• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peninggalan-peninggalan Komplek Makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi

MASUKNYA ISLAM DAN DAKWAH SYEKH IBRAHIM ASMARAQONDHI

C. Peninggalan-peninggalan Komplek Makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi

62

Dengan memperhatikan perkembangan historis kulturil baik dengan bantuan anthropologi maupun artheologi maka dapat disimpulkan bahwa bentuk 1 dan 2 dihubungkan dengan lambing jenis kelamin laki-laki dan wanita, sedang bentuk yang ke 3, adalah bentuk

natural dengan mengutamakan hal yang lainnya.83

Kijing atau jirat pada makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi terbuat dari batu kapur putih yang ditumpuk menjadi satu saf. Sedang

nisannya terbuat dari batu andesit.84

C. Peninggalan-peninggalan Komplek Makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi

1. Gerbang Paduraksa atau Kori Agung

Di kompleks makam ini terdapat tiga gapura (paduraksa). Gapura ini memiliki bentuk dan corak yang sama. Pertama gapura di depan masjid. Gapura ini memiliki ornament garis sebanyak Sembilan di kakinya. Kayu jati di dalam gapura, lawang kayu berornamen garis sebanyak tujuh garis. Bagian tengah ke atas terdapat lima garis ornament dan kemudian kepala gapura. Jika disatukan, maka membentuk kaki, badan dan kepala. Jadi membentuk angka Sembilan, tujuh dan lima.

Di bagian dalam halaman masjid menuju lokasi makam juga terdapat gapura yang juga berornamen kayu. Menurut juru kunci, di

83

Issatriadi, Kekunoan Islam, 11-12. 84

63

pintu gapura kedua di dapati tulisan pahatan yag sudah rusak karena

aus dan lapuk.85

Menurut keterangan jurukunci ambang pintu ituberasal dari

pecahan kayu perahu dan berbunyi ‘jung bêdah kinarya lawang’.

Dan menurut M. Sukarto K. Atmojo prasasti tersebut berbunyi ‘jung

pêcah kinarya lawang’ ( jung pecah dijadikan pintu) atau ‘jung pecah kinarya rana’ (jung pecah dijadikan penutup). Perkataan

pertama memang berbunyi jung (perahu) meskipun tanda cecak (ng)

mirip ulu (i). perkataan kedua bukannya bêdah (tembus, pecah) tetapi

pêcah (pecah), ketiga merupakan kinarya (dikerjakan) meskipun ya

ditulis menyerupai huruf pa. perkataan keempat mungkin lawing

(pintu) atau rana (aling-aling, penutup), karena huurf terakhir mirip ņa

jawa kuno dan huurf sebelumnya menyerupai ra.

Jika kata-kata dalam prasasti tersebut meurpakan sebuah

konogram maka jung bernilai 4, pêcah bernilai 0, kinarya bernilai 3

dan rana bernilai 1. Angka tersebut jika dibalik menjadi 1304 AH dan

kira-kira bertepatan dengan 1816 AD. Di pandang dari segi paleografi memang tulisan tersebut berasal dari sekitar abad XVII-XVIII Masehi.

Perkataan terakhir lebih tepat dibaca rana dan mungkin bernilai 1,

karena lawing di dalam sêngkalan bernilai 9, tetapi kalimat di atas

tidak harus merupakan sebuah konogram. Mungkin juga hanya

85

64

merupakan kalimat biasa seperti yang ada pada makam Sunan Bejagung.

Selain tulisan tersebut di atas, bagian kayu pêngêrêt paseban di

dalam kompleks makam Syeikh Ibrahim Asmoroqondi juga ditatah

dengan sebaris tulisan berbunyi ‘kang hamangun pasiban kiyahih . .

.I . . . ‘ ( yang membangun pasiban kiyahi . . .i . . .) saying nama kiyai tersebut tidak terbaca karena tulisan aus. Huruf yang tertinggal hanyalah tanda ulu atau suara i. perlu ditambah bahwa diluar makam Syeikh Ibrahim Asmoroqondi juga masih terdapat beberapa buah nisan batu berangka tahun dan juga menyebut nama orang yang dikubur di tempat itu.86

2. Masjid

Kata “Masjid” berasal dari kata pokok atau dasa sujud (bahasa

Arab) yang berubah bentuk menjadi masjid. Sujud dalam Islam adalah kepatuhan dan ketundukan yang dilakukan dengan penuh kekhidmatan sebagai pengakuan muslim sebagai hamba Tuhan, kepada Tuhan yang maha esa sebagai Khaliknya, dan tidak kepada yang lain di alam semesta ini. Jadi sesungguhnya seluruh tempat di muka bumi iniadalah tempat sujud atau masjid.

Pengretian yang kedua yaitu masjid merupakan suatu bangunan tempat orang-orang Islam melakukan ibadah yang dapat dilakukan

86

M. Sukarto K. Atmojo, Berkala Arkeologi (Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, 1982), 18-19.

65

secara jama‟ah maupun individual, seta kegiatan lain yang

berhubungan dengan kebudayaan Islam.87

Masjid pada komplek makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi

merupakan masjid murni peninggalan dari Syekh Ibrahim

Asmoroqondi sendiri. Masjid ini terletak sekitar 400 meter arah selatan dari laut. Menurut cerita rakyat yang ada, dulu masjid ini akan dibangun di Dusun Rembes, karena pada saat akan dibangun tanah di

dusun tersebut selalu mrembes (mengeluarkan air) kemudian Syekh

Ibrahim Asmoroqondi berkata “ kalau nanti di tempat ini ramai maka

tempat ini akan dinamakan rembes”, kemudian pembangunan masjid

berpindah ke desa Gesikharjo karena pada pembangunannya tanahnya

gesik maka desa tersebut dinamakan desa Gesikharjo.88

Masjid ini telah mengalami pemugaran beberapa kali, masjid ini dibangun pada tahun 1972 dari bentukny yang semula yang sangat sederhana, beratapkan genting biasa, berdinding kayu dan lantai kayu dan pada tahun 1972 tersebut masjid dibangun agak permanen, dinding tembok, atap dari genteng press dan lantai dari marmer. Pemugaran terakhir dilakukan pada tahun 1995. Pemugaran tersebut tidak menghilangkan seluurh bangunan lama, akan tetapi menambah bangunan, terutama bangunan depan masjid. Bentuk dalam (bagian

87

Zein M. Wiryoprawiro, Perkembangan Arsitektur Masjid Di Jawa Timur (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 1986), 155.

88

66

utama) tetap seperti semula. Hal ini dilakukan agar tidak

menghilangkan keaslian masjid.89

Pemugaran masjid keramat haruslah menghadirkan wong pinter.

Orang pandai ini tidak hanya pandai dalam hal bangunan akan tetapi harus juga menguasai ilmu-ilmu gaib, termasuk mendeteksi diwilayah mana yang terdapat mahluk halus yang menjaga tempat tersebut. Menurut Nur Syam dari hasil wawancaranya dengan juru kunci yang

bernama Mbah Dolah, menceritakan bahwa pada tahun 1923 pernah

ada usaha masyarakat setempat untuk memugar masjid kedalam bentuk bangunan yang lebih baik. Ratusan warga sekitar makam bekerja memulai pemugaran, namun pada sore harinya muncul suatu wabah aneh yang mematikan. Sore sakit, paginya meninggal, paginya sakit, sorenya meninggal.

Keadaan ini tidak dapat dicari penyebab dan pemecahannya, sehingga pada waktu itu banyak warga Gesikharjo yang pindah ke luar desa Gesikharjo ada juga yang sampai Banyuwangi dan daerah lainnya. Pemugaran pun tidak dilanjutkan karena warga menilai bahwa wabah penyakit tersebut muncul dari upaya pemugaran komplek masjid Syekh Ibrahim Asmoroqondi tersebut tidak meminta ijin terlebih dahulu pada yang punya lokasi yaitu Syekh Ibrahim Asmoroqondi. Maka dikemudian hari meskipun memugar masjid kedalam bentuk yang lebih bagus adalah perbuatan yang baik, akan

89

67

tetapi permohonan restu pada Syekh Ibrahim Asmoroqondi merupakan suatu yang harus dilakukan terleih dahulu sebagai tata karma

pelaksanaannya.90

Semua masjid pada komplek kepurbakalaan Islam dapat dikatakan saat ini merupakan bangunan baru sebagai hasil restorasi dari zaman ke zaman, namun juga masih ada bangunan aslinya, meskipun telah mengalami perbaikan-perbaikan pada garis besarnya masih memperlihatkan bentuk-bentuk dan pola aslinya. Maka dengan membandingkan dengan masjid-masjid yang ada dapatlah diperkirakan (rekontruksi) bagaimanakah bentuk masjid yang asli pada komplek kepurbakalaan di jawa. Umat Islam di Indonesia mempunyai bentuk model masjid tersendiri pada model masjid yang didirikan oleh Negara-negara lainnya, yaitu type asli jawa.

Diantara mempunyai ciri-ciri:

1. Denahnya berbentuk persegi (bujur sangkar)

2. Terletak diatas fundamen yang massive dan tinggi.

3. Mempunyai atap tumpang, selalu bersusun dua sampai lima

tingkat, semakin ke atas semakin kecil.

4. Penunjuk kearah kiblat ditandai dengan mikhrab.

5. Mempunyai beranda (serambi), kadang dimuka atau dikiri

kanannya.

90

68

6. Di luar masjid dikelilingi oleh tembok dengan suatu jalan

masuk sebagai jalan utama (gapura).

Menurut pijper bentuk masjid seperti halnya cungkup makam wali, mempunyai persamaan dengan tubuh candi, yaitu fundasi, tubuh dan atap. Kecuali pada langgar/ surau yang didirikan di atas tiang. Atap masjid berbentuk susun beberapa tingkat dapat dibandingkan dengan bentuk meru di Bali, suatu menara berpersegi dengan atap tumpang 5 sampai 10 atau lebih, sampai sekarang masih tetap terpelihara di Bali. Ciri-ciri lain ialah adanya tembok yang membatasi bangunan masjid dengan bangunan di luarnya (komplek). Hal ini memperingatkan kepada system pembagian halaman pada percandian, antara tempat sacral dan yang profane, dipisahkan oleh dinding yang mengelilinginya sebagaimana terdapat pada candi prambanan, sewu dan panataran. Dimuka masjid biasanya ada bangunan pintu gerbang

candi bentar atau gapura.91

Ciri-ciri di atas sesuai dengan masjid yang ada pada komplek makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi, pada masjid ini bangunan yang masih dijaga keasliannya adalah pada mihrabnya, mihrab merupakan suatu ruangan yang berbentuk setengah lingkaran yang berfungsi

sebagai tempat imam dalam memimpin shalat jama‟ah.

91

69

3. Mimbar dan Beduk

Selain pintu gerbang, masjid, dan pendopo, pada komplek makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi terdapat pula mimbar dan beduk. Beduk adalah alat yang digunakan untuk menandai telah masuknya watu sholat. Beduk yang merupakan peninggalan dari Syeikh Ibrahim Asmoroqondi ini terbuat dari kayu tokok (kayu Lombok) dan kulit

binatang.92

Sedangkan Mimbar adalah tempat yang digunakan “khatib”

berkhotbah. Pada Mimbar peninggalan Syekh Ibrahim Asmoroqondi ini terdapat hiasan sulur dan motif surya dan sinar Majapahit. sedang kondisinya sudah mulai rusak dan sekarang masih tersimpan di sebuah ruangan di belakang masjid tepatnya di sebelah selatan makam.

92

70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Kondisi Masyarakat Tuban Sebelum datangnya Islam adalah Tuban

menjadi Pelabuhan Internasional Bagi para pedagang pada masa

pemerintahan Airlangga (1019-1041) dan masih menganut

kepercayaan dinamisme dan animisme. Sampai agama Hindu-Budha berkembang di kerajaan Majapahit, dan saat itu pula masyarakat Tuban menganut agama Hindu-Budha, karena Tuban merupakan wilayah adahan majapahit jadi semua sistem pemerintahan mengikuti sistem yang ada pada kerajaan Majapahit. Begitu pula dengan kondisi social budayanya.

2. Masuknya Islam dan dakwah Syeikh Ibrahim Asmoroqondi yaitu

Islam masuk di Tuban dengan jalan damai yang di bawa oleh para pedagang. Syeikh Ibrahim Asmoroqondi adalah ayah dari Sunan Ampel dan merupakan putra dari syeikh Jumadil Kubro atau Syeikh Jamaludin Kubro. Saat berdakwah di kerajaan Campa Syeikh Ibrahim Asmoroqondi menikah dengan putri Candrawulan dan mempunyai anak Raden Rahmad (Sunan Ampel) dan Ali Murtadlo. Saat Syeikh Ibrahim Asmoroqondi berdakwah di Tuban kira-kira tahun 1404, Dakwah yang disampaikan oleh Syekh Ibrahim Asmoroqondi sangat

71

luas akan tetapi tetap berkisar pada masalah keIslaman atau agama Islam. Dengan tujuan menegakkan taukhid dan upaya menjalankan syariat Islam dengan dilandasi oleh kitab suci Alquran dan Alhadis.

3. Akulturasi pada komplek makam Syeikh Ibrahim Asmoroqondi yaitu

Makam Syeikh Ibrahim Asmoroqondi berada di Desa Gesikharjo kecamatan Palang, kabupaten Tuban. Pada komplek makam Syeikh

Ibrahim Asmoroqondi hanya terdapat dua halaman saja yaitu halaman

pertama terdapat dua pintu paduraksa, masjid dan sumur kuno. Sedang

pada halaman kedua terdapat makam induk yaitu makam Syeikh

Ibrahim Asmoroqondi dan sahabatnya yang berada di dalam cungkup, serta makam para santri, juru kunci dan warga Desa Gesikharjo yang

berada di luar cungkup. Di Indonesia makam ialah sistem penguburan

bagi muslim, di mana di atas permukaan tanah orang atau tokoh yang dikuburkan itu dibuat tanda yang berbentuk bangunan persegi panjang dengan hiasan maesan di utara dan selatan. Arah utara dan selatan dengan posisi mayat yang miring ke arah kiblat menunjukkan penghormatan keagamaan, ini menunjukkan bahwa yang meninggal adalah muslim. Pada masa pra sejarah bangunan makam berposisi barat dan timur, kepala pada bagian barat dan kakinya ada di bagian timur sebagai simbol menghadap matahari ketika terbit, sedang masa Hindu di Jawa bagi seorang tokoh sentral yang meninggal di candikan.

72

B. Saran-saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Mengharap pihak yang berwenang dan masyarakat agar ikut serta

menjaga kelestarian, keutuhan, keindahan dan kebersihan bangunan pada komplek makam tersebut.

2. Mengharap masyarakat untuk ikut melestarikan dan menjaga sejarah,

terutama sejarah wali sebagai seorang tokoh yang berjasa menyebarkan agama Islam di Nusantara, dan mengingat bahwa Syeikh Ibrahim Asmoroqondi adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di wilayah Tuban, alangkah baiknya kita penerus bangsa mengkaji lebih luas dan trus menggali sejarah dari tokoh tersebut.

3. Mengingat dalam penulisan sekripsi ini jauh dari kesempurnaan dan

masih banyak kekurangan, karena sehubungan dengan keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Penulis berharap ada beberapa pihak yang meneliti lebih lanjut tentang tokoh tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1991.

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

1999.

Asmudiyaningsih. Sang Pemberi Arah dalam Sejarah. Gesikharjo: tp, 1996.

AW, Yudi. Babad Walisongo. Yogyakarta: Narasi, 2013.

Azra, Azyumzrdi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara. Jakarta: Kencana,

2007.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Jejak Parra Wali Dan Ziarah

Spiritual. Jakarta: PT Kompas Media, 2006.

Bisri Mustofa. Tarikhul auliya’. Rembang: Gama Media, 2004.

De Graaf, HJ dan TH. Pigeaud, TH. G. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa.

Jakarta: Graffiti Press, 1989.

Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta:

Djambatan, 1913.

Djoenet poesponegoro, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional

Indonesia jilid III . Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Djoenet, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. Sejarah Kebudayaan Indonesia II.

Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.

Issatriadi. Kekunoan Islam Pesisir Utara Jawa Timur. Surabaya: Proyek Rehabilitasi

dan Perluasan Museum Jawa Timur, 1977.

J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosdakarya,

2002.

Jamaluddin Ahmad. Moch, Napak Tilas Auliya’ 2011. Jombang: Pustaka

K. Atmojo, M. Sukarto. Berkala Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta,

1982.

Kartodirjo, Sartono. Bunga Rampai Sejarah 700 Tahun Majapahit. Jawa Timur:

Diperda jatim, 1993.

Kasdi, Aminuddin. Peran Kepurbakalaan Islam Untuk Memahami Kedatangan dan

Persebaran Islam Di Jawa. Surabaya: tp, 1982.

Koeswanto. Sosiologi dan Antropologi 2. Jakarta: Intan Pariwara, 1989.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1995.

Magetsari, Noerhadi. Penelitian Agama Islam. Bandung: Yayasan Nuansa Cendika,

2001.

Muarif Ambary, Hasan. Menemukan Peradaban. Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu,

1998.

Purwadi & Niken, Enis. Dakwah Walisongo, penyebaran Islam berbasis kultural

ditanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.

Rahimsyah, MB. Jejak-Jejak Wali Songo Penyebaran Islam DiJawa. Surabaya: Mitra

Umat, 1998.

Saksono, Widji. MengIslamkan Tanah Jawa. Bandung: Mizan, 1995.

Salam, Solichin. Sekitar Wali Songo. Kudus: Menara Kudus, 1960.

Sedyawati, Edi. Tuban: Kota Pelabuhan Di Jalan Sutera. Jakarta:Depdikbud, 1992.

Setyono, Bambang. Sekilas Tentang Sunan Bonang. Tuban: Pemda TK.II Tuban,

1994.

Shab, Kurnadi. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008.

Simuh. Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya,2002.

Soekanto, Sorjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada,

2007.

Soekarman. Babad Gresik. Gresik: tp, 1990.

Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : kanisius,

1973.

Soeparmo, R. Catatan Sejarah 700 tahun Tuban. Tuban: tp, 1983.

Sofwan, Ridin. Islamisasi di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2012.

Sunyoto, Agus. Sejarah Perjuangan Sunan Ampel: Taktik Dan Strategi Dakwah

Islam DiJawa Abad Ke 14-15. Surabaya:Lpi Susan Ampel, tt.

Susetya, Wawan. Senyum Manis Walisongo. Jogjakarta: DIVA Press, 2009.

Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta, Lkis, 2005.

Tim Penyusun. Menelusuri Hari Jadi Tuban. Tuban:Pemda Tuban, 1987.

Tim Penyusun. Tuban Bumi Wali. Tuban:Aura Pustaka, 2013.

Wiryoprawiro, Zein M. Perkembangan Arsitektur Masjid Di Jawa Timur. Surabaya:

Pt Bina Ilmu, 1986.

Dokumen terkait