• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi

4.4.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Ekologi

Penilaian status keberlanjutan dimensi ekologi dilakukan dengan menggunakan 7 atribut. Berdasarkan penilaian terhadap kondisi eksisting setiap atribut, kisaran hasil pembobotan adalah 0 – 3. Atribut pada dimensi ini berkaitan dengan kondisi biologi populasi cakalang beserta kondisi lingkungan perairan Samudera Hindia selatan Jawa Timur.

Cakalang adalah jenis ikan yang memiliki fekunditas tinggi dan dapat memijah sepanjang tahun yang menyebabkan populasinya tidak rentan terhadap peningkatan laju aktifitas penangkapan. Namun demikian, karena data yang dibutuhkan untuk menduga status eksploitasi cakalang dari seluruh wilayah penangkapan Samudera Hindia hingga saat ini belum cukup tersedia, maka monitoring ketat terhadap tren stoknya perlu dilakukan (IOTC 2011).

Tabel 19 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi ekologi

No Jenis Atribut Penilaian Skor

1 Status eksploitasi Moderate, potensi lestari472.421,31 Kg/tahun dan CPUE meningkat dengan persamaan y = 1400,1x - 1540,8

3

2 Rentang migrasi Migrasi ke jurisdiksi internasional 0

3 Tingkatan kolaps Tidak ada area kolaps 3

4 Jumlah species tangkapan Cakalang 31,45%, madidihang 36,71% matabesar 2,60%, marlin 19,57%,

tompek 9,66%, hiu (n.a) 2 5 Ukuran ikan tangkapan Tahun 2003 tangkapan ukuran 1-2 Kg

(kecil) 2,24%, tahun 2010 tangkapan ukuran 1-2kg (kecil) 0,11%

2

6 Perubahan tingkat tropik Jenis spesies dan ukuran tidak berubah 2 7 Klorofil-a Rataan klorofil-a 0,715 mg.l-1 1

Untuk mendukung kebijakan pengelolaan yang bertanggung jawab pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 tahun 2011 tentang estimasi potensi sumber daya ikan. Dalam lampiran Surat Keputusan tersebut dicantumkan status eksploitasi cakalang WPP-RI 573 adalah moderate atau sedang, dengan potensi lestari sumberdaya ikan pelagis besar menurut KKP (2011) sebesar 201.400 ton per tahun sehingga pemanfaatannya masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Estimasi tersebut sesuai dengan hasil pendugaan relatif yang dilakukan dengan peluang untuk

meningkatkan produksi aktual sebesar 70,25% dari kuota 80% nilai optimal rezim pengelolaaan maximum sustainable yield, serta meningkatkan jumlah trip sebesar

83,58% dari trip aktual. Hasil ini didukung oleh nilai Catch per unit effort (CPUE) yang tetap meningkat dengan pertambahan jumlah upaya.

Nilai skor untuk jumlah spesies tangkapan, ukuran ikan tangkapan, dan perubahan tingkat tropik semuanya berada pada kategori baik sehingga mendapat bobot skor maksimal. Jumlah spesies tangkapan nelayan umumnya tidak banyak yaitu cakalang, madidihang, matabesar, marlin, tompek, dan hiu. Dalam perikanan kapal sekoci tidak terdapat bycatch yang terbuang atau tidak termanfaatkan karena semua jenis ikan tangkapan bernilai ekonomi tinggi.

Untuk memonitor kondisi kesehatan stok ikan, selain indikator status eksploitasi diperlukan pula pengamatan terhadap jenis dan ukuran ikan dimana penurunan keduanya bisa menjadi indikasi adanya tekanan terhadap populasi yang mengancam kelestariannya (Trippel 1995). Untuk jenis cakalang berukuran 2-6 kg yang merupakan ikan dewasa, proporsinya adalah 96,83% dari total tangkapan, dengan kata lain hanya 3,17% yang ikan muda yang tertangkap. Proporsi tangkapan berdasarkan ukuran juga tidak berubah yaitu 97,76% berukuran 2-6 kg berbanding 2,24% berukuran 1-2 kg pada tahun 2003. Pada tahun 2010 perbandingannya adalah 99,89% berukuran 2-6 kg berbanding 0,11 berukuran 1-2 kg pada tahun 2010. Data tersebut menunjukkan bahwa stok cakalang dalam kondisi stabil dengan jumlah kelompok ikan muda dalam tangkapan yang kecil, serta jenis atau ukuran ikan tangkapan yang tidak berubah selama tahun 2003- 2010. Hal ini sesuai dengan IOTC (2008b) yang melaporkan bahwa rataan berat cakalang yang tertangkap dengan berbagai jenis alat tangkap di Samudera Hindia menunjukkan nilai yang relatif stabil sejak tahun 1991.

Salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan di suatu perairan adalah ketersedian sumber makanan yang biasanya akan terkonsentrasi di wilayah perairan yang subur. Kesuburan perairan diindikasikan oleh konsentrasi kelimpahan organism fitoplankton yang tinggi yang biasanya terjadi bersamaan dengan tingginya konsentrasi klorofil-a. Kisaran konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa Timur tahun 2005-2009 adalah 0,11 mg.l-1 - 1,32 mg.l-1.

Menurut Realino et al. (2007) tingkat kesuburan tertinggi perairan di Samudera Hindia selatan Jawa Timur terjadi pada bulan-bulan Juli, Agustus dan September (Musim Timur). Sedangkan tingkat terendah terjadi pada bulan-bulan Januari, Februari dan Maret (Musim Barat). Menurut Nontji (1993) nilai kesuburan perairan berdasarkan konsentrasi klorofil-a dapat dibagi atas 3 kategori yaitu kesuburan rendah < 0,3 mg.l-1, kesuburan sedang 0,31-1 mg.l-1 dan kesuburan tinggi > 1 mg.l-1. Berdasarkan standar tersebut maka konsentrasi klorofil-a di selatan Jawa Timur masuk kategori sedang. Hasil ini berbeda dengan kebanyakan wilayah lepas pantai di samudera lain yang umumnya memiliki konsentrasi klorofil-a rendah.

Gambar 30 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi ekologi. Atribut sensitif pada dimensi ekologi yaitu Rentang Migrasi. Rentang migrasi cakalang yang melewati jurusdiksi perairan internasional menyebabkan pengelolaannya sangat kompleks karena melibatkan kepentingan stakeholder dari berbagai negara. Cakalang merupakan ikan perenang cepat dengan rentang migrasi yang besar. Hasil penelitian Acharige dan Sudath (2007) mengenai

6,55 4,89 5,75 14,08 4,42 4,71 3,11 0 5 10 15 Klorofil-a Status Eksploitasi Jumlah Species Tangkapan Rentang Migrasi Perubahan Tingkat Trofik Tingkatan Kolaps Ukuran Ikan Tangkapan

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

At

struktur genetika cakalang dari Samudera Hindia di perairan Srilanka menemukan bukti adanya dua kelompok gen berbeda yang bukan merupakan hasil inbreeding di perairan Srilanka tetapi diperkirakan berasal dari wilayah perairan yang sangat jauh. Adam dan Sibert (2002) mengungkapkan bahwa tingkat produksi total cakalang dari Asia dan Afrika di Samudera Hindia mempengaruhi kondisi populasi cakalang di Maladewa.

Selanjutnya Sibert dan Hampton (2003) mengungkapkan bahwa setelah 30 hari dilepaskan 95% dari cakalang yang di tagging di perairan Pasifik tertangkap kembali sejauh 1.350 mil dari posisi awalnya. Hasil tagging di Samudera Hindia menyimpulkan bahwa cakalang memiliki mobilitas yang sangat tinggi pada rentang jarak yang jauh dengan rataan 640 mil (IOTC 2008a). Hasil tersebut menunjukkan bahwa migrasi cakalang melintasi jurisdiksi perairan internasional.

Nilai RMS rentang migrasi yang mencapai 14,08% dipengaruhi oleh rendahnya skor atribut ini dibandingkan atribut lainnya yang maksimum. Selanjutnya, skor atribut lain yang tinggi merupakan indikasi bahwa kondisi biologi stok cakalang dan faktor lingkungan perairan mendukung keberlanjutan ekologi perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur. Nilai status keberlanjutan ekologi yang sebesar 77,68 atau kategori berkelanjutan menjelaskan bahwa dimensi ini perlu dipertahankan kondisinya, serta tidak menjadi prioritas bagi peningkatan status keberlanjutannya, khususnya terhadap atribut rentang migrasi yang merupakan kecenderungan alamiah cakalang sehingga tidak memungkinkan adanya interfensi kebijakan.

4.5 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

Dokumen terkait