BAB I PENDAHULUAN
D. Kerangka Pemikiran
D.1. Penjaminan Hak dan Perampasan Atasnya
Sebagaimana namanya, Hak Asasi Manusia, seringkali dipandang sebagai hak yang inheren, atau melekat secara otomatis pada segala entitas
yang disebut sebagai manusia.53Pandangan ini mengandaikan, bahwa
manusia, dalam keadaan apapun, memiliki kualitas tertentu yang tidak dapat dikurangi sedikitpun; bahwa terdapat satu batasan umum mengenai hak-hak
yang tidak dapat dipisahkan dari manusia [inalienable rights]. Bahkan, Hak
asasi manusia dalam perkembanganya selama abad keduapuluh, meminjam
istilah Hoffman, telah menjelma menjadi doxa, yang telah benar dan ada
pada dirinya begitu saja.54
Universalitas Hak Asasi Manusi tersebut terdapat dalam Pasal 1 UDHR 1948 yang menyatakan:
53Contoh penganut pendapat ini dapat ditemukan misalnya dalam Rahayu. Hukum Hak Asasi
Manusia (HAM). Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 2010. Hlm 3-4, 10, Andrey Sujatmoko. Sejarah, Teori, Prinsip dan Kontroversi HAM. Makalah “Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM bagi Dosen-dosen Hukum HAM” oleh UII dan NCHR 11-13 Maret 2009 Yogyakarta. Hlm 1
54 Stefan-Ludwig Hoffmann. Genealogies of Human Rights.Dalam Stefan-Ludwig Hoffmann (ed).
Human Rights in the Twentieth Century. Cambridge University Press. 2011. hlm 1 dia mengatakan “Human rights are the doxa of our time, belonging among those convictions of our society that are tacitly presumed to be self-evident truths and that define the space of the conceivable and utterable. Anyone who voices doubt about human rights apparently moves beyond the accpeted bounds of universal morality in a time of humanitarian and military interventions”
27
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak- hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
Lebih lanjut, hak-hak dasar tersebut diatur dalam Pasal-Pasal selanjutnya dalam Deklarasi. Abstraksi keterlekatan hak dan manusia tersebut dapat pula ditemukan dalam Konvensi Sipol 1966 terutama dalam Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan:
Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum.Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya sewenang-wenang.
Pasal 6 tersebut sebagaimana diatur oleh Pasal 4 ayat (2) bersama dengan Pasal 7, 8 ayat (1) dan (2), 11, 15,16, dan 18 adalah jaminan hak
yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun [non derrogable rights].
Pada kenyataanya, apa yang disebut sebagai hak asasi manusia itu
sendiri mengandaikan manusia yang bersifat abstrak.55 Sementara manusia
pada sisi lain memerlukan situasi kongkrit dimana hak-hak tersebut dapat diwujudkan atau dengan kata lain, hak-hak yang abstrak tersebut tidak dapat dijaminkan apabila tidak terikat pada entitas tertentu, yaitu negara. Mengandaikan bahwa satu hak ada begitu saja dan menjamin batas-batas kemanusiaan, bagaimanapun adalah tidak mungkin apabila tidak terikat oleh
hukum dalam satu kedaulatan negara tertentu.56 Tanpa adanya keterikatan
55 Ibid hlm 14
56 Natalie Oman. Hannah Arendt’s “Right to Have Rights”: A Philosophical Context for Human
Security. Journal of Human Rights. 2010. Routledge. Hlm 280-281 Oman menunjukkan bahwa menurut Arendt, kasus tersebut paling mencolok terlihat pada manusia yang tidak memiliki kewarganegaraan seperti pengungsi, maupun Yahudi Jerman pada masa pendudukan Nazi.Oman mengatakan“In this exigent condition of unbelonging, Arendt notes, human rights—theoretically independent of any institutionalized source of authority, and universal in application—become
28
pada satu komunitas politik tertentu, maka tidak ada jaminan atas hak-hak, bahkan pada manusia yang sebelumnya dikatakan memiliki hak yang
melekat pada dirinya. Mengenai kondisi tanpa-hak ini [rightless], Arendt
sebagaimana dikutip oleh Oman mengatakan:
The calamity of the rightless is not that they are deprived of life, liberty, and the pursuit of happiness, or of equality before the law and
freedom of opinion—formulas which were designed to solve problems
within given communities—but that they no longer belong to any
community whatsoever. Their plight is not that they are not equal before the law, but that no law exists for them; not that they are
oppressed but that nobody wants even to oppress them.57
Kondisi tidak adanya pemilikan atas hak ini menunjukkan, bahwa setidak-tidaknya terdapat satu hak primordial yang menandai rekognisi atas hak asasi manusia, yang disebutnya sebagai “hak untuk memiliki hak” [Right to have Rights] dimana hak tersebut diperoleh melalui keanggotaan
dalam suatu komunitas politik –res publican- tertentu.58 Menurut pandangan
ini, abstraksi manusia dalam universalitas hak asasi manusia pada dasarnya hanya dapat ditemukan dalam satu komunitas yang mengakui universalitas tersebut dan contoh paling nyata dimana kondisi tanpa hak tersebut muncul unavailable in practice to those who have no state to make good upon them. The stateless are stranded, Arendt maintains, thrust into an extra-legal lacuna—a condition antithetical to the pursuit of both predictability, and of the political action that disrupts predictability.”Argumen Arendt ini, menurut Oman, membalik klaim atas universalitas hak asasi manusia sebagaimana telah didengungkan oleh Amerika, Revolusi Perancis, maupun UDHR 1948.
57 Loc cit
58 F. Budi Hardiman. Hak Untuk Memiliki Hak; Kritik Republikan atas Hak-Hak Asasi Manusia
dalam F. Budi Hardiman. Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta. 2012. Hlm 29 Hardiman pada dasarnya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan Arendt. Menurutnya, hak-hak universal sebagaimana diyakini oleh kaum libertarian memang ada dan harus ada, namun dirinya juga tidak sepenuhnya meninggalkan argumen dari Arendt yang menyatakan bahwa hak-hak tersebut baru bisa terjamin apabila terikat dalam komunitas politik tertentu, yaitu yang dimana “kedaulatan rakyatnya teremansipasi” sehingga perwujudan haknya menjadi mungkin (hlm 37-39)
29
adalah dari Kamp-konsentrasi; satu kondisi manusia yang tidak memiliki
hak untuk memiliki hak.59 Situasi antara hak dan tidak memiliki hak ini
adalah situasi abu-abu, dimana sifat melekat dari hak asasi itu sendiri dipertanyakan dimanamanusia tanpa hak untuk memiliki hak tersebut adalah
manusia-manusia yang direduksi kepenuhanya sebagai manusia.60Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa secara de facto, hak asasi manusia
berkaitan dengan komunitas politik yang dalam hal ini adalah kedaulatan negara beserta produk hukumnya atau bahkan lebih jauh lagi, hak asasi manusia merepresentasi figur ketelanjangan hidup secara politik dalam
negara-bangsa.61 Dari titik inilah kepenuhan hidup dalam kaitanya dengan
manusia sebagai legal-telos dapat dijelaskan, yaitu apakah itu manusia
dalam studi ilmu hukum.
59Ibid hlm 32 Hardiman mengatakan; “jika orang mau melihat realisasi utopia tentang individu
abstrak yang dipikirkan liberalisme itu, jangan mencarinya di negara-negara liberal, sebab di sana pun individu terkait dengan tradisi dan komunitas liberal. Orang harus mencarinya di dalam kamp-kamp konsentrasi Nazi, sebab Yahudi dalam tahanan dalam kamp itulah realisasi unencumbered self yang diandaikan dalam liberalisme.”
60Manusia yang “penuh” bagi Arendt adalah manusia publik; yang melepaskan kepentingan
privatnya dan mengarahkan dirinya pada kehendak publik.Inilah menurutnya, garis batas antara demokrasi dan otoritarianisme; yang pertama mengandaikan adanya ruang publik dan politik otentik sementara yang terakhir adalah dimana ruang privat melakukan ekspansi pada ruang publik menjadi ruang privat gigantis. Dualitas antara privat-politik ini lebih jauh dibahas oleh Agamben dalam bentuk lain yaitu bios dan zoe. Sebagai pembanding lihat juga Agus Sudibyo. Politik Otentik; Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt. Marjin Kiri. Yogyakarta. 2012
61 Giorgio Agamben. Beyond Human Rights dalam Giorgio Agamben.Means Without End, Notes
on Politics. University of Minnesotta. 2000. Hlm 20 Agamben menggunakan contoh pengungsi dan kamp konsentrasi (mengikuti Arendt) dalam menunjukkan keadaan tanpa hak, hanya saja Agamben disini melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa figur pengungsi tersebut menunjukkan keadaan dimana manusia dan kewarganegaraanya terpisah adalah situasi krisis, yang pada kenyataanya dapat berlangsung kapanpun (hlm 21). Situasi dimana manusia dengan keadaan seperti para pengungsi tersbut muncul adalah situasi batas dari konsepsi negara-bangsa dan hak asasi manusia (hlm 22-23).
30
Pada masyarakat Yunani kuno, kata “hidup” ditemukan dalam dua
artian yang berbeda; zoedan bios.62Arti kata yang pertama menunjukkan
hidup “sebagaimana adanya,” hidup untuk bertahan hidup selayaknya yang
dilakukan oleh makhluk hidup pada umumnya. Sedangkan bios
menunjukkan cara hidup yang layak oleh individu maupun kelompok, yang berarti hidup publik sebagaimana terdapat dalam masyarakat polis. Lazimnya, hidup “natural” dari para zoe terpisah dari bios yang merupakan hidup yang penuh. Dalam kehidupan alamiah, hidup berhadapan dengan ujung ekstrimnya, yaitu penyerahan diri pada kematian, yang dapat datang
sewaktu-waktu ketika jaminan dari Leviathan menghendaki.63 Hanya saja,
disinilah letak hubungan antara bios-zoe tersebut dalam relasinya dengan
kedaulatan; bahwa persis pada titik inilah status kepenuhan manusia (bios)
dapat dihilangkan, membuang mereka pada kehidupan apa-adanya [mere
life], menjadi manusia telanjang [bare life] yang hidup untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya semata dan yang nyawanya dapat sewaktu-waktu
dihilangkan (zoe). Agamben menarik batas keduanya lebih jauh lagi;
momen-momen penciptaan manusia telanjang tersebutlah, yang merupakan pondasi tersembunyi dari kedaulatan atau dengan kata lain, apa yang disebut
62Op Cit Giorgio Agamben. Homo Sacer…Hlm 1 distingsi ini sesungguhnya terdapat pula dalam
Hannah Arendt melalui pembagian Vita Activa-nya; Homo Laborans, Homo Faber dan Actions.
63 Giorgio Agamben. Form-of-Life dalam Op Cit Giorgio Agamben. Means Without Ends… hlm 5
selengkapnya Agamben mengatakan; life in the state of nature is defined only by its being unconditionally exposed to a death threat (the limitless right of everybody over everything) and political life — that is, the life that unfolds under the protection of the Leviathan—is nothing but this very same life always exposed to a threat that now rests exclusively in the hands of the sovereign.”
31
sebagai kedaulatan itu sendiri adalah berdiri diatas penciptaan atas manusia-
manusia telanjang yang tidak memiliki hak untuk memiliki hak-hak.64
Mereka yang ada dalam satu posisi dimana tidak adanya jaminan dari komunitas politik tempat hak untuk memiliki hak-hak digantungkan, yang pada satu sisi mereka adalah manusia yang berada dalam satu ruang lingkup kedaulatan tertentu namun pada sisi yang lain sekaligus mengalami eksklusi dari komunitas politik tersebut oleh Agamben dia sebut sebagai Homo Sacer. Istilah tersebut ia adopsi dari Hukum Romawi, yang memiliki dua ciri pokok; impunitas atas pembunuhanya dan larangan untuk menjadikan
mereka sebagai bagian dari ritual keagamaan.65 Kata Sacer berasal dari
bahasa latin yang berarti “suci dan terkutuk” sebagaimana dua ciri pokok
tadi.66 Agamben mengatakan:
Homo sacer presents the originary figure of life taken into sovereign ban and preserves the memory of the originary exclusion through
which the political dimension was first constituted […] The
souvereign sphere is the sphere in which it is permitted to kill wothout committing homicide and without celebrating a sacrifice, and sacred life-that is, life that may be killed but not sacrificed-is the life that has
been captured in this sphere.67
Sementara Homo Sacer adalah manusia yang tereduksi dalam hidup-
telanjang, maka situasi dimana ketelanjangan hidup itu adalah zone of
indistinction, satu area abu-abu dimana manusia berada di dalam sekaligus
64 Ibid hlm 6
65Op Cit Giorgio Agamben.Homo Sacer… hlm 72, 81 66 Ibid hlm 78
32
di luar dari sistem hukum ataupun kedaulatan itu sendiri.68 Situasi itu adalah
apa yang disebut sebagai state-of-exception, semacam keadaan darurat
negara atau situasi genting lain yang membahayakan kelangsungan dari
kedaulatan itu sendiri.69 Atas nama keadaan genting tersebut, negara atas
nama penjagaan hak, merampas hak. Hanya saja, aktivasi dari keadaan genting itu sendiri tidaklah bersifat jelas pada dirinya, melainkan dapat diaktivasi sewaktu-waktu melalui dia yang meneguhkan kedaulatan. Konsep
ini diambil oleh Agamben dari Carl Schmitt, bahwa Souvereign is he who
decide state of exception.70Maka inilah ambiguitas dari penjaminan hak dari negara; hak yang abstrak yang hanya bisa berlaku apabila dijaminkan, dapat ditunda keberadaan ataupun pemenuhanya melalui langkah peneguhan
kedaulatan dalam keadaan genting.71
Dengan demikian, perspektif Agamben ini menunjukkan bahwa hukum, yang merupakan tempat penjaminan dan bahkan pendefinisian baku dari apa yang disebut sebagai hak asasi manusia itu sendiri bukanlah sesuatu
68 Catherine Mills. The Philosophy of Agamben. McGill-Queen’s University Press. Montreal &
Kingston. 2008. hlm 62
69 Giorgio Agamben. State of Exception.The University of Chicago Press. Chicago. 2005. Hlm 2 70Lihat juga F. Budi Hardiman.Tatanan dan Yang Tidak Terperikan Carl Schmitt tentang Politik
dalam F. Budi Hardiman.Filsafat Fragmentaris. Kanisius.Yogyakarta. 2007. Hlm 139
71 Para penstudi hukum internasional dan hukum hak asasi manusia barangkali akan menentang
argumen tersebut, karena instrumen internasional, ICCPR misalnya, memberikan jaminan mengenai hak-hak yang tidak dapat ditunda pemenuhanya (non derrogable rights). Hanya saja, argumen ini berangkat dari titik yang berbeda; bukan dari abstraksi hak-hak, melainkan cara kerja secara de facto dimana hak tersebut memperoleh penjaminanya. Latar belakang ini pulalah, yang membuat studi semacam sosiologi hukum maupun politik hukum menjadi relevan dalam menjelaskan konfigurasi sosial maupun politik terhadap satu kebijakan tertentu yang berkaitan dengan hak.
33
yang berlaku dengan sendirinya sedemikian pasti.72 Hukum pada situasi
genting tersebut, yang dapat diaktivasi sewaktu-waktu melalui peneguhan kedaulatan, yang atas nama penjagaan hak merampas hak tersebut,
kehilangan signifikansinya, atau yang Agamben sebut sebagai being in force
without significance. 73 Namun justru inilah sesungguhnya letak persinggungan antara hukum dan hidup; bahwa situasi inilah yang merupakan prakondisi dari Hominus Sacri, yang muncul sebagai ekses dari suksesi peneguhan kedaulatan, yang menentukan batas-batas identitas dari mana yang termasuk dan mana yang bukan dalam keanggotaan satu
komunitas politik, bangsa, dsb. 74 Momen penentuan batas itulah
sesungguhnya yang merupakan eksklusi-inklusi dari Homo Sacer, yang berada di dalam ruang lingkup keberlakuan suatu hukum maupun kedaulatan sekaligus di luar karena bukan merupakan anggota dari
72Secara lebih khusus, Agamben keluar dari pemisahan klasik pembagian kekuasaan antara
eksekutif-yudikatif-legislatif. Menurut Agamben, pada kenyataanya, kedaulatan terbentuk dan melanggengka dirinya dari dua hal; constituting power dan constituted power, atau pada kesempatan lain sembari mengutip Benjamin ;founding violence dan preserve violence.Separasi kekuasaan tersebut tidak sepenuhnya benar karena momen penetuan batas mengembalikan kekuasaan pada satu pihak semata. Ia mengatakan; “sovereignty In a recent book I tried to show that the central mystery of politics is not sovereignty but government; not God but his angels; not the king but his minister; not the law but the police—or rather, the double governmental machine they form and propel.”Lihat dalam Giorgio Agamben.Introductory Note on the Concept of Democracy Dalam Amy Allen (ed). Democracy in What State?.Colombia University Press. 2011. Hlm 3
73Op Cit Catherine Mills.The Philosophy of Agamben… hlm 64 Mills mengatakan; “Agamben
concludes from these opposed positions that there is an essential correlation between life under a law in force without significance and life in the sovereign exception, in that neither situation allows that life and law be distinguished : in the state of exception, law without significance passes into life while life always subsists in relation to the law.”
74 Momen penentuan batas-batas identitas ini dapat juga ditemukan dalam Benedict Anderson
dalam studinya mengenai asal muasai nasionalisme atau kesadaran akan identitas yang menyatukan anggotanya dalam satu batas-batas elastis tertentu. Lihat dalam dari Benedict Anderson.Imagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Verso. London & New York. 2006. Hlm 24, 32 hanya saja Anderson disini belum melihat bagaimana momen peneguhan atas batas tersebut dapat menyisakan mereka yang berada diluar status keanggotaan yang tidak dijaminkan haknya.
34
komunitas politik tersebut, dalam bahasa Catherine Mills; being outside yet
belonging.75 Berikut adalah ragaan dari inklusi-eksklusi keanggotaan sebagaimana telah dipaparkan;
Ragaan 1
Ragaan tersebut memperlihatkan pemisahan batas dalam batas lingkup
kedaulatan tertentu. Bios, yang merupakan bagian dari masyarakat politik
dengan hak publik yang penuh dihadapkan dengan Zoe, yang merupakan
manusia yang kualitas kemanusiaanya berupa pemenuhan kebutuhan biologi semata. Maka apa yang disebut dengan Homo Sacer adalah degradasi
kualitas manusia dari Bios kepada Zoe, dari hidup yang penuh menjadi
hidup telanjang, degradasi ini menunjukkan pula posisi hukum dan hidup, bahwa pada satu sisi, hukum, dengan sisi punitifnya berlaku, ditegakkan yang dalam penegakan tersebut relevansi antara tindakan dan hukum sesungguhnya tidak lagi ada, secara politik barangkali tindakan tersebut legitim dan legal, namun jangkar pendasaran dari tindakan tersebut berlaku dengan menyingkirkan yang bukan anggota dengan satu marka tanda
tertentu yang membedakan dari komunitas dalam bios, ketiadaan identitas
dalam batas identitas inilah yang merupakan hidup telanjang [bare life],
35
reduksi kepenuhan hidup bios kedalam zoe, yang dapat dibunuh tanpa
diganjar hukuman.76 Bentuk paling riil dari realisasi zoetersebut adalah
kamp konsentrasi.77
Posisi hukum, beserta hak asasi manusia yang terkandung didalamnya, dalam perspektif Agamben dengan demikian adalah subordinat dari politik.Karena hanya melalui politiklah hukum mewujud, sebagaimana
tampak dalam state-of-exception yang memperlihatkan relasi antara hidup
telanjang dan politik itu sendiri.78 Hukum sendiri, mengikuti Benjamin,
adalah instrumen yang dipergunakan untuk menciptakan [founding violence]
maupun melanggengkan kedaulatan [preserve violence]. 79 Menurut
Agamben, state-of-exception atau situasi genting -yang dapat diaktivasi
sewaktu-waktu itu80- adalah situasi ketika hukum, yang memiliki ciri khas
berupa kekerasan, dapat ditunda kehadiranya namun tidak dengan kekerasan yang melekat dalam hukum itu sendiri. Penjelasan akan hal tersebut adalah,
76Op Cit John Lechte & Saul Newman. Agamben and The Politics of Human Rights… hlm 63 77Op Cit Giorgio Agamben. Homo Sacer, Souvereign Power and Bare Life... Hlm 166 Agamben
menggarisbawahi posisi kamp konsentrasi ini yang menurutnya adalah sebagai paradigma politik modern. Kamp konsentrasi adalah tempat dimana kondisi bukan-manusia ada, yang muncul ketika state-of-exception diaktivasi lewat peneguhan kedaulatan (hlm 169) yang karenanya pula, kamp ini adalah lokasi dimana hukum ditunda kehadiranya, sekaligus diaplikasikan (layaknya Polisi dalam pengertian Benjamin) sehingga hukum dan fakta menjadi satu kesatuan, yang membuat segala hal menjadi mungkin dalam kamp konsentrasi (hlm 170, 173).
78 Ibid hlm 69
79 Walter Benjamin. Critique of Violence dalam Walter Benjamin. Reflections; Essays, Aphorisms,
Autobiographical Writings. Schocken Books. New York. Hlm 281-282. Kedua ciri khas tersebut mewujud dalam monopoli hukum dalam menggunakan kekerasan sebagai instrumen [means] dalam mencapai tujuanya [ends]. Dalam konteks tulisan tersebut Benjamin mengatakan bahwa kekerasan adalah inheren terdapat dalam hukum yang kemudian berusaha ia atasi sembari menjawab pertanyaan, adakah revolusi yang melampauinya? Kedua kekerasan tersebut ia sebut sebagai mythic sementara jenis kekerasan yang menegasi dirinya sendiri ia sebut sebut sebagai divine (hlm 294) yang mematahkan rantai antara cara dan tujuan kekerasan tersebut.
80Atau dalam bahasa Agamben, sebagai “paradigm of government”, dalam Op Cit Giorgio
36
bahwa dalam state of exception, hukum positif yang berlaku ditunda, digantikan oleh tindakan langsung yang dengan potensialitas kekerasan yang dimilikinya, adalah juga sekaligus “hukum” itu sendiri.81 Inilah prakondisi yang membuat manusia rentan terhadap kekerasan, sekaligus menunjukkan adanya pertautan antara hukum dan hidup, yaitu, inklusi-
eksklusi antara hidup dan hukum.82 Hukum menjadi tidak sekedar hukum,
melainkan hukum.83
Dalam konteks Hukum di Indonesia, status kemanusiaan dalam hukum tersebut terdapat dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Selain itu, penghargaan atas hak hidup, hak atas tubuh, hak kemerdekaan, maupun perlindungan hak milik pribadi terdapat dalam UU 8/1946 KUHP dalam Pasal 285, 286, 328, 336, 339, 340, 351, 352, 353, 354, 355, 359, 360, 362, dan lain sebagainya. Pasal-pasal tersebut adalah pasal yang secara eksplisit merupakan pasal yang melindungi hak-hak dasar warga negara dimana dalam peristiwa 1965 secara “legal” dan “legitim” disingkirkan melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Peristiwa 1965 dengan demikian adalah peristiwa yang menunjukkan batas-batas identitas manusia
81 Benjamin Morgan. Undoing Legal Violence: Walter Benjamin’s and Giorgio Agamben’s
Aethetics of Pure Means. Journal of Law and Society Vol 34 No. 1 March 2007. Hlm 47, 60
82 Ayten Gundogdu. Potentialities of Human Rights; Agamben and the Narrative of Fated
Necessity.Contemporary Political Theory Vol. 11, 2-22. 2012. Hlm 5,6
83 Atau dalam bahasa Agamben ia sebut sebagai Force-of-law Op Cit Giorgio Agamben. Homo