• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penindakan dalam Pidana Suap, Gratifkasi dan Pemerasan

Dalam dokumen Potret Perlindungan Saksi dan Korban (Halaman 150-153)

OLEH LPSK Rully Novian

B.2. Penindakan dalam Pidana Suap, Gratifkasi dan Pemerasan

Suap (bribery) bermula dari asal kata “briberie” (Perancis), yang artinya “beg ging” (mengemis) atau “vagrancy” (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut “briba”, yang artinya “a piece of bread given to beggar” (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya, “bribe” bermakna se dekah, “blackmail”, atau “extortion” (pemerasan) dalam kaitannya dengan “gifts re ceived or given in order to inluence corruptly” (pemberian atau hadiah yang di terima atau diberi- kan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup). Suap-menyuap bersama-sama

5 https://nasional.tempo.co/read/896450/satgas-saber-pungli-rilis-7-kementerian-paling-bermasalah, di akses pada tanggal 3 bulan oktober 2017.

6 widyopramono, delik pungutan liar dalam Layanan publik, disampaikan dalam workshop “peran apip dalam, pencegahan pungutan liar pada layanan publik” Yang diselenggarakan oleh inspektorat jenderal kementerian pendidikan dan Kebuday- aan, jakarta, kamis 12 januari 2017.

Praktik Perlindungan Saksi Pelapor Pungutan Liar oleh LPSK

dengan penggelapan dana-dana publik (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles).7

Pengaturan terkait suap dan gratiikasi secara tegas diatur dalam UU No mor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Deinisi suap sebenarnya tidak terlepas dari KUHP dan UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tin dak Pidana Suap, dimana kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001. Sedangkan gratiikasi dalam penjelasan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pi dana Korupsi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fa silitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gra ti ikasi ter se but baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dila- kukan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Melihat kedua pengertian dari suap dan gratiikasi dalam UU Pembe ran tasan Tindak Pidana Korupsi, memang tidak begitu jelas pemisahannya ka rena perbuatan gratiikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait ja batan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut. Terlepas dari itu, baik gratiikasi maupun suap merupakan tindak pidana korupsi yang menjadi salah satu dari landasan hukum penindakan yang dilakukan Satgas Saber Pungli.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah menanggulangi praktik pungli, Satgas Saber Pungli yang memiliki fungsi intelijen, pencegahan, penindakan dan yustisi, kemudian menjalankan kewenangannya, antara lain:8

a. membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar;

b. melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi informasi;

c. mengoordinasikan, merencanakan dan melaksanakan operasi pembe rantasan pungutan liar;

d. melakukan operasi tangkap tangan;

e. memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga serta kepala pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik kepada pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah; dan

g. melaksanakan evaluasi kegiatan pemberantasan pungutan liar.

Penindakan atau proses yustisi terhadap laporan pungli yang diterima satgas, tetap dila- kukan penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Re publik Indonesia yang juga menjadi bagian dari satgas ini. Menurut regulasi yang ada, pungutan liar yang kemudian diproses, dilekatkan pada beberapa ke tentuan peraturan perundang-undangan, antara lain:

a. Pasal 368 KUHP;

b. Pasal 3 UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap;

c. Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

d. Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 11, Pasal 12b, Pasal 12e dan Pasal 13 UU No mor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 ten tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tidak hanya disangkakan dengan ketentuan di atas, pelaku pungli ju ga dapat dijerat tindak pidana pencucian uang. Sebagai contoh dalam kasus dugaan pungutan liar yang dilakukan di kawasan Pelabuhan Peti Kemas Palaran, Samarinda. Pelaku yang berkedudukan sebagai Sekretaris Koperasi Tenaga Ker ja Bongkar Muat (TKBM) Samudera Sejahtera (Komura), disangkakan dengan pasal pemerasan dan pencucian uang dimana kemudian penyidik melakukan penyitaan terhadap harta benda pelaku.9

Terlepas dari peraturan perundang-undangan yang dapat disangkakan kepada pelaku pungli, praktik penyelidikan atau penyidikan, sering kali dilaku kan dengan OTT, meski OTT diatur sebagai salah satu kewenangan yang dimiliki dalam pemberantasan pungutan liar, tentu harus dila- kukan dengan prosedur sebagaimana aturan yang ada, dalam hal ini hukum acara pidana. Terkait hukum acara pidana, tidak ada satu pasal pun yang memperbolehkan penjebakan (entrap ment) terhadap pelaku pungli, yang kemudian disangkakan dengan pasal suap atau gratiikasi. Dalam suap dan/atau gratiikasi, si pemberi dan pe nerima dapat dipidana.

Lantas, bagaimana posisi pemberi yang juga merupakan pelapor da lam proses OTT yang dilakukan. Hal ini bisa jadi kelemahan bagi penegakan hu kum perkara pungli yang menggunakan pasal suap atau gratiikasi menurut UU Tindak Pidana Korupsi. Jika kemudian penyidik melakukan diskresi ter hadap posisi pelapor (pemberi), apakah hal ini kemudian juga diteruskan oleh penuntut umum? Tak cukup di situ, hal ini juga menjadi kelemahan bagi proses pembuktian di persidangan dan dapat dijadikan alasan oleh pelaku un tuk ber dalih dari jeratan pidana suap maupun gratiikasi. Hal ini sangat dimung kinkan karena proses penyidikan yang dilakukan dengan cara melawan hukum akan berdampak pada akibat yang mungkin timbul, yaitu dakwaan penuntut umum pada proses persidangan dinyatakan batal demi hukum.

Teknik penjebakan (entrapment) tidak dikenal dalam tindak pidana korupsi karena tidak ada aturan yang mengatur tentang itu. Tknik ini sering digu nakan dalam tindak pidana narkotika dengan kekhususannya, namun tidak dengan tindak pidana korupsi (jika pelaku dijerat pasal UU Tindak Pidana Ko rupsi). Polemik tentang penjebakan ini bukan hal baru, namun sampai saat ini, belum ada regulasi yang mengatur tentang diperbolehkannya penjebakan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih khusus pada suap dan gra tiikasi. Mengapa demikian? Karena penjebakan atau menjebak dalam suap dan/atau gratiikasi dianggap sebuah pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks privasi. Selain itu, dalam perkara suap dan gratiikasi, ditentukan dengan adanya niat da ri pemberi suap atau penerima, jika salah satu tidak bersepakat maka perbuatan tersebut tidak terjadi. Berbeda dengan konteks pemerasan sebagaimana Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 ten tang Pem berantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana “pegawai negeri atau pe nye lenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya me- maksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”, harus terdapat unsur memaksa seseorang di dalamnya. Hal tersebut menempatkan posisi pemberi dalam kondisi terpaksa.

Pemasalahan ini yang kemudian harus menjadi perhatian dan komitmen dari seluruh pihak

9 http://nasional.kompas.com/read/2017/04/13/15500421/polisi.sita.empat.mobil.dan.empat.motor.ter kait.pungli. di.pelabuhan.samarinda, pada tanggal 3 bulan oktober 2017.

Praktik Perlindungan Saksi Pelapor Pungutan Liar oleh LPSK

yang terlibat di dalamnya untuk dapat memastikan atau men jamin tidak dipidanakannya pelapor pu- ngutan liar dalam kejahatan yang diungkapkannya. Selain dari pada potensi pemidanaan ter hadap pelapor suap atau gratiikasi, dalam melakukan teknik penjebakan, penyidik dituntut mam pu mem- berikan jaminan kepada pelapor atas keamaan diri pribadi maupun keluarga dari upaya balas dendam oleh pelaku. Sebab, jelas terlihat bahwa diri nya (pelapor) yang menyebabkan pelaku dipidana.

Mengingat kewenangan perlindungan, baik isik maupun perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana telah diatur secara jelas dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka keterlibatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sangat dibutuhkan dalam penegasan kembali posisi pelapor yang berposisi sebagai pemberi suap (upaya penjebakan). Hal ini penting dalam mendukung upaya penindakan dalam proses pemidanaan yang dilakukan pe nyidik maupun penuntut umum pada perkara suap dan gratiikasi.

Dalam dokumen Potret Perlindungan Saksi dan Korban (Halaman 150-153)