• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian terhadap Proses Pengadilan

a. Tinjauan Mekanisme dan Proses Peradilan

Kotak 5: Gugatan Perdata untuk Kasus 1965

B. Penilaian terhadap Proses Pengadilan

Pandangan sepintas dapat memberikan gambaran bahwa ada kemajuan dalam proses pengadilan untuk kejahatan HAM. Ada retorika positif oleh pejabat tinggi sipil dan militer, perubahan mendasar dalam konstitusi dan undang-undang, pembentukan pengadilan khusus HAM, juga pengesahan undang-undang yang berfungsi mengalihkan pelaku militer ke pengadilan sipil. Namun, analisa yang lebih mendalam menampakkan kenyataan yang berbeda. Pengadilan HAM dan keputusan banding membebaskan semua orang yang dituduh melakukan kejahatan masif, upaya untuk mengadili pelaku militer di pengadilan sipil selalu ditolak, sehingga perwira tinggi militer terus bebas dari segala tuduhan, dan hukuman ringan hanya diberikan pada prajurit berpangkat rendah yang sebetulnya hanya menjadi kambing hitam dari komandan mereka, dan banyak kasus pelanggaran HAM berat yang terus berada dalam situasi ketidakpastian hukum. 1. Tidak adanya Komitmen dari Kejaksaan agung

Hubungan sejarah antara para jaksa dan penyidik di Kantor Kejaksaan Agung dan aparat keamanan nampaknya menghasilkan keengganan untuk mengadili aparat militer. Kejaksaan Agung gagal mendorong proses pengadilan, menyusun surat dakwaan yang lemah, dan menjalankan proses penuntutan di pengadilan yang tidak efektif. Komnas HAM telah berulang kali melakukan penyelidikan yang kredibel tentang kasus-kasus masa lalu, dan merujuknya ke Kejaksaan Agung. Namun tidak satu pun kasus tersebut ditindaklanjuti, dengan alasan ada kendala hukum. Dalam kasus-kasus dimana anggota militer, polisi dan pejabat sipil dibawa ke pengadilan HAM seperti kasus Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura, para jaksa tidak menghadirkan bukti-bukit yang terkuat. 2. Pengadilan sandiwara untuk Melindungi Mereka yang Paling Bertanggung Jawab Strategi utama untuk melindungi mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan sistematis adalah dengan menggunakan pengadilan militer. Jaksa dan hakim militer telah menunjukkan ketidakmauan untuk secara serius menyelidiki perwira senior. Sebaliknya, mereka memperlambat proses investigasi sampai perhatian berpindah ke isu lain, mendakwa sejumlah kecil prajurit tingkat rendah yang kemudian mendapatkan vonis ringan. Seringkali hukuman ini tidak dijalankan, dan pelaku hanya dipindahkan.

3. Tidak adanya dukungan Politik untuk Pertanggungjawaban

Banyak contoh yang menunjukkan tak adanya kemauan para pemimpin politik untuk mendorong pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM terhadap orang yang berpengaruh. 138 ICTJ, Impunity in Timor-Leste: can the Serious Crimes Investigation Team Make a Difference (Impunitas di Timor-Leste:

Seringkali ini terjadi dengan tidak diambilnya tindakan yang seharusnya dilakukan. Perubahan hukum yang dibutuhkan agar dapat menerapkan keputusan untuk mengadili pelaku militer di pengadilan sipil ternyata tidak dijalankan selama lebih dari enam tahun. Tidak ada penyelidikan ataupun pemeriksaan yang dilakukan untuk mempertanyakan mengapa tidak ada satupun tuntutan yang berhasil dalam pengadilan HAM. Presiden tidak menerbitkan keputusan pembentukan pengadilan ad hoc untuk kasus penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi tahun 1997-1998 sebagaimana direkomendasikan oleh DPR. Tidak ada tindakan yang diambil untuk menyelesaikan perbedaan interpretasi hukum antara Komnas HAM dan Kejagung terkait soal tindak lanjut Kejagung atas temuan Komnas HAM dalam penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum disahkannya UU No 26/2000.

4. Pengadilan yang Lemah dan Korup

Warisan dari rejim diktaktor yang berkuasa selama 30 tahun, dimana pengadilan digunakan untuk melindungi kepentingan elit yang berkuasa dan bukannya menjadi alat untuk menegakkan keadilan, telah menghasilkan sistem yang rusak. Sesudah kunjungan untuk meninjau sistem pengadilan di Indonesia, Pelapor Khusus PBB untuk Pengadilan Independen menyatakan bahwa sistem peradilan di Indonesia adalah salah satu sistem yang paling parah yang pernah dilihatnya.139 Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menyebutkan bahwa pengadilan ikut bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di masa lalu: “Pengadilan kita berkontribusi menjustifikasi penahanan pada waktu itu…Pengadilan juga melakukan kekerasan yudisial, dimana orang tidak bersalah dinyatakan bersalah, dan menjadi lembaga yang sangat korup. Kalau sekarang kita tidak membuka ini, akan sulit untuk mereformasi lembaga-lembaga ini.” 140

Korupsi yang merebak di setiap tingkat proses peradilan, dengan jurang perbedaan kekuasaan dan kekayaan antara pelaku dan korban pelanggaran HAM dapat menjelaskan kenapa tidak ada penyelidikan, tidak ada dakwaan terhadap pejabat tinggi, sedikitnya putusan bersalah dan ringannya hukuman yang dijatuhkan untuk pelanggaran HAM berat. Walaupun sulit untuk mendapatkan bukti langsung tentang korupsi, indikasi bahwa korupsi ini terjadi dalam berbagai proses persidangan HAM sulit untuk diabaikan.141

Secara khusus, konsistensi Mahkamah Agung yang membatalkan putusan bersalah bagi para pejabat militer dan sipil atas pelanggaran HAM membutuhkan penyelidikan intensif.

Kurangnya pemahaman tentang kejahatan yang kompleks seperti kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida juga berkontribusi pada situasi ini. Namun, masalah yang paling esensial

139 Berni K. Moestafa, “RI judiciary worse than first thought: UN rapporteur (Peradilan Indonesia Lebih Buruk dari Bayangan Pertama: Pelapor PBB,” Jakarta Post, 22 Juli 2002, dapat dilihat di: http://www.rghr.net/mainfile/ php/0429/323/; Laporan dari Pelapor Khusus tentang Hakim dan Pengacara Independen, diserahkan untuk UN Commission on Human Rights Resolution 2002/43, Report on Mission to Indonesia 15-24 Juli 2002 (Laporan tentang Misi Ke Indonesia), UN Doc. E/CN.4/2003/65/Add.2, (13 Januari 2003).

140 Wawancara ICTJ dengan Ifdhal Kasim, lihat catatan kaki 8

nampaknya adalah kurangnya kemauan politik, yang tidak dapat diatasi sampai mekansime pertanggungjawaban dalam pengadilan itu sendiri diperkuat. Ini membutuhkan transparansi yang lebih besar dalam putusan, dan supervisi yang lebih besar terhadap hakim dan pejabat terkait.142

5. intimidasi dan Perlindungan saksi yang Rapuh

Para saksi dalam kasus-kasus HAM selalu melaporkan adanya intimidasi langsung ataupun tidak langsung yang dialami mereka, melalui ancaman pembunuhan lewat telepon atau pesan pendek. Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hanya memberikan harapan sesaat, karena mandat yang tidak jelas dan tidak efektif serta sumber daya yang terbatas. Sekali lagi, sebuah ilusi pengambilan tindakan menyembunyikan realitas sebenarnya yaitu tidak adanya dukungan institusional.

Tuntutan pencemaran nama baik juga digunakan untuk melakukan intimidasi. Sesudah vonis bebas terhadap Muchdi Purwopranjono untuk pembunuhan aktivis HAM Munir, Usman Hamid yang saat itu merupakan koordinator KontraS dituntut melakukan tindakan pidana pencemaran nama baik dikarenakan pernyataan yang dibuatnya di luar ruang sidang yang mengaitkan Muchdi dengan pembunuhan ini. Penggunaan pasal pencemaran nama baik sebagai kejahatan pidana terus menjadi alat penindasan di Indonesia, menebarkan ketakutan kepada masyarakat agar diam dengan ancaman hukuman bila mereka berbicara kebenaran.143 Saran untuk memasukkan pencemaran nama baik sebagai persoalan perdata hampir tidak mendapat dukungan.

6. Kurangnya Transparansi

Walaupun pada umumnya proses sidang terbuka untuk umum, tidak ada putusan tertulis yang dapat diakses oleh publik. Sehingga, satu-satunya cara memantau tindakan hakim dan pengacara adalah dengan menghadiri seluruh sidang. Juga, hakim tidak diharuskan memberi ulasan hukum yang mendukung putusan mereka. Karena itu ulasan hukum (atau ketidakadaannya) tidak dapat diakses oleh publik. Ini menutup kemungkinan pengkajian ulang keputusan dalam proses banding untuk memastikan apakah keputusan hakim telah sesuai hukum.

Pengadilan militer lebih tidak transparan lagi. Sidangnya tidak selalu terbuka untuk publik, dan putusan-putusan mereka tidak dapat dikaji kembali oleh pengadilan sipil.

Kurangnya transparansi dalam peradilan telah menjadi perisai kekebalan bagi mereka yang bekerja di sektor hukum. Perisai ini menghalangi upaya memantau tindakan dan putusan mereka, 142 Mekanisme pertanggungjawaban yang lebih efektif seperti Komisi Yudisial dan KPK dapat membantu memastikan

bahwa proses hukum transparan dan penegak hukum bertindak dengan semestinya

143 Walaupun beberapa negara memiliki hukum pidana untuk pencemaran nama baik, namun hukuman pidana atas pencemaran nama baik tersebut tidak layak. Hal ini terutama terjadi di Indonesia dimana kebenaran tidak menjadi jaminan jika seorang aparat merasa pernyataan seseorang telah menghina dirinya. Lihat Human Rights Watch, Turning Critics into Criminals: The Human Rights Consequences of Criminal Defamation in Indonesia (Membalikkan Kritik Menjadi Kriminal: Konsekuensi HAM tentang Pidana Pencemaran Nama Baik di Indonesia), (Mei 2010).

memfasilitasi sebuah budaya korupsi dan intimidasi oleh mereka yang mempunyai cukup uang dan pengaruh untuk “membeli” keadilan, dan mengelak dari pertanggungjawaban.

7. Menolak Memberi Reparasi kepada Korban

Sebuah indikator lain bahwa pengadilan HAM dimaksudkan hanya untuk memberi ilusi keadilan, tanpa pertanggungjawaban para pelaku, adalah tiadanya putusan yang memberi reparasi pada korban, meskipun dimungkinkan.144 Dalam pengadilan HAM, korban berhak mendapatkan reparasi berdasarkan undang-undang.145 Namun, persoalan reparasi bahkan hampir sama sekali tidak menjadi bagian dari persidangan.

8. Tidak adanya Kasus Kejahatan seksual yang disidangkan

Walaupun kekerasan seksual terjadi secara masif pada rejim Orde Baru dan sesudahnya, tidak ada satupun dakwaan untuk kasus kejahatan seksual. Ini dikarenakan pengadilan HAM masih menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mensyaratkan dua orang saksi untuk verifikasi, dan harus adanya visum berdasarkan perintah polisi dalam waktu 24 jam sesudah kejahatan terjadi, sebagai bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mendapatkan putusan bersalah.146 Sampai sekarang, tidak ada satupun kasus perkosaan yang terjadi pada tahun 1965, di Timor Timur atau di wilayah konflik lainnya yang pernah diadili di Pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26/2000.147

144 Lihat Bagian IV. A.1.b.ii tentang pengadilan HAM Tanjung Priok dimana reparasi diharuskan, lalu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung

145 Lihat Bagian V. A. 1 tentang mekanisme legislasi yang mendukung reparasi di Indonesia

146 Presentasi Asni Damanik, pengacara senior di LBH APIK, lembaga bantuan hukum untuk perempuan, dalam Wokrshop Komnas Perempuan dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender, Jakarta, 22 August 2005.

147 Jaksa kasus Timor Timur tidak memasukkan bukti kejahatan seksual kepada pengadilan ad hoc, walaupun Komnas HAM mendokumentasikan sejumlah kasus pemerkosaan yang kemudian dirujukkan kepada jaksa sebagaimana aturan dalam UU No. 26/2000.

V. Reparasi