i
HOMO SACER 1965: PERAMPASAN HAK DAN PELAMPAUAN
ATASNYA
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh
Rian Adhivira Prabowo, S.H.
PEMBIMBING :
Prof. Dr. Suteki., SH., M.Hum.
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
ii
HALAMAN PENGESAHAN
HOMO SACER 1965: PERAMPASAN HAK DAN
PELAMPAUAN ATASNYA
Dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 11 November 2015
Tesis ini telah diterima sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum
Disusun Oleh:
Rian Adhivira, SH.
11010112420147
Pembimbing
Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum NIP. 197002021994031001
Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu Hukum
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kumpulkanlah kata-kata sedih, pilu, dari bahasa di seluruh dunia, yang ditulis oleh para pujangga baik di bumi maupun akhirat sekalipun, tetap tidaklah dapat melukiskan penderitaan dan rasa rindu para tapol !
–ES, Eks-Tapol Pulau Buru.
iv
MOTTO
v
KATA PENGANTAR
Pemilihan topik dalam Tesis ini didasarkan oleh setidaknya beberapa hal,
seperti masih jarangnya studi yang berkaitan dengan permasalahan 1965 dan
relevansinya terhadap hukum dan HAM di Indonesia. Akan tetapi alasan yang
lebih penting adalah bahwa menurut saya, hampir tidak mungkin membicarakan
ilmu sosial di Indonesia tanpa membicarakan 1965. Berbagai konsep hidup yang
seolah adiluhung bangkrut dihadapan 1965. Penghargaan terhadap sesama
manusia, dipatahkan melalui pembunuhan sadis, diantaranya bahkan kelewat
sadis, seperti menyembelih ibu-ibu hamil dari perut hingga kepala, pemerkosaan
dalam waktu lama dan dengan alat-alat keji. Konsep toleransi dan keberagaman,
hangus dalam distingsi kawan-lawan yang beberapa diantaranya sangat sepele,
stigma theisme-atheisme, atau kiri pemberontak-militer berujung pada
diskriminasi hak yang sewenang-wenang. Konsep keadilan? Habis dalam kerja
paksa, penyiksaan, stigma, baik melalui instrumen hukum positif maupun melalui
tindakan negara baik aktif maupun pasif. Anak kehilangan orang tuanya, orang
kehilangan istri, suami, atau kekasih yang dicinta, anak-anak dijenggungi sembari
dikatai dasar anak tapol! Dasar anak PKI! Dasar anak gerwani! Sementara
disekolah diajarkan bahwa PKI bersama Gerwani membunuhi Jenderal dengan
mencongkel mata para jenderal. Maka, kemanusiaan macam apa yang kita punya?
Pancasila macam apa yang kita banggakan?
Pertanyaanya kemudian, apa yang tersisa setelah 1965? Jawabanya
vi
membangkang –sebagaimana Kedung Ombo-, sebut saja mereka komunis dan
teror dengan militer. Kebebasan berpendapat dan berkumpul boleh disikat atas
nama stabilitas negara, atau melalui jargon bahaya laten komunis. Buku-buku
disensor, bukan atas alasan kesusilaan, melainkan karena penulisnya, atau isinya
dianggap sebagai antek komunis. Orang-orang boleh dibunuhi, karena Pancasila
adalah ideologi yang asli, yang murni dan abadi, yang luhur dan tanpa cela.
Benarkah demikian?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat tesis ini memakan waktu lebih
lama dari yang saya duga. Saking lamanya, studi maupun advokasi yang berkaitan
dengan Tesis ini membuat masa studi mengalami keterlambatan selama beberapa
semester. Pertanyaan diatas pula yang membuat saya kesulitan untuk memahami
baik konsep maupun peraturan yang menjadi ruang lingkup studi dalam tesis ini.
Untuk itu, saya sungguh sangat berterimakasih atas segala bantuan yang diberikan
kepada saya untuk menyelesaikan studi ini.
Pertama-tama, terimakasih saya haturkan untuk segenap responden dalam
wawancara ini. Mereka yang telah bersedia untuk membuka kembali luka-pedih
yang mereka alami dan membaginya kepada saya. Tentu membuka luka tersebut
bukan hal yang mudah, melainkan menyakitkan. Dalam beberapa wawancara, satu
menit dapat terasa demikian lama, bukan hanya karena cerita yang dituturkan,
melainkan juga karena emosi yang timbul. Atas kesakitan tersebut, saya haturkan
terimakasih. Ucapan terimakasih selanjutnya adalah kepada Prof. Dr. Suteki S.H.,
M.Hum, yang telah berperan tidak hanya sebagai pembimbing yang terbuka dan
vii
haturkan pula kepada Edy Widiyatmadi dan Emmanuela Hadriami, pembimbing
saya di Unika Soegijapranata Semarang yang juga membantu saya dalam
menyelesaikan skripsi dengan tema yang sama. Skripsi Psikologi tersebut sedikit
banyak juga memiliki andil dalam menyelesaikan tesis ini. Tentu saja, terimakasih
pula kepada seluruh jajaran bagi MIH, Fakultas, maupun Universitas Diponegoro
beserta seluruh jajaranya dari rektor hingga staff lain yang telah memberikan
ruang belajar. Terimakasih juga saya haturkan kepada pemberi Beasiswa
Fast-Track angkatan II UNDIP atas bantuan pendanaan belajar yang telah diberikan.
Terimakasih saya haturkan kepada Prof. Dr. Yusriadi, S.H., M.Hum, Prof.
Dr. Rahayu, S.H., M.Hum, dan Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum yang telah
berkenan untuk menguji tesis ini. Terutama kepada Prof. Dr. Yusriadi S.H.,
M.Hum, tesis ini terinspirasi dari disertasi beliau yang berjudul Industrialisasi
dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah yang ide dasarnya memuat mengenai perbedaan cara baca terhadap hukum antar rezim yang berbeda. Hukum
boleh sama, namun rezim yang berbeda akan menggunakan cara baca yang
berbeda demi kepentingan rezimnya. Dalam konteks studi ini, Pancasila, yang
tadinya menoleh kekiri menjadi sangat kanan, dan dari situ hak boleh dirampas.
Hampir tidak mungkin penulisan tesis ini dapat selesai tanpa mereka yang
menyediakan ruang belajar bagi saya. Kepada Yunantyo Adi, Niken, dan Retno,
keluarga yang menerima saya untuk memberikan sumber bacaan di kediamanya,
saya ucapkan terimakasih. Ucapan terimakasih juga saya sematkan kepada
Satjipto Rahardjo Institute, atas fasilitas yang diberikan. Termasuk di dalamnya
viii
Unu Herlambang, Setya Indra, Edo Ermansyah, Andy Alvian, dan lain
sebagainya. Kepada Komunitas Diskusi Payung, Rashid Ridha, Gerry Pindonta,
Samuel, Kelvin, dan lain sebagainya, termakasih telah memberi kepada saya
pengalaman berbagi pengetahuan. Kepada Komunitas Tjipian, rekan-rekan seperti
Edi Atmaja, Diandra Preludio, Rahmat, Nindi Darifki, dan lain sebagainya,
terimakasih telah mengajarkan apa itu hukum progresif kepada saya. Kepada
Satrio Prabhowo, yang telah mau membuatkan kopi, menyediakan tempat
menginap, dan selalu mau saya repotkan selama pembuatan tesis ini. Terima
kasih.
Kepada Donny Danardono, yang bersedia meluangkan waktu untuk
berdiskusi maupun memberi bantuan lain dalam studi ini, terimakasih. Kepada
Hishom Prastyo, Otniel Prawiro, dan rekan-rekan lain di GMNI baik FH UNDIP
maupun Semarang, terimakasih telah mau menerima saya. Kepada Gunawan Budi
Susanto dan (alm) Mohammad Farid, terimakasih telah menjadi guru saya baik
dalam hal akademik maupun perihal lain. Pengalaman belajar bersama mereka
adalah pengalaman yang berharga. Kepada pengurus laman http://gen.lib.rus.ec,
terimakasih banyak telah menyediakan bahan bacaan baik buku maupun jurnal
yang tidak ternilai.
Untuk mereka yang selalu ada di dekat saya. Terimakasih kepada ayah,
ibu, dan adik-adik saya, yang hampir selalu mau membukakan pintu untuk saya
yang sering pulang malam. Untuk mengingatkan saya agar tidak lupa makan. Dan
telah membiayai saya kuliah. Kasih sayang mereka jauh lebih rumit dibandingkan
ix
terimakasih kepada Bella Perdana, yang telah mau menemani, mendukung, dan
mendampingi saya, meski seringkali saya berperangai kurang terpuji karena
memikirkan tesis yang tidak kunjung selesai ini. Kepadanya saya ucapkan,
terima-kasih.
Seluruh isi yang tertuang dalam tesis ini adalah sepenuhnya tanggung
jawab saya, dan terbuka untuk kritik dan masukan dari segala sisi. Akhirnya,
semoga kengerian dapat segela berakhir…semoga.
x
ABSTRAK
Peristiwa 1 Oktober 1965 merubah wajah komunitas politik Indonesia. Peristiwa tersebut menandai akhir politik dari Soearno, dan terlebih dari itu, perubahan komunitas politik tersebut menyingkirkan para golongan kiri melalui praktik kekerasan; pembunuhan, penganiayaan, kekerasan seksual, penyiksaan, pembuangan, dan lain sebagainya. Pergantian rezim tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan Orde Baru dengan dominasi militer dan praktik kekerasan negara terhadap oposisi politiknya. Selama rentang waktu tersebut komunisme menjadi dalih atas praktik kekerasan, termasuk kepada anak turunan para tertuduh komunis. Sebagai pembanding, praktik kekerasan dan eksklusi seseorang atas komunitas politiknya juga dialami oleh golongan kiri di Chile pasca-Allende dan warga kulit hitam di Afrika Selatan selama apartheid.
Penelitian ini merupakan studi non-doktrinal dengan melakukan analisa hukum dan analisa pengalaman empiris. Analisa hukum dilakukan dengan perbandingan pengalaman di Chile dan Afrika Selatan, baik kekerasan yang dilakukan maupun reparasi pada masa transisi. Untuk menunjukkan akibat dari kekerasan yang terjadi, penelitian ini juga menampilkan pengalaman personal korban dan bagaimana upaya pelampauan atas peramapasan hak dilakukan melalui inisiasi dari bawah.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan, bahwa peneguhan kedaulatan, sebagaimana terjadi di Indonesia pada tahun 1965, Chile pasca 11 September 1973, dan Afrika Selatan selama apartheid, memiliki implikasi pada penarikan
garis batas antara manusia penuh (bios), dan mereka yang berada di luar
komunitas politik namun ada dalam ruang lingkup daya paksa peneguhan
kedaulatan, dalam hidup yang tereduksi (zoe). Pada masa transisi, Chile dan
Afrika Selatan melakukanya dengan meruntuhkan legitimasi berdirinya rezim yang lama: kekerasan Pinochet dan berakhirnya rezim Apartheid melalui dua cara; pengungkapan kebenaran, reparasi korban, dan penuntutan terhadap pelaku. Indonesia pada masa transisi 1998 melalui jatuhnya Soeharto menunjukkan adanya peningkatan terhadap wacana HAM, melalui hukum nasional maupun ratifikasi hukum internasional. Akan tetapi, sejauh ini belum ada kemajuan mengenai legitimasi berdirinya rezim, yaitu pembantaian yang terjadi setelah 1 Oktober 1965, dengan tidak adanya reparasi hak korban, pengungkapan kebenaran, dan penuntutan pelaku.
xi
ABSTRACT
1st October 1965 was a dramatic change on Indonesia society. It was
Soekarnos aftermath and bannishment of his main supporter, the leftist. With the failed attempted coup, the accused communists were butchered, it was mass killings, rape, torture, illegal detention, etc become pratice, and it is the very basis legitimation on New Order regime. Since then, the spectre of communism become doxa of state coercive attitude. As comparison, this practice were also occure on the Chilean leftist after the fall of Allende, and black South African under apartheid.
This is a non-doctrinal study, combining legal and empirical analysis. The first part through the atrocity and reconciliation on Chile and South Africa, and also in Indonesia. The other one through the victim experience during New Order exclusion, and also cultural reconciliation initiatives from the people.
The result of this research show that sovereign ban which happen in Indonesia after 1965, Chile after 1973 and South Africa during apartheid have an impact on the border of social exclusion: between bios and zoe. Chile and South Africa overcome their past atrocity based on three aspects: reparation for the victims, revealing truth, and prosecution for the perpetrators which also negating the basic legitimation of previous regime; Pinochet Junta and the Apartheid system. In contrast, Indonesia after the fall of Soeharto on 1998 show a contradictive tension between the rise of human rights discourse on the one hand, and impunity on the other. Indonesia not yet implemented the reparation of the victim, truth revealing, and prosecution for the perpetrator. The new Reformation era does not yet challenging the basis legitimation of Soeharto New Order coersive regime, which is the massacre of the accused communists.
xii
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……… 25
C.1. Tujuan Penelitian ………...…. 25
C.2. Kegunaan Penelitian ………...……… 25
D. Kerangka Pemikiran ………...………….... 26
D.1. Penjaminan Hak dan Perampasan Atasnya………...….. 26
D.2. Pelampauan Atas Perampasan Hak ………...…….. 38
E. Metode Penelitian ………...………. 45
E.1. Sumber Data ……… 48
E.2. Pembeda dari Studi Lain ………...……. 51
F. Sistematika Penulisan ………...…. 57
BAB IITINJAUAN PUSTAKA ……….…... 59
A. Bagaimana Rezim Membaca Pancasila ………...……….. 59
A.1. Norma Dasar Sebagai Batas Komunitas Politik ……...……….. 59
A. 2. Pancasila Dalam Perspektif dua Rezim ………..62
B. Pembabakan Hukum dan HAM di Indonesia ………...……...72
B.1. Awal mula HAM di Indonesia ……….74
B.2.HAM, Pancasila, dan Modal ……….77
B.3. Orde Baru dan HAM ………83
C. Keadilan Transisional: Hukum dan HAM Pasca Soeharto ………..90
C.1 Pergeseran Kekuasaan dan Keadilan Transisional……….90
C.2. Hukum dan HAM Masa Reformasi ……….94
C.3. Merangkai HAM Masa Reformasi ……….109
D. Peristiwa 1965 Sebagai Pelanggaran HAM Berat ……… 111
xiii
D.2. Kejahatan yang terjadi pada tahun 1965…….…… ………. 118
E. Tentang Korban dan Reparasi ………...…... 133
E.1. HAM dan Tanggung Jawab Negara atas Pemenuhanya ...………… 133
E.2. Definisi Korban dalam Pelanggaran HAM Berat ………..137
E.3. Reparasi Korban Pelanggaran HAM Berat ………... 142
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………....157
A.1 Oktober, Legitimasi atas Malam-Malam Penuh Kengerian…...…. 157
A.1. Tautan antara Kedaulatan, Tubuh, dan Hukum. ………...………… 157
A.2. Hukum keadaan Darurat……….... 163
A.3. 1 Oktober dan Peneguhan Kedaulatan ………...………... 172
A.4. Keberanggotaan dalam Komunitas Politik……...……….… 187
B. Kisah-Kisah Personal Tentang Para Penyintas………...………... 190
B.1. beberapa Kisah para Penyintas…………...……….. 192
Nasasumber 1……...………...…..………... 192
Narasumber 2 ………...………..……… 195
Narasumber 3………..……….197
Narasumber 4…………...………... 199
Kisah Lain ………...……….. 202
B.2. Beberapa Upaya Menghapus Diskriminasi Hukum.. ………... 203
B.3. Hidup Bersama Para Jagal ………... 215
C. Tentang Keadilan dan Permaafan………...………216
C.1. Melampaui Perampasan Hak………....… 216
C.2. Tentang Komisi Kebenaran, Tentang Rekonsiliasi …………..…... 222
D. Rekonsiliasi Chile………...……….…….. 235
D.1. Masa Transisi dan Rekonsiliasi di Chile……...……...……… 235
D.2. Awal Transisi dan KKR di Chile Tahun 1990…...………..……. 243
D.3. Perluasan dan Pengakuan terhadap Definisi Korban, Chile Pasca Tahun 2000….……….257
D.4. Assesmen Transisi dan Rekonsiliasi di Chile ...……….…. 262
E. KKR Afrika Selatan ……….. 266
E.1. Apartheid Afrika Selatan ………..…………... 266
xiv
E.3. Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan………... 276
E.4. Assesmen KKR Afrika Selatan………... 296
F. Rekonsiliasi untuk 1965 Indonesia …….………...……… 299
F.1. Menggagas Rekonsiliasi ………...…… 301
F.2. Instrumen KKR di Indonesia………. 309
F.3. Rekonsiliasi 1965: Sumbangsih dari Chile Pasca Allende dan Afrika Selatan Pasca Apartheid untuk Indonesia Pasca 1965 ……….….... 321
F.4. Jalan Alternatif: Rekonsiliasi dari Bawah…...………...331
F.4.1.Blitar dan Palu, Pengalaman-Pengalaman Inisiasi Lokal……...332
F.4.2 Rekonsiliasi Roh Mbah Kelik di Plumbon, Ngaliyan Semarang ……….. 339
F.4.3 Pengadilan Rakyat Internasional 1965: Sebuah Upaya Rekognisi ……….. 349 PENUTUP.………... 362
A. Kesimpulan ..………... 362
A.1. Kesimpulan : Perampasan Hak ………..…... 362
A.2. Kesimpulan: Pelampauan atas Perampasan Hak ……….…….. 365
B. Menyudahi Kekejaman: Saran-Saran..……...….………. 368
C. Keterbatasan dalam Studi ini ………...……….………. 370
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara adalah pemberi jaminan atas hak-hak manusia dalam
ruang-lingkup kedaulatannya. Penjaminan atas hak-hak tersebut kemudian
tercantum dalam hukum yang berlaku, terutama semenjak meletusnya
Revolusi Perancis yang merupakan cikal-bakal negara demokratis. Jaminan
atas hak tersebut setidaknya terdapat dalam asas nula poena sine lege, asas
legalitas yang membatasi kekuasaan negara. Selain itu, meski pada masa
abad ke dua puluh adalah masa dimana jargon hak asasi manusia naik ke
permukaan dunia internasional dan memiliki kekuatan politis yang
kemudian tercantum dalam berbagai ketentuan internasional, namun pada
kenyataanya, negaralah satu-satunya pihak yang secara de facto memiliki
kuasa atas tubuh warganegaranya. Hanya saja, penjaminan hak dan
penguasaan tubuh secara de facto tersebut dalam praktiknya dapat
disimpangi pula oleh negara; bahwa atas nama penjagaan hak, negara bisa
merampas hak. Momentum perampasan hak tersebut terjadi baik melalui
instrumen yuridis maupun tanpa instrumen yang dilakukan dalam bentuk
kebijakan negara.
Pada saat yang demikian, hukum berada dalam wilayah abu-abu;
hukum ditegakkan, namun pada saat bersamaan juga telah kehilangan
2
hukum itu sendiri telah kehilangan maknanya. Bagi Agamben, praktek-pola
kedaulatan tersebut menunjukkan bahwa persis dari penguasaan de facto
kedaulatan atas tubuh itulah sesungguhnya merupakan momen penciptaan
hukum.1 Negara hukum dengan demikian memiliki asal muasal dari
kekerasan, bukan semata sisi punitif dari hukum itu sendiri dengan
menerapkan sanksi atas pelanggaran norma, melainkan bahwa fondasi dasar
dari negara-hukum itu sendiri pada dirinya merupakan laku penegasan
kedaulatan yang merupakan momen kekerasan.2
Luaran dari momen peneguhan kedaulatan tersebut secara sosiologis
adalah penciptaan manusia telanjang, manusia yang telah kehilangan
hak-hak publik-politiknya menjadi manusia privat, dalam terminologi Agamben
sebagai Homo Sacer.3 Apa yang disebut dengan Hominus Sacri tersebut
dalam hukum Romawi adalah mereka yang boleh dibunuh namun tidak
boleh dikorbankan dalam ritus keagamaan.4 Dengan demikian pada satu sisi
mereka berada dalam ruang lingkup kedaulatan, namun pada sisi lain
disingkirkan karena boleh untuk dibunuh tanpa sanksi pembunuhan dan
larangan untuk pengorbanan dalam ritus keagamaan, atau dengan
singkatnya, mereka yang dibuang tersebut tidaklah boleh untuk disucikan.
Dalam studi doktrinal hukum pidana di Indonesia, hal tersebut dapat
ditemukan dalam alasan penghapus pidana, alasan pembenar, dimana
1Giorgio Agamben. Homo Sacer; Souvereign Power and Bare Life. Stanford University Press.
California. 1998. Hlm 26
3
seringkali dicontohkan algojo yang melaksanakan tugas tidak dapat
dibunuh. Hanya saja, dalam konteks studinya, Agamben meletakkan alasan
pembenar tersebut dalam konteks yang lebih luas bahwa dalam momen
penciptaan hukum, kedaulatan diteguhkan dalam tegangan antara hukum
dan non-hukum. Negara, dengan demikian kembali pada pengertian klasik
Hobbesian menjadi Leviathan atas pertarungan antar sesama serigala,
bedanya disini, serigala tersebut tidak lain adalah negara.5
Fokus studi ini terletak dari bagaimana fondasi Indonesia sebagai
negara hukum Orde Baru mendasarkan legitimasinya, yaitu momen
penciptaan manusia telanjang, manusia yang boleh dibunuh tanpa
pembunuhnya dikenai sanksi. Momen paling krusial atas kedaulatan orde
baru tersebut, ditegaskan melalui peristiwa 1965.6 Kasus tersebut dipilih
mengingat masih jarangnya studi sosiologi-hukum yang membahas tentang
legal-telos atau tujuan hukum. Satjipto Rahardjo sempat menyinggungnya
dengan adegium yang kemudian tersohor bahwa “Hukum Untuk Manusia”.7
Namun, studi ini menarik batas tersebut lebih jauh, yaitu melalui klarifikasi
lanjut tentang kriteria “manusia” tersebut, yaitu melalui studi tentang
5John Lechte & Saul Newman. Agamben and The Politics of Human Rights, Statelessness, Images,
Violence. Edinburgh University Press Ltd. 2013. Hlm 2
6Douglas Kammen & Katherine McGregor.Introduction: The Contours of Mass Violence in
Indonesia, 1965-68 dalam Douglas Kammen & Katherine McGregor (ed). The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Asian Studies Association of Australia & University of Hawaii Press. Honolulu. 2012. Hlm 11, 15 lihat juga John Roosa. The September 30th Movement: The Aporias of the Official Narratives dalam Ibid hlm 48-49
7Satjipto Rahardjo.Penegakan Hukum Progresif.Kompas. Jakarta. 2010. Hlm 61, lihat juga dalam
4
bagaimana hukum bekerja dalam keadaan khusus. Detil teoritik dari tulisan
ini akan dibahas secara khusus dibagian lain dalam penelitian ini. Atas
tujuan tersebut, pertama-tama akan dijelaskan terlebih dahulu konteks
historis produksi manusia telanjang sebagai genesis hukum dan legitimasi
rezim otoritarian. Dilain pihak, hal ini penting pula untuk menilai
bagaimana keadilan transisional di Indonesia berlangsung. Secara umum,
apa yang dimaksud dengan keadilan transisional melibatkan perpindahan
kekuasaan masa lalu –yang biasanya bercorak autoritarian- menuju era
demokratisasi baru dengan menyelesaikan masalah masa lalu dan pergantian
rezim dengan cara pandang baru.8Sebagaimana diketahui, permasalahan
pergantian ini hingga lebih dari satu dekade pasca era Soeharto belum
mengalami penyelesaian yang memuaskan termasuk perihal peristiwa 1965
yang menjadi landasan berdirinya.9
8Definisi ini diambil dari Stephanie Wolfe.The Politics of Reparations and Apologies.Springer. New
York. 2014. Hlm 39 momen-momen ini bagi Wolfe menjadi satu diskursus global terutama pada era 1970-1980an, yang ia –sembari kutip dari ICTJ- katakan sebagai “Transitional justice is a response to systematic or widespread violations of human rights. It seeks recognition for victims and to promote possibilities for peace, reconciliation and democracy. Transitional justice is not a special form of justice but justice adapted to societies transforming themselves after a period of pervasive human rights abuse. In some cases, these transformations happen suddenly; in others, they may take place over many decades.”
9 Lihat Satjipto Rahardjo, Melangkah dengan Penuh Dignity. Wacana Suara Merdeka, Senin 28
5
Pada masa Orde Lama, Soekarno dengan faham keseimbangan
kekuatan menggelontorkan jargon Nasakom, gabungan dari tiga kekuatan
besar; Nasionalis, Agama dan Komunis. Diluar tiga golongan tersebut
terdapat pula golongan angkatan bersenjata.10 Ditengah tensi politik yang
memanas ditambah dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria pada
tahun 1960 menciptakan situasi semakin mengerucut dimana BTI
melakukan klaiming atas tanah dengan aksi sepihak.11 Semakin condongnya
Soekarno kearah golongan kiri PKI kemudian mengkhawatirkan banyak
pihak. Lawan-lawan politik mulai dicekal, pemenjaraan Mochtar Loebis
beserta pemberedelan Harian Indonesia Raya misalnya, yang kemudian
disusul dengan pembubaran Barisan Pendukung Soekarno (yang
sesungguhnya oposan terhadap Soekarno), dan berbagai langkah politik
lainya dinilai mengancam golongan kanan dalam hal ini adalah angkatan
bersenjata dan golongan agamis.12
10Harold Crouch. The Army and Politics in Indonesia.Equinox Publishing.Jakarta & Kuala Lumpur.
2007. hlm 48 Soekarno memainkan peranya untuk menjaga keseimbangan kekuatan diantara golongan-golongan tersebut. Pasca 1965, golongan angkatan bersenjata adalah pemenang dan kekuatan politik paling dominan selama Soeharto berkuasa.
11 Aksi sepihak adalah aksi yang dipelopori oleh Barisan Tani Indonesia (PKI), ormas Ounderbouw
PKI, dengan merampas tanah-tanah milik apa yang dianggap oleh mereka sebagai “tujuh setan desa” dan membagi-bagikanya untuk para petani. Aksi ini dilakukan untuk mempercepat upaya land reform yang mereka nilai berjalan dengan lambat, lihat dalam Asvi Warman Adam. Pengantar, Pembantaian 1965/1966 Jangan Terulang. Dalam Robert Cribb (ed). The Indonesian Killings, Pembantian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Mata Bangsa & Syarikat Indonesia.Yogyakarta. 2004. Hlm ix-x
12John Roosa. Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.Institut
6
Namun momen puncak baru terjadi pada akhir bulan september yang
sebelumnya diawali dari desas-desus sakitnya Soekarno yang mengancam
keseimbangan politik. Sekelompok perwira kelas menengah menculik
jenderal angkatan darat, menewaskan lima orang jenderal dan Gadis mungil
Ade Irma Nasution. Para Jenderal dibunuh dengan cara yang tak manusiawi,
penis disayat, dimainkan dan mata dicongkel sembari menyanyikan lagu
Genjer-genjerdan menarikan tarian erotis Harum Bunga.13Dari Halim Perdana Kusuma, momen peneguhan kedaulatan antara Soekarno dan
Soeharto terjadi.14 Soeharto yang kemudian berhasil menumpas kerusuhan
tersebut melanjutkan aksi “penertiban” hingga kepelosok daerah. Dari sini,
kedaulatan diteguhkan melalui pembersihan seluruh anasir kiri.
Korban-korban berjatuhan, mereka yang dituduh terlibat dalam
gerakan kiri beserta segenap afiliasinya segera ditumpas. Banyak diantara
mereka dibunuh dengan cara-cara keji seperti diarak mengelilingi kampung
untuk kemudian dieksekusi dihadapan umum, ditembak ditengah
hutan-hutan dan sungai-sungai, perempuan yang dibelah perutnya hingga
tenggorokan maupun diperkosa.15 Selain pembunuhan, penangkapan
13Saskia E. Weiringa. Penghancuran Gerakan perempuan; Politik Seksual di Indonesia
Pascakejatuhan PKI. Galang Press. Yogyakarta. 2010. Hlm 443 tentu saja, hasil autopsi yang muncul bahwa tidak ada mata maupun penis yang dicongkel tidak pernah beredar, menyisakan gambaran tunggal bahwa Gerwani adalah Ounderbouw PKI yang rendah moralnya.
14Carl Schmitt mengatakan bahwa definisi dari kedaulatan adalah “he who decide state of
Exception”.Pada konteks ini hukum menjadi satu ritus persaingan dalam aktivasi keadaan genting
dimana Soeharto kemudian MPRS berhasil memakzulkan Soekarno.Uraian Carl Schmitt tersebut diambil dari Carl Schmitt.Political Theology, Four Chapters on the Concept of Sovereignty.University of Chicago Press. 2005 hlm 1
15Banyak penelitian lapangan mengenai hal ini, penelusuran Elsam di Jembatan Bacem Solo,
7
besaran juga dilakukan untuk kemudian dibagi menjadi beberapa kategori.
Dari kategori tersebut sebagian dibuang dalam kamp khusus seperti Pulau
Buru, Nusakambangan dan Pelantungan sementara yang lain ditahan dalam
penjara-penjara lokal beberapa diantaranya dengan penyiksaan.16Disamping
perampasan kemerdekaan tersebut, terdapat pula perampasan harta benda
dan tanah. 17 Berdasarkan penggolongan tahanan tersebut sebagian
disidangkan melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) sementara
penahanan yang lain tak kunjung diadili dan menjalani masa tahanan dan
kerja badan bertahun-tahun lamanya.18
Upaya Soekarno untuk menghentikan kerusuhan sia-sia. Ditengah
merosotnya kekuatan politik kharismatiknya, Soekarno menghadapi jalan
buntu puncaknya dengan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden
dihadapan MPRS pada tahun 1966 yang berujung pada pemakzulan
Presiden dan pengangkatan Soeharto sebagai pelaksana tugas
Presiden.19Inilah yang dikatakan diawal bahwa legitimasi kekuasaan Orde
16Julie Suthwood & Patrick Flanagan.Teror Orde Baru; Penyelewengan Hukum & Propaganda
1965-1981. Komunitas Bambu. Yogyakarta. 2013. Hlm 144
17Hal ini disampaikan oleh para narasumber dalam penelitian rintisan, juga pemaparan Budiawan
dalam Bedah Film Senyap di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang pada 12 Desember 2014 diselenggarakan oleh eLSA, Unika Soegijapranata Semarang, & Komunitas Pegiat Sejarah.
18Didasarkan pada Penetapan Presiden No.11 Tahun 1963 tentang Antisubversi yang
diundangkan menjadi Undang-Undang UU 11/1963 Melalui UU 5/1969 yang pada intinya memberikan kewenangan pada Jaksa agung untuk menahan terdakwa tanpa batas waktu. Lihat lebih jauh dalam Op Cit Julie Southwood & Patrick Flanagan.Teror Orde Baru… hlm 135-136. Pengadilan yang muncul pada kala itu juga jauh dari kata memuaskan, menurut Samuel Gultom, pengadilan perihal perkara G 30 S yang dilakukan oleh Mahmilub tidaklah lebih dari pengadilan pembenar semata. Lihat dalam Samuel Gultom.Mengadili Korban Praktek Pembenaran terhadap Kekerasan Negara. Elsam Jakarta. 2003. Hlm 46, 47, 48, 50.
19Hamdan Zoelfa. Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut
8
Baru dimulai dengan peristiwa 1965. Pada tahun 1966 pula, atas peristiwa G
30 S tersebut keluarlah TAP MPRS XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran
Partai Komunis Indonesia. Pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh
wilayah negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham
atau ajaran komunis/marxisme-lenninisme yang juga menjadi aturan induk
mengenai larangan Marxisme, Komunisme, Leninisme dimana Pasal 1
dengan tegas menyatakan sebagai berikut :
Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat piusat sampai ke daerah beserta semua organisasinya yang seazas/ berlindung/ bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No.1/S/1966 dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS.
Berdasarkan pada TAP tersebut, PKI berserta segenap organisasi yang
dianggap berkaitan dan memiliki kesamaan haluan dibubarkan. TAP
tersebut masih berlaku hingga hari ini sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12/2011. Lebih lanjut, TAP tersebut juga menjadi
gantungan peraturan lain dibawahnya yang mengatur perihal larangan
serupa. Apabila peristiwa G30S adalah landasan legitimasi politik, maka
9
TAP tersebut adalah sumber legalitas hukum dari praktik eksklusi mereka
yang dianggap “kiri.”
Sebagaimana asal-usul malam 1 September yang belum jelas, jumlah
korban juga tak jelas adanya. Team Fact Finder yang dibentuk oleh
Soekarno pada tahun 1966 memunculkan jumlah 78.000. Hanya saja jumlah
tersebut dinilai terlalu kecil (atau dikecilkan) bahkan menurut ketua tim
sendiri. Jumlah lain muncul pula dari sarjana barat yang berdasarkan
penelitian merumuskan angka sekitar 300.000 hingga satu juta orang. Angka
tertinggi justru muncul dari Sarwo Edhie selaku pemimpin operasi
pembersihan dengan mengatakan jumlah tiga juta orang. Berikut adalah
angka prediksi dari berbagai pihak:20
No. Penstudi Prakiraan Korban
1 Kirk -1966 150.000
2 Anderson & McVey -1966 200.000
3 Turner -1966 300.000-600.000
4 King-1966 300.000
5 Topping-1966 150.000-400.000
6 The Economist (mengutip Kopkamtib) -1966 1.000.000
7 Mellor- 1966 2.000.000
8 Wertheim-1967 400.000
9 Hughes-1967 200.000
10 Komisi Pencari Fakta -1965 78.000
20 Robert Cribb. Masalah-Masalah dalam Penulisan Sejarah Pembantaian Massal di Indonesia.
10
11 Anggota Komisi Pencari Fakta 780.000
12 Adam Malik 160.000
13 L.N. Palar 100.000
14 Washington Post 500.000
15 Contenay -1967 100.000-200.000
16 Grant-1967 200.000-300.000
17 Vittachi-1967 300.000-500.000
18 Paget-1967/68 100.000-300.000
19 Moser-1968 400.000
20 Sullivan-1969 300.000-500.000
21 Lyon-1970 200.000-500.000
22 Henderson-1970 400.000-200.000
23 Dahm-1971 200.000
24 Sloan-1971 300.000
25 Polomka-1971 150.000-300.000
26 Legge-1972 200.000-250.000
27 Neil-1973 750.000
28 Palmier-1973 200.000
29 Sievers-1974 200.000-400.000
30 Repression & Expliotation -1974 500.000-1.000.000
31 Laksamana Sudomo 450.000-500.000
32 Fryer & Jackson 100.000-500.000
33 Pluvier-1978 500.000-1.000.000
34 Caldwell & Utrecht -1979 500.000
35 Legge-1980 250.000
11
37 Frederick-1983 750.000
38 Anderson-1985 500.000-1.000.000
39 Mody-1987 500.000-1.000.000
Tabel 1
Disamping tabel diatas, jumlah paling tinggi justru muncul dari ketua
operasi pembersihan sendiri; Sarwo Edhie Komandan Resimen Paramiliter
Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang menyatakan bahwa tiga juta
orang terbunuh dan sebagian besar diantaranya dilakukan dibawah
perintahnya.21 Prakiraan jumlah korban yang dipaparkan diatas tersebut
diluar mereka yang dibuang dan kerja badan maupun dipenjara selama
bertahun-tahun tanpa pengadilan. Sebagaimana jumlah korban pembunuhan,
juga tidak terdapat jumlah yang pasti mengenai berapa orang yang
mengalami pembuangan maupun penahanan. Pada tahun 1970 muncul
angka 600.000-750.000 dari sarjana barat, Amnesty International di tahun
1977 memperkirakan angka sampai satu juta orang, dan pada tahun 1981
pemerintah merilis jumlah sebesar 1,5 juta orang dan 1,7 juta orang pada
rilis tahun 1985 yang tersebar dalam berbagai penjara baik lokal maupun
pembuangan khusus seperti Pulau Buru dan Plantungan.22
21Op Cit Douglas Kammen & Katharine McGregor dalam Introduction…. Hlm 9
22 John Roosa dkk (ed). Tahun Yang Tak Pernah Berakhir Memahami Pengalaman Korban 65
Esai-Esai Sejarah Lisan.ELSAM, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia. Jakarta. 2004. Hlm 9 keterangan ini terdapat dalam bagian catatan kaki nomor 25 dalam buku tersebut. Lihat juga Robert Cribb.Introduction… dalam Op Cit Rober Cribb (ed). The Indonesian
12
Berikut adalah sedikit gambaran mengenai kehidupan para tapol
selama menjalani proses penahanan yang diperoleh dari penelusuran
kepustakaan maupun penelitian permulaan.23 Dalam Nyanyi Sunyi Seorang
Bisu, Pramoedya menyampaikan kehidupan para tapol. Beberapa diantara
mereka, karena buruknya persediaan dan suplai makanan (yang berikutnya
mengharuskan mereka untuk kerja badan untuk memenuhi kebutuhan
hidup)24 yang sangat terbatas. Para tahanan diberi jatah makanan tiga kali
sehari dengan ukuran kaleng sepatu sehingga untuk memenuhi kebutuhan
gizi, mereka memakan apa saja yang dapat ditemukan. Dengan kondisi
demikian, banyak pula yang hidup dengan hanya menyisakan kulit yang
menempel dengan tulang.25 Hasan (nama samaran), seorang pelajar yang
dikirim pada masa Soekarno belajar di Rusia. Ketika pulang pada tahun
1971, Hasan ditangkap dan dengan segera dimasukkan dalam sel isolasi
selama enam bulan yang kemudian dilanjutkan sebagai tahanan penjara dan
kerja badan selama beberapa tahun lamanya.26 Herlambang (nama samaran),
tidak pernah terlibat sama sekali dengan organisasi politik, dirinya adalah
korban salah tangkap. Selama proses pemeriksaan mengalami penyiksaan
23 Penelitian permulaan dalam bentuk proposal skripsi telah saya presentasikan dan pertahankan
di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijparanata Semarang pada 11 Maret 2015 dengan judul; Pemaknaan Hidup Eks-Tapol 1965. Untuk selanjutnya, beberapa bagian yang memerlukan data empiris dari penelitian ini akan merujuk pada penelitian tersebut.
24Pramoedya Ananta Toer.Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1. Hasta Mitra. Jakarta. 2000. Hlm 324 25 Ibid hlm 4
13
oleh aparat meski dirinya berani melawan sehingga berujung dimasukkan
dalam kamar tahanan khusus yang berisikan mayat.27
Tahanan perempuan pada umumnya mengalami siksaan yang lebih
mengerikan. Selain siksaan fisik, tahanan perempuan mengalami pula
kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Beberapa bahkan mengalami
perkosaan dengan cara-cara yang demikian keji seperti penggunaan senjata,
perkosaan beruntun, dan lain sebagainya. 28 Hasil penelitian Komnas
Perempuan menunjukkan bahwa sebagaimana dialami oleh tahanan
laki-laki, penangkapan tahanan perempuan juga dilakukan berdasarkan
keanggotaan PKI maupun organisasi yang dianggap memiliki kedekatan
ideologis, juga pada mereka yang tidak terlibat sama sekali dengan gerakan
politik.29
Terdapat penentangan terhadap tindakan orde baru tersebut. Mochtar
Lubis dari Harian Indonesia Raya misalnya, meski merupakan oposan keras
rezim Soekarno dan sempat ditahan beberapa lama pada masa Orde Lama,
namun dirinya dalam berbagai kesempatan menolak keras dan meminta
adanya klarifikasi serta upaya lebih lanjut atas pembunuhan dan
penangkapan massal.30 Selain itu terdapat pula penentangan dari dunia
27 Hasil wawancara dengan Herlambang, nama asli disamarkan
28 Lihat Ita F. Nadia. Suara Perempuan Korban Tragedi ’65. Galang Press. Yogyakarta. 2007. Buku
ini menceritakan pengalaman para perempuan korban 1965 selama proses penahanan hingga setelah bebas. Seluruh cerita yang terkandung didalamnya berisikan ratapan korban yang telah mengalami kekerasan baik secara fisik, seksual, dan psikis.
29 Lihat Komnas Perempuan. Mendengar Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965. Jakarta. 2007
Khususnya pada bab III di hlm 68-105
30Atmakusumah & Sri Rumiati Atmakusumah (peny).Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian
14
internasional mengenai tragedi 1965 tersebut.Pada awal tahun 1970an,
tekanan tersebut semakin kuat baik dari NGO internasional seperti Amnesty
International dan negara-negara pemberi donor yang mengancam menghentikan bantuan donor apabila para tapol yang ditahan tidak segera
dibebaskan.31 Tekanan internasional tersebut berhasil dengan gelombang
pembebasan yang dimulai pada tahun 1979. Sejak pembebasanya, para
eks-tapol dikenai wajib lapor hingga tahun 1997 yang merupakan pemilu
terakhir di masa Orde Baru, selain itu, kebijakan diskriminatif juga dialami
oleh ratusan orang WNI di luar negeri karena paspornya dicabut paksa oleh
KBRI.32 Meski dibebaskan dan diproses tanpa persidangan, para eks-tapol
pada KTP berdasarkan Inmendagri No.32/1981 dibubuhi tanda “ET” untuk
membedakanya dari warga biasa, selanjutnya pada tahun 1991 berdasarkan
Pada masa-masa awal kekuasaan Orde Baru, Moctar Lubis “secara halus” telah menyampaikan keberatan atas penahanan dan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Soeharto.Hal tersebut dapat dilihat dalam tajuk “Asal Jangan Jadi Pekerja Budak” yang menentang kerja badan dalam masa pembuangan tanpa pengadilan (27 Januari 1969), “Hadapilah dengan Muka Terbuka” (5 Maret 1969), “Jangan Jadi Simpang Siur” (6 Maret 1969), “Penyelesaian’Peristiwa Purwodadi’” (18 Maret 1969) tentang pembantaian massal di Purwodadi sebagaimana diungkapkan oleh H.J.C. Princen. Meski kemudian dia sempat kembali mengecam soal bahaya totalitarianisme Komunisme dalam “Menghadapi Komunisme, Soal Hidup atau Mati” (22 April 1969). Tak lama kemudian dia kembali mengingatkan soal hak para tahanan yang tak kunjung mendapat pengadilan dala “Penyelesaian Tahanan Gestapu/PKI” (20 Agustus 1969), ancaman stigma PKI pada petani dalam “Petani Jangan Ditakut-takuti!” (17 Februari 1970), Perlunya klarifikasi sejarah setidaknya keterlibatan Soekarno dalam G-30-S dalam “Demistifikasi Soekarno” (30 Juni 1970), Pengadilan terhadap tahanan PKI dalam “Mawas Diri Sebentar” (11 September 1970), soal penangkapan yang membabi buta pada “18 September, Hari Pengkhianatan PKI” (18 September 1970), kembali soal tahanan tertuduh PKI dalam “Penyelesaian Tawanan Gestapu/PKI kelas C” (25 September 1971), soal pembunuhan di Pulau Buru dalam “Pembunuhan di Pulau Buru” (19 Oktober 1972). Dari tajuk-tajuk tersebut setidaknya dapat terlihat sikap dari moderat Muhtar Lubis yang disatu sisi mengingatkan bahaya laten dan perlunya tindakan Kopkamtib, namun disisi yang lain menolak penangkapan dan pembunuhan besar-besaran. Tajuk-tajuk tersebut setidak-tidaknya memperlihatkan gambaran umum mengenai situasi politik pada saat itu.
31Mudjayin. Dibebaskan Tanpa Kebebasan, Beragam Peraturan Diskriminatif yang Meilikit
Tahanan Politik Tragedi 1965-1966. Kontras. Jakarta. 2008 hlm 1
15
Kepmendagri No.24/1991 menyatakanbahwa eks-tapol tak bisa memperoleh
KTP hingga seumur hidup, yang belakangan baru dicabut pada tahun 2005.
Sebagaimana telah diutarakan, sejarah awal mengenai bagaimana
awal-mula kejadian G-30-S tidaklah pernah beres, yang jelas adalah
bagaimana kebenaran sejarah versi Orde Baru diteguhkan dengan pendirian
Monumen Pancasila Sakti dan Hari Peringatan Kesaktian Pancasila, sebuah
monumen di Lubang Buaya yang menceritakan kekejaman pembunuhan
para Jenderal oleh PKI dan kader Gerwani, yang menceritakan pula sisi
heroik dari Jenderal Soeharto. Rezim Orde Baru melegitimasi kekuasaan di
bidang kebudayaan melalui pembuatan film Pengkhianatan G-30-S PKI
karya Arifin C. Noer yang diputar secara rutin di Televisi negara dan Novel
karya Arswendo Atmowiloto yang berulangkali naik cetak menunjukkan
bagaimana Orde Baru melegitimasi dirinya.33 Keduanya dibuat berdasarkan
sejarah versi Orde Baru yang disusun oleh Nugroho Notosutanto sejawaran
Universitas Indonesia yang memiliki kedekatan dengan militer.34
33 Wijaya Herlambang. Kekerasan Budaya Pasca 1965; Bagaimana Orde Baru Melegitimasi
Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film.Marjin Kiri. Yogyakarta. 2013 hlm 163, 171
34Peran Notosutanto sendiri sesungguhnya lebih memihak pada siapapun yang berkuasa, pada
16
Kembali pada catatan Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu, Pram menunjukkan kehidupan eks-tapol yang dibuang ke
Pulau Buru tanpa proses pengadilan dan seusai menjalani pembuangan, para
eks-tapol diwajibkan untuk lapor pada tiap jangka waktu yang ditentukan
walaupun tidak ada proses pengadilan yang pernah menjatuhkan vonis pada
mereka,35 hal tersebut sekaligus menjadi pembeda antara narapidana politik
dan tahanan politik, istilah pertama merujuk pada penangkapan yang
melalui proses hukum dan putusan pengadilan, sedangkan yang kedua tidak.
Sebagaimana banyak dicatat oleh para sejarawan, peristiwa pasca
September 1965 lebih banyak penangkapan dilakukan tanpa prosedur
hukum. Catatan Pramoedya Ananta Toer mengenai penangkapan tanpa
proses hukum dan pengadilan sejalan dengan alur sejarah, berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975, yang mengatur bahwa seluruh
pegawai negeri sipil yang ditengarai terlibat dalam anasir PKI untuk dipecat
dan tidak diperbolehkan mengikuti pemilihan umum. Pada Tahun 1985
kembali lahir Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1985 Tentang Tata Cara
Penelitian dan Penilaian Terhadap Warga Negara Republik Indonesia yang
Terlibat G.30.S/PKI Yang Dapat Dipertimbangan Penggunaan Hak
Memilihnya Dalam Pemilihan Umum, berdasarkan Keppres tersebut
Tahanan Politik dibagi menjadi tiga golongan; Golongan A adalah bagi
yang terlibat secara langsung, Golongan B adalah bagi yang tidak terlibat
35Op Cit Pramoedya Ananta Toer.Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1… Pramoedya menceritakan bahwa
17
langsung dan Golongan C yang diduga terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pembagian dalam tiga golongan tersebut memiliki
konsekuensi tersendiri dalam penggunan hak pilih.36
Uraian diatas memperlihatkan bagaimana “manusia” sebagai adressat
hukum bertemu dalam satu batas-batas tertentu.Dalam situasi khusus,
adegium seperti kesamaan dimuka hukum berhadapan dengan momen –
meminjam istilah Agamben- tak-terputuskan. Maka hukum untuk manusia
dimana hukum sebagai instrumen untuk manusia berubah menjadi hukum
untuk peneguhan kedaulatan.Permasalahanya, situasi pergantian rezim
otoritarian dengan harapan menuju masa yang lebih demokratis tidak
dibarengi dengan penegakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM oleh
penguasa pada masa sebelumnya.Upaya-upaya seperti reparasi; rekonsiliasi,
restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan berbagai upaya pemulihan hak lainya
tidak terjadi di Indonesia dimana yang terjadi adalah praktik pelanggengan
impunitas.37
Terkhusus untuk peristiwa 1965, proses berjalan lebih
lambat.Pengakuan maupun pengusutan secara resmi mengenai peristiwa
tersebut berlaku seiring dengan masih kuatnya sejarah orde baru –
pencongkelan mata dan pemotongan penis gerwani- dalam menciptakan
36Terakhir terdapat dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 12/2003 yang kemudian
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/ 2003
37 Suparman Marzuki. Pengadilan HAM di Indonesia, Melanggengkan Impunity.Penerbit Erlangga.
18
fobia komunisme. Hal ini terlihat dari berbagai peristiwa; dari pembubaran
diskusi38, pembakaran peti mati,39 kampanye presiden,40 pemukulan tapol,41
sweeping buku-buku kiri42 dan lain sebagainya menunjukkan hal tersebut.
Selain itu, pada masa pasca-Soeharto, adalah Presiden Abdurrahman Wahid
yang pertama kali mengutarakan permintaan maaf dan bahkan wacana
penghapusan TAP MPRS/XXV/1966 yang menurutnya sudah tidak lagi
relevan.43 Hanya saja, permintaan maaf tersebut mendapat tantangan yang
luar biasa, termasuk dari basis akar-rumput Presiden Gus Dur sendiri.44
Lebih lanjut, hasil dari penelitian dan penyelidikan Komnas HAM mengenai
indikasi pelanggaran berat HAM 1965 dikembalikan oleh Jaksa Agung dan
hingga kini belum ada kemajuan yang berarti.45 Terlebih, upaya alternatif
melalui jalur rekonsiliasi juga kandas dengan Keputusan Mahkamah
38 Pembubaran diskusi Harry Poeze di Komunitas C59 Surabaya, ancaman pembubaran diskusi
serupa di Semarang, pembubaran diskusi dan pemutaran film Act of Killings dan The Look of Silence di berbagai tempat dilakukan dengan dalih penyebaran komunisme tersebut.
39Peristiwa penggalian makam-massal di Hutan Kaliwiru Wonosobo dan pemakaman ulang yang
berujung pada pembakaran peti mati beserta rumah penyumbang tanah makam tersebut.Lihat dalam Katherine Mcgregor.Mass Grave and Memories of the 1965 Indonesian Killings.Dalam Op Cit Douglas Karmen & Katharine McGregor. The Contours of Mass Violence in Indonesia,
1965-68… hlm 234-262.
40 Munculnya isu calon presiden masa itu, Joko Widodo, sebagai anak keturunan PKI yang sempat
ramai dalam berbagai media massa dalam upayanya untuk mendiskreditkanya menunjukkan bagaimana label “PKI” masih menjadi label yang menakutkan.
41Peristiwa sosialisasi dan pengobatan gratis para tapol yang diadakan di Yogyakarta berujung
pada penggrebekan dan pemukulan para tapol yang kebanyakan telah berusia lanjut.
42 Di Yogyakarta, FPI membakar dan mensweeping buku-buku yang dianggap berbau kiri di
berbagai toko buku di Yogyakarta. LihatIwan Awalludin dkk. Pelarangan Buku di Indonesia, Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. PR2Media. Yogyakarta. 2010.Hlm 108 disamping itu, Iwan Awalludin dkk juga menunjukkan berbagai praktik sensor seperti buku Pramoedya, buku Ribka Diah Tjiptaning, dan lain sebagainya.
43lihat Marry S. Zurbucgen. History, Memory , and the ‘1965 Incident’ In Indonesia. University
California Press 2002 hlm 572 upaya Gus Dur lain dapat dilihat dalam Budiawan. Menolak Pewarisan Ingatan. Elsam. 2004. Jakarta. Hlm 24-29 Yang menunjukkan bagaimana pandangan politik Gus Dur yang inklusif dan upayanya untuk “memotong” warisan dari rezim terdahulu.
44 Loc Cit
19
Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang 27/2004 KKR pada tahun
2006.46
Uniknya, lambatnya upaya dan masih kuatnya fobia komunisme
tersebut terjadi pada masa transisi kekuasaan dimana pada masa ini muncul
instrumen-instrumen HAM yang menjamin hak-hak sipil serta kebebasan
berpendapat yang secara umum berlangsung lebih baik semenjak TAP MPR
Nomor XVII/MPR/1998 disusul Amandemen UUD 1945. Soal kewajiban
dalam hal upaya penjagaan dan pemulihan tersebut terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia […]”
Terdapat pula dalam Pasal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
yang menyatakan :
Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.
Selanjutnya terdapat pula dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor
39/1999 yang menyatakan bahwa :
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum interasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik indonesia.
Pasal 2 ayat 3 Konvensi Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi dalam
Undang-Undang Nomor 11/2005 yang menyatakan:
20
Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji;
a. Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasanya
diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.
b. Menjamin bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan
tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau lembaga berwenang lainya yang diatur oleh sistem hukum Negara tersebut, untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan.
c. Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan
melaksanakan penyelesaian demikian apabila dikabulkan.
Pasal 9 ayat 5 dari konvensi yang sama menyatakan:
Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat kerugian yang harus dilaksanakan.
Disamping itu terdapat pula peraturan yang berkaitan dengan
pemenuhan hak yang tersirat dalam perlindungan Negara dalam berbagai
instrumen hukum lainya.Inilah permasalahan utamanya karena untuk
memperoleh rekognisi hak yang dirampas diperlukan adanya upaya hukum
sebagaimana diatur dalam UU 26/2000 dan Peraturan Pemerintah 3/2002
yang sebagaimana diketahui, belum berjalan. Hal yang agak berbeda terjadi
di Chile dan Afrika Selatan, dua negara yang sama-sama mengalami transisi
kekuasaan dari rezim sebelumnya. Detil dari keduanya akan dibahas dalam
tempat lain.
Di Chile, Presiden Salvatore Allende dari Unidad Popular dan koalisi
21
kaum buruh dan petani.47 Kekuasaan Allende tidak berlangsung lama karena
pada tahun 1973 dirinya dikudeta dari golongan kanan yang dipimpin oleh
militer Augusto Pinochet. Selama masa kepemimpinan Pinochet, seluruh
elemen kiri dibersihkan melalui penghilangan dan pengadilan semena-mena
pada sebagian lainya. Pada saat jatuhnya Pinochet pada tahun 1990,
Presiden Aylwin memprioritaskan agenda untuk “menyembuhkan luka”
terutama terhadap tahanan politik, pembuangan, dan pembunuhan politik,
tak lama kemudian,48 Aylwin segera membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Tim tersebut, dengan segala kendala yang ada, berujung pada
pembebasan para tahanan politik dan pemberian jaminan kesehatan pada
para korban.49 Era ini ditandai pula dengan dihapusnya Undang-Undang
militer yang memberikan impunitas pada pelaku kejahatan pada masa
Pinochet dan Pinochet sendiri akhirnya sempat memicu polemik dengan
tuduhan Pelanggaran berat HAM termasuk genosida, penculikan,
penguburan illegal, dan lain sebagainya ketika dirinya berada di Inggris
dengan permintaan ekstradisi dari Spanyol.50 Sumbangsih berharga dari tim
KKR Chile ini adalah melalui dirilisnya dua laporan dalam waktu yang
berbeda; Rettig’s Report dan Valech Report.
47Lihat dalam Arief Budiman.Jalan Demokratis ke Sosialisme, Pengalaman Chili di bawah
Allende.Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1987
48 Aylwyn dalam Kongres Nasional 21 Mei 1990 menyatakan “I am undertaking the complex task
of healing the wounds that remain from the past. This requires us to address three issues, which we are now tackling with a sense of fairness by ways of reason and law: the so-called ‘political
prisoners,’ the exiled, and political murders” dalam Elizabeth Lira. Human Right in Chile, The Long Road to Truth, Justice, and Reparations dalam Silvia Borzutzky & Lois Hecht Oppenheim (ed). After Pinochet; The Chilean Road to Democracy and the Market. University Press of Florida. Gainesville. 2006. Hlm 5
22
Di Afrika Selatan, sistem Apertheid atau pembedaan berdasar warna
kulit memiliki latar belakang yang kuat, bahkan dari sejarah berdirinya
Afrika Selatan itu sendiri.51 Melalui sistem Apartheid, warga kulit hitam
tidak memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemilu dan keikutsertaan
institusi politik, kebebasan gerak dan kependudukan, yang bersamaan
dengan hal tersebut terjadi pelanggaran hak serius dan pengadilan tidak adil
terhadap kebebasan berpendapat secara masif termasuk diantaranya
pembunuhan, penyiksaan, penahanan tanpa pengadilan, larangan individu
maupun organisasi akan kegiatan politik belum lagi ketimpangan
sosial-ekonomi yang tejadi selama masa apartheid.52 Perubahan terjadi pada tahun
1990 dimana Nelson Mandela yang saat itu adalah tahanan politik,
melakukan pertemuan dengan De Klerk pada 1989 dan terpilih menjadi
Presiden pada tahun 1990. Dibawah Mandela, apartheid berakhir dan
dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dipimpin oleh Desmond Tutu
dengan titik berat penyampaian kebenaran melalui proses hearing yang
disertai dengan pemberian pengampunan –amnesti- bagi pelaku yang
mengakui perbuatanya.
51 Terutama melalui penemuan Emas dan Berlian pada sekitar tahun 1865 yang menarik banyak
imigran dari Eropa datang ke Afrika Selatan dan tarik ulur politik antara koloni Inggris dan Belanda. Kondisi ini menciptakan empat golongan masyarakat berbeda yang merupakan cikal-bakal segregasi sosial Afrika Selatan; golongan inggris, golongan kulit putih, golongan Boer, dan golongan afrika kulit hitam yang hidup dengan kondisi yang mengenaskan. Lihat dalam Racism and Apartheid in Southern Africa; South Africa and Namibia. The Unesco press. Paris. 1974. Hlm 8-21
52 Sandra Liebenberg. Human Development and Human rights South African Country
23
Dua negara yang disebutkan diatas sama-sama memiliki masa lalu
yang menakutkan; dimana ada manusia yang dianggap tidak sepenuhnya
merupakan anggota dari komunitas politiknya; golongan kiri pendukung
Allende di Chille dan warga kulit hitam di Afrika Selatan. Namun dua
negara tersebut sekaligus menunjukkan pembeda dari yang terjadi di
Indonesia; adanya upaya pelampauan atas situasi tersebut; yaitu dengan
menerima masa lalu dan menyambut langkah kedepan.Situasi pergantian
rezim tersebut menggambarkan pula bagaimana situasi batas keanggotaan
memperluas dirinya, rekognisi keanggotaan yang berarti rekognisi atas hak.
Secara ringkas terlihat bagaimana situasi batas yang menentukan
manusia dan hukum dalam konteks negara, atas nama penjagaan hak,
merampas hak. Apa yang tersisa dari penjagaan dan sekaligus perampasan
hak tersebut adalah manusia telanjang, manusia yang berada dalam cakupan
yurisdiksi kedaulatan penjagaan-perampasan hak tersebut, yang berada pada
posisi ambigu dimana status kemanusiaanya dapat direnggut
sewaktu-waktu. Sebagai studi hukum, ranah studi ini menyangkut pula sisi
preskriptifnya, yaitu pelampauan dari ambiguitas penjagaan-perampasan
hak tersebut sebagaimana terjadi di Chilli dan Afrika Selatan.
Uraian diatas menunjukkan relevansi dari studi ini; pertama untuk
menunjukkan bagaimana kedaulatan bekerja dalam menentukan tubuh mana
yang hidup dan mana yang dimatikan, kedua bagaimana narasi atas hidup
para manusia telanjang, dan ketiga menunjukkan upaya-upaya pemulihan
24
B. Rumusan Masalah
Bagaimana negara-hukum Republik Indonesia dalam situasi khusus
[state-of-exception] yang berawal dari 1965 melalui peneguhan kedaulatan
menciptakan manusia-telanjang [Homo Sacer], yaitu mereka yang berada di
dalam sekaligus di luar kedaulatan ?
Penjelasan atas pertanyaan tersebut akan memerlukan jalan memutar
dengan pertanyaan lain; Apa hubungan antara hukum dan keadilan,
bagaimana manusia-telanjang menjalani hidup terbatasnya dan untuk
melampaui kondisi tersebut, berdasarkan dari data yang dikumpulan,
bagaimana konsep mengenai yang-adil dapat diwujudkan dalam keadilan
transisional? Pertanyaan terakhir ini dijawab dengan studi komparasi
keadilan transisional di beberapa negara.Studi ini membatasi diri pada
bagaimana hak dapat dirampas dan bagaimana mengembalikanya.Batasan
ini sekaligus menunjukkan relasi antara pentingnya alur historiografi dengan
rumusan masalah yang diajukan diatas. Jadi studi ini tidak dapat
memberikan semacam apa yang terjadi pada malam 1 Oktober, melainkan
bagaimana setelah malam-malam itu terjadi berbagai peristiwa yang
merubah sendi kehidupan kita dan apa yang seharusnya dilakukan setelah
itu. Studi ini juga bukan studi yang terlokalisir pada satu wilayah tertentu
untuk kemudian menentukan unsur-unsur hukum yang terjadi terkait dengan
HAM, namun lebih kepada gambaran umum, kisah-kisah personal,
barangkali seabagai skema kasar dan mini report KKR karena dalam
25
Meskipun dengan pembatasan yang demikian, beberapa alur sejarah dan
studi dalam locus tertentu yang telah dilakukan oleh peneliti lain akan tetap
disajikan disini dalam bagian tinjauan kepustakaan.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
C.1. Tujuan Penelitian
Melakukan analisa mengenai bagaimana hak dapat dijaminkan
sekaligus dirampas melalui peneguhan kedaulatan, bagaimana hukum
diberlakukan untuk meneguhkanya. Studi ini memberikan analisa pula
mengenai bagaimana pemulihan atas perampasan hak tersebut. Keduanya
menunjukkan pola kedaulatan negara dalam memisahkan mana yang disebut
sebagai manusia yang penuh dan mana yang bukan, termasuk bagaimana
rezim transisi yang baru menciptakan komunitas politik yang baru, yaitu
dengan memulihkan luka dari rezim sebelumnya.
C.2. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis, melihat relasi apa yang disebut sebagai negara-hukum
dengan pengakuan manusia dalam batas-batas tertentu, yang dalam hal ini
secara khusus menyoroti bagaimana relasi antara hukum dan kekuasaan
pada peristiwa 1965 yang berujung pada eksklusi atas kriteria “manusia”
tertentu. Selain itu juga memberikan perbandingan penanganan negara lain
terhadap korban pelanggaran HAM berat dalam konteks keadilan
26
Secara Praktis, memberikan masukan pada para pemerhati HAM,
korban 1965 dan lain sebagainya dalam melihat relasi hukum dan manusia
yang hendak diaturnya.
D. Kerangka Pemikiran
D.1. Penjaminan Hak dan Perampasan Atasnya
Sebagaimana namanya, Hak Asasi Manusia, seringkali dipandang
sebagai hak yang inheren, atau melekat secara otomatis pada segala entitas
yang disebut sebagai manusia.53Pandangan ini mengandaikan, bahwa
manusia, dalam keadaan apapun, memiliki kualitas tertentu yang tidak dapat
dikurangi sedikitpun; bahwa terdapat satu batasan umum mengenai hak-hak
yang tidak dapat dipisahkan dari manusia [inalienable rights]. Bahkan, Hak
asasi manusia dalam perkembanganya selama abad keduapuluh, meminjam
istilah Hoffman, telah menjelma menjadi doxa, yang telah benar dan ada
pada dirinya begitu saja.54
Universalitas Hak Asasi Manusi tersebut terdapat dalam Pasal 1
UDHR 1948 yang menyatakan:
53Contoh penganut pendapat ini dapat ditemukan misalnya dalam Rahayu. Hukum Hak Asasi
Manusia (HAM). Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 2010. Hlm 3-4, 10, Andrey Sujatmoko. Sejarah, Teori, Prinsip dan Kontroversi HAM. Makalah “Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM bagi Dosen-dosen Hukum HAM” oleh UII dan NCHR 11-13 Maret 2009 Yogyakarta. Hlm 1
54 Stefan-Ludwig Hoffmann. Genealogies of Human Rights.Dalam Stefan-Ludwig Hoffmann (ed).
Human Rights in the Twentieth Century. Cambridge University Press. 2011. hlm 1 dia mengatakan
27
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
Lebih lanjut, hak-hak dasar tersebut diatur dalam Pasal-Pasal
selanjutnya dalam Deklarasi. Abstraksi keterlekatan hak dan manusia
tersebut dapat pula ditemukan dalam Konvensi Sipol 1966 terutama dalam
Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan:
Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum.Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya sewenang-wenang.
Pasal 6 tersebut sebagaimana diatur oleh Pasal 4 ayat (2) bersama
dengan Pasal 7, 8 ayat (1) dan (2), 11, 15,16, dan 18 adalah jaminan hak
yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun [non derrogable rights].
Pada kenyataanya, apa yang disebut sebagai hak asasi manusia itu
sendiri mengandaikan manusia yang bersifat abstrak.55 Sementara manusia
pada sisi lain memerlukan situasi kongkrit dimana hak-hak tersebut dapat
diwujudkan atau dengan kata lain, hak-hak yang abstrak tersebut tidak dapat
dijaminkan apabila tidak terikat pada entitas tertentu, yaitu negara.
Mengandaikan bahwa satu hak ada begitu saja dan menjamin batas-batas
kemanusiaan, bagaimanapun adalah tidak mungkin apabila tidak terikat oleh
hukum dalam satu kedaulatan negara tertentu.56 Tanpa adanya keterikatan
55 Ibid hlm 14
56 Natalie Oman. Hannah Arendt’s “Right to Have Rights”: A Philosophical Context for Human