• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4. Pembahasan Penelitian Tahap Dua

4.4.1.3. Penjenisan leukosit

Limfosit

Gambar 18, memperlihatkan bahwa sebelum periode infeksi virus, secara umum suplementasi kromium trivalensi dalam pakan mampu meningkatkan nilai prosentase limfosit hingga hari ke-28, kecuali perlakuan pakan berkromium 2.0 dan 2.5 ppm pada 25±2 oC (K2.Tii dan K3.Tii) yang terlihat telah mengalami penurunan nilai limfosit pada hari ke-28. Respon nilai limfosit tertinggi pada hari ke-28 dicapai oleh pola interaksi konsentrasi kromium 1.5 ppm dengan suhu 25±2 o

C (K1.Tii), diikuti oleh interaksi konsentrasi kromium 2.0 ppm dengan suhu 20 o

C (perlakuan K2.Ti). Sedangkan nilai limfosit terendah dicapai pada pola interaksi konsentrasi kromium 0 ppm dengan suhu 20±2 oC (K0.Ti). Pengaruh utama suhu terhadap nilai limfosit tanpa melihat pengaruh konsentrasi kromium berdasarkan uji Duncan menunjukkan bahwa pada (hari ke-14 dan 21) periode sebelum infeksi virus perlakuan Tii (25±2 oC) menghasilkan nilai limfosit lebih tinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan suhu Ti (20±2 oC).

Berdasarkan data yang telah diuraikan diatas terlihat bahwa pemberian pakan berkromium dengan konsentrasi yang tepat pada periode sebelum infeksi virus dapat meningkatkan nilai limfosit hingga nilai optimal baik pada suhu 20 maupun 25±2 oC. Seperti halnya respon leukosit, nilai respon limfosit menunjukkan pula bahwa tingkat pemanfaatan kromium pada suhu 25±2 oC

diduga lebih efisien sehingga untuk mencapai respon terbaik hanya membutuhkan tingkat konsentrasi kromium 1.5 ppm, dan aplikasi kromium pada konsentrasi 2.0 dan 2.5 ppm pengaruh kromium bersifat negatif (telah dijelaskan pada butir leukosit). Sebaliknya pada suhu 20±2 oC membutuhkan tingkat kromium pada konsentrasi yang lebih tinggi (2.0 ppm).

Gambar 18, memperlihatkan bahwa setelah infeksi (hari ke-36), semua perlakuan pemberian pakan berkromium dan kontrol mengalami penurunan nilai limfosit. Pada hari ke-43, kecuali perlakuan kromium 2.0 ppm dengan suhu 20±2 o

C (K2.Ti), semua perlakuan pemberian pakan berkromium baik pada suhu Ti, maupun Tii masih mengalami penurunan, namun secara umum nilai prosentase limfosit setelah penurunan masih jauh lebih tinggi dibanding kontrol (K0: kromium nol ). Pada kontrol (K0) dengan suhu 20 oC dan 25±2 oC, penurunan prosentase limfosit hingga nilai yang drastis terjadi pada hari ke-36 sehingga mulai mengalami peningkatan pada hari ke-43, namun menurun kembali pada hari ke-50.

Respon nilai limfosit tertinggi pada hari ke-43, 50 dan 57 dicapai pada pola interaksi konsentrasi kromium 2.0 ppm dengan suhu 20±2 oC (K2.Ti) secara berurut nilainya 61.3; 49.3; 51.3% diikuti oleh interaksi konsentrasi kromium 1,5 ppm dengan suhu 25±2 oC (perlakuan K1.Tii) secara berurut nilainya 58.7; 48.0; 49.0%. Sedangkan nilai limfosit terendah dicapai pada pola interaksi konsentrasi kromium 0 ppm dengan suhu 25±2 oC (K0.Tii) secara berurut nilainya 41.7; 40.3; 41.0%.

Hasil penelitian tahap dua menunjukkan bahwa suplementasi kromium-ragi pada konsentrasi yang optimum tercatat mampu memberikan peningkatan nilai prosentse limfosit baik pada suhu 20 oC maupun 25±2 oC selama periode sebelum infeksi dan mempertahankan nilai limfosit secara lebih baik selama periode infeksi virus. Hal ini menggambarkan bahwa suplementasi kromium trivalensi mampu mengatasi pengaruh immunosupressi yang disebabkan oleh suhu maupun virulensi virus (telah dijelaskan pada butir 4.4.1.2 pembahasan nilai total leukosit ). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa respon nilai limfosit tertinggi pada hari ke-43, 50 dan 57 dicapai pada pola interaksi konsentrasi kromium 2.0 ppm dengan suhu 20±2 oC (K2.Ti), diikuti oleh interaksi kromium 1.5 ppm

dengan suhu 25±2 oC (perlakuan K1.Tii). Uji statistik pengaruh utama faktor suhu terhadap nilai limfosit (pada periode seteleh infeksi) (Tabel 14.2) menunjukkan bahwa suplementasi kromium-ragi dengan konsentrasi yang tepat mampu mendukung aktivasi peningkatan sel limfosit selama periode infeksi virus, baik pada suhu 20±2 oC (K2.Ti) maupun suhu 25±2 oC (perlakuan K1.Tii).

Monosit

Gambar 19, memperlihatkan bahwa pada periode sebelum infeksi mulai hari ke-14 hingga hari ke-21 semua perlakuan pemberian pakan berkromium mengalami peningkatan nilai prosentase monosit, hingga mencapai nilai lebih tinggi dibanding kontrol. Sedangkan pada hari ke-28 mulai terjadi penurunan nilai monosit pada semua perlakuan pemberian pakan berkromium, kecuali pada perlakuan pakan berkromium 1.5 ppm dengan suhu 25±2 0C (K1.Tii) nilainya relatif bertahan.

Pengaruh utama konsentrasi kromium pada nilai prosentase monosit tanpa melihat pengaruh suhu berdasarkan uji Duncan (Tabel. 13.1) menunjukkan bahwa pada hari ke-14 dan 21 nilai prosentase monosit tertinggi diperoleh pada perlakuan K2 (kromium 2.0 ppm). Sedangkan pada hari ke-28 nilai prosentase monosit tertinggi dicapai pada perlakuan K2 (kromium 2.0 ppm) dan K1 (kromium 1.5 ppm).

Berdasarkan data yang telah diuraikan diatas terlihat bahwa pemberian pakan berkromium dengan konsentrasi yang tepat (pada periode sebelum infeksi virus) dapat meningkatkan nilai prosentase monosit, baik pada suhu 20 maupun 25±2 oC. Peningkatan nilai monosit secara umum terjadi hingga hari ke-21, dan pada hari ke-28 tidak terjadi lagi peningkatan, diduga karena batas maksimal peningkatan nilai monosit karena suplementasi kromium-ragi sudah tercapai.

Gambar 19, memperlihatkan pula bahwa pada periode setelah infeksi (hari ke-36 dan 43), semua perlakuan pemberian pakan berkromium dan kontrol mengalami peningkatan nilai prosentase monosit. Pengaruh utama konsentrasi kromium pada nilai prosentase monosit tanpa melihat pengaruh suhu menunjukkan bahwa pada hari ke-36 dan 43 nilai prosentase monosit tertinggi diperoleh pada perlakuan K1 (kromium 1.5 ppm). Sedangkan pengaruh suhu dengan tanpa melihat pengaruh kromium menunjukkan bahwa pada hari ke-36

nilai prosentase monosit tertinggi dicapai pada suhu 25±2 oC dan hal sebaliknya terjadi pada hari ke-57.

Respon nilai prosentase monosit tertinggi pada hari ke-36, dicapai pada pola interaksi pakan berkromium 1.5 ppm pada suhu 25±2 oC (K1.Tii), sedangkan nilai terendah dicapai pada perlakuan (kontrol) kromium nol suhu 20±2 oC (K0.Ti). Berdasarkan uji statistik (Tabel 15.2) pengaruh utama faktor suhu terhadap nilai monosit (hari ke-36, periode seteleh infeksi) menunjukkan bahwa aktivasi sel monosit pada suhu 25±2 oC berbeda nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan pada suhu 20±2 oC. Fakta ini menggambarkan bahwa pemberian pakan berkromium pada konsentrasi yang tepat terutama pada suhu 25±2 oC, sangat mendukung bagi aktivasi sel monosit.

Pada periode setelah infeksi virus pemberian pakan berkromium pada konsentrasi yang tepat terutama pada 25±2 oC mampu memberikan respon penyediaan monosit yang lebih baik selama kejadian infeksi. Peningkatan nilai monosit terjadi pada hari ke-36 dan 43, menggambarkan bahwa sel monosit sebagai sel efektor pertama dari sistem imun ikan teraktivasi dengan cepat oleh infeksi virus, dan secara cepat berproliferasi (memperbanyak diri). Sebelumnya telah diuraikan pula bahwa pemberian pakan kromium pada periode sebelum infeksi virus mampu meningkatkan prosentase monosit pada suhu 20 maupun 25±2 oC. Gambar 18 memperlihatkan dengan jelas bahwa, pada periode setelah infeksi virus, perlakuan pakan berkromium pada konsentrasi yang tepat (1.5 ppm), mengalami fenomena peningkatan kembali prosentase monosit (terutama pada suhu 25±2 oC). Fenomena ini seolah menggambarkan efek booster dan atau

rebound phenomena, diimana aktivasi sistem imunitas ikan (melalui suplementasi kromium-ragi) pada periode sebelum infeksi berjalan efektif, dan infeksi virus yang dialami, mampu direspon dengan baik dan cepat, terbukti dengan teraktivasinya kembali perbanyakan sel-sel monosit secara cepat dan dalam kuantitas yang lebih banyak (Tizard 1988; Murphy et al. 1999; Kreno 2001).

Aktivasi peningkatan sel monosit dalam jumlah yang memadai menggambarkan keampuhan respon imunitas ikan. Monosit sebagai sel fagosit utama berperan melakukan pemusnahan mikroorganisme penyerang (virus) (fagositosis killing mechanism), dan sebagai penyaji antigen (antigen presenting

cells) kepada limfosit (T-helper), keberhasilan aktivasi monosit akan menghasikan proliferasi limfosit (Fenner et al. 1993; Kresno 2001; Almendras & Catap 2002; Koolner dan Kotterba 2002; Nakanishi et al. 2002) (telah dijelaskan dalam butir penjelasan monosit pada penelitian tahap satu).

Respon nilai monosit tertinggi pada hari ke-36 yang dihasilkan pada interaksi perlakuan (K1.Tii) menunjukkan keampuhan dari sistem imunitas ikan dalam mengatasi infeksi virus. Mulai hari ke-50 terjadi penurunan sel monosit pada semua perlakuan dan kontrol, hal ini menunjukkan bahwa peran monosit sudah mulai digantikan oleh sel limfosit yang melibatkan berbagai proses yang lebih spesifik.

Netrofil

Prosentase netrofil pada perlakuan pemberian pakan berkromium berkisar antara 1,33-24.67%, sedangkan pada kontrol (K0) berkisar antara 1.67-29,67%. Sebelum infeksi virus, mulai hari ke-14 hingga hari ke-21 semua perlakuan pemberian pakan berkromium mengalami peningkatan nilai prosentase netrofil yang lebih tinggi dibanding kontrol, sebaliknya pada hari ke-28 mulai terjadi penurunan pada semua perlakuan pemberian pakan berkromium. Pada kontrol (kromium 0 ppm) dari hari ke-7 hingga hari ke 28 tidak terjadi peningkatan netrofil yang berarti. Nilai netrofil tertinggi pada hari ke-28, dicapai pada pola interaksi perlakuan pakan berkromium dengan konsentrasi 2 ppm pada suhu 20±2 oC (perlakuan K2.Ti).

Berdasarkan data yang telah diuraikan diatas terlihat bahwa pemberian pakan berkromium dengan konsentrasi yang tepat (pada periode sebelum infeksi virus) dapat meningkatkan nilai prosentase sel netrofil hingga nilai optimal baik pada suhu 20 maupun 25±2 oC. Peningkatan nilai netrofil terjadi hingga hari ke-21, dan pada hari ke-28 terjadi penurunan nilai netrofil, diduga karena batas maksimal peningkatan nilai netrofil karena suplementasi kromium-ragi sudah tercapai.

Gambar 20, memperlihatkan, bahwa pada periode setelah infeksi virus, mulai hari ke-43, terjadi peningkatan nilai prosentase netrofil pada semua perlakuan pemberian pakan berkromium maupun kontrol. Peningkatan nilai

netrofil yang mencolok pada perlakuan pakan berkromium 1.5 ppm dengan suhu 20±2 oC (K1.Ti) dan kontrol pada suhu 20 dan 25±2 oC (K0.Ti dan K0.Tii).

Berdasarkan fungsinya sel netrofil hampir sama dengan monosit, yaitu banyak berperan sebagai sel fagosit, sehingga berperan pula sebagai sel efektor pada awal pembangkitan respon imun. Menurut Kollner et al. (2002) sirkulasi sel darah putih (monosit/makrofag, dan granulosit) membentuk suatu kesatuan jaringan pertahanan yang mampu mengeliminasi berbagai patogen penyerang dan sekresinya melalui fagositosis tanpa suatu aktivasi awal.

Fenomena perubahan nilai netrofil selama kejadian infeksi adalah mengalami penurunan pada hari ke-36, kemudian diikuti oleh peningkatan pada hari ke-43. Fenomena peningkatan nilai netrofil yang mencolok pada perlakuan pakan berkromium 1.5 ppm dengan suhu 20±2 oC (K1.Ti) dan kontrol nampaknya sangat terkait dengan tingkat infeksi yang terjadi dimana tingkat infeksi yang tinggi pada masing-masing perlakuan tersebut lebih memacu respon dari netrofil. Dimana pada tingkat infeksi virus yang kuat menyebabkan banyaknya terjadi situs-situs lesio karena infeksi yang memerlukan berbagai langkah imflamasi pada ikan. Prosentase netrofil yang tinggi sangat dibutuhkan untuk berbagai langkah imflamasi akut (Almendras danCatap 2002) (telah dijelaskan pada butir netrofil penelitian tahap satu).

Trombosit

Kisaran prosentase trombosit pada perlakuan pemberian pakan berkromium berkisar 10.67-62.00%, sedangkan pada kontrol (kromium 0 ppm) berkisar 20.33-55.00%. Gambar 21, memperlihatkan pada hari ke-14 hingga hari ke-21 semua perlakuan pemberian pakan berkromium mengalami penurunan nilai prosentase trombosit. Pengaruh utama faktor konsentrasi kromium pada nilai prosentase trombosit tanpa melihat pengaruh suhu berdasarkan uji Duncan (Tabel 17.1) menunjukkan bahwa pada hari ke-14, 21 dan 28 nilai prosentase trombosit pada K0 (kromium 0 ppm) berbeda nyata (P<0.05) lebih tinggi dari K1, K2 dan K3 (kromium 1.5, 2.0 dan 2.5 ppm).

Uraian di atas menunjukkan bahwa suplementasi kromoium-ragi dalam pakan, pada periode sebelum infeksi virus bersifat menurunkan prosentase trombosit. Fenomena ini masih belum dapat dijelaskan oleh penulis, namun

diduga bahwa pengaktifan beberapa komponen sel leukosit yang lain, yaitu monosit dan limfosit (karena pemberian kromium-ragi), telah menurunkan prosentase trombosit pada komposisi leukosit yang ada.

Gambar 21, memperlihatkan bahwa pada periode setelah infeksi (hari ke-43), semua perlakuan pakan berkromium maupun kontrol mengalami penurunan nilai prosentase trombosit. Penurunan nilai rataan trombosit secara drastis terjadi pada kontrol (K0), dengan slope yang lebih curam. Penurunan nilai rataan trombosit secara tajam juga terjadi pada perlakuan pakan berkromium 1.5 ppm dengan suhu 20±2 oC (K1.Ti), merupakan penurunan nilai trombosit paling besar diantara perlakuan pakan berkromium.

Penurunan nilai trombosit setelah infeksi virus, menggambarkan bahwa trombosit pada pembuluh darah sebagian besar bergerak ke area infeksi untuk membantu proses penyembuhan luka (Takashima dan Hibiya 1995; Kreno 2001). Penurunan nilai trombosit dengan slope yang curam pada kontrol (kromium 0 ppm), merefleksikan tingkat infeksi virus yang kuat, dimana banyaknya lesio infeksi pada organ dan jaringan memerlukan sejumlah besar trombosit dari pembuluh darah, sehingga prosentase trombosit dalam pembuluh darah menjadi berkurang secara drastis. Seiring dengan berkurangnya infeksi, pada hari ke-50 dan 57 secara umum mulai terjadi pemulihan nilai prosentase trombosit.