinggal di wilayah terumbu karang dekat gua tempat berlindung. Lain halnya dengan jenis ikan pelagis yang bersifat gerembolan (schooling) dalam melakukan aktivitas migrasi dan berbagai kebutuhan hidupnya, sehingga jenis ikan ini hanya ditemukan di perairan pada lapisan permukaan hingga kolom air (Perera and Appeldoorn, 2008).

Donaldson (2002) menyebutkan bahwa asosiasi habitat dan distribusi kedalaman antara ikan kerapu dari genus Cephalopholis di daerah terumbu karang di Rota kepulauan Mariana memiliki hubungan habitat yang berbeda antara mikro habitat dan distribusi kedalaman, seperti spesies Cephalopholis spiloparaea yang berada pada kedalaman 15 dan 26 meter didaerah terumbu karang antara tepi karang dan pasir. Menurut Randall dan Ben-Tuvia (1983) E. fasciatus berasosiasi dengan terumbu karang, dapat hidup pada kedalaman 20-45 meter, Heemstra dan Randall (1993) menambahkan bahwa E. fasciatus dapat bertahan hidup dengan kedalaman 4-160 meter. Bariche dan Heemstra (2011) pada awal bulan Februari 2011 juga menemukan ikan kerapu jenis E. fasciatus di lepas pantai Lebanon, utara kota off Tripoli (34828 'N 35852 'E) pada kedalaman 20 -25 m di daerah bebatuan dengan panjang totalnya adalah sekitar 22 cm.

Berdasarkan lokasi tempat pendaratan ikan, spesies E. fasciatus paling banyak didaratkan dilokasi Lamteh. Menurut informasi yang diperoleh dari nelayan penangkap ikan kerapu dilokasi penelitian bahwa sampai di kedalaman 45 meter masih ditemukan ikan kerapu jenis ini. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan kerapu spesies ini menyebar luas di perairan Peukan Bada mulai dari dasar perairan sampai dengan kedalaman laut dalam. Beberapa spesies ikan kerapu hidup pada kedalaman 100-200 meter, tetapi pada umumnya ikan kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 meter dengan habitat terumbu karang, karang berbatu dan perairan dasar (Heemstra dan Randall 1993). Hal ini menyebabkan spesies ini mudah ditemukan di perairan karang, sehingga menjadi target utama penangkapan ikan kerapu adalah di daerah karang.

Struktur komunitas ikan kerapu

(49)

30

spesies tertentu yang diperkuat dengan tingginya indeks dominansi (D) di Ujong Pancu. Jika dilihat dari nilai keseragaman (E), pola distribusi cenderung seragam, artinya pola penyebaran ikan kerapu relatif merata pada semua lokasi. Menurut Odum (1971), semakin tinggi nilai H' dan rendahnya nilai D menunjukkan bahwa komunitas ikan semakin beragam, suatu indikasi komunitas yang cenderung stabil. Menurut Gaspare et al. (2015), kemunculan spesies disuatu perairan dipengaruhi oleh penyebaran, hal ini dikarenakan kebutuhan migrasi untuk memijah, dan untuk mencari makan. Suatu organisme dapat bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang biak karena adanya energi yang tersedia dalam makanannya. Hal ini diduga dapat mempengaruhi indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi yang ada di perairan Peukan Bada ini. Adanya variasi keaekaragaman spesies pada setiap lokasi pengamatan dapat disebabkan oleh perbedaan tipe habitat (kondisi terumbu karang), kegiatan penangkapan, kompetisi, predasi dan rekrutmen (Sluka dan Sullivan (1996).

Maddupa et al. (2012) mengatakan bahwa keragaman ikan kerapu yang ditemukan di daerah lereng (slope) didaerah terumbu karang lebih tinggi jika dibandingkan pada daerah laguna. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik suatu habitat sangat menentukan dalam proses terbentuknya suatu komunitas ikan kerapu di suatu perairan. Menurut Friendlander et al. (2003) tutupan karang hidup dan kompleksitas habitat menjadi parameter lingkungan yang penting secara ekologi bagi kelompok ikan karang yang ada di perairan Hawaii. Pada umumnya ikan kerapu yang masih muda hidup di perairan karang dekat pantai dengan kedalaman 0,5-3 meter, selanjutnya menginjak dewasa beruaya keperairan yang lebih dalam antara 7-40 meter, dimana perpindahan ini biasanya terjadi pada siang dan sore hari (Heemstra dan Randall 1993).

Daerah penangkapan ikan kerapu

Sebaran daerah penangkapan ikan kerapu nelayan di lhok Peukan Bada meliputi daerah Arus Besar, Arus Cut, Pulau Batee, Pulau Bunta, Pulo Aceh dan Tuan Pulau (Gambar 6). Semakin jauhnya daerah penangkapan, maka waktu yang dibutuhkan juga akan lama. Berdasarkan lokasi penangkapan ikan kerapu yang diperoleh dari informasi nelayan penangkap ikan kerapu dan didukung juga oleh survey ke daerah penangkapan ikan kerapu dengan pengambilan ttik koordinat (Lampiran 3), maka daerah Tuan Pulau merupakan daerah yang paling banyak aktivitas nelayan yang menangkap ikan kerapu, hal ini karena pada daerah Tuan Pulau kondisi terumbu karang masih bagus, dan juga didukung dengan keberadaan kawasan konservasi perairan Indrapurwa. Pembagian zonasi pada perairan ini terdiri dari zona lindung/inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Menurut Murray et al. (1999) adanya kawasan konservasi laut di suatu wilayah dapat membantu dalam keberlanjutan dan peningkatan kondisi stok perikanan. Kawasan konservasi laut dapat berfungsi sebagai penyangga untuk menghadapi kerusakan yang diakibatkan oleh interaksi antara eksploitasi dan kondisi lingkungan yang ekstrim, sekaligus sebagai pelindung dari resiko ketidakpastian pengelolaan perikanan (Starr et al. 2004).

Gambar

Gambaran umum lokasi penelitian
Grafik hubungan panjang dan berat ikan kerapu E. fasciatus selama
Gambar 1  Kerangka pemikiran perumusan masalah
Gambar 2 Peta lokasi penelitian pada 3 titik pendaratan ikan, yaitu Lamteh,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kisaran ukuran ikan kerapu karang bintik biru di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah relative lebih besar dibandingkan perairan lain, rata-rata ukuran panjang pertama kali tertangkap

Penelitian ini bertujuan menganalisis aspek biologi meliputi struktur ukuran ikan yang tertangkap, tipe pertumbuhan dan faktor kondisi ikan kembung perempuan di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi ikan yang tertangkap dengan Cantrang; mengetahui aspek pertumbuhan ikan Sebelah yang meliputi panjang berat, dan

Kedalaman Perairan Pulau Tegal Hasil pengukuran kedalaman perairan untuk lokasi budidaya ikan kerapu bebek di Pulau Tegal dapat dilihat pada Gambar 1.. Kedalaman

Struktur ukuran ikan cakalang yang tertangkap dengan purse seine di perairan Laut Flores tanpa rumpon berada dalam kisaran panjang 19,5 cm FL – 69,5 cm FL, ukuran panjang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi jenis ikan, kelimpahan ikan, komposisi ukuran ikan dan ukuran pertama kali matang gonad ikan-ikan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi ikan yang tertangkap dengan Cantrang; mengetahui aspek pertumbuhan ikan Sebelah yang meliputi panjang berat, dan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan petek memiliki bentuk tubuh pipih menegak (compressed), diduga penambahan bobot ikan tidak hanya disebabkan oleh pertambahan