• Tidak ada hasil yang ditemukan

8 III METODOLOGI PENELITIAN

3.2.5.4 Penilaian Sensor

Terakhir, beberapa sampel keju yang dihasilkan juga dinilai sensorinya untuk mengetahui rasa, tekstur dan aroma keju secara deskriptif. Penilaian ini masih bersifat sederhana sebab produksi keju yang dilakukan masih berskala laboratorium.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

SELEKSI ISOLAT BERPOTENSI TINGGI

Isolat berpotensi tinggi didapat dari beberapa tahap skrining, yaitu skriningpotensi asam, skrining potensi protease, dan skrining potensi koagulasi.

4.1.1

Skrining Potensi Asam

Hasil yang didapat dari penelitian tahap pertama adalah isolat yang digunakan, diisolasi dari produk lokal turunan susu seperti dadih Pulau Sumatera dan donkey Pulau Sulawesi (lihat Tabel 3).Tujuan penggunaan isolat tersebut untukpemanfaatan BALIndonesia yanglayak dikonsumsi secara etika sebagai starter keju karena sumber BAL yang digunakanberasal dari sesama produk pangan. Flores (2008) menyatakan bahwa dalam yoghurt dan dadih terdapat bakteri hidup yang dapat digunakan sebagai kultur keju. Selain itu, didapat juga data keberadaan zona bening asam serta indeks asam dari ke-39 isolat. Tabel 3menunjukkan bahwa semua isolat positif menghasilkan zona bening asam pada medium MRSA+CaCO3 0.5% (Gambar 9) dengan waktu dan indeks yang

tidak sama. Terbentuknya zona bening tersebut terjadi karena penurunan suasana asam dari CaCO3

terhadap asam yang dihasilkan oleh BAL.

Perbedaan waktu dan jumlah produksi asam yang dihasilkan oleh tiap isolatdisebabkan olehadanya perbedaan sifat dan karakter pada setiapBAL.Rose (1983) menyatakan bahwa jenis fermentasi spesies BAL berbeda-beda sehingga produk akhir yang dihasilkannya juga berbeda. Tujuan dari penghitungan indeks adalah untuk mendapatkan nilai rasio antara diameter zona bening dan koloni. Semakin besar diameter zona bening asam, semakin besar pula kemampuan isolat dalam memproduksi asam.

Semakin besar diameter koloni, semakin cepat koloni tersebut tumbuh, namun belum tentu produksi asam juga besar (diameter zona bening asam besar). Oleh karena itu, penilaian kualitatif isolat yang berpotensi dalam pembentukan asam dilihat dari indeks asam laktatnya. Semakin besar indeks asam, semakin besar juga potensi isolat untuk menghasilkan asam sebagai penurun pH susu menuju pH isoelektrik protein sehingga dapat digunakan dalam proses koagulasi protein. Hal ini terjadi sebab pada titik isoelektrik protein mempunyai muatan positif dan negatif yang sama

16

Tabel 3. Hasil pengamatan kualitatif dan kuantitatif potensi asam No Kode Sumber Zona bening

asam H-3

Diameter zona bening asam H-3 (cm) Diameter koloni H-3 (cm) Indeks asam H-3 1 DP 1-1-1 Dadih Palembang + 1.10 0.50 2.20 2 DP 1-1-2 Dadih Palembang + 1.00 0.50 2.00 3 DP 1-2 Dadih Palembang + 1.10 0.50 2.20 4 DP 1-3-1 Dadih Palembang +* - 0.60 - 5 DP 1-3-2 Dadih Palembang +* - 0.80 - 6 DP 1-4-1 Dadih Palembang + 0.90 0.50 1.80 7 DP 2-1-2 Dadih Palembang + 1.00 0.50 2.00 8 DR 1-1-1 Dadih Riau + 0.70 0.40 1.75 9 DR 1-1-2 Dadih Riau + 0.70 0.30 2.33 10 DR 1-2-1 Dadih Riau + 1.20 0.80 1.50 11 DR 1-2-2 Dadih Riau + 0.90 0.40 2.25 12 DR 1-3-1 Dadih Riau + 1.30 0.80 1.63 13 DR 1-3-2 Dadih Riau + 1.20 0.60 2.00 14 DR 1-6 Dadih Riau + 0.50 0.30 1.67 15 DR 1-7-1 Dadih Riau + 1.30 0.40 3.25# 16 DR 1-7-2 Dadih Riau + 1.30 0.50 2.60 17 DR 1-7-3 Dadih Riau + 0.90 0.40 2.25 18 DR 1-7-4 Dadih Riau + 0.90 0.40 2.25 19 DR 1-8-3 Dadih Riau + 1.10 0.60 1.83 20 DR 2-1-2 Dadih Riau + 1.20 0.70 1.71 21 DR 2-2-3 Dadih Riau + 0.90 0.30 3.00 22 DR 2-3-1 Dadih Riau + 0.70 0.30 2.33 23 DR 2-3-2 Dadih Riau + 0.70 0.40 1.75 24 DR 2-4-1 Dadih Riau + 0.70 0.40 1.75 25 DR 2-4-2 Dadih Riau + 0.50 0.30 1.67 26 DR 3-1-2 Dadih Riau + 0.60 0.40 1.50 27 DR 3-1-3 Dadih Riau + 1.00 0.40 2.50 28 DR 3-2-1 Dadih Riau + 0.60 0.30 2.00 29 DR 3-3-2 Dadih Riau + 1.00 0.40 2.50 30 DR 4-1 Dadih Riau + 0.50 0.30 1.67 31 DR 4-2 Dadih Riau + 0.50 0.50 1.00

32 DSB 1-1 Dadih Sumatera Barat + 0.40 0.30 1.33

33 DSB 4-2 Dadih Sumatera Barat + 0.70 0.40 1.75

34 DSB 6-3 Dadih Sumatera Barat + 0.90 0.40 2.25

35 DSB 6-5 Dadih Sumatera Barat + 1.10 0.40 2.75

36 DSB-1 Dadih Sumatera Barat + 1.20 0.70 1.71

37 DSK-1 +* - 0.30 -

38 DSS 2-2 Donkey Sulawesi Selatan + 1.00 0.40 2.50 39 DSS 2.1 Donkey Sulawesi Selatan + 1.00 0.40 2.50 Ket : *) = zona bening asam muncul setelah lebih dari 3 hari +) = ada zona bening

17

sehingga tidak bergerak ke arah elektroda positif maupun negatif apabila ditempatkan di antara kedua elektroda tersebut (Poedjiadi dan Supriyanti 2007).

Nilai indeks asam berturut-turut dari yang berpotensi tinggi hingga rendah adalah indeks di atas 3, indeks 2-3 dan indeks dibawah 2 (Said dan Ningrum 2009). Pada skrining potensi asam ini, isolat yang dipilih adalah isolat yang memiliki indeks di atas 3, yaitu isolat DR 1-7-1 dengan indeks asam sebesar 3.25.

4.1.2

Skrining Potensi Protease

Hasil yang didapat dari penelitian tahap kedua adalah data keberadaan zona bening protease serta indeks protease dari ke-39 isolat. Tabel 4menunjukkan bahwa ada 18 isolat positif menghasilkan zona bening protease pada medium Skim Milk Agar (Gambar 10) dengan waktu dan indeks yang tidak sama. Terbentuknya zona bening tersebut terjadi karena adanya enzim protease yang dihasilkan oleh BAL dan bereaksi memecah substrat kasein yang terkandung dalam medium.

Seperti pada skrining potensi asam, ]perbedaan waktu dan jumlah produksi protease yang dihasilkan oleh tiap isolat disebabkan oleh adanya perbedaan sifat dan karakter pada setiap BAL. Rose (1983) menyatakan bahwa jenis fermentasi spesies BAL berbeda-beda sehingga produk akhir yang dihasilkannya juga berbeda. Skrining potensi protease ini juga memilih isolat yang memiliki nilai indeks di atas 3, yaitu isolat DSB 4-2 dengan indeks protease sebesar 3.82.

Tujuan penghitungan indeks protease hampir sama dengan tujuan penghitungan indeks asam, yaitu untuk mendapatkan nilai rasio antara diameter zona bening dan koloni. Semakin besar diameter zona bening protease, semakin besar pula kemampuan isolat dalam memproduksi protease. Semakin besar diameter koloni, semakin cepat koloni tersebut tumbuh, namun belum tentu produksi protease juga besar (diameter zona bening protease besar). Oleh karena itu, penilaian kualitatif isolat yang berpotensi dalam pembentukan protease dilihat dari indeks proteasenya. Semakin besar indeks protease, semakin besar juga potensi isolat untuk menghasilkan protease sebagai pemecah protein susu. Jika protein susu telah terpotong-potong, dibantu juga oleh ion Ca dalam susu, potongan-potongan protein susu tersebut akan mengendap membentuk curd.

Winarno(2010) menyatakan bahwa koagulasi terjadi karena terbentuknya endapan kalsium kaseinat, yaitu dengan cara renin mempengaruhi konfigurasi dari calcium insentive ĸ -casein menjadi lebih sensitif terhadap ion-ion kalsium. Dengan demikian, para-kasein bereaksi dengan

18

Tabel 4. Hasil pengamatan kualitatif dan kuantitatif potensi protease sertakualitatif koagulasi No Kode Sumber Diameter zona bening

protease H5 (cm) Diameter koloni H5 (cm) Indeks protease H5 Koagulum H1/H2 1 DP 1-1-1 Dadih Palembang 0.3 0.2 1.50 -/+ 2 DP 1-1-2 Dadih Palembang 0.8 0.4 2.00 -/+ 3 DP 1-2 Dadih Palembang - - - -/+ 4 DP 1-3-1 Dadih Palembang 1.3 0.7 1.86 -/+ 5 DP 1-3-2 Dadih Palembang 1.4 0.9 1.56 -/+ 6 DP 1-4-1 Dadih Palembang 0.5 0.2 2.50 -/+ 7 DP 2-1-2 Dadih Palembang - - - -/+ 8 DR 1-1-1 Dadih Riau - - - -/+ 9 DR 1-1-2 Dadih Riau - - - -/+ 10 DR 1-2-1 Dadih Riau 0.4 0.3 1.33 -/+ 11 DR 1-2-2 Dadih Riau 1.2 0.8 1.50 -/+ 12 DR 1-3-1 Dadih Riau - - - -/+ 13 DR 1-3-2 Dadih Riau 0.9 0.3 3.00 -/+ 14 DR 1-6 Dadih Riau - - - -/+ 15 DR 1-7-1 Dadih Riau 0.5 0.3 1.67 -/+ 16 DR 1-7-2 Dadih Riau 1.3 1.0 1.30 -/+ 17 DR 1-7-3 Dadih Riau 0.8 0.3 2.67 -/+ 18 DR 1-7-4 Dadih Riau - - - -/+ 19 DR 1-8-3 Dadih Riau - - - -/+ 20 DR 2-1-2 Dadih Riau - - - -/+ 21 DR 2-2-3 Dadih Riau - - - (+/+) 22 DR 2-3-1 Dadih Riau - - - -/+ 23 DR 2-3-2 Dadih Riau - - - -/+ 24 DR 2-4-1 Dadih Riau - - - -/+ 25 DR 2-4-2 Dadih Riau - - - -/+ 26 DR 3-1-2 Dadih Riau 1.7 1.5 1.13 -/+ 27 DR 3-1-3 Dadih Riau 1.7 1.5 1.13 -/+ 28 DR 3-2-1 Dadih Riau 0.5 0.3 1.67 -/+ 29 DR 3-3-2 Dadih Riau - - - -/+ 30 DR 4-1 Dadih Riau 0.4 0.3 1.33 -/+ 31 DR 4-2 Dadih Riau - - - -/+

32 DSB 1-1 Dadih Sumatera Barat 0.4 0.3 1.33 -/+

33 DSB 4-2 Dadih Sumatera Barat 6.5 1.7 3.82# (+/+)

34 DSB 6-3 Dadih Sumatera Barat - - - -/+

35 DSB 6-5 Dadih Sumatera Barat - - - -/+

36 DSB-1 Dadih Sumatera Barat 1.4 0.9 1.56 -/+

37 DSK-1 - - - -/+

38 DSS 2-2 Donkey Sulawesi Selatan - - - -/+

39 DSS 2.1 Donkey Sulawesi Selatan - - - -/+

Ket : - = tidak ada zona bening/data/koagulum # = indeks protease di atas 3 + = ada zona bening/koagulum ( ) = memiliki potensi tinggi

19

ion kalsium membentuk formasi tiga dimensi yang mengikat lemak dan air menjadi multi komponen gel (curd).

4.1.3

Skrining Potensi Koagulasi

Hasil yang didapat dari penelitian tahap ketiga adalah data keberadaan koagulum dari ke-39 isolat. Tabel 3 menunjukkan bahwa ada 2 isolat (DSB 4-2 dan DR 2-2-3) positif dapat membentuk koagulum pada hari pertama setelah inokulasi pada medium susu pasteurisasi (Gambar 11). Pada hari kedua inkubasi semua susu telah membentuk koagulum. Terbentuknya koagulum (curd) tersebut bisa disebabkan oleh asam laktat dan aktivitas enzim protease yang dihasilkan dari BAL tersebut, sebagaimana telah dijelaskan pada tahap skriningpotensi asam dan protease.

Tujuan dari skriningkoagulasi adalah mendapatkan isolat-isolat terpilih yang diujikan dalam pembuatan keju.Hal ini dikarenakan isolat terpilih benar-benar berada dalam medium yang nantinya akan digunakan dalam pembuatan keju, yaitu susu pasteurisasi. Dari dua tahap skrining sebelumnya, isolat terpilih yang diujikan dalam proses pembuatan keju adalah DR 2-2-3 dan DSB 4-2. Alasan dari pemilihan kedua isolat tersebut yaituDSB 4-2 dapat membentuk koagulum karena potensi proteasenya yang tinggi dan DR 2-2-3memilikikemampuan sedang dalam menghasilkan asam dengan indeks asam 3.

Meskipun DR 1-7-1 memiliki potensi asam tinggi, namun tidak terpilih dalam skriningkoagulasi karena saat di medium susu, DR 1-7-1 dapat membentuk koagulum pada hari kedua. Alasan koagulum baru terbentuk pada hari kedua dimungkinkan karena pada medium susu, komponen penyusunnya lebih besar dibandingkan dengan medium MRS yang telah terstandarisasi untuk penggunaan medium di laboratorium. Oleh karena itu, glukosa dapat lebih mudah tercerna oleh bakteri dibandingkan dengan produk pangan aslinya (susu). Kedua isolat terpilih dapat membentuk koagulum pada hari pertama, karena besarnya kemampuan adaptasi dengan medium baru sehingga dapatlebih cepat melakukan proses metabolisme.

20

4.2

PENENTUAN STARTER KEJU TERPILIH

Setelah mendapatkan dua isolat berpotensi tinggi, selanjutnya dipilih isolat mana yang akan digunakan sebagai starter keju. Pemilihan isolat dilakukan melalui dua tahap yaitu pembuatan kurva pertumbuhan dan pengujian dalam pembuatan keju.

4.2.1

Pembuatan Kurva Pertumbuhan

Hasil yang diperoleh dari penelitian tahap empat ini adalah diketahuinya waktu optimum pertumbuhan dari kedua isolat berpotensi tinggi (lihatGambar 12 dan Lampiran 4). Waktu optimum pertumbuhan menunjukkan waktu optimum produksi metabolit primer dari tiap isolat. Pada waktu optimum isolat akan ditambahkan ke dalam susu untuk pembuatan keju, sehingga proses pembuatan keju menjadi lebih cepat.Gambar 12 menunjukkan bahwa DR 2-2-3 dan DSB 4- 2 memiliki waktu optimum yang sama, yaitu jam ke-24. Oleh karena pada jam ke-24 produksi asam dan enzimnya juga tinggi, maka pada saat itu akan dilakukan pengujian sebagai starter dalam pembuatan keju.

Gambar 12. Kurva pertumbuhan isolat terpilih

Tujuan penggunaan medium MRS pada pembuatan kurva pertumbuhan untuk mempermudah pengukuran OD sel, karena medium awal MRS memiliki penampakan jernih sedangkan medium susu berpenampakan keruh. Yuwono(2008) menyatakan jumlah mikroba dapat dihitung secara langsung dengan metode turbidimetri (kekeruhan) menggunakan spektrofotometer. Namun kelemahan metode ini sukar diterapkan pada bahan pangan karena membutuhkan larutan medium yang bening. Kekeruhan larutan tidak sebanding dengan jumlah mikroba yang terdapat di dalamnya.

Hasil yang didapat diasumsikan sama atau tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan menggunakan medium susu. Jika dilihat dari hasil skriningkoagulasi, kedua isolat dapat membentuk koagulum setelah inkubasi 24 jam pada suhu ruang 26 °C dengan medium susu. Begitu juga dalam pembuatan kurva pertumbuhan, waktu optimum didapat pada saat jam ke-24.

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2 0 10 20 30 40 a bso r ba nsi waktu isolat DR 2-2-3 isolat DSB 4-2

21

Oleh karena itu,kemungkinan medium yang berbeda tidak memberi perbedaan yang jauh untuk hasil yang diharapkan dengan kemampuan mudahnya kedua isolat terpilih dalam beradaptasi.Kesamaan waktu optimum ini juga dapat mempermudah variasi perlakuan sebagai starter campuran karena keduanya dapat dipanen atau dicampur pada jam yang sama.

4.2.2

Pengujian dalam Pembuatan Keju

Hasil yang diperoleh dari penelitian akhir ini adalah diketahuinya starter terpilih yang akan digunakan sebagai starter keju (lihat Tabel 5). Starter yang digunakan pada pengujian pembuatan keju adalah DR 2-2-3, DSB 4-2, serta campuran DR 2-2-3 dan DSB 4-2 dengan variasi konsentrasi 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10%. Parameter yang diujikan untuk menentukan starter terpilih adalah pH campuran starter dan susu, aktivitas rennet, rendemen yang dihasilkan dan penilaian sensori.

Berdasarkanpengukuran parameter pH, diperoleh bahwasemakin besar konsentrasi starter yang diberikan, nilai pH campuran starter dan susu cenderung semakin turun hingga batas tertentu. Pengukuran pH dijadikan parameter utama dalam penentuan starter terpilih untuk pembuatan keju skala laboratorium dengan menggunakan rennetkomersial sebagai koagulan, sebab fungsi utama starter terhadap rennet adalah sebagai penurun pH susu mencapai pH optimum rennet (sekitar pH (5-6))sehingga rennet dapat mengoagulasi susu lebih cepat.

Murti dan Ciptadi (1988) menyatakan bahwa pengendapan kasein terjadi karena penurunan pH susu oleh pengaruh laktosa yang berubah menjadi asam laktat. Selain itu, pengendapan kasein juga disebabkan oleh adanya enzim protease yang bekerja memecah susu pada pH 5.5. Preetha dan Boopathy (1997) juga menyatakan bahwa enzim protease milk clotting Rhizomucor miehie (komposisi rennet komersial yang digunakan dalam penelitian ini; lihat Lampiran 5) yang telah dipurifikasi memiliki aktivitas optimum pada pH 5.6. Jadi, semakin mendekati pH optimum rennet, semakin cepat koagulum (lihat Gambar 13) terbentuk.

Gambar 13. Terbentuk koagulum Gambar 14. Keju segar

Tujuan perlakuan konsentrasi rennetpada pengukuran parameter aktivitas rennet adalah untuk mengetahui pengaruh kecepatan terbentuknya koagulum terhadap konsentrasi yang diberikan. Variasi konsentrasi rennet yang digunakan adalah 0.005% dan 0.01% (lihat Lampiran 3). Pada penelitian ini diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi rennet, semakin cepat waktu terbentuknya koagulum dalam kondisi kasein berlebih. Poedjiadi dan Supriyanti (2007) menyatakan bahwa seperti pada katalis lain, kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim bergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat berlebih, kecepatan

22

reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Hasil yang diharapkan adalah cepatnya waktu terbentuknya koagulum, sehingga produksi keju segarmenjadi lebih cepat. Namun parameter ini tidak dapat dijadikan parameter utama dalam penentuan starter terpilih untuk pembuatan keju skala laboratorium dengan rennet komersial sebagai koagulan sebab cepat lambatnya aktivitas rennet lebih dipengaruhi oleh pH susu yang ada.

Setelah terbentuk keju segar, selanjutnya dilakukan proses penimbangan. Sebelumnya, berat bahan baku 100 mL susu ditimbang, yaitu seberat 99 gram dan pH nya adalah pH 7. Pada penelitian ini diketahuitidak ada pengaruh antara perlakuan peningkatan variasi konsentrasi starter dan rennet terhadap rendemen koagulum yang dihasilkan sebab berat akhir keju yang ada, memiliki rendemen ±10%. Ditjen PPHP Deptan (2012) juga menyatakan bahwa hasil perubahan susu menjadi keju sangat tergantung pada jumlah kasein, lemak dan air pada susu, umumnya maksimum dari 10 kg susu kualitas baik dapat diperoleh sekitar 1 kg keju. Dengan demikian, parameter ini juga tidak dapat dijadikan parameter utama dalam penentuan starter terpilih untuk pembuatan keju skala laboratorium dengan rennet komersial sebagai koagulan.

Penilaian sensori setiap individu tidak sama, khususnya terhadap keju. Setiap golongan memiliki selera yang berbeda pada jenis keju tertentu. Hasil yang didapat dari penilaian sensori keju skala laboratorium dengan starter dan rennet komersial sebagai koagulan, adalah semua keju segar yang dihasilkan tergolong memiliki sensori yang masih bisa diterima oleh etika orang Indonesia, meskipun penerimaan kadar setiap individu pasti berbeda. Oleh karena itu, parameter ini tidak bisa dijadikan parameter utama untuk penetapan starter terpilih.

Berdasarkan semua hasil pengujian yang dilakukan, starter yang terpilih adalah DR 2-2-3 dengan konsentrasi starter 6% dan konsentrasi rennet 0.01%. Pemilihan starter tersebut dikarenakan konsentrasi starter DR 2-2-3 6% dapat membantu rennet mencapai pH optimumnya, yaitu sekitar pH (5-6) dan konsentrasi rennet 0.01% dapat membentuk koagulum lebih cepat dibandingkan rennet 0.005%. Jadi, kedua kombinasi tersebut dapat membentuk koagulum menjadi lebih cepat dibandingkan kontrol, yaitu dari 6 menit (kontrol) menjadi 3 menit (starter DR 2-2-3 6% dan rennet 0.01%). Hasil penelitian Choliq (2008) juga menunjukkan bahwa perubahan pH akan memengaruhi waktu koagulasi ekstrak rennet Mucor pusillus. Semakin tinggi pH susu, waktu koagulasi susu semakin lama. Ekstrak rennet Mucor pusillus bekerja baik membentuk koagulum pada pH 5.5.

23

Rasa hambar, tekstur kokoh, dan beraroma susu

Tabel 5. Data pengujian dalam pembuatan keju Sampel starter Konsentrasi

starter (%) Konsentrasi rennet (%) Waktu koagulum (menit) Berat keju (gram) Rendemen (%) pH susu + starter Penilaian sensori 2 0.005 38 9.29 9.38 6-7 0.01 8 9,81 9.91 4 0.005 6 10.44 10.54 6-7 0.01 31 9.48 9.57 DR 2-2-3 (pH starter = 4-5) 6 0.005 8 10.81 10.92 5-6 0.01 3 10.59 10.70 8 0.005 8 10.33 10.43 5-6 0.01 3 10.37 10.47 10 0.005 8 9.99 10.09 5-6 0.01 3 11.24 11.35 2 0.005 10 11.16 11.27 6-7 0.01 6 10.78 10.89 4 0.005 14 10.30 10.40 6-7 0.01 6 9.97 10.07 DSB 4-2 (pH starter = 5-6) 6 0.005 27 10.42 10.52 6 0.01 8 11.01 11.12 8 0.005 28 9.98 10.08 6 0.01 9 9.81 9.91 10 0.005 16 10.59 10.70 6 0.01 7 10.13 10.23 2 0.005 8 10.54 10.65 6 0.01 6 11.52 11.64 4 0.005 8 10.80 10.91 6 0.01 6 11.09 11.20 Isolat campuran DR 2-2-3 dan 6 0.005 36 10.34 10.44 6 0.01 15 10.87 10.98 DSB 4-2 (pH starter 4-5) 8 0.005 24 9.95 10.05 6 0.01 8 10.31 10.41 10 0.005 24 10.24 10.34 6 0.01 8 10.66 10.77 Kontrol 0 0.005 8 11.07 11.18 7 0.01 6 11.36 11.47 7 Rasa hambar, tekstur kokoh, dan aroma asam cukup kuat Rasa hambar, tekstur kokoh, aroma asam kurang kuat dan sedikit beraroma santan Rasa hambar, tekstur kokoh, dan beraroma santan asam

V.

SIMPULAN DAN SARAN

5.1

SIMPULAN

Isolat BAL LIPI yang berpotensi tinggi dalam pembentukan koagulum adalah isolat DR 2- 2-3 dalam produksi asam dengan indeks asam sebesar 3, dan isolat DSB 4-2 dalam produksi protease dengan indeks protease sebesar 3.82. Semakin tinggi nilai indeks, maka semakin tinggi juga produksi asam atau protease yang dihasilkan dari bakteri tersebut.

Starter terpilih untuk pembuatan keju adalah starter DR 2-2-3 6% dengan konsentrasi rennet 0.01%. Kedua kombinasiperlakuan tersebut dapat membantu rennet mencapai pH optimum rennet(pH 5-6) sertadapat membentuk koagulum lebih cepat dibanding kontrol yaitu dari 6 menit (kontrol) menjadi 3 menit (starter DR 2-2-3 6% dan rennet 0.01%).

5.2

SARAN

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan identifikasi isolat terpilih yang berpotensi tinggi dalam pembentukan koagulum.

25

DAFTAR PUSTAKA

Agricultural Marketing Service. 1995. How to buy cheese. Home and Garden Bulletin (193), United States Department of Agriculture.

Akhdia A. 2003. Isolasi bakteri penghasil enzim protease alkalin termostabil. Buletin Plasma Nutfah Vol. 9 No. 2.

Choliq A. 2008. Produksi rennet Mucor pusillus yang ditumbuhkan pada limbah padat tapioca (onggok). Biota Vol. 13 (3): 191-197.

Daulay D. 1991. Fermentasi Keju. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. [Ditjen PPHP Deptan] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2012. Teknologi Pengolahan Keju. Arsip Pengolahan Peternakan September 2012.

Fardiaz S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Mikrobiologi Pangan.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Flores NC. 2008. Making homemade cheese. Cooperative Extension Service, College of Agriculture and Home Economics, NM State University.

Fratiwi, Yulneriwarni, Noverita. 2008. Fermentasi kefir dari susu kacang-kacangan. Vis vitalis Vol. 1 (2).

Hidayat N, Padaga MC, Suhartini S. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: ANDI.

Khunajakr N, Wongwicharn A dan Moonmangmee D. 2008. Screening and identification of lactic acid bacteria producing antimikrobial compounds from pig gastrointestinal tracts. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 8 (1).

Kivanc M, M Yilmaz dan E Cakir. 2011. Isolation and Identification of Lactic acid Bacteria from Boza, and Their Microbial Activity Against Several Reporter Strains. Turk J Biol 35: 313-324.

Kusuma SAF. 2009. Bakteri asam laktat [Karya Ilmiah]. Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran.

Machmud M. 2001. Teknik penyimpanan dan pemeliharaan mikroba. Buletin AgroBio 4 (1): 24- 32.

Murti TW dan Ciptadi G. 1988. Kerbau Perah dan Kerbau Kerja, Tatalaksana dan Pengetahuan Dasar Pasca Panen. Jakarta: PT Mediyatama Sarana Perkasa.

Nofiani R. 2008. Urgensi dan mekanisme biosintesis metabolit sekunder mikroba laut. Jurnal Natur Indonesia 10 (2): 120-125.

Nurcahyo H. 2011. Diktat Bioteknologi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.

Poedjiadi A dan Supriyanti FMT. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.

Preetha S dan Boopathy R. 1997. Purification and characterization of a milk clotting protease from Rhizomucor miehie. World Journal of Microb and Biotech Vol. 13 (5): 573-578.

26

Rose AH. 1983. Food Microbiology-Economic Microbiology Vol. 8. London : Academic Press Inc.

Said IM dan Ningrum EM. 2009. Karakterisasi dan purifikasi protease bakteri Bacillus sp. dan jamur Aspergillus sp. serta aplikasinya sebagai soaking agent pada proses penyamakan kulit kambing [Abstrak]. In: Irfan (ed). Hibah Penelitian Kerjasama (Hibah Pekerti). Makassar: LP2M UNHAS.

Scott R. 1981. Cheese Making Practice. London: Applied Science Publisher Ltd.

Taheri HR, Moravej H, Tabandeh F, Zaghari M dan Shivazad M. 2009. Screening of lactic acid bacteria toward their selection as a source of chicken probiotic. Poultry Science 88: 1586- 1593.

Widyastuti, Ratnakomala YS, Sofarianawati E, Yusnira, Sari NYA, Rachmat J, Kurniawan, Kamaruddin, Atu M, Yahya M, Suparman, Udin, dan Diman. 1997. Penelitian Sumberdaya Pertanian dan Pangan. Pengembangan Teknologi Produksi Probiotik. Laporan Proyek Penelitian Bioteknologi. Puslitbang Bioteknologi LIPI Bogor.

Winarno FG. 2010. Enzim Pangan. Bogor: M-Brio press. Yuwono T. 2008. Biologi Molekular. Jakarta: Erlangga.

28

Dokumen terkait