JAWA BARAT
6. Kejelasan kebijakan dalam melindungi dan melestarikan cagar budaya dan ilmu pengetahuan baik berupa gedung/monumen
4.3. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Sosial
Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi pemenuhan generasi yang akan datang. Dalam operasionalnya tidak terlepas dari ketiga ranah yaitu ranah ekonomi, lingkungan dan social atau triple bottom line. Indikator pembangunan dalam dimensi sosial sangat menentukan keberhasilan pembangunan secara keseluruhan. Beberapa hal yang terkait dengan permasalahan-permasalahan pada dimensi sosial seperti, demokrasi dan good governance, partisipasi masyarakat, empowerment (pemberdayaan), hak asasi manusia, keadilan, kesinambungan lingkungan, kesetaraan gender, dan lain-lain. Komponen-komponen ini menjadi indikator yang dapat menciptakan kondisi untuk mencapai tujuan pembangunan sesungguhnya, yaitu kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Pembangunan sosial sebagai bagian dari pembangunan nasional telah memperoleh pengakuan yang luas. Terbukti dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Sosial (World Summit on Social Development) di Copenhagen, Denmark tanggal 6-12 Maret 1995 yang lalu. Pada konferensi tersebut dibahas tiga isu utama yang sedang melanda dunia yaitu kemiskinan, penciptaan dan perluasan lapangan kerja dan penumbuhan gerakan solidaritas sosial nasional.
Oleh sebab itu untuk dapat memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat melalui pembangunan khususnya pembangunan sosial maka perlu dilakukan tidak hanya membangun untuk kepentingan organisasi dan masyarakat secara massal tetap juga memperhatikan kepentingan individu, keluarga dan kelompok dalam masyarakat. Perspektif mikro menekankan kepada pembangunan individual, keluarga, kelompok dan terkadang termasuk
juga organisasi. Program-program pembangunan harus diarahkan kepada penguatan individu, keluarga dan kelompok agar mereka dapat memperoleh kesejahteraan (well-being) sebagai modal sosial dalam pembangunan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Bain dan Hick yang dipetik Krishna dan Shradder (2000) yang mengatakan bahwa modal sosial mempunyai dua dimensi. Dimensi yang pertama yaitu dimensi kognitif, berkaitan nilai dan kepercayaan, solidaritas dan resiprositas yang mendorong ke arah terciptanya kerjasama dalam masyarakat guna mencapai tujuan bersama. Setiap kelompok etnik memiliki dimensi kognitif atau kadang disebut juga sebagai dimensi budaya sekalipun dalam kadar yang berbeda. Kekayaan nilai-nilai budaya sebagai modal sosial memungkinkan terpeliharanya hubungan yang harmonis, baik sesama warga masyarakat secara internal maupun dengan orang-orang dari kelompok suku/etnisitas yang berbeda.
Dimensi modal sosial yang kedua yaitu dimensi struktural, yang berupa susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat pada tingkat lokal, yang mewadahi dan mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan kolektif yang bermanfaat bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu untuk mencapai kemajuan dalam pembangunan terlebih dalam pembangunan sosial maka pembentukan invididu-individu yang tangguh dari segi mental dan kejiwaan, keluarga yang kukuh dan kelompok sosial yang kuat merupakan fondasi dasar dalam pembangunan. Individu, keluarga dan kelompok sosial sedemikian mempunyai kemandirian dan daya tahan dari pengaruh dan situasi perubahan di luar mereka. Kemandirian dan ketahanan ini memungkinkan mereka terhindar dari masalah-masalah sosial seperti
maladjustment, keruntuhan rumah tangga, dan konflik sosial antara kelompok dalam masyarakat. Situasi harmoni sedemikian memberi peluang kepada setiap orang untuk membangun diri mereka mencapai tingkat pendidikan tertinggi, memperoleh derajat kesehatan yang tinggi dan mencapai kesejahteraan ekonomi yang memadai.
Dalam operasionalnya pembangunan hutan berkelanjutan harus mengikuti konsep pembangunan berkelanjutan tersebut di atas. Pembangunan hutan dalam konteks pengelolaan kawasan lindung harus memberikan manfaat secara sosial dan ekonomi berkaitan dengan bagaimana sebuah kawasan atau ekosistem dapat diidentifikasi dan kemudian dilindungi karena mutlak keberadaannya untuk memenuhi kebutuhan dasar sebuah komunitas yang dinamis.
Dengan masuknya masyarakat dan berbagai pihak lainnya dalam pengelolaan hutan, maka membawa implikasi bagaimana membangun pengelolaan hutan khususnya kawasan lindung secara lestari yang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Hasil Konferensi Helsingki merumuskan 6 kriteria
manajemen perhutanan sosial yang berkelanjutan yaitu a). mempertahan dan meningkatkan sumberdaya hutan dan kontribusinya terhadap siklus karbon; b). mempertahankan kesehatan hutan dan vitalitasnya; c). mempertahankan meningkatkan fungsi produktif dari hutan; d). memelihara, mengkonservasi dan meningkatkan diversifikasi biologi dalam ekosistem hutan; e). memelihara dan meningkatkan fungsi protektif dalam menajemen hutan; f.) dan memelihara fungsi sosial ekonomi dan fungsi lainnya dari hutan (Wolfslehner et al. 2005). Dalam pengelolaan sumberdaya hutan khususnya di Jawa Barat yang telah ditetapkan minimal 45% kawasan lindung, h a r u s m e m p e r h a t i k a n dampak-dampak langsung pada sumber kehidupan masyarakat lokal sering terabaikan hingga bahkan hilang sama sekali. Hal ini dapat menyebabkan konflik antara kepentingan unit pengelolaan dan masyarakat tidak bisa dihindari. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan harus mengacu konsep dalam paradigm pembangunan dengan tujuan pembangunan milinium (milinium development goals/MDG) yang telah menjadi kesepakatan masyarakat internasional, termasuk masyarakat Indonesia, disebutkan bahwa tujuan pembangunan social adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat, meningkatnya kualitas kehidupan serta tercukupinya kebutuhan dasar. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan pendekatan pembangunan berkeadilan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan. Kaitannya dengan keterlibatan masyarakat dalam konteks pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, menurut Keraf dalam Siahaan (2007) bahwa terdapat lima prinsip, yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Prinsip Pemerataan dan Keadilan Sosial adalah semua orang dan kelompok masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses pembangunan dan kegiatan pembangunan;
2. Prinsip Demokrasi adalah pembangunan dilaksanakan atas kehendak rakyat, kepentingan rakyat dan untuk kesejahtaraan rakyat. Dengan kata lain adalah partisipasi rakyat diperlukan dalam merencanakan dan merumuskan kegiatan atau agenda pembangunan;
3. Prinsip Pendekatan Integral adalah pembangunan berkelanjutan mengedepankan integralisasi antara pengelolaan sumberdaya manusia dengan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam lainnya;
4. Prinsip Perspektif Hari Esok adalah mengelola dengan cara yang arif sumberdaya alam dan lingkungan untuk kepentingan ganerasi sekarang dan akan datang;
Kemudian filosofi bahwa pemerintah terlibat dalam pengelolaan hutan berkembang dari teori etika lingkungan (Antroposentris) dengan implikasinya bahwa sumberdaya alam dan lingkungan disediakan untuk kepentingan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Pemerintah memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan adalah menjalankan amanah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 yaitu mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, maka kepentingan pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Peluso (2006) dalam Maring (2010) menyatakan kepentingan negara dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah mewujudkan kekuasaannya atas sumberdaya hutan melalui cara menguasai hutan, spesies, tenaga kerja dan aspek ideologis. Dengan demikian pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat ini harus dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dalam kerangka melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat.
Untuk dapat menjamin keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung tidak terlepas dari aspek kelembagaan. Aspek kelembagaan merupakan salah satu hal terpenting dalam pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung. Ada beberapa hal dalam aspek kelembagaan pemberdayaan masyarakat ini yakni: pertama, peran dan sinergitas diantara para pihak (stakeholder), baik sinergitas antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan; kedua, akses masyarakat terhadap sumber daya kawasan dan dalam proses pengambilan keputusan; ketiga, social capital (kepercayaan, kebersamaan, partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan; keempat, posisi tawar masyarakat dalam kemitraan pengelolaan sumber daya hutan.
Berdasarkan hal tersebut, maka Aspek Sosial dalam konteks pengelolaan Kawasan Lindung merupakan indikasi tentang dukungan masyarakat terhadap keberadaan kawasan lindung agar dapat berfungsi secara optimal. Dari aspek social tersebut, fokus assessment akan dilihat dari Prinsip, Kriteria dan Indikator serta Verifier yang memastikan bahwa arahan aktivitas social dapat menjamin keberadaan dan luasan kawasan lindung.
4.2.1. Prinsip Aspek Sosial
Prinsip adalah suatu kebenaran atau hukum yang mendasari pola berpikir atau
bertindak yang melandasi pola hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan kawasan lindung untuk menjamin kualitas kawasan lindung baik keberadaan dan luasannya agar dapat berfungsi secara optimal. Memperhatikan tipe dan sebaran kawasan lindung di Jawa Barat, maka Prinsip sosial terkait dengan pengelolaan kawasan lindung adalah : Pengakuan dan keterjaminan
manfaat social dan kelembagaan bagi masyarakat adat/setempat. Dalam
assessment terhadap Prinsip dimaksud adalah memastikan bahwa masyarakat memiliki kelembagaan yang dapat mengarahkan dan meningkatkan keterlibatan secara aktif masyarakat dalam proses pembangunan dengan memanfaatkan modal sosial (social capital) untuk mendukung keberadaan kawasan lindung melalui internalisasi budaya pada praktek-praktek masyarakat yang diwujudkan dalam kearifan local dan kearifan tradisional pelestarian kawasan lindung.
4.2.2. Kriteria Aspek Sosial
Kriteria dari Aspek Sosial adalah suatu standar yang digunakan untuk menilai
dukungan masyarakat dalam bentuk kelembagaan dan keterlibatan masyarakat untuk menjamin keberadaan dan luasan kawasan lindung sesuai dengan Prinsipnya.
Kriteria atau standard yang menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki skema yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung, adalah sebagai berikut.
1. Kejelasan yuridiksi kawasan masyarakat hukum