• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal

Fishing) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ). 1. Dasar Pemidanaan dan Penjatuhan Pidana

Pembahasan mengenai pidana dalam hukum pidana tidak akan habisnya mengingat justru aspek pidana merupakan bagian yang terpenting dari suatu undang-undang hukum pidana. Masalah pidana sering dijadikan tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan. Pemidanaan agar dapat dipahami lebih mendalam maka harus diketahui dasar dari pemidanaan yang dimulai dari aliran klasik.72

72 Teguh Presetyo dan Abdul Halim Halim Berkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hl. 73-75. Menurut J.D. Mabbott, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni hukum (purely legal matter). J.D. Mabbott memandang seorang “penjahat” sebagai seorang yang telah melanggar hukum, bukan orang jahat. Sebagai seorang retributivis, Mabbott memandang pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum tetapi dari pelanggaran hukum, artinya jahat atau tidak jahat, bila seseorang telah bersalah melanggar hokum maka orang itu harus dipidana. Menurut Ted Honderich, berpendapat pemidanaan memuat 3 (tiga) unsur, yaitu : 1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan.

2. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa.

3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya pada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat.

Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system, yaitu system sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Berkaitan dengan itu Sudarto menyatakan bahwa aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak

pidana.73 Aliran ini muncul pada abad ke XVIII yang berpaham interminisme

mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan kepada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan ( daad-strafrecht ), karenanya, system pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence). Artinya penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai system peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan factor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan/kejahatan yang

dilakukan.74

Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :75

d. Pidana mati untuk beberapa tindak pidana a. Definisi hukum dari kejahatan

b. Pidana harus sesuai dengan kejahatannya c. Doktrin kebebasan berkehendak

73 Ibid, hlm.76. Lihat Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pida Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974.

74 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm.25-26 dan 62.

75 hhtp://www.doktorsetyoutomo.files.wordpress.com./sistem pemidanaan diakses tanggal 20 Mei 2013.

e. Tidak ada riset empiris dan

f. Pidana yang ditentukan secara pasti

Pada abad XIX lahirlah aliran modern yang mencari sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan kehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah pidana, menurut aliran modern ini harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme dan menghendaki adanya individualisme

pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.76

Aliran modern memiliki cirri-ciri sebagai berikut :77

76 Ibid, hlm. 64.

77 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit.hlm.25-26. a. Menolak definisi hukum dari kejahatan

b. Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana c. Doktrin determinisme

d. Penghapusan pidana mati e. Riset empiris dan

Perkembangan selanjutnya muncullah aliran neo-klasik yang juga menitikberatkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia (doctrine of free

will). Aliran ini telah berkembang selama abad XIX yang mulai mempertimbangkan

kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran neo-klasik menyatakan dengan tegas bahwa konsep keadilan sosial berdasarkan hukum,

tidak realistis dan bahkan tidak adil.78 Aliran ini berpangkal dari aliran klasik yang

dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi aliran modern. Ciri dari aliran ini yang relevan dengan prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggung jawaban pidana. Beberapa modifikasinya antara lain, diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating-circumstance) baik fisikal, lingkungan maupun mental, termasuk keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya kejahatan. Juga diperkenankan (expert testimony) untuk menentukan derajat

pertanggungjawaban pidana.79

78 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.26.

79 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit.hlm.65-66

Bertitik tolak dari konsepsi-konsepsi ke dua aliran hukum pidana yang tersebut di atas, lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :

b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas “tiada pidana tanpa kesalahan)”.

c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran / fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana

(perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.80

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 2. Tujuan Pemidanaanan

Di Indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Tujuan pemidanaan bila dilihat dari pendapat sarjana seperti menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu :

a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (general preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventif), atau

81

80 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Adytia Bakti, 1996), hlm.43.

81 http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian jenis-jenis dan tujuan.html diakses tanggal 20 Mei 2013.

Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

P.A.F. Lamintang menyatakan pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :

a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri

b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, dan

c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain

sudah tidak dapat diperbaiki lagi.82

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan

Dari kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut :

a. Teori absolut atau teori pembalasan

82 Barda Nawawi Arief.Op.Cit.hlm.43.

itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedangkan pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan Imanuel Kant buku Filosophy of

Law,83

Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.

bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharusnya menerima ganjaran seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.

Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut :

84

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menajadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana” hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan.

83 E. Utrecht. Op.Cit. hlm. 157.

84 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm.26

Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjetif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku sedangkan pembalasan objetif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan

pelaku di dunia luar.85

Karl O. Cristiansen mengungkapkan ciri dari teori retributif, yaitu :

Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana ringan pun terkadang merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor, misalnya apakah pelaku tindak pidana itu memiliki lapangan kerja atau tidak. Apabila pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya akan tetap seperti lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada kecenderungan untuk melakukan tindak pidana kembali.

86

e. Pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan

b. Pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat.

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat

85 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hl. 31. 86 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.17

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori absolut ini, Romli

Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut :87

Dilihat dari sejarahnya mungkin teori ini dipandang tepat pada zamannya. Akan tetapi dalam konteks perkembangan masyarakat yang semakin beradab, maka sulit untuk menjelaskan bahwa seseorang dipidana hanya karena orang telah melakukan kejahatan. Meskipun rasa dendam ada pada setiap diri manusia dan kelompok 1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative.

2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keberuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness.

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality.

87 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 83-84.

masyarakat akan tetapi pemikiran yang rasional jelas tidak bijak untuk mengikuti tuntutan balas dendam. Justru tugas pemikir untuk mengarahkan perasaan dendam pada tindakan yang lebih bermartabat dan bermanfaat.

b. Teori relatif atau teori tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu :88

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan 1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de

maatschaapplijke order).

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan ( het herstel van het doer de misdaad onstanemaatschaappelij

ke nadeel )

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader)

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de maken van de

misdadiger)

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad )

Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan pendapat tentang teori ini, bahwa :

88 Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum

tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan

melakukan kejahatan).89

Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang pendapatnya dapat dijadikan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bantham bahwa manusia merupakan mahluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuan dari pidana adalah :

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

90

b. prevensi khusus (special preventie) 1. mencegah semua pelanggaran

2. mencegah pelanggaran yang paling jahat 3. menekan kejahatan

4. menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu : a. prevensi umum (generale preventive)

89 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.16. 90 Ibid, hlm. 30-31.

Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan sebagai berikut; “prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar sedangkan prevensi khusus bertujuan menghindarkan

supaya pembuat (dader) tidak melanggar”.91

e. pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori utilitarian, yaitu:

a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi)

b. pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana. d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan

kejahatan.

92

91 E. Utrecht, Op.Cit, hlm.157.

Selanjutnya Muladi dan Arief mengatakan bahwa teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu : preventif, deterrence, dan reformatif. Teori ini diadopsi di Indonesia dan dijadikan dasar teori pemasyarakatan. Namun ternyata teori pemasyarakatan banyak juga kelemahannya. Karena latar belakang pelaku kejahatan dan jenis kejahatan yang beragam.

Dari uraian di atas, teori tujuan ini juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan. Berkenaan dengan pandangan Jeremy Bantham, bahwa manusia merupakan makluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Perlu dipersoalkan, karena kejahatan dilakukan dengan motif yang beragam. Tidak semua kejahatan dapat dilakukan dengan rasional, dalam melakukan kejahatan tidak jarang manusia melakukan tidak atas dasar rasional tapi lebih pada dorongan emosional yang kuat sehingga mengalahkan rasional. Ini artinya dari sisi motif kejahatan dapat diklasifikasikan atas kejahatan dengan motif rasional dan kejahatan dengan motif emosional.

Sistem hukum pidana Indonesia boleh dikatakan dekat dengan teori tujuan ini. Hal ini terbukti dengan perkembangan teori pemasyarakatan dan sistem dan sistem pemasyarakatan yang kemudian diimplementasikan dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Dari rumusan rancangan KUHP juga terlihat

kedekatan gagasan tersebut dengan teori relatif.93

93 Pasal 54 RUU KUHP Tahun 2005

c. Teori Gabungan ( Integratif )

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas ( teori absolut dan teori relatif ) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut

memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :94

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidak adilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus Negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relativf yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat, kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat.

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana, dan memaafkan terpidana. 94 Koeswadji, Op.Cit, hlm.11-12.

Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :95

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.

b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesui dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.

96

Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, idiologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat tujuan pemidanaan tersebut

95 Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati

di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm.24.

adalah : (a) pencegahan (umum dan khusus), (b) perlindungan masyarakat, (c)

memelihara solidaritas, (d) pengimbalan/pengimbangan.97

Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga R dan satu D, yakni :

Berlandaskan hasil pengkajian terhadap ketiga teori tujuan pemidanaan itu, pada akhirnya Muladi memunculkan konsep tujuan pemidanaan yang disebut sebagai tujuan pidana yang integratif (kemanusiaan dalam sistem Pancasila). Teori tujuan integratif tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang menimbulkan kerusakan individual dan masyarakat, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.

98

Teori gabungan pada hakekatnya lahir dari ketidakpuasan terhadap gagasan teori pembalasan maupun unsur-unsur yang positif dari kedua teori tersebut yang kemudian dijadikan titik tolak dari teori gabungan. Teori ini berusaha untuk menciptakan Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence, Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar hukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

97 Ibid, hlm. 61.

keseimbangan antara unsur pembalasan dengan tujuan memperbaiki pelaku kejahatan. Meskipun dimulai dengan menekan kekurangan dari teori pembalasan.

Dari uraian di atas, teori gabungan atau integratif pada dasarnya menganut tujuan pidana dan pemidanaan itu tidak tunggal. Sehingga dalam penerapannya teori ini menganut sistem dua jalur (double track system), sistem yang di dalamnya terdapat

Dokumen terkait