• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara bank dengan nasabah didasarkan pada 2 (dua) unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat “percaya” untuk menempatkan uangnya pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisir dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada banknya, dan bank akan memberikan jasa-jasa perbankan.50

Berdasarkan dua fungsi utama dari suatu bank, yaitu fungsi pengerahan dana dan fungsi penyaluran dana, maka terdapat dua hubungan hukum antara bank dan nasabah, yaitu :

1. Hubungan hukum antara nasabah dan penyimpan dana

Artinya bank menempatkan dirinya sebagai peminjam dana milik masyarakat (para penanam dana). Bentuk hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, dapat terlihat dari hubungan hukum yang muncul dari produk-produk perbankan seperti deposito, giro, tabungan, dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum itu dituangkan dalam bentuk peraturan bank yang bersangkutan dan syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah

49

J.M. Van Dunne dan Gr. van derBurght, Penyalahgunaan Keadaan (penerjemah : Sudikno Mertokusumo), Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Medan, 1987, hal. 31-51.

50

penyimpan dana. Syarat-syarat tersebut harus disesuaikan dengan produk perbankan yang ada, karena syarat suatu produk perbankan berbeda dengan produk perbankan lainnya.

2. Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur

Artinya bank sebagai lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. Bentuknya dapat berupa kredit, seperti kredit modal kerja, kredit investasi atau kredit usaha kecil.

Pada dasarnya hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual. Hubungan ini terjadi saat nasabah menjalin hubungan hukum dengan pihak bank, setelah nasabah melakukan hubungan hukum seperti nasabah membuka rekening tabungan, deposito, giro, dan produk perbankan lainnya.51

Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku pada hampir semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non debitur-non deposan.52

Untuk kontrak antara bank dengan nasabah deposan atau nasabah non deposan-non debitur, lazimnya hanya diatur dalam bentuk kontrak yang sederhana. Itupun, sama seperti untuk kontrak kredit, diberlakukan kontrak dalam bentuk kontrak standar (kontrak baku), yang biasanya terdapat ketentuan-ketentuan yang berat sebelah, dimana pihak bank sering kali lebih diuntungkan. Akan tetapi, sungguhpun hubungan nasabah penyimpan dana dengan bank adalah hubungan kontraktual, dalam hal ini hubungan kreditur-debitur, dimana pihak bank sebagai debitur, sedangkan pihak nasabah sebagai kreditur, prinsip hubungan seperti ini juga tidak dapat diberlakukan secara mutlak. Karena itu, sebenarnya ada tiga tingkatan dari pemberlakuan hubungan kontraktual kepada hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan pihak bank, yaitu sebagai berikut :

51

Ibid, hal. 33.

52

a. Sebagai hubungan debitur (bank) dan kreditur (nasabah);

b. Sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar hubungan debitur-kreditur;

c. Sebagai hubungan implied contract, yaitu hubungan kontrak yang tersirat.53

Jika pihak nasabah dapat kapan saja menutup dan mengakhiri hubungannya dengan bank bahkan tanpa pemberitahuan sama sekali, bahkan tanpa sepengetahuan bank seperti penarikan uang seluruhnya lewat mesin ATM, tetapi pihak bank tidak dapat begitu saja memutuskan hubungan kontrak dengan nasabahnya tanpa suatu pemberitahuan (notice) kepada pihak nasabah dengan jangka waktu yang reasonable. Karena pada prinsipnya hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan bank adalah hubungan kontraktual tersebut (hubungan kreditur-debitur), maka tidak mengherankan jika dalam praktek, seringkali pihak nasabah penyimpan dana tidak mendapat perlindungan yang sewajarnya oleh sektor hukum.54

Perikatan antara bank dengan nasabah terjadi karena orang atau badan yang memperoleh jasa pelayanan bank yang diminta. Jasa pelayanan bank dapat menempatkan nasabah dalam kedudukannya sebagai :

a. Penyimpan dana, yaitu sebagai pemegang rekening giro (giran), sebagai deposan (dalam hal menyimpan dalam bentuk deposito berjangka atau pembeli sertifikat deposito) atau sebagai penabung. Dalam hal ini nasabah dapat dikategorikan sebagai pihak yang berpiutang.

53

Ibid, hal. 103.

b. Pemberi amanat, yaitu apabila nasabah menyerahkan dana, surat berharga untuk ditransfer kepada pihak lain atau menyerahkan surat berharga untuk ditagihkan kepada pihak lain ataupun melakukan penyetoran tunai untuk rekeningnya.

Ada beberapa alasan mengapa nasabah penyimpan perlu dilindungi. Pertama, secara filosofis, pelaku bisnis bank (pengurus) tidak menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip kejujuran dalam mengelola bank; kedua, secara yuridis, nasabah penyimpan memiliki kedudukan yang lemah sebagai konsumen sehingga perlu mendapat perlindungan melalui undang-undang (antara lain : Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang- Undang Lembaga Penjamin Simpanan); ketiga, secara sosiologis, kenyataan menunjukkan bahwa pemberian kredit dilakukan kepada kelompok bisnisnya tanpa ada jaminan yang cukup dan perilaku pengurus serta manajemen yang tidak sehat dalam menjalankan usaha bank sehingga berdampak pada nasabah penyimpan.

Berdasarkan pemikiran di atas maka jaminan dalam perjanjian simpanan diperlukan untuk kepentingan keamanan dan keselamatan uang simpanan nasabah. Program penjaminan atas simpanan dana nasabah secara yuridis formal adalah perintah dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Pasal 37 B yang berbunyi :

1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. 2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.

3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia.

4) Ketentuan mengenai penjamin dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Keinginan untuk mengatur penjaminan dana nasabah penyimpan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 37 B tersebut setelah adanya peristiwa krisis moneter yang berakibat kepada 16 bank dilikuidasi. Keadaan ini memperlihatkan bahwa hukum selalu ketinggalan di belakang peristiwanya (het recht hinkt achter de feiten aan). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang seharusnya diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 37 B ayat (4), namun dalam realitas yuridisnya telah dibentuk dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004. Dengan perubahan bentuk peraturan tersebut (dari peraturan pemerintah ke undang-undang) menunjukkan adanya pemikiran lain untuk memberikan perlindungan yang kuat bagi simpanan nasabah.

Dalam penjelasan Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah ditetapkan bahwa perlindungan konsumen didasarkan pada 5 (lima) asas, yaitu :

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Selain dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat dilakukan beberapa cara untuk melindungi nasabah. Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi nasabah ini, Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :55

a. Peraturan perundang-undangan di bidang perbankan,

Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindari terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini diperoleh melalui :

b. Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia,

c. Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya,

d. Memelihara tingkat kesehatan bank,

e. Melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian

Selain itu juga dilakukan perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui

55

pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No.26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.56

Dalam rangka perlindungan nasabah bank, maka terdapat beberapa mekanisme perlindungan nasabah, yaitu :

Pada dasarnya, perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana ini merupakan salah satu upaya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan bank yang tidak bisaa terlepas dari kepercayaan masyarakat, seperti nasabah penyimpan dan lain sebagainya.

Dalam rangka perlindungan nasabah bank, maka terdapat beberapa mekanisme perlindungan nasabah, yaitu :57

1) Pembuatan peraturan baru

Lewat pembuatan peraturan baru dibidang perbankan atau merevisi peraturan yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertujuan untuk melindungi nasabah. Akan tetapi lebih banyak lagi diperlukan seperti itu dari apa yang terdapat dewasa ini.

2) Pelaksanaan peraturan yang ada

Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan terhadap nasabah adalah dengan melaksanakan peraturan yang telah ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan mengenai perlindungan nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik. Peraturan perbankan tersebut harus ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau pemegang saham dari bank tersebut.

56

Ibid.

57

3) Perlindungan nasabah deposan lewat lembaga asuransi deposito

Perlindungan nasabah, khususnya nasabah deposan melalui lembaga asuransi deposito yang adil dan predictable ternyata juga dapat membawa hasil yang positif.

4) Memperketat perizinan bank

Memperketat pemberian izin untuk suatu pendirian bank baru adalah salah satu cara agar bank tersebut kuat dan kualified sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi nasabahnya. UUP menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi apabila suatu bank akan didirikan berupa persyaratan dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Susunan organisasi; b. Permodalan;

c. Kepemilikan;

d. Keahlian di bidang perbankan; dan e. Kelayakan rencana kerja.

5) Memperketat peraturan di bidang kegiatan bank

Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan bank banyak juga yang bertujuan secara langsung dan tidak langsung untuk melindungi pihak nasabah. Peraturan-peraturan tersebut khususnya yang menyangkut dengan kegiatan bank mengatur tentang hal-hal sebagai berikut :

a. Ketentuan menganai permodalan. Antara lain mengenai kecukupan modal atau yang disebut juga dengan capital adequate ratio (CAR) yang diukur dari persentase tertentu terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).

b. Ketentuan mengenai manajemen, yang dalam hal ini merupakan penilaian kualitatif mengenai manajemen permodalan, manajemen renthabilitas, dan manajemen likuiditas.

c. Ketentuan mengenai kualitas aktiva produktif, yang dalam hal ini diukur tingkat kemampuan pengembaliannya dengan kategori lancar, kurang lancar, diragukan atau macet. d. Ketentuan mengenai likuiditas. Dalam hal ini seringkali dilakukan pengukuran lewat cash ratio atau minimum reserve requirement. Juga harus dihindari adanya kesulitan likuiditas yang bisaaanya terjadi karena adanya tindakan yang disebut mismatch.

e. Ketentuan mengenai rentabilitas. Dalam hal ini sering diukur dengan cara penilaian kuantitatif melalui resiko perbandingan laba selama 12 bulan terakhir terhadap volume usaha dalam periode yang sama, dan rasio biaya operasional terhadap perdapatan operasional terhadap pendapatan operasional dalam periode satu tahun.

f. Ketentuan mengenai solvabilitas.

g. Ketentuan mengenai kesehatan bank. Dalam hal ini sering dipergunakan sebagai ukuran adalah capital, posisi devisa netto, batas maksimum pemberian kredit.

6) Memperketat pengawasan bank

Dalam rangka meminimalkan resiko yang ada dalam bisnis bank, maka pihak otoritas, khususnya Bank Indonesia harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank yang ada, baik terhadap bank-bank pemerintah maupun terhadap bank swasta.

Bank Indonesia merupakan bank sentral yang paling berpengaruh di dunia perbankan. Karena kedudukannya sebagai bank sentral, maka Bank Indonesia memiliki tugas dalam hal pengawasan dan pembinaan bank. Dalam hal perlindungan nasabah, Bank Indonesia telah memasukkannya dalam program kerjanya. Sejak diluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia

(API) pada tanggal 9 Januari 2004, Bank Indonesia memformasikan 6 (enam) pilar utama sebagai sasaran yang ingin dicapai, yaitu : (i) struktur perbankan yang sehat, (ii) sistem pengaturan yang efektif, (iii) sistem pengawasan yang independen dan efektif, (iv) industri perbankan yang kuat, (v) infrastruktur yang mencukupi, dan (vi) perlindungan nasabah.

Soedrajad dalam makalahnya yang berjudul “Menuju Sistem Perbankan untuk Mendukung Pembangunan”, yang menyatakan bahwa API adalah kerangka menyeluruh, meliputi arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan Indonesia dalam jangka lima sampai sepuluh tahun kedepan, yang berlandaskan pada visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.58

Keempat program di atas saling terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Secara ideal, implementasi program-program di atas seharusnya dimulai dengan memberikan edukasi kepada

Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek di dalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan kedalam empat program API, yaitu : 1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah, 2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independent, 3. Penyusunan standar transparansi informasi produk, 4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.

58

masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produk-produk keuangan dan perbankan. Edukasi ini selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri perbankan juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pengenalan perencanaan keuangan. Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan.

Transparansi ini penting dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah) bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu sehingga keputusan untuk memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon nasabah.59

Dokumen terkait