• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdapat tiga kali penimbangan bobot domba, yaitu penimbangan bobot saat awal pengambilan bibit, penimbangan bobot setiap bulannya selama periode penggemukan, dan penimbangan bobot saat panen/penjualan. Seluruh domba peternak mitra ditimbang saat awal pengambilan bibit dan saat penjualan. Namun untuk penimbangan bobot setiap bulan tidak dirasakan oleh semua peternak. Sebanyak 21 peternak yang mendapatkan penimbangan bobot domba setiap bulannya, sedangkan selebihnya tidak mendapatkan. Penimbangan bobot domba setiap bulan ini dilakukan oleh PJ peternak mita dengan menggunakan timbangan digital khusus untuk domba. Meskipun masa panen atau satu periode penjualan dilakukan antara dua hingga tiga bulan, tetapi untuk penimbangan bobot domba dilakukan setiap bulan. Hal ini bertujuan agar peternak mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dari setiap domba yang digemukkan. Selain itu juga sebagai data untuk kedua belah pihak. Dengan demikian, secara keseluruhan persentasepenimbangan bobot ini sebesar 89.25 persen.

Berdasarkan analisis pengukuran derajat kemitraan dari sepuluh kriteria diatas, maka secara keseluruhanrata-rata skor derajat kemitraan sebesar 68.04 persen. Skor tersebut mengindikasikan bahwa pelaksanaan kemitraan yang dijalankan oleh MT. Farm dengan peternak mitra belum maksimal dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Karena itu, perlu adanya perbaikan- perbaikan pelaksanaan kemitraan, khususnya pada kriteria-kriteria yang memiliki skor rendah, seperti obat-obatan, vitamin, pembinaan atau penyuluhan, dan pendampingan oleh penanggung jawab (PJ) peternak mitra. Secara lebih lengkap, besarnya rata-rata persentasemasing-masing kriteria dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17Pengukuran derajat kemitraan antara CV. MT Farm dengan peternak mitra di Desa Bojong Jengkol Tahun 2014

No Kriteria dan skor maksimal Persentase

(%)

1 Permodalan untuk pembuatan kandang(skor 3) 90.32

2 Frekuensi pemberian obat-obatan untukdomba (skor 3) 41.09 3 Frekuensi pemberian vitamin untuk domba(skor 3) 41.94

4 Pemilihan domba bibit(skor 1) 100.00

5 Pembinaan atau penyuluhan(skor 3) 41.94

6 Pendampingan oleh penanggung jawab (PJ) peternak mitra(skor 3) 58.06

7 Keterjaminan pasar(skor 1) 100.00

8 Proporsi bagi hasil untuk peternak mitra(skor 1) 100.00 9 Proporsi biaya angkut/transportasi(skor 1) 100.00

10 Penimbangan bobot domba(skor 3) 89.25

Rata-rata 68.04

Jika masing-masing peternak mitramemperoleh kesepuluh kriteria tersebut dengan skor sempurna, maka total bobot atau total skor yang akan didapatkan yaitu 22 (100.00 persen). Namun berdasakan hasil analisis pengukuran derajat kemitraan, rata-rata skor yang diperleh peternak mitra yaitu 15 (68.04%), dimana skor tertinggi yaitu 19, sedangkanskor terendah yaitu 11. Selanjutnya untuk melihat sebaran derajat kemitraan dari 31 peternak mitra, maka hasil pengukuran

68

derajat kemitraan ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu tinggi(skor 16-22), sedang (skor 8-15), dan rendah (skor 0-7) yang dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran rata-rata skor derajat kemitraan antara CV. MT Farm dengan peternak mitra di Desa Bojong Jengkol Tahun 2014

Kategori Sebaran skor Jumlah peternak

(orang) Persentase (%) Rendah 0-7 0 0.00 Sedang 8-15 17 54.84 Tinggi 16-22 14 45.16 Total 31 100.00

Berdasarkan informasi pada Tabel 18, sebagian besar derajat kemitraan termasuk kedalam kategori sedang, yaitu sebanyak 17 peternak atau 54.84 persen. Selebihnya masuk kedalam kategori tinggi. Hal ini perlu diperhatikan bahwasannya pelaksanaan kemitraan perlu diperbaiki dengan mengacu sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Tujuannya yaitu untuk membantu peternak mitra dalam menjalankan usaha penggemukan ternak domba serta diharapkan peternak mitra mampu meningkatkan produksi pertambahan bobot badan domba. Hasil analisis ini juga dapat menunjukkan skor derajat kemitraan masing-masing peternak. Untuk lebih jelasnya mengenai skor derajat kemitraan masing-masing peternak mitra dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Skor derajat kemitraan masing-masing peternak mitra di Desa Bojong Jengkol Tahun 2014

Kemitraan ini juga terdapat kesepakatan lainnya selain sepuluh kesepakatan yang telahdijelaskan sebelumnya. Kesepakatan-kesepakatan tersebut diantaranya yaitu adanya pembagian risiko jika terdapat domba yang mati atau hilang. Apabila terjadi kematian pada ternak domba karena penyakit, maka peternak mitra menanggung kerugian sebesar 25 persen dari harga beli domba bibit. Namun, jika kematian ternak domba yang disebabkan oleh kelalaian

0 5 10 15 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122232425262728293031 S k o r D K Peternak mitra

peternak, maka peternak menanggung besarnya kerugian lebih dari 25 persen sesuai dengan kondisi. Jika terjadi kematian pada domba, maka peternak mitra harus memberikan bukti berupa foto kepada pihak MT Farm. Lain halnya jika terdapat domba yang hilang, risiko yang akan ditanggung oleh peternak lebih dari 25 persen. Peterenak mitra harus dapat menjelaskan alasan hilangnya domba tersebut. Adanya pembagian risiko tersebut dimaksudkan agar peternak mitra sungguh-sungguh dalam menjalankan usahanya.

Selain itu juga terdapat bonus dan asuransi domba untuk peternak mitra. Pihak MT Farm memberikan bonus berupa satu ekor betina bibit sebagai bentuk motivasi bagi para peternak mitra untuk lebih giat dalam usahanya. Pemberian bonus tersebut diberikan jika rata-rata kenaikan bobot dari ternak domba yang digemukkan mencapai 2.25 kilogram per bulan untuk setiap domba. Selain mendapatkan bonus, peternak mitra juga mendapatkan asuransi domba bibit yang diambil oleh peternak dari kandang induk selama satu hari. Jika dalam satu hari setelah pengambilan domba bibit terdapat domba yang mati atau sakit maka akan menjadi tanggung jawab MT Farm. Namun jika lebih satu hari domba sakit, maka akan ditimbang terlebih dahulu bobotnya. Jika bobotnya lebih rendah dari bobot semula ketika domba bibit diambil, maka peternak mitra hanya menanggung kerugian dari besarnya penyusutan bobot domba tersebut.

Peternak mitra pada lokasi penelitian tergolong dalam keadaan ekonomi rendah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka mengandalkan hasil panen domba hasil penggemukan. Meskipun ada pekerjaan lainnya diluar usaha ternak domba, namun terkadang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga para peternak merasa kesulitan. Salah satu upaya untuk membantu para peternak mitra, maka pihak MT Farm memberikan kebijakan untuk memperbolehkan peternak mitra meminjam uang terlebih dahulu sebelum mereka panen. Untuk pembayarannya dilakukan saat peternak mitra menjual hasil domba penggemukannya dengan cara dicicil, sehingga membantu meringankan beban peternak.

Analisis Fungsi Produksi

Produksi usaha penggemukan ternak domba di Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ditentukan oleh beberapa input produksi. Komponen input-input tersebut diantaranya yaitu bobot awal domba bibit, pakan hijauan, luas kandang, dan tenaga kerja. Kombinasi dari input-input tersebut akan menghasilkan produksi atau output berupa pertambahan bobot badan domba. Tahap awal yang dilakukan untuk menganalisis fungsi produksi yaitu dengan metode OLS (Ordinay Least Square) untuk menguji apakah terdapat pelanggaran asumsi atau tidak. Pelanggaran-pelanggaran asumsi tersebut seperti

multikolinearity, autokorelasi, dan heteroskedasticity. Jika tidak terdapat pelanggaran asumsi tersebut, maka fungsi produksi dianggap fit dan telah memenuhi asumsi Cobb-Douglass.Selanjutnya, model fungsi produksi yang digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi usaha penggemukan ternak domba pada penelitian ini adalah model fungsi produksi stochastic frontier Cobb- Douglass.Dalam analisis fungsi produksi dengan metode OLS dan matode lainnya

70

dalam penelitian ini digabungkan antara peternak mitra dan peternak nonmitra, sehingga outputnya merupakan hasil secara keseluruhan peternak responden.

Hasil analisis fungsi produksi awal menggunakan metode OLS menunjukkan bahwa input-input yang berpengaruh terhadap produksi pertambahan bobot badan domba adalah bobot awal domba bibit (X1), jumlah

pakan hijauan (X2), luas kandang aktual yang digunakan (X3), dan jumlah tenaga

kerja (X4).Hasil analisis fungsi produksi yang dihasilkan telah memenuhi asumsi

Cobb-Douglass.Hal ini dapat dilihat bahwa tidak terjadinya pelanggaran asumsi terutama multicolinearity, dimana nilai Variance Inflationuntuk semua variabel kurang dari 10 (VIF<10) yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi korelasi atau hubungan yang kuat antar variabel independent (X1, X2, X3 dan X4).

Begitu pula pada asumsi lainnya, dimana tidak terjadi autokorelasi pada fungsi produksi yang digunakan. Berdasarkan hasil pengolahan fungsi produksi menggunakan SAS 9.00, nilai Durbin-Watson (DW) yang diperoleh yaitu sebesar 2.03 (d=2.03). Nilai tersebut harus diuji terlebih dahulu menggunakan uji DW dengan memperhatikan nilai batas bawah ataulower (dL) dan nilai batas atas atasupper (dU) pada tabel DW. Diketahui bahwa dengan jumlah responden sebanyak 62 peternak (n=62), dan faktor produksi yang digunakan sebanyak empat variabel (k=4), maka nilai dL nya adalah 1.45 dan nilai dU nya adalah 1.73. Dengan demikian, dapat diketahui apakah terjadi autokorelasi atau tidak dengan memperhatikan hipotesis berikut:

1) Jika nilai d<dL atau d>(4-dL), maka terdapat autokorelasi; 2) Jika nilai dU<d<(4-dU), maka tidak terjadi autokorelasi.

3) Jika nilai dL<d<dU atau (4-dU)<d<(4-dL), maka menghasilkan kesimpulan yang belum pasti.

Hasilnya menunjukkan bahwa nilai DW yang diperoleh sesuai dengan hipotesis pada poin dua, yaitu 1.73<2.03<2.27. Artinya bahwa fungsi produksi yang digunakan tidak terjadi autokorelasi, yaitu tidak terjadi korelasi antara residual pada pengamatan satu dengan pengamatan lainnya dalam model regresi.

Fungsi produksi ini juga menunjukkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas yang diperoleh melalui uji glejser menggunakan SPSS 16.00. Hasil output uji glejser menunjukkan bahwa nilai signifikansi pada semua faktor produksi (X1, X2, X3, dan X4) memiliki nilai lebih dari 0.05 (Sig.>0.05). Artinya

bahwa fungsi produksi yang digunakan menunjukkan tidak terjadi heteroskedatisitas, yaitu adanya kesamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Selain itu,untuk mengetahui terjadinya heteroskedastisitas juga dapat dibuktikan dengan melihat grafik pada Lampiran 5. Grafik tersebut menunjukkan bahwa bahwa fungsi produksi ini sudah terdistribusi normal.

Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi, bahwa parameter dugaan dari setiap variabel dalam fungsi produksi ini adalah lebih dari nol atau bernilai positif. Artinya bahwa fungsi produksi yang tidak pernah decline (tidak mencapai daerah irrasional III). Parameter ini menunjukkan nilai elastisitas produksi frontier dari input-input yang digunakan, dimana Return to Scale yang dihasilkan mendekati satu yang artinya berada dalam kategori constant return to scale(RTS≈1)atau peternak beroperasi pada daerah rasional II dimana terdapat posisi keuntungan maksimum. Jumlah koefisien atau parameter dugaan dengan metode OLS pada

penelitian ini yaitu sebesar 1.27, artinya fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode OLS berada pada kondisi increasing return to scale. Namun pernyataan tersebut belum sepenuhnya dapat diterima, harus diuji terlebih dahulu dengan menggunakan uji F Tintner. Hasil uji F Tintner dapat diketahui menggunakan

software SAS 9.00 ketika menduga fungsi produksi dengan metode OLS. Nilai F hitung yang diperoleh pada Test 1 Results for Dependent Variable lnY adalah 2.83. Nilai F hitung tersebut yang lebih kecil daripada nilai F table, artinya bahwa fungsi produksi berada pada kondisi constant return to scale(CRTS). Kondisi CRTS ini juga dapat dilihat dari nilai p-value pada metode OLS yaitu sebesar 0.10, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0.05). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah koefisien atau elastisitas variabel independent adalah mendekati satu, sehingga berada pada kondisi skala usaha CRTS.Artinya setiap penambahan input sebesar satu persen maka akan meningkatkan output sebesar satu persen.

Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah hasil dari nilai koefisien determinasi (R-Square) yang dapat menggambarkan baik atau tidaknya model yang dihasilkan dalam meramalkan kondisi usaha penggemukan ternak domba kedepan. Apabila nilai R-Square mendekati satu atau 100 persen, maka dapat dikatakan bahwa model ini layak digunakan karena dapat meramalkan kondisi kedepan secara akurat. Hasil R-Squarepada penelitian ini yaitu sebesar 0.76 atau 76 persen yang berarti bahwa sebesar 76 persen variabel independent (bobot awal domba bibit, jumlah pakan hijauan, luas kandang, dan jumlah tenaga kerja) dapat menjelaskan variabel dependent (pertambahan bobot badan). Sementara itu, sisanya sebesar 24 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model.

Fungsi produksi dengan metode OLS juga dapat menunjukkan hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil produksi usaha ternak domba pada lokasi penelitian. Hubungan tersebut dapat dilihat dari nilai F-hitung, dimana apabila nilai F-hitung lebih besar dari nilai F-tabel maka dapat dikatakan secara bersama-sama faktor-faktor produksi yang digunakan berpengaruh terhadap produksi pertambahan bobot domba. Uji F yang diperoleh sebesar 44.65 dan nilai

p-valueyang diperoleh adalah <0.0001. Karena nilai p-value pada uji F lebih kecil

dari α 5% maka dapat dikatakan F-hitung nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi berkaitan atau berkorelasi terhadap produksi pertambahan bobot badan domba. Dengan demikian, variabel-variabel independent yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi pertambahan bobot badan domba peternak responden di lokasi penelitian.

Hasil dugaan model fungsi produksi yang tertera pada Lampiran 2menunjukkan bahwa seluruh faktor produksi yang digunakan, yaitu bobot awal, jumlah pakan hijauan, luas kandang, dan jumlah tenaga kerja berhubungan positif terhadap produksi pertambahan bobot badan domba. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sumanto (1994) yang menyatakan bahwa bobot awal sapi dan jumlah pakan berhubungan positif terhadap produksi pertambahan bobot sapi. Penggunaan kombinasi kedua faktor produksi tersebut masih perlu ditingkatkan agar produksi pertambahan bobot sapi semakin meningkat.

72

Selain itu, hasil dugaan model produksi juga dapat menjelaskan pengaruh dari masing-masing faktor produksi terhadap variabel dependent yang diduga. Pengaruhnya dapat dilihat dari hasil uji t, dimana jika nilai t-value lebih besar dari t-tabel pada taraf nyata tertentu, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut signifikan pada taraf nyata tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruh faktor produksi yang digunakan, yaitu bobot awal, jumlah pakan hijauan, luas kandang, dan jumlah tenaga kerja berpengaruh nyata pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen.

Setelah tahap pertama dalam menganalisis fungsi produksi menggunakan metode OLS sudah terpenuhi, maka tahap selanjutnya adalah pendugaan fungsi produksi dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) menggunakan

software Frontier 4.1.Pendugaan dengan metode MLE menghasilkan fungsi produksi yang dianggap fit karena telah memenuhi asumsi Cobb-Douglass.

Hasilnya secara lebih ringkas dapat dilihat pada Tabel 20.

Hasil analisis menggunakan metode MLE ini juga dapat diketahui pengaruh dari masing-masing faktor produksi seperti halnya pada metode OLS. Untuk mengetahuinya dapat dilihat dari uji t, dimana faktor-faktor produksi yaitu bobot awal domba bibit (X1), jumlah pakan hijauan (X2), dan luas kandang (X3)

berpengaruh nyata dengan nilai koefisien positif. Sedangkan faktor produksi jumlah tenaga kerja (X4) tidak berpengaruh nyata pada α 5 persen,α 10 persen, maupunα 15 persen. ζamun variabel ini juga seperti variabel lainnya, dimana memilikin koefisien yang bernilai positif.Hasil ini sama halnya seperti yang penelitian yang telah dilakukan oleh Sajjad dan Khan (2010), bahwa faktor produksi jumlah pakan hijauan dan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap efisiensi usaha ternak.

Jumlah pakan hijauan merupakan faktor produksi yang memiliki nilai koefisien atau elastisitas paling tinggi dibandingkan faktor produksi lainnya. Selain itu juga jumlah pakan hijauan memiliki pengaruh nyata terhadap produksi pertambahan bobot badan domba pada selang kepercayaan 99 persen. Hal ini karena nilai t-hitung jumlah pakan hijauan sebesar 2.93 lebih besar dari nilai t-

tabel pada α 1 persen sebesar β.γ9. Artinya bahwa setiap penambahan input jumlah pakan hijauan sebesar 1 persen dengan asumsi cateris paribus, maka akan meningkatkan produksi pertambahan bobot badan domba sebesar nilai elastisitas atau koefisien jumlah pakan hijauan, yaitu 0.36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peternak rasional jika menambah jumlah pakan hijauan untuk meningkatkan produksi. Dengan kata lain, peningkatan produksi, yaitu pertambahan bobot badan domba akan lebih responsif terhadap peningkatan jumlah pakan hijauan dibanding faktor produksi lainnya. Sama halnya dengan jumlah pakan hijauan, faktor produksi lainnya juga berpengaruh nyata terhadap produksi yaitu bobot awal dan luas kandang. Bobot awal berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 persen, karena nilai t-hitungnyaadalah 2.21 lebih besar dibanding nilai t-tabel pada α 5 pesen sebesar 1.67. Luas kandang berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99 persen, karena nilai t-hitungnya adalah 2.88 lebih besar dibanding nilai t-tabel pada α 1 pesen sebesar β.γ9. Sedangkan jumlah tenaga kerja tidak perpengaruh nyata baik pada selang kepercayaan 95 persen, 90 persen, atau 85 persen.

Tabel 19Hasil pendugaan Stochastic Frontier Production Function usaha penggemukan ternak domba peternak mitra dan peternak nonmitra di

Desa Bojong Jengkol Tahun 2014 denganmenggunakan metode MLE

Variabel Coefficient t-ratio

Konstanta 5.43 7.01

Bobot awal (X1) 0.12b 2.21

Jumlah pakan hijauan (X2) 0.36a 2.93

Luas kandang (X3) 0.31a 2.88

Jumlah tenaga kerja (X4) 0.23 0.98

Sigma-squared (∑2) 0.28 2.99

Gamma (γ) 0.70 4.49

Log-likehood function OLS -26.86

Log-likehodd function MLE -20.78

LR test of the one-side error 12.16

anyata pada α=0.01

; bnyata pada α=0.05;

Hasil metode MLE pada Tabel 19 juga menggambarkan nilai varian atau

sigma-squared (∑2)dan parameter gamma (γ)dari model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier usaha penggemukan domba peternak mitra dan peternak nonmitra. Nilai ∑2menunjukkan distribusi dari error term inefisiensi teknis (ui), dimana nilaninya sebesar 0.28. Nilai tersebut kecil atau mendekati nol

sehingga terdistribusi secara normal. Sementara itu nilai yang dihasilkan mendekati satu, yaitu sebesar 0.70. Karena itu nilai tersebut menunjukkan bahwa

error term sebagian besar berasal dari akibat inefisiensi (ui) dan hanya sedikit

yang berasal dari akibat noise (vi). Sedangkan jika nilai mendekati nol, maka

sebagian besar error term adalah sebagai akibat dari noise (vi), seperti cuaca,

iklim, penyakit dan lain sebagainya yang bukan akibat dari inefisiensi. Jika hal itu terjadi, maka parameter koefisien inefisiensi menjadi tidak berarti. Hal serupa juga ditunjukkan pada nilai generalized Likelihood Ratio(LR), dimana nilainya sebesar 12.16. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan nilai tabel Kodde dan Palm pada α sama dengan 0.05, yaitu 7.05. Artinya bahwa produksi pertambahan bobot badan domba dipengaruhi oleh faktor efisiensi dan inefisiensi teknis peternak responden.

Hal yang perlu diperhatikan lainnya yaitu nilai log likelihood function baik pada metode OLS maupun metode MLE. Tabel 20 menunjukkan hasil nilai log likelihood function, dimana nilai tersebut pada metode MLE sebesar (-20.78) lebih besar dibandingkan pada metode OLS sebesar (-26.86). Hasil ini menunjukkan bahwa fungsi produksi dengan menggunakan metode MLE ini sudah baik dan sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian.

Analisis Efisiensi Teknis

Efisiensi teknis atau technical efficiency (TE) pada peternak responden baik peternak mitra maupun peternak nonmitra beragam nilainya. Secara keseluruhan,nilai maksimum efisiensi teknis yang diperoleh yaitu 0.95 dan nilai minimumnya yaitu 0.29. Rata-rata nilai efisiensi teknis peternak responden sebesar 0.83, artinya rata-rata produksi usaha penggemukan domba yang dijalankan oleh peternakresponden di Desa Bojong Jengkol sudah efisien secara teknis (TE>0.70). Tabel 21 memberikan informasi mengenai sebaran nilai

74

efisiensi teknis peternak responden. Jika dilihat dari sebaran nilai efisiensi teknisnya, maka sebagian besar berada antara0.70 sampai 0.90 (0.70≤TE˂0.90),yaitu sebanyak 32peternak (51.61 persen). Total peternak responden yang sudah efsien secara teknis adalah 54 peternak (87.09 persen), dimana nilai efisiensi teknisnya antara 0.70 sampai 1.00. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 8 peternak (12.91 persen) belum efisien secara teknis karena nilai efisiensi teknisnya kurang dari 0.70.Belum efisiennya secara teknis usaha yang dijalankan menurut Sasongko dan Farida (2012) karena penggunaan input yang tidak tepat, sehingga produksi tidak mencapai frontier dan menyebabkan keuntungan tidak maksimal. Hal ini perlu diperhatikan, dimana peternak yang belum efisien tersebut perlu meningkatkan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi secara signifikan, seperti bobot awal domba bibit, jumlah pakan hijauan, dan luas kandang.

Tabel 20Sebaran nilai efisiensi teknis usaha penggemukan domba peternak mitra dan peternak nonmitra di Desa Bojong Jengkol Tahun 2014

Indeks efisiensi teknis Peternak mitra dan peternak nonmitra (n=62) Jumlah (orang) Persentase (%)

0.10≤TE˂0.γ0 1 1.61 0.γ0≤TE˂0.50 1 1.61 0.50≤TE˂0.70 6 9.69 0.70≤TE˂0.90 32 51.61 0.90≤TE˂1.00 22 35.48 Jumlah 62 100.00 Rata-rata 0.83 Maksimum 0.95 Minimum 0.29

Peternak responden dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu peternak mitra dan peternak nonmitra. Meskipun dibuat dalam satu model atau digabungkan dalam analisisnya, namun nilai efisiensi teknis masing-masing peternak responden dapat terlihat. Nilai efisiensi teknis masing-masnig peternak secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7, dimana nilai efisiensi teknis peternak mitra yaitu responden 1-31, sedangkan peternak nonmitra mulai dari responden 32-62. Selain itu, secara ringkas dapat juga dilihat pada Tabel 21, dimana terdapat sebaran nilai efisiensi teknis antara peternak mitra dan peternak nonmitra.

Tabel 21 Perbandingan indeks nilai efisiensi teknis (TE) usaha penggemukan domba antara peternak mitra dengan peternak nonmitra di Desa Bojong Jengkol Tahun 2014

Indeks efisiensi teknis

Peternak mitra (n=31) Peternak nonmitra (n=31) Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 0.10≤TE˂0.γ0 0 0.00 1 3.23 0.γ0≤TE˂0.50 1 3.23 0 0.00 0.50≤TE˂0.70 6 19.35 0 0.00 0.70≤TE˂0.90 16 51.61 16 51.61 0.90≤TE˂1.00 8 25.81 14 45.16 Jumlah 31 100.00 31 100.00 Rata-rata 0.79 0.86 Maksimum 0.95 0.94 Minimum 0.49 0.29

Berdasarkan data pada Tabel 21, nilai maksimum efisiensi teknis peternak mitra yaitu 0.95 sedangkan nilai minimum peternak mitra yaitu 0.49. Sementara itu untuk peternak nonmitra nilai maksimumnya tidak jauh berbeda dengan peternak mitra, yaitu 0.94 namun nilai minimumnya jauh lebih rendah dibandingkan peternak mitra, yaitu 0.29. Sebaran nilai efisiensi teknis baik peternak mitra maupun peternak nonmitra yaitu sama, dimana masing-masing sebanyak 16 peternak (51.61 persen) antara 0.70 sampai 0.90 (0.70≤TE˂0.90). Sedangkan rata-rata nilai efisiensi teknis peternak nonmitra sebesar 0.86 lebih tinggi dibandingkan peternak nonmitra sebesar 0.79. Nilai tersebut menunjukkan bahwa rata-rata peternak mitra maupun peternak nonmitra sudah efisien secara teknis. Namun jika dibandingkan, maka peternak nonmitra lebih efisien secara teknis dibandingkan peternak mitra dalam menjalankan usaha penggemukan domba di Desa Bojong Jengkol. Hal ini salah satunya yaitu karena peternak nonmitra sebagian besar memiliki pengalaman beternak lebih lama dibandingkan peternak mitra, dimana peternak nonmitra antara 11-20 tahun sedangkan peternak mitra antara 1-10 tahun (Tabel 8). Semakin banyak pengalaman diduga peternak memiliki banyak pengetahuan dan infromasi baik secara teori maupun teknis usaha penggemukan domba. Dengan demikian, kemampuan manajerial peternak

Dokumen terkait