• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Kriteria Kelayakan Finansial

Dalam dokumen VI ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL (Halaman 27-35)

6.2. Analisis Kelayakan Finansial

6.2.3. Penilaian Kriteria Kelayakan Finansial

Berdasarkan nilai arus penerimaan dan arus pengeluaran maka dilakukan analisis finansial untuk mendapatkan nilai Net Present Value (NPV), Interest Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost-Ratio (Net B/C), dan Payback Period (PP). Pada Skenario I suku bunga yang digunakan sebagai parameter analisis untuk menghitung NPV, IRR, Net B/C, dan PP adalah suku bunga deposito rata-rata Bank Indonesia (BI) sebesar tujuh persen per tahun. Hal ini disebabkan semua responden menggunakan modal sendiri dalam mendirikan usahanya, sehingga opportunity cost dari usaha adalah bunga deposito tersebut. Pada Skenario II suku

bunga yang digunakan sebagai parameter analisis untuk menghitung NPV, IRR, Net B/C, dan PP adalah suku bunga pinjaman kredit investasi Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar 14 persen per tahun. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan finansial peternak apabila modal yang digunakan berasal dari pinjaman.

Tingkat suku bunga yang digunakan pada Skenario I menggunakan tingkat suku bunga deposito rata-rata Bank Indonesia (BI) pada bulan Juni tahun 2009, yaitu sebesar tujuh persen. Pemilihan ini berdasarkan bahwa di Lembang terdapat berbagai macam bank swasta serta modal usaha pemilik seluruhnya berasal dari modal pribadi bukan berasal dari pinjaman. Pada Skenario II menggunakan tingkat suku bunga pinjaman kredit investasi Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada bulan Juni tahun 2009, yaitu sebesar 14 persen. Pemilihan ini dikarenakan BRI adalah bank yang paling banyak memberikan pendanaan untuk sektor agribisnis. Besarnya tingkat suku bunga pada kedua skenario tersebut diasumsikan tetap selama umur proyek.

Pinjaman diasumsikan sebesar pengeluaran (outflow) pada tahun ke-1. Pinjaman dilakukan pada tahun ke-1 dan pembayaran cicilan mulai dilakukan pada akhir tahun pertama. Waktu pengembalian selama lima tahun pada tingkat suku bunga 14 persen. Jumlah yang harus dibayar setiap tahun diperoleh dengan menggunakan rumus capital recovery factor atau faktor pengembalian modal yaitu P(i(1+i)t : (1+i)t-1). Rumus tersebut untuk mengetahui berapa besarnya jumlah tetap yang harus dibayar pada akhir setiap tahun untuk mengembalikan suatu pinjaman termasuk nilai pokok dan bunganya yang selalu dikenakan terhadap nilai pinjaman yang masih berlaku (belum dikembalikan) selama tahun tersebut (sebelum angsuran akhir tahun).

Pada analisis finansial ini tidak memasukkan pajak penghasilan dari usahaternak sapi perah. Hal ini dikarenakan para responden tidak pernah menyetorkan pajak penghasilan dari usaha mereka. Analisis kelayakan finansial secara rinci ditunjukkan oleh Lampiran 9 sampai Lampiran 21, yang diwakili oleh Kelompok I, Kelompok II, dan Kelompok III.

1. Skenario I

Hasil perhitungan NPV, IRR, Net B/C, dan PP pada tingkat suku bunga tujuh persen pada masing-masing kelompok seperti pada Tabel 22 dan untuk masing-masing responden dapat dilihat pada Lampiran 22.

Tabel 22. Analisis Kelayakan Finansial Masing-Masing Kelompok pada

Skenario I

Analisis yang dilakukan pada Kelompok I, memiliki NPV sebesar Rp 86.660.748,50 dan merupakan pendapatan bersih yang diterima peternak selama 10 tahun atau selama umur proyek. Nilai IRR sebesar 23% artinya investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi perah Kelompok I layak dan menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku. Nilai Net B/C yang dihasilkan sebesar 2,91 yang artinya penerimaan peternak lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk memperolehnya, yaitu peternak akan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 2,91 dari setiap pengeluaran Rp 1,00. Berdasarkan perhitungan PP, jangka waktu pengembalian investasi pada usahaternak Kelompok I yaitu selama 8 tahun 4 bulan 20 hari. Berdasarkan nilai-nilai pada kriteria investasi tersebut, secara finansial usahaternak sapi perah pada Kelompok I rata-rata layak untuk dijalankan. Dari 11 responden pada Kelompok I sebesar 72,73 persen layak untuk diusahakan dan sebesar 27,27 persen tidak layak untuk diusahakan.

Analisis yang dilakukan pada Kelompok II, memiliki NPV sebesar (-) Rp 1.147.473,61 dan merupakan pendapatan bersih yang diterima peternak selama 10 tahun atau selama umur proyek. Nilai IRR sebesar 7% artinya investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi perah Kelompok II tidak layak dan tidak menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Nilai Net B/C yang dihasilkan sebesar 0,99 yang artinya penerimaan peternak lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan untuk

Responden Skenario I (DF 7%)

NPV IRR (%) Net B/C PP

Kelompok I 86.660.748,50 23 2,91 8 Tahun 4 Bulan 20 Hari

Kelompok II -1.147.473,61 7 0,99 -

memperolehnya, yaitu peternak tidak mendapatkan tambahan penerimaan karena dari setiap pengeluaran Rp 1,00 peternak hanya menerima sebesar Rp 0,99 atau dengan kata lain peternak merugi. Berdasarkan perhitungan PP, jangka waktu pengembalian investasi pada usahaternak Kelompok II tidak berada dalam jangka waktu 10 tahun. Berdasarkan nilai-nilai pada kriteria investasi tersebut, secara finansial usahaternak sapi perah pada Kelompok II rata-rata tidak layak untuk dijalankan. Dari sembilan responden pada Kelompok II sebesar 55,56 persen layak untuk diusahakan dan sebesar 44,44 persen tidak layak untuk diusahakan.

Analisis yang dilakukan pada Kelompok III, memiliki NPV sebesar Rp 42.820.108,96 dan merupakan pendapatan bersih yang diterima peternak selama 10 tahun atau selama umur proyek. Nilai IRR sebesar 13% artinya investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi perah Kelompok III layak dan menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku. Nilai Net B/C yang dihasilkan sebesar 1,30 yang artinya penerimaan peternak lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk memperolehnya, yaitu peternak akan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 1,30 dari setiap pengeluaran Rp 1,00. Berdasarkan perhitungan PP, jangka waktu pengembalian investasi pada usahaternak Kelompok III yaitu selama 9 tahun 4 bulan 3 hari. Berdasarkan nilai-nilai pada kriteria investasi tersebut, secara finansial usahaternak sapi perah pada Kelompok III rata-rata layak untuk dijalankan. Dari 10 responden pada Kelompok III sebesar 80 persen layak untuk diusahakan dan sebesar 20 persen tidak layak untuk diusahakan.

2. Skenario II

Hasil perhitungan NPV, IRR, Net B/C, dan PP pada tingkat suku bunga 14 persen pada masing kelompok seperti pada Tabel 23 dan untuk masing-masing responden dapat dilihat pada Lampiran 22.

Tabel 23. Analisis Kelayakan Finansial Masing-Masing Kelompok pada Skenario II

Analisis yang dilakukan pada Kelompok I, memiliki NPV sebesar Rp 25.199.188,80 dan merupakan pendapatan bersih yang diterima peternak selama 10 tahun atau selama umur proyek. Nilai IRR sebesar 23% artinya investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi perah Kelompok I layak dan menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku. Nilai Net B/C yang dihasilkan sebesar 1,29 yang artinya penerimaan peternak lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk memperolehnya, yaitu peternak akan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 1,29 dari setiap pengeluaran Rp 1,00. Berdasarkan perhitungan PP, jangka waktu pengembalian investasi pada usahaternak Kelompok I yaitu selama 9 tahun 3 bulan 26 hari. Berdasarkan nilai-nilai pada kriteria investasi tersebut, secara finansial usahaternak sapi perah pada Kelompok I rata-rata layak untuk dijalankan. Dari 11 responden pada Kelompok I sebesar 72,73 persen layak untuk diusahakan dan sebesar 27,27 persen tidak layak untuk diusahakan.

Analisis yang dilakukan pada Kelompok II, memiliki NPV sebesar (-) Rp -50.105.396,59 dan merupakan pendapatan bersih yang diterima peternak selama 10 tahun atau selama umur proyek. Nilai IRR sebesar 1% artinya investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi perah Kelompok II tidak layak dan tidak menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku. Nilai Net B/C yang dihasilkan sebesar 0,72 yang artinya yaitu peternak tidak mendapatkan tambahan penerimaan karena dari setiap pengeluaran Rp 1,00 peternak hanya menerima sebesar Rp 0,72 atau dengan kata lain peternak merugi. Berdasarkan perhitungan PP, jangka waktu pengembalian investasi pada usahaternak Kelompok II tidak berada dalam jangka waktu 10 tahun. Berdasarkan nilai-nilai pada kriteria investasi tersebut, secara finansial

Responden

Skenario I (DF 7%)

NPV IRR (%) Net B/C PP

Kelompok I 25.199.188,80 23 1,29 9 Tahun 3 Bulan 26 Hari

Kelompok II -50,105,396.59 1 0,72 -

usahaternak sapi perah pada Kelompok II rata-rata tidak layak untuk dijalankan. Dari sembilan responden pada Kelompok II sebesar 44,44 persen layak untuk diusahakan dan sebesar 55,56 persen tidak layak untuk diusahakan.

Analisis yang dilakukan pada Kelompok III, memiliki NPV sebesar (-) Rp 29.972.013,59 dan merupakan pendapatan bersih yang diterima peternak selama 10 tahun atau selama umur proyek. Nilai IRR sebesar 3% artinya investasi yang ditanamkan pada usahaternak sapi perah Kelompok III tidak layak dan tidak menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku. Nilai Net B/C yang dihasilkan sebesar 0,87 yaitu peternak tidak mendapatkan tambahan penerimaan karena dari setiap pengeluaran Rp 1,00 peternak hanya menerima sebesar Rp 0,87 atau dengan kata lain peternak merugi. Berdasarkan perhitungan PP, jangka waktu pengembalian investasi pada usahaternak Kelompok III tidak berada dalam jangka waktu 10 tahun. Berdasarkan nilai-nilai pada kriteria investasi tersebut, secara finansial usahaternak sapi perah pada Kelompok III rata-rata tidak layak untuk dijalankan. Dari 10 responden pada Kelompok III sebesar 70 persen layak untuk diusahakan dan sebesar 30 persen tidak layak untuk diusahakan.

Berdasarkan analisis kelayakan finansial terlihat bahwa persentase responden yang layak pada Kelompok III paling besar dibandingkan dengan kelompok lain pada Skenario I. Pada Skenario II, persentase responden yang layak pada Kelompok I paling besar dibandingkan dengan kelompok lain dan Kelompok II paling rendah dibandingkan dengan kelompok lain, baik pada Skenario I maupun Skenario II. Pada Skenario I, persentase responden yang layak untuk Kelompok I sebesar 72,73 persen, Kelompok II sebesar 55,56 persen, dan Kelompok III sebesar 80 persen. Pada Skenario II, persentase responden yang layak untuk Kelompok I sebesar 72,73 persen, Kelompok II sebesar 44,44 persen, dan Kelompok III sebesar 70 persen.

Pada Skenario I usahaternak yang paling baik adalah yang dilakukan oleh Responden 9. Berdasarkan empat kriteria kelayakan (NPV, IRR, Net B/C dan PP) Responden 9 berada pada posisi pertama untuk dua kriteria yaitu berdasarkan PP dan IRR. Berdasarkan kriteria kelayakan NPV yang berada pada posisi pertama

adalah responden 30, sedangkan berdasarkan kriteria Net B/C yang menempati posisi pertama adalah Responden 15.

Pada Skenario II usahaternak yang paling baik adalah yang dilakukan oleh Responden 9 karena berdasarkan empat kriteria kelayakan responden ini berada pada posisi pertama untuk tiga kriteria yaitu berdasarkan IRR ,Net B/C dan PP. Berdasarkan kriteria kelayakan NPV yang berada pada posisi pertama adalah Responden 15.

Jadi berdasarkan Skenario I dan II, usahaternak yang paling baik adalah yang dilakukan oleh Responden 9. Untuk kategori kelompok semua kriteria terbaik ada pada Kelompok I, diikuti oleh Kelompok III lalu Kelompok II. Kelompok II menggambarkan sebagian besar responden pada Kelompok II tidak layak. Hal ini tercermin dari hasil penilaian kriteria kelayakan Kelompok II yang tidak layak baik pada Skenario I dan II. Responden 19, Responden 28, dan Kelompok III pada Skenario I layak untuk diusahakan, namun pada Skenario II dinyatakan tidak layak diusahakan. Untuk Skenario I dan II, berdasarkan kriteria kelayakan yang paling tidak layak adalah Responden 26.

Berdasarkan Tabel 9, terdapat beberapa respoden yang dalam menjalankan usahaternak sapi perah hanya menjadikan usaha tersebut sebagai usaha sampingan atau dengan kata lain bukan sebagai mata pencaharian utama. Pada Kelompok III sebanyak 100 persen responden menjadikan usahaternak sapi perah sebagai mata pencaharian utama, namun berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial pada Lampiran 9 diketahui bahwa Kelompok I lebih layak dibandingkan dengan Kelompok III. Hal tersebut dikarenakan sebanyak 50 persen responden dari kelompok III juga memiliki usaha sampingan, sedangkan pada Kelompok I hanya sebesar 10 persen. Meskipun usaha sampingan yang dijalankan dapat memberikan tambahan pendapatan dalam keluarga, namun dapat berdampak kurang baik yaitu peternak menjadi kurang fokus terhadap usahaternak yang dijalankan. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis pada Kelompok II, dimana sebanyak 55,56 persen responden menjadikan usahaternak sapi perah sebagai mata pencaharian utama namun sebanyak 40 persen dari responden tersebut juga memiliki usaha sampingan. Hasil analisis kelayakan untuk rata-rata responden pada Kelompok II adalah tidak layak.

Kepemilikan sapi perah berpengaruh pada besarnya biaya yang dikeluarkan untuk usaha. Seperti pada hasil analisis untuk Kelompok I, Kelompok II dan Kelompok III (Lampiran 4), semakin besar kepemilikan sapi perah maka pengeluaran juga akan semakin besar. Namun berdasarkan hasil analisis untuk masing-masing responden, semakin besar kepemilikan sapi perah belum tentu pengeluaran juga akan semakin besar. Meskipun kepemilikan ternak pada Responden 27 lebih besar dibandingkan Responden 26, dengan jumlah sapi laktasi yang berbeda, pengeluaran pada Responden 26 lebih besar. Satu contoh lagi yaitu pada Responden 22 dengan kepemilikan ternak lebih besar dibandingkan Responden 21, dengan jumlah sapi laktasi yang sama, pengeluaran pada Responden 21 lebih besar. Semakin besar kepemilikan sapi perah tidak menjamin pula semakin layak usahaternak. Seperti pada Responden 25 dengan kepemilikan ternak lebih besar dibandingkan Responden 24 ternyata usahaternak pada Responden 24 layak untuk diusahakan sedangkan pada Responden 25 tidak layak.

Pakan merupakan penyumbang terbesar dalam pengeluaran peternak. Semakin besar pakan yang diberikan maka pengeluaran akan semakin besar. Seperti pada Lampiran 7, untuk kepemilikan ternak yang sama Responden 10 memberikan pakan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan Responden 9. Hal tersebut akan berpengaruh pada besarnya biaya variabel, yaitu biaya variabel pada Responden 10 lebih besar dibandingkan dengan biaya variabel pada Responden 9 (Lampiran 4).

Responden 14 memberikan pakan hijauan dalam jumlah yang paling besar dibandingkan dengan responden yang lain. Responden 21 memberikan pakan konsentrat dalam jumlah yang paling besar dibandingkan dengan responden yang lain. Responden 2 memberikan pakan tambahan berupa dedak dalam jumlah yang paling besar dibandingkan dengan responden yang lain. Responden 15 memberikan pakan tambahan berupa ampas singkong dalam jumlah yang paling besar dibandingkan dengan responden yang lain. Namun secara keseluruhan, Responden 14 adalah responden yang memberikan pakan dalam porsi paling besar dibandingkan dengan responden yang lain.

Banyaknya susu yang diproduksi oleh setiap sapi laktasi dan harga susu per liter juga berpengaruh pada kelayakan usaha. Karena kedua hal tersebut akan menentukan besarnya penerimaan dari usaha yang dijalankan. Semakin banyak susu yang diproduksi diiringi dengan semakin tinggi harga yang diterima maka penerimaan akan semakin besar. Untuk menghasilkan produksi susu dan harga susu yang memuaskan terkait dengan bagaimana perilaku peternak dalam hal teknis produksi sehingga memiliki ternak yang baik dan dapat menghasilkan susu yang berkualitas.

Jadi berdasarkan komposisi pemberian pakan, Responden 14, Responden 26, dan Responden 25 adalah yang paling banyak dalam pemberian pakan pada ternak yang dimiliki. Berdasarkan Lampiran 9, terbukti bahwa usahaternak yang diusahakan oleh responden-responden tersebut tidak layak diusahakan. Hal ini dikarenakan, biaya yang dikeluarkan untuk pakan adalah biaya yang paling besar dalam usahaternak sapi perah.

Secara keseluruhan usahaternak sapi perah di TPK Cibedug layak untuk diusahakan, karena sebesar 70 persen responden pada Skenario I dan 63,33 persen responden pada skenario II secara analisis finansial layak untuk diusahakan. Kelayakan usahaternak di TPK Cibedug dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terkait dengan perilaku peternak dalam menjalankan usaha, terutama mengenai pemberian pakan.

Dalam dokumen VI ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL (Halaman 27-35)

Dokumen terkait