• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.8 Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

4.8.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Kelembagaan

Penilaian status keberlanjutan dimensi kelembagaan dilakukan dengan menggunakan 8 (delapan) atribut. Kisaran hasil pembobotan berdasarkan hasil penilaian kondisi eksisting setiap atribut adalah 0 – 2.

Ketersediaan struktur hukum atau aturan berupa konvensi dan kesepakatan internasional, perundang-undangan di tingkat nasional serta aturan pelaksanaan pada level di bawahnya pada dasarnya telah memadai. Demikian pula dengan mandat hukum yang mengatur secara jelas pembagian kewenangan, tugas, dan fungsi dari berbagai instansi terkait penegakan hukum dalam pengelolaan perikanan tangkap telah ada di semua tingkatan. Namun demikian kinerja dari berbagai lembaga pelaksana selaku pemegang mandat dalam penegakan hukum, masih dipengaruhi oleh berbagai hal terutama faktor kemampuan sumberdaya manusia dan alokasi anggaran yang tidak mencukupi. Menurut Charles et al. (2002) terdapat dua kunci bagi keberlanjutan kelembagaan yaitu adanya aturan yang rasional untuk ditegakkan dan keseimbangan antara tingkat pengaturan sumberdaya yang dibutuhkan oleh nelayan dengan tingkat kinerja yang diperlukan untuk menjalankan aturan secara efektif.

Dalam pengelolaan perikanan di Indonesia, keberadaan pelabuhan perikanan akan menentukan keberhasilan kegiatan, karena kapasitas nelayan yang rendah memerlukan pelabuhan perikanan sebagai penunjang utama dalam penyediaan teknologi penangkapan, penanganan hasil tangkapan, pengolahan, pemasaran dan keselamatan. Tingkatan fasilitas teknologi yang dapat disediakan oleh sebuah pelabuhan perikanan akan tergantung dari kelas pelayanannya sebagaimana diatur pada Permen Kelautan dan Perikanan nomor PER.16/MEN/2006. Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap adalah pelabuhan yang melayani aktifitas bongkar muat kapal penangkap ikan dari selatan Jawa Timur dengan volume yang cukup bagi sekitar 20-50 kapal sekoci setiap hari. Namun demikian diperlukan peningkatan kualitas pelayanan dan pembenahan infrastruktur yang belum berfungsi baik. Pelabuhan ini sudah dilengkapi dengan fasilitas SPDN, namun tidak memiliki fasilitas mini cold storage atau pabrik es. Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa sektor perikanan tangkap memerlukan

fasilitas pendaratan ikan atau pelabuhan khusus untuk melayani aktifitas sistem transfer ikan dari laut ke darat untuk kemudian dipasarkan kepada konsumen. Tabel 28 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi kelembagaan

No Jenis Atribut Penilaian Skor

1 Ketersediaan aturan Konvensi internasional; UU, PP, Kepmen; Perda Provinsi Jatim, Rencana Tata Ruang Kabupaten

2

2 Lembaga pelaksana FKPPS, Dinas Peternakan dan Perikanan

Kab.Malang, BP-PPP 3

3 Penegakan aturan Tidak ada personil pengawas dan sarana

prasarana pengawasan 0

4 Pelabuhan perikanan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) 1

5 Pelibatan nelayan 1,6% 0

6 KUD dan Lembaga Keuangan Mikro

KUD Mina Jaya, LEPPM3, pelelangan ikan, penyedia perbekalan melaut, dan pengelola SPDN

1

7 Kelompok Nelayan Kelompok Nelayan Rukun Jaya dengan anggota 303 sekoci berfungsi membantu dalam perbekalan dan pelelangan

1 8 IUU fishing Frekuensi kejadian hampir setiap bulan. 0 Atribut illegal, unregulated and unreported fishing merupakan permasalahan umum yang memerlukan respon cepat dari pihak pemerintah daerah dan nasional. Sanksi hukum yang lemah, serta adanya kesan pembiaran terhadap pelaku kegiatan IUU fishing menjadikan intensitasnya semakin tinggi. Kegiatan pengawasan yang dilakukan melalui kelompok pengawasan masyarakat belum terlihat di PPP Pondokdadap. Kelompok nelayan yang ada masih terfokus mengurusi permasalahan operasional anggotanya.

Kehadiran nelayan Indonesia yang menggunakan kapal sekoci sedikit banyak telah membatasi maraknya praktek IUU fishing di ZEEI selatan Jawa Timur. Sehubungan dengan itu, atribut pelibatan nelayan dalam pengawasan memiliki nilai yang strategis sebagaimana dijelaskan oleh Makinen et al. (2008) bahwa dalam rangka menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya masyarakat harus memiliki akses dan kontrol yang lebih besar terhadap segala kebijakan dan pengawasan yang berkaitan dengan sumberdaya yang mereka kelola bekerjasama dengan pemerintah dan pelaku ekonomi.

Atribut sensitif pada dimensi kelembagaan adalah (1) Penegakan aturan; (2) KUD dan lembaga keuangan mikro; dan (3) Kelompok nelayan. Hasil analisis status keberlanjutan pada dimensi kelembagaan perikanan cakalang nelayan sekoci nilainya masih rendah yaitu 34,84 yang termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan.

Gambar 43 Hasil analisis sensitivitas atribut pada dimensi kelembagaan.

Efektifitas lembaga untuk menjalankan fungsinya tergantung pada kapasitas sumberdaya manusia, sarana dan pra sarana yang dimiliki institusi dan sejauhmana penerimaan lembaga tersebut oleh stakeholder terkait (Charles et al. 2002). Efektifitas lembaga terkait dengan penegakan hukum dalam pengelolaan perikanan cakalang perairan ZEEI selatan Jawa Timur. Lemahnya kapasitas institusi dalam hal sumberdaya manusia, fasilitas monitoring dan pengawasan, serta sumberdaya keuangan menyebabkan struktur hukum yang cukup memadai dan mandat hukum yang jelas tidak dapat ditegakkan sebagaimana mestinya.

0,19 3,51 1,87 6,03 5,74 6,06 4,05 1,54 0 2 4 6 8 Lembaga Pelaksana IUU Fishing Kelas Pelabuhan KUD dan Lembaga Keuangan Mikro Kelompok Nelayan Penegakan Aturan Pelibatan Nelayan Aturan Formal dan Non Formal

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability Scale 0 to 100)

A

tr

Lemahnya penegakan hukum menyebabkan atribut ini dianggap sebagai faktor paling sensitif terhadap keberlanjutan pada dimensi kelembagaan. Lemahnya penegakan hukum diperparah oleh tingkat pelibatan nelayan sekoci yang rendah dalam proses penyusunan dan pengambilan kebijakan, sehingga kepentingan dan permasalahan nelayan sekoci terkait kegiatan penangkapan cakalang di WPP-RI 573 tidak terartikulasi baik dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat.

Berkes (2003) menyatakan bahwa formulasi kebijakan dan tujuan pengelolaan sumberdaya yang melibatkan isu terkait kondisi faktual nelayan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan partisipatif merupakan strategi adaptif yang akan melibatkan pengetahuan, kapasitas, dan kemandirian dari pengguna sumberdaya, sehingga meningkatkan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dalam masyarakat.

Kelompok nelayan sebagai lembaga non formal di PPP Pondokdadap hanya berperan sebatas pengaturan hak dan kewajiban setiap pihak terkait kesepakatan antara nelayan andon, nelayan lokal, pengamba; dan pemerintah desa. Kelompok nelayan belum mampu berperan lebih jauh dalam mengatur pengelolaan kegiatan perikanan tangkap dalam konteks yang lebih luas bagi kepentingan anggotanya, terutama dalam hal penanganan dan pengolahan hasil tangkapan.

Kehadiran Koperasi Unit Desa Mina Jaya dan lembaga keuangan mikro LEPM3 yang diharapkan bertindak sebagai lembaga pendukung permodalan bagi nelayan sekoci tidak berfungsi sesuai yang diharapkan. Hal tersebut menyuburkan praktek tengkulak melalui pengamba’ sebagai satu-satunya solusi bagi penyiapan modal operasional dan pengelolaan hasil tangkapan nelayan. Pengamba’ mendapatkan bagian keuntungan 5% bruto dari total penjualan cakalang hasil tangkapan ditambah dengan margin keuntungan yang didapatkan dari kegiatan pengadaan es dan sembako.

Peran pengamba’ dalam kegiatan perikanan cakalang saat ini sangat signifikan, namun demikian peran tersebut perlu ditata melalui integrasi peran pengamba dalam kelembagaan formal seperti koperasi nelayan atau perusahaan bersama agar pengelolaan dapat dilakukan secara lebih baik dan menguntungkan

semua pihak terkait, sebagaimanan hasil analisis mengenai status keberlanjutan perikanan di Iran yang menyimpulkan bahwa kegiatan perikanan yang dilakukan dalam bentuk koperasi selalu memiliki indeks keberlanjutan dan kondisi yang lebih optimal dibandingkan dengan tanpa koperasi. Namun hal tersebut akan sangat tergantung kepada seberapa jauh koperasi mampu berperan untuk membantu kebutuhan dan permasalahan anggotanya (Allahyari 2010).

Dokumen terkait