• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN SIMPANAN - Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Menyangkut Perjanjian Simpanan Dengan Bank Dalam Praktek Perbankan (Studi Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia(Persero)Cabang Medan Putri Hijau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN SIMPANAN - Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Menyangkut Perjanjian Simpanan Dengan Bank Dalam Praktek Perbankan (Studi Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia(Persero)Cabang Medan Putri Hijau)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

DAN SIMPANAN

A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian dan Simpanan

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu oranglain atau lebih. Kata“perjanjian” adalah terjemahan dari overeenkomst, yang merupakan salah satu sumber dari perikatan (verbintenis). Substansi dari perjanjian dalam pasal tersebut adalah perbuatan (handeling). Kata “perbuatan” telah dikritik oleh para ahli hukum dengan alasan kurang memuaskan, tidak lengkap, dan sangat luas. Seharusnya perjanjian adalah perbuatan hukum (rechtshandeling). Perubahan rumusan ini dapat dilihat dari pandangan Franken dan Rutten.15

Franken merumuskan perjanjian adalah perbuatan hukum yang bersisi banyak antara dua pihak atau lebih untuk mengadakan perikatan. Rutten mengatakan perjanjian adalah satu perbuatan hukum untuk mencapai persesuaian kehendak dengan tujuan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Dengan penambahan kata hukum (recht) membawa perubahan arti bahwa tidak semua perbuatan termasuk dalam pengertian perjanjian.

Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding). Pandangan ini dikemukakan oleh Van Dunne yang mengatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum merupakan teori klasik, atau teori konvensional.

15

(2)

Communis Opinio Doctorum selama ini memahami arti perjanjian adalah satu perbuatan hukum yang bersisi dua (een tweezijdige rechtshandeling) yaitu perbuatan penawaran (aanbod, offer), dan penerimaan (aanvaarding, acceptance). Seharusnya perjanjian adalah dua perbuatan hukum yang masing-masing berisi satu (twee eenzijdige rechthandeling) yaitu penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang atau lebih yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg). Konsep ini melahirkan arti perjanjian adalah hubungan hukum. Inilah alasan hukum (legal reasoning) yang dipergunakan mengapa esensi perjanjian yang dimaksudkan adalah sebagai hubungan hukum antara nasabah dengan debitor.16

Dalam arti sederhana, setiap orang yang menyimpan uangnya di bank disebut nasabah penyimpan. Dalam arti yuridis, nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.17 Yang dimaksud dengan simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.18

Sebelumnya telah dikatakan bahwa perjanjian bank dengan nasabah penyimpan disebut perjanjian simpanan. Dalam hukum perdata, figure perjanjian simpanan akan menjadi persoalan

hukum tersendiri karena tidak terdapat kejelasan mengenai pengaturan dan identitas hukumnya. Jika dicermati obyek perjanjian simpanan berupa giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, maka tidak ditemukan baik dalam KUH Perdata maupun dalam KUH Dagang.

16

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank dengan Nasabah (Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) Tahun 2006.

17

Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

18

(3)

Namun sebagai perjanjian, terdapat ketentuan umum dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi “Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu”.

Sebelum menentukan termasuk ke dalam jenis perjanjian apakah perjanjian simpanan itu, dapat dikemukakan beberapa pasal yang ada hubungannya dengan perjanjian simpanan. Misalnya perjanjian penitipan (bewaargeving). Dalam Pasal 1694 KUH Perdata dikatakan bahwa “Penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya.”

B. Jenis-jenis Perjanjian dan Simpanan

Perjanjian dapat dibedakan dalam berbagai jenis, berdasarkan berbagai kriteria dan tolak ukur. Di dalam KUH Perdata sendiri terdapat 15 (lima belas) macam perjanjian yang sering disebut sebagai perjanjian bernama atau perjanjian-perjanjian tertentu, yaitu perjanjian yang diberi namanya oleh undang-undang, sedangkan selebihnya dikelompokkan sebagai perjanjian tak bernama.19

1. Jual beli

Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.

2. Tukar menukar

19

(4)

Menurut Pasal 1541 KUH Perdata, tukar menukar adalah suatu perjanjian dimana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai gantinya suatu barang lain. Pada perjanjian ini pihaknya adalah pemilik kebendaan dan objeknya adalah 2 (dua) macam kebendaan yang saling ditukarkan.

3. Sewa menyewa

Menurut Pasal 1548 KUH Perdata, sewa menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. Perjanjian sewa-menyewa ini terikat pada suatu jangka waktu tertentu sebagai penentuan harga sewa.

4. Perjanjian melakukan pekerjaan

Menurut Pasal 1601 KUH Perdata perjanjian melakukan pekerjaan ini dibedakan dalam dua macam yaitu perjanjian perburuhan dan perjanjian pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1602 A KUH Perdata, perjanjian perburuhan adalah perjanjian yang mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Menurut Pasal 1601 B KUH Perdata, perjanjian pemborongan pekerjaan perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi orang lain, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.

(5)

Menurut Pasal 1618 KUH Perdata, persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya untuk memasukkan suatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.20

6. Perkumpulan

Mengenai perkumpulan ini, KUH Perdata tidak memberikan pengertian, tetapi melalui pengaturan yang terdapat pada Pasal 1653 dan 1654 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa perkumpulan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk membentuk suatu perhimpunan yang dapat melakukan tindakan-tindakan perdata guna mewujudkan kepentingan mereka.

7. Hibah

Menurut Pasal 1666 KUH Perdata hibah adalah suatu perjanjian dimana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si pengguna hibah. Menurut sifatnya perjanjian hibah tidak dapat ditarik kembali (dibatalkan).

8. Penitipan barang

KUH Perdata tidak memberi pengertian tentang penitipan tetapi hanya memberi ketentuan

bahwa penitipan adalah perjanjian riel. Menurut Pasal 1694 KUH Perdata, penitipan terjadi

apabila seorang menerima suatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan

menyimpannnya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. Dengan demikian dapat

diartikan penitipan adalah suatu perjanjian dimana seorang menyerahkan suatu barang

20Ibid

(6)

kepada orang lain untuk disimpan dan akan dikembaliakan suatu waktu tertentu dalam wujud

aslinya.21

9. Pinjam pakai

Menurut Pasal 1740 KUH Perdata, pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak

yang satu memberikan suatu barang kepada pihak lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma,

dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewat suatu

waktu tertentu, akan mengembalikannya.

10.Pinjam meminjam

Menurut Pasal 1754 KUH Perdata, pinjam meminjam adalah perjanjian dimana pihak yang

satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis

karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan

sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

11.Bunga tetap atau bunga abadi

Menurut Pasal 1770 KUH Perdata, perjanjian bunga abadi adalah suatu perjanjian dimana

pihak yang memberi pinjaman uang memperjanjikan pembayaran bunga atas pembayaran

sejumlah uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali.22

12.Perjanjian untung-untungan

Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, perjanjian untung-untungan adalah suatu perjanjian

mengenai untung ruginya, bagi semua pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum

21

Ibid, hal. 238.

22Ibid

(7)

tentu. Beberapa perjanjian yang masuk dalam jenis ini adalah perjanjian pertanggungan

(asuransi), bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan.

13.Pemberian kuasa

Menurut Pasal 1792 KUH Perdata, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dimana seorang

memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya

menyelenggarakan suatu urusan.

14.Penanggungan

Menurut Pasal 1820 KUH Perdata, penanggungan adalah suatu perjanjian dimana seorang

pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya

si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

15.Perjanjian perdamaian

Menurut Pasal 1851 KUH Perdata, perdamaian adalah suatu perjanjian dimana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan sesuatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung, ataupun mencegah terjadinya suatu perkara.23

Namun memperhatikan undang-undang, dapat disimpulkan ada jenis-jenis lain dari perjanjian sebagai berikut :

1. Dilihat dari segi beban kewajiban : perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang isinya membebankan kewajiban kepada salah satu pihak sedangkan dia tidak memperoleh manfaat dari padanya. Misalnya perjanjian pemberian hadiah, perjanjian hibah dan sebagainya. Dalam KUH Perdata, perjanjian ini disebut perjanjian cuma-cuma.

23Ibid

(8)

Sebaliknya perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan kewajiban kepada kedua belah pihak secara bertimbal balik sehingga kedua pihak sama-sama mendapat manfaat karenanya. Di dalam KUH Perdata jenis perjanjian ini disebut juga dengan perjanjian atas beban.24

2. Dilihat dari segi terjadinya : perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang sudah dianggap sudah lahir seketika setelah ada kesepakatan (consensus) antara para pihak sedangkan pelaksanaannya diwujudkan kemudian. Di sini dengan sepakat saja antara para pihak sudah lahir perjanjian secara hukum sedangkan pemenuhan kewajiban dan hak menunggu waktu sesuai kesepakatan.

Perjanjian riil adalah perjanjian yang dipandang terjadi atau lahir jika sudah ada pemindah hak dari salah satu pihak kepada pihak lain. Jadi disini diisyaratkan adanya

tindakan riil sebagai syarat lahirnya perjanjian. Dengan kata lain kesepakatan dianggap tidak cukup untuk melahirkan perjanjian.

3. Dilihat dari segi isi perjanjian : perjanjian obligator dan perjanjian liberator

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang melahirkan kewajiban-kewajiban yang masih harus dilaksanakan oleh pihak yang berwajib. Misalnya perjanjian jual beli melahirkan

kewajiban bagi penjual untuk menyerahkan barang, dan kewajiban bagi pembeli untuk membayar harga.

Sedangkan perjanjian liberator adalah perjanjian yang berisikan pembebasan salah satu pihak dari kewajibannya, sehingga kewajiban itu tidak perlu dilaksanakan lagi.25

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan yang Diubah, jenis dana yang dihimpun oleh bank melalui perjanjian penyimpanan dana bisa berbentuk giro, deposito (dahulu

24

Ibid, hal. 241.

25Ibid

(9)

deposito berjangka), sertifikat deposito, tabungan dan bentuk-bentuk lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Jadi simpanan masyarakat di bank dapat berupa :

1. Simpanan Giro/Rekening Koran

Pengertian giro/demand deposit/checking account disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Perbankan. Dikatakan bahwa giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa giro merupakan sarana pembayaran, yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan mempergunakan warkat perintah pembayaran, seperti cek dan bilyet giro atau sarana perintah pembayaran lainnya. Dengan demikian, giro merupakan dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dengan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Sebagai alat pembayaran giral

b. Penarikannya dapat dilakukan setiap saat sesuai dengan kebutuhan sepanjang dananya tersedia;

c. Penarikannya mempergunakan surat, warkat, atau sarana perintah pembayaran baik yang bersifat tunai maupun dengan cara pemindahbukuan belaka.26

Simpanan giro sebenarnya bukanlah merupakan suatu simpanan untuk mendapatkan hasil bunga tetapi semata-mata hanya dimanfaatkan sebagai sarana memperlancar transaksi bisnis. Bagi bank, sumber dana giro ini berbiaya rendah, namu karena sifat penarikannya, bank harus benar-benar dapat mengikuti perilaku penarikan nasabah gironya, terutama nasabah-nasabah utamanya (prime costumer), karena mobilitas dana yang bersumber dari

26

(10)

giro ini sangat tinggi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pola manajemen likuidasi bank.27

Ketentuan yang berkaitan dengan rekening giro antara lain sebagai berikut :

a. SE BI No.2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 tantang Tata Usaha Penarikan Cek/BG Kosong.

b. Keputusan Presidium Kabinet RI No. Aa/D/119/1964 tentang Penarikan Cek yang Diberi Tanggal Lebih Kemudian daripada Tanggal Penarikan.

c. SE BI No. 28/32/UPG/1995 tentang Bilyet Giro.

d. SE BI No. 32/14/BPPP/1991 tentang Pemberian Cerukan. e. SE BI No. 4/501/UPPB/Pb. B/1071 perihal Cek Hilang.

f. SE BI No. 5/15/DASP/2003 tentang Warkat, Dokumen Kliring, dan Pencetakannya pada Perusahaan Pencetakan Dokumen Sekuriti

g. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 178 s/d 229d tentang Cek.28 Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Persyaratan pembukaan rekening giro atau rekening pinjaman yang dapat ditarik dengan cek/bilyet giro;

b. Bank harus meminta data yang lengkap kepada calon nasabah dan meneliti kebenaran identitas nasabah tersebut;

c. Bank dilarang menerima yang namanya tercantum dalam daftar hitam yang masih berlaku;

d. Bank harus mencantumkan klausula yang merupakan pernyataan nasabah bahwa yang bersangkutan tidak berkeberatan rekeningnya ditutup dan namanya dicantumkan dalam

27

Dahlan Siamat, 1995, Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta : Intermedia.

28

(11)

daftar hitam oleh Bank Indonesia apabila terkena sanksi administratif karena melakukan penarikan cek/bilyet giro kosong;

e. Bank dapat mensyaratkan hal-hal dalam surat perjanjian pembukaan rekening untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan cek/bilyet giro.29

Kewajiban penyediaan dana oleh penarik cek/bilyet giro :

a. Penarik wajib menyediakan dana yang cukup dalam rekeningnya pada bank tertarik;

b. Untuk cek mulai dari tanggal penarikan sampai dengan tanggal kadaluarsa, kecuali

ditarik kembali;

c. Untuk bilyet giro mulai dari tanggal efektif sampai dengan tanggal kadaluarsa kecuali

dibatalkan.

d. Dana yang dapat diperhitungkan sebagai dana yang tersedia dalam bank adalah saldo

goro yang efektif, saldo fasilitas kredit yang belum digunakan, fasilitas cerukan atau

fasilitas cross clearing yang diberikan pada bank.

e. Apabila dana tersebut tidak cukup, bank wajib menolak cek/bilyet giro yang

bersangkutan.

Penggolongan sebagai cek/bilyet giro kosong :

a. Cek/bilyet giro yang ditolak dengan alasan syarat formal belum terpenuhi dan dananya

tidak cukup tidak digolongkan sebagai penolakan cek/bilyet giro kosong.

b. Setiap lembar cek/bilyet giro yang dikliringkan dan ditolak pembayarannya oleh bank

dengan alasan saldo tidak cukup atau rekening telah ditutup digolongkan sebagai

cek/bilyet giro kosong.

29

(12)

Penatausahaan cek/bilyet giro kosong

a. Bank wajib menatausahakan penarikan cek/bilyet giro kosong nasabahnya dan daftar hitam yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;

b. Bank wajib mengisi Surat Keterangan Penolakan (SKP) secara lengkap dan benar serta untuk keperluan penatausahaan cek/bilyet giro kosong di bank Indonesia daftar warkat yang ditolak dengan alasan kosong wajib disampaikan;

c. Jika terjadi kekeliruan penolakan terhadap cek/bilyet giro yang semestinya cukup dananya, tetapi karena kesalahan administrasi bank terlanjur menolak dengan alasan dananya tidak cukup, maka bank yang bersangkutan dapat meminta persetujuan Bank Indonesia agar penolakan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran penarikan cek/bilyetvgiro kosong.30

d. Jika nasabah melakukan penarikan cek/bilyet giro kosong, maka bank wajib memberi Surat Peringatan I (SP I) untuk penolakan pertama; Surat Peringatan II (SP II) untuk penolakan kedua; dan surat pemberitahuan penutupan rekening (SPPR) untuk nasabah. e. Penutupan rekening giro nasabah

Bank wajib menutup rekening giro nasabah apabila :

a. Menarik cek/bilyet giro kosong 3 lembar atau lebih dalam jangka waktu 6 bulan; b. Menarik cek/bilyet giro kosong 1 lembar dengan nominal Rp.

1.000.000.000,00 atau lebih;

c. Namanya tercantum dalam daftar hitam yang masih berlaku.

30Ibid

(13)

d. Aktivitas keuangan nasabah rekening giro yang telah ditutup rekeningnya dapat disalurkan melalui rekening tabungan dan penarikannya diutamakan untuk melunasi cek/bilyet giro yang masih beredar.

Penghitungan penarikan cek/bilyet giro kosong :

a. Satu lembar cek/bilyet giro yang sama dan dikliringkan berulang-ulang serta ditolak pembayarannya karena dananya tidak cukup dihitung sebagai satu lembar penarikan cek/bilyet giro kosong;

b. Beberapa lembar cek/bilyet giro yang ditarik oleh seorang nasabah dan ditolak pembayarannya oleh satu bank pada tanggal yang sama karena dananya tidak cukup dihitung sebanyak jumlah lembar penarikan cek/bilyet giro kosong.31

Sanksi sehubungan cek/bilyet giro kosong terhadap nasabah sebagai berikut :

a. Nasabah yang telah menarik cek/bilyet giro kosong 3 lembar atau lebih dalam jangka waktu 6 bulan atau menarik cek/bilyet giro kosong 1 lembar dengan nominal Rp. 1.000.000.000,00 atau lebih, namanya dicantumkan dalam daftar hitam yang diterbitkan oleh Bank Indonesia secara berkala dan berlaku di wilayah kliring lokal setempat selama 1 tahun sejak penerbitan, serta bersifat rahasia.

b. Nama nasabah yang tercantum dalam daftar hitam yang masih berlaku, apabila terdapat penolakan lagi cek/bilyet giro kosong 3 lembar atau lebih atau 1 lembar dengan nominal Rp. 1.000.000.000,00 atau lebih, akan dicantumkan kembali dalam daftar hitam berikutnya.

c. Nama-nama nasabah yang dapat dicantumkan dalam daftar hitam adalah nama perorangan, badan usaha, dan badan hukum.

31Ibid

(14)

d. Instansi pemerintah/lembaga Negara, bank umum, BPR, badan usaha milik Negara, yang telah melakukan cek/bilyet gito kosong tidak dicantumkan dalam daftar hitam.

e. Bank wajib meminta kepada nasabah yang rekeningnya telah ditutup untuk mengembalikan sisa blanko cek/bilyet giro yang belum digunakan.

f. Nama nasabah yang tercantum dalam daftar hitam penarik cek/bilyet giro kosong akan hapus dengan sendirinya setelah masa berlakunya daftar hitam berakhir dan nasabag yang dimaksud dapat diterima kembali sebagai nasabah bank.

g. Terhadap bank dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan bank karena ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang berlaku.32

Dengan berlakunya SE BI No. 2/10/DSAP/2000, pengaturan ketiga ketentuan yang dicabut tersebut menjadi satu dan tidak terpisah-pisah. Rekening giro atau pinjaman adalah rekening yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau bilyet giro, sarana perintah, pembayaran lainnya atau dengan pemindahbukuan. Dengan demikian, terdapat 4 cara penarikan dalam rekening giro :

a. Menggunakan cek

b. Menggunakan bilyet giro.

c. Menggunakan sarana perintah pembayaran lain, misalnya kuitansi atau slip penarikan

yang disediakan bank, melalui ATM atau melalui kartu yang disediakan untuk itu atau

counter cheque (modifikasi dari bentuk kuitansi)

d. Menggunakan nota pemindahbukuan (NPB) atau pindah rekening atau transfer.33

32

Ibid, hal. 226.

33

(15)

Demi pengaruhnya teradap peredaran uang kartal, Bank Indonesia menganjurkan kepada

nasabah bank atau pemilik rekening giro di bank agar selain menggunakan cek, juga

menggunakan bilyet giro sebagai alat bayar dengan cara pemindahbukuan.34

2. Simpanan deposito

Pengertian deposito (atau deposito berjangka) disebutkan di dalam Pasal 1 angka 7

Undang-Undang Perbankan yang Diubah. Disebutkan deposito (atau deposito

berjangka) adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu

berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Jadi penarikan simpanan deposito

waktunya sudah sesuai dengan perjanjian antara nasabah penyimpan dan bank pada saat

pembukaan deposito yang bersangkutan. Dengan demikian deposito merupakan dana yang

dipercayakan oleh masyarakat kepada bank yang ciri-ciri adalah sebagai berikut :

1. Surat yang berharga yang diterbitkan oleh bank berdasarkan atas nama, sehingga tidak dapat

diperjualbelikan.;

2. Jangka waktu penarikannya telah ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan yang

diperjanjikan;

3. Bunga dibayar setiap bulan pada hari bayarnya atau sekaligus pada saat jatuh tempo;

4. Dapat dijadikan jaminan kredit;

5. Penyerahan hak cukup dengan cara cessie.

Jenis simpanan dalam bentuk deposito berjangka lebih disenangi oleh nasabah atau

masyarakat, karena menawarkan tingkat bunga yang relatif tinggi dibandingkan jenis simpanan

34

(16)

giro atau simpanan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari sumber dana yang pada umumnya

didominasi oleh deposito berjangka.35

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 5/4/KEP.DIR tanggal 31 Mei

1972 tentang Suku Bunga Deposito

Penerbitan deposito berjangka ini didasarkan pada Intruksi

Presiden No. 28 Tahun 1968. Selanjutnya sebagai pelaksanaannya dikeluarkan :

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 22/65/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank

Indonesia Nomor 16/2/UPUM tanggal 1 Juni 1983 tentang Deposito Berjangka pada

Bank-Bank Pemerintah dan Bank-Bank Pembangunan Indonesia.36

Kemudian dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 22/135/UPG tanggal 1 Desember 1989, ketentuan tentang deposito berjangka pada Bank-bank Pemerintah dan Bank Pembangunan Indonesia itu dicabut, yang berarti semua bank dibebaskan untuk mengatur sendiri ketentuan dan suku bunga bagi deposito masing-masing sesuai dengan kebutuhan. Bagi bank umum swasta, ketetapan tentang suku bunga deposito berjangka belum pernah diadakan dan ketetapan suku bunga untuk bank-bank pemerintah itu dapat dijadikan pedoman oleh bank swasta. Namun dengan dikeluarkannya ketentuan di bulan Desember 1989, maka saat ini semua bank bebas menentukan bunga deposito masing-masing.37

3. Simpanan Sertifikat Deposito

Pengertian sertifikat deposito/sertificate of deposit disebutkan di dalam pasal 1 angka 8 Undang-Undang Perbankan yang Diubah. Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sertifikat deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat

35

Dahlan Siamat, 1993, Manajemen Bank Umum, Jakarta : Intermedia

36

Usman Rachmadi, SH, Op.Cit. hal. 229.

37

(17)

dipindahtangankan. Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa sertifikat deposito adalah surat berharga yang diterbitkan atas tunjuk tanpa nama pembelinya dalam rupiah, yang merupakan suatu pengakuan utang dari bank dan dapat diperjualbelikan dalam pasar uang. Berbeda dengan deposito berjangka, bunga sertifikat deposito diberikan secara diskonto, yakni dibayar dimuka sekaligus pada saat pembelian. Dengan demikian sertifikat deposito adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Surat berharga yang diterbitkan atas unjuk/pembawa, sehingga dapat diperjualbelikan; 2. Merupakan instrument pasar uang;

3. Bunga dapat dibayar di muka (diskonto) atau dapat pula dibayarkan di belakang pada saat jatuh tempo;

4. Jangka waktu dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan; 5. Dapat dijadikan jaminan kredit bank;

6. Jangka waktunya minimal 30 (tiga puluh) hari dan maksimal 24 (dua puluh empat) bulan; 7. Nilai nominal minimal Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).38

Pengaturan ketentuan sertifikat deposito terdapat pada :

1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1065/KMK.00/1988 tentang Penerbitan sertifikat deposito oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank.

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 21/48/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/27/UPG masing-masing tanggal 27 Oktober 1988 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.

Sesuai dengan ketentuan di atas, sertifikat deposito sebagai sarana usaha pengerahan dana masyarakat dan piranti pasar uang bersama-sama dengan Sertifikat Bank Indonesia dan

38Ibid

(18)

Surat Berharga Pasar Uang, dapat diterbitkan oleh bank atau lembaga keuangan bukan bank tanpa meminta persetujuan Bank Indonesia.

Karena sertifikat deposito ini dapat diperjualbelikan dalam pasar uang, maka untuk melindungi pemegangnya diperlukan keseragamam bentuk, isi, dan redaksinya. Untuk itu warkat sertifikat deposito hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Kertas yang digunakan sebagai bahan blanko sertifikat deposito sekurang-kurangnya sama dengan mutu kertas untuk mencetak blanko cek, yaitu sesuai dengan yang ditentukan untuk “the London Clearing Bank’s Paper Specification Nomor 1 (96 gsm)”;

2. Dalam mencetak blanko sertifikat deposito dimaksud hendaknya diperhatikan benar unsur-unsur pengamanannya, sehingga perlu diciptakan ciri-ciri pengaman, misalnya bentuk tulisan, gambar dasar, tanda air, dan garis guilloche;

Pada halaman depan sekurang-kurangnya dicantumkan :

1. Kata-kata “SERTIFIKAT DEPOSITO“ dan “DAPAT DIPERDAGANGKAN“ dalam ukuran besar sehingga mudah terlihat;

2. Nomor seri dan nomor urut;

3. Nama dan tempat kedudukan penerbit; 4. Nilai nominal dalam rupiah;

5. Tanggal dan tempat penerbitan; 6. Tingkat bunga atau diskonto;

7. Pernyataan bahwa penerbit mengikat diri untuk membayar sejumlah uang tertentu dalam rupiah pada tanggal dan tempat tertentu;

8. Tanda tangan direksi atau pejabat yang berwenang dari penerbit;

9. Tanda tangan pejabat dari kantor cabang di sertifikat deposito diterbitkan;

(19)

1. Penerbit menjamin sertifikat deposito dengan seluruh harta dan piutangnya;

2. Sertifikat deposito dapat diperjualbelikan dan dapat dipindahtangankan dengan cara penyerahan;

3. Pelunasan dilakukan dengan tanggal jatuh waktu dan sesudahnya dengan menyerahkan kembali warkat sertifikat deposito yang bersangkutan oleh pembawa.

4. Simpanan tabungan

Pengertian tabungan/saving disebutkan di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Perbankan yang diubah. Dikatakan yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Kepada nasabahnya akan diberikan atau menerima buku tabungan sebagai bukti telah menyimpan dananya dalam bentuk tabungan. Ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara bank dengan nasabah penabung ini biasanya tercantum pada halaman terakhir dari buku tabungan. Dengan demikian tabungan merupakan dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Simpanan pihak ketiga;

2. Penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati 3. Penarikannya hanya dapat dilakukan dengan mendatangi kantor bank atau alat yang

disediakan untuk keperluan tersebut.

4. Penarikannya tidak dapat dilakukan dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan surat

(20)

5. Penarikannya tidak boleh melebihi jumlah tertentu, sehingga menyebabkan saldo tabungan

lebih kecil daripada saldo minimum, kecuali penabung tidak akan melanjutkan tabungannya;

6. Penyetoran dan pengambilan tabungan dilakukan oleh penabung dengan cara mengisi slip

penyetoran dan pengembalian tabungan, di mana bentuk dan isinya ditetapkan oleh bank

yang bersangkutan;

7. Penabung diberi bunga sebagai imbalannya, yang diperhitungkan setiap akhir bulan/tahun

yang bersangkutan dan dibukukan pada awal bulan/tahun berikutnya;

8. Penyetorannya dapat dilakukan secara tunai maupun melalui cara-cara lainnya.

Penyelenggaraan tabungan dimulai pada tahun 1969 dengan Program Tabungan

Berhadiah. Kemudian pada tahun 1971, melalui kebijakan saving drive, diselenggarakan

Tabanas (Tabungan Pembangunan Nasional) dan Taska (Tabungan Asuransi Berjangka)

berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 4/8/KEP/DIR tanggal 15 Juni

1971. Bank penyelenggara Tabanas/Taska ini adalah bank umum swasta nasional dan bank

tabungan swasta yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia.

Selanjutnya dalam rangka meningkatkan penghimpunan dana masyarakat melalui perbankan dan pelayanan perbankanbagi para penabung kecil, maka sejak Oktober 1988 semua bank di Indonesia, termasuk bank asing dan bank penyelenggara Tabanas/Taska diperkenankan untuk mengembangkan sendiri berbagai jenis tabungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(21)

1. Bank asing diperkenankan menyelenggarakan tabungan. Dalam hal bank asing akan menyelenggarakan Tabanas/Taska, hendaknya ditempuh prosedur yang berlaku untuk jenis tabungan tersebut;

2. Tabungan hanya dapat diselenggarakan dalam rupiah;

3. Tabungan selain Tabanas/Taska tidak dijamin oleh Bank Indonesia;

4. Dalam brosur mengenai penyelenggaraan tabungan yang dikeluarkan oleh masing-masing bank, hendaknya dicantumkan secara jelas ketentuan-ketentuan tentang masing-masing tabungan yang diselenggarakannya, termasuk Tabanas/Taska.

Kebijakan penyelenggaraaan tabungan itu kemudian disempurnakan melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 22/63/KEP/DIR tanggal 1 Desember 1989, yang menyatakan ketentuan penyelenggaraan tabungan oleh perbankan diserahkan kepada masing-masing bank dan Bank Indonesia tidak mengatur lagi ketentuan mengenai Tabanas/Taska/Tappelpram. Selain itu juga Bank Indonesia mencabut jaminan terhadap Tabanas/Taska.39

C. Prinsip Perjanjian dan Simpanan

Dari segi sifatnya, perjanjian penitipan adalah bersifat riil. Sifat ini terdapat juga pada perjanjian simpanan, seperti deposito atau tabungan. Namun terdapat perbedaan di antara keduanya yaitu pada perjanjian penitipan, barang yang dititipkan akan disimpan dan dikembalikan seperti wujud semula serta tidak dibebani bunga. Tidak demikian dalam perjanjian simpanan, pihak bank menetapkan persyaratan umum tertentu dalam rekening deposito atau rekening tabungan antara lain pihak penerima simpanan (bank) dapat mempergunakan uang si penyimpan dan dalam waktu tertentu bank akan memberikan bunga.

39Ibid

(22)

Selain itu, Undang-Undang Perbankan secara tegas membedakan antara simpanan dan penitipan. Yang dimaksud dengan penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara bank umum dengan penitip, dengan ketentuan bank umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.40 Perjanjian penitipan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan juga tidak memberikan ketegasan apakah tunduk pada aturan KUH Perdata, namun dalam praktiknya selalu mempergunakan KUH Perdata.41

Menurut R. Subekti, perjanjian simpanan (deposito) pada hakikatnya adalah suatu perjanjian pinjam uang dengan bunga. Ketentuan lain yang dapat dijadikan dasar hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan adalah Perjanjian Pemberian Kuasa (Lastgeving). Dalam Pasal 1792 KUH Perdata dikatakan bahwa “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Apakah dapat dikatakan bahwa nasabah penyimpan memberikan kuasa kepada bank ketika menandatangani rekening deposito atau rekening tabungan atau rekening koran. Staub yang disitir oleh G. de Grooth mengatakan bahwa perjanjian rekening koran adalah novasi, sedangkan Mariam Darus berkesimpulan bahwa secara expressis verbis, perjanjian rekening koran di dalam Undang-Undang Perbankan merupakan perjanjian pemberian kuasa.42

40

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Menurut penulis, perjanjian simpanan tidak identik dengan perjanjian penitipan dan juga tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian pemberian kuasa. Perjanjian simpanan memiliki identitas sebagai perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst, innominaat conracten) dengan ciri-ciri sebagai berikut : pertama, perjanjian simpanan bersifat riil, artinya lahirnya perjanjian tidak cukup diperlukan kesepakatan saja tetapi nasabah penyimpan harus

41

St. Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 132-134.

42

(23)

menyerahkan uang kepada bank untuk disimpan; kedua, uang yang telah diserahkan menjadi milik bank dan penggunaannya menjadi wewenang penuh dari bank; ketiga, hubungan hukumnya adalah bank berkedudukan sebagai debitor dan nasabah penyimpan berkedudukan sebagai kreditor; keempat, bank bukanlah sebagai peminjam uang dari nasabah penyimpan;

kelima, nasabah penyimpan bukan sebagai penitip uang pada bank; keenam, bank akan mengembalikan simpanan nasabah dengan kontraprestasi berupa pemberian bunga.

Dari karakter hukum perdata, ada dua model yang dapat dipergunakan untuk menjamin simpanan nasabah. Pertama, dengan perjanjian asuransi dan kedua, dengan perjanjian penanggungan. Perjanjian asuransi tidak identik dengan skim asuransi yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 37 B ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, Pasal 1 angka 1 disebutkan :

Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.43

Subyek hukum dalam perjanjian asuransi adalah penanggung dan tertanggung. Tertanggung wajib membayar premi kepada penanggung, dan sebaliknya pula berhak atas pembayaran ganti kerugian jika peristiwa yang tak pasti itu terjadi. Di sinilah letak pentingnya perjanjian asuransi memberikan proteksi.44

43

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

Hubungan hukum antara penanggung dengan tertanggung ditegaskan dalam polis. Nasabah penyimpan meminta kepada bank untuk menjadi tertanggung dan lembaga asuransi sebagai penanggung. Dalam perjanjian asuransi tersebut dicantumkan klausul bahwa apabila bank dilikuidasi maka hak bank beralih kepada nasabah

44

(24)

penyimpan. Jadi, terdapat pengaturan subrogasi,45 sehingga nasabah penyimpan bertindak sebagai kreditor baru untuk menuntut haknya kepada penanggung. Berbeda dengan perjanjian asuransi, dalam skim asuransi46

Sistem hukum perjanjian dibangun berdasarkan asas-asas hukum. Mariam Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.

yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perbankan, yang terlibat adalah 3 (tiga) pihak yakni nasabah penyimpan, bank, dan lembaga asuransi simpanan. Dalam hal ini yang menjadi tertanggung adalah bank, dan penanggungnya adalah lembaga asuransi simpanan, sedangkan nasabah penyimpan adalah orang yang menerima manfaat asuransi. Bank sebagai peserta LPS wajib membayar premi penjaminan. Dalam hubungan hukum tersebut tidak diperlukan adanya polis. Namun kehadirannya lebih cenderung untuk menjamin uang nasabah penyimpan.

47

Pandangan ini menunjukkan arti sistem hukum dari segi substantif. Dilihat dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar tentang kebenaran (waarheid, truth) untuk menopang norma hukum dan menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum perjanjian. Di depan, di dalam, dan di belakang pasal-pasal dari hukum perjanjian terletak cita-cita hukum dari pembentuk hukum perjanjian. Jika norma hukum perjanjian bekerja tanpa memperhatikan asas hukumnya, maka norma hukum itu akan kehilangan jati diri dan semakin memberikan percepatan bagi runtuhnya norma hukum tersebut.

Hubungan antara norma dan asas hukum perjanjian sedemikian erat seperti bangunan rumah dengan tiang-tiang sebagai penopangnya. Asas hukum perjanjian merupakan landasan tempat melahirkan norma hukum, sebagai rohani hukum, sebagai tempat menganyam sistem

45

Emy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1982, hal. 74-77.

46

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal. 282.

47

(25)

hukum perjanjian, sebagai pedoman kerja bagi hakim, dan pelaksana hukum lainnya. Secara substantif filosofis, asas hukum perjanjian menjadi cita-cita hukum dan secara ajektif memberikan arah dan patokan untuk bekerja menyelesaikan peristiwa hukum perjanjian yang kongkret dalam masyarakat. Suatu norma hukum perjanjian yang baik harus memuat rumusan pasal yang pasti (lex certa), jelas (concise) dan tidak membingungkan (unambiguous).48

Berikut ini dapat dikemukakan sejumlah asas hukum dalam sistem hukum perjanjian yaitu asas konsensualisme, asas kepastian hukum, asas kepercayaan, asas moral, asas kebebasan berkontrak, asas persamaan, asas keseimbangan, asas kepatutan, asas kebiasaan, asas perlindungan bagi golongan lemah, asas kekuatan mengikat, dan asas itikad baik.

Oleh karena itu, tidak dapat diterima secara utuh cita-cita hukum dari paham liberal sebelum dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan hukum kepribadian bangsa kita (nilai-nilai yang sesuai dengan pandangan hidup yaitu Pancasila). Hal ini menunjuk betapa pentingnya kedudukan dan peranan asas hukum perjanjian dalam suatu sistem hukum perbankan.

Dari sejumlah asas tersebut, terdapat 3 (tiga) asas yang merupakan tonggak hukum perjanjian dalam sistem hukum perbankan yang meliputi asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas kekuatan mengikat.

Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya. Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan melalui karakter hukum kepribadian bangsa, bukan karakter hukum liberal. Tekanan dari salah satu pihak melalui posisi inequality of bargaining power dapat mengakibatkan prestasi perjanjian tidak seimbang, dan hal ini melanggar

48

(26)

asas iustum pretium. Perjanjian yang demikian menjadi cacat dan akibatnya dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable).49 Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau yang dapat dipersamakan dengan itu. Tanda tangan yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang sah terhadap isi perjanjian. Akibatnya perjanjian tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik (te geode trouw, in good faith).

D. Pentingnya Perlindungan Hukum Dalam Hubungan Antara Bank dan Perlindungan Hak

Hubungan antara bank dengan nasabah didasarkan pada 2 (dua) unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat “percaya” untuk menempatkan uangnya pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisir dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada banknya, dan bank akan memberikan jasa-jasa perbankan.50

Berdasarkan dua fungsi utama dari suatu bank, yaitu fungsi pengerahan dana dan fungsi penyaluran dana, maka terdapat dua hubungan hukum antara bank dan nasabah, yaitu :

1. Hubungan hukum antara nasabah dan penyimpan dana

Artinya bank menempatkan dirinya sebagai peminjam dana milik masyarakat (para penanam dana). Bentuk hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, dapat terlihat dari hubungan hukum yang muncul dari produk-produk perbankan seperti deposito, giro, tabungan, dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum itu dituangkan dalam bentuk peraturan bank yang bersangkutan dan syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah

49

J.M. Van Dunne dan Gr. van derBurght, Penyalahgunaan Keadaan (penerjemah : Sudikno Mertokusumo), Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Medan, 1987, hal. 31-51.

50

(27)

penyimpan dana. Syarat-syarat tersebut harus disesuaikan dengan produk perbankan yang ada, karena syarat suatu produk perbankan berbeda dengan produk perbankan lainnya.

2. Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur

Artinya bank sebagai lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. Bentuknya dapat berupa kredit, seperti kredit modal kerja, kredit investasi atau kredit usaha kecil.

Pada dasarnya hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual. Hubungan ini terjadi saat nasabah menjalin hubungan hukum dengan pihak bank, setelah nasabah melakukan hubungan hukum seperti nasabah membuka rekening tabungan, deposito, giro, dan produk perbankan lainnya.51

Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku pada hampir semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non debitur-non deposan.52

Untuk kontrak antara bank dengan nasabah deposan atau nasabah non deposan-non debitur, lazimnya hanya diatur dalam bentuk kontrak yang sederhana. Itupun, sama seperti untuk kontrak kredit, diberlakukan kontrak dalam bentuk kontrak standar (kontrak baku), yang biasanya terdapat ketentuan-ketentuan yang berat sebelah, dimana pihak bank sering kali lebih diuntungkan. Akan tetapi, sungguhpun hubungan nasabah penyimpan dana dengan bank adalah hubungan kontraktual, dalam hal ini hubungan kreditur-debitur, dimana pihak bank sebagai debitur, sedangkan pihak nasabah sebagai kreditur, prinsip hubungan seperti ini juga tidak dapat diberlakukan secara mutlak. Karena itu, sebenarnya ada tiga tingkatan dari pemberlakuan hubungan kontraktual kepada hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan pihak bank, yaitu sebagai berikut :

51

Ibid, hal. 33.

52

(28)

a. Sebagai hubungan debitur (bank) dan kreditur (nasabah);

b. Sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar hubungan debitur-kreditur;

c. Sebagai hubungan implied contract, yaitu hubungan kontrak yang tersirat.53

Jika pihak nasabah dapat kapan saja menutup dan mengakhiri hubungannya dengan

bank bahkan tanpa pemberitahuan sama sekali, bahkan tanpa sepengetahuan bank seperti

penarikan uang seluruhnya lewat mesin ATM, tetapi pihak bank tidak dapat begitu saja

memutuskan hubungan kontrak dengan nasabahnya tanpa suatu pemberitahuan (notice)

kepada pihak nasabah dengan jangka waktu yang reasonable. Karena pada prinsipnya

hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan bank adalah hubungan kontraktual

tersebut (hubungan kreditur-debitur), maka tidak mengherankan jika dalam praktek,

seringkali pihak nasabah penyimpan dana tidak mendapat perlindungan yang sewajarnya

oleh sektor hukum.54

Perikatan antara bank dengan nasabah terjadi karena orang atau badan yang

memperoleh jasa pelayanan bank yang diminta. Jasa pelayanan bank dapat menempatkan

nasabah dalam kedudukannya sebagai :

a. Penyimpan dana, yaitu sebagai pemegang rekening giro (giran), sebagai deposan

(dalam hal menyimpan dalam bentuk deposito berjangka atau pembeli sertifikat deposito)

atau sebagai penabung. Dalam hal ini nasabah dapat dikategorikan sebagai pihak yang

berpiutang.

53

Ibid, hal. 103.

54Ibid

(29)

b. Pemberi amanat, yaitu apabila nasabah menyerahkan dana, surat berharga untuk

ditransfer kepada pihak lain atau menyerahkan surat berharga untuk ditagihkan kepada

pihak lain ataupun melakukan penyetoran tunai untuk rekeningnya.

Ada beberapa alasan mengapa nasabah penyimpan perlu dilindungi. Pertama, secara filosofis, pelaku bisnis bank (pengurus) tidak menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip kejujuran dalam mengelola bank; kedua, secara yuridis, nasabah penyimpan memiliki kedudukan yang lemah sebagai konsumen sehingga perlu mendapat perlindungan melalui undang-undang (antara lain : Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang- Undang Lembaga Penjamin Simpanan); ketiga, secara sosiologis, kenyataan menunjukkan bahwa pemberian kredit dilakukan kepada kelompok bisnisnya tanpa ada jaminan yang cukup dan perilaku pengurus serta manajemen yang tidak sehat dalam menjalankan usaha bank sehingga berdampak pada nasabah penyimpan.

Berdasarkan pemikiran di atas maka jaminan dalam perjanjian simpanan diperlukan untuk kepentingan keamanan dan keselamatan uang simpanan nasabah. Program penjaminan atas simpanan dana nasabah secara yuridis formal adalah perintah dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Pasal 37 B yang berbunyi :

1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. 2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.

3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia.

(30)

Keinginan untuk mengatur penjaminan dana nasabah penyimpan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 37 B tersebut setelah adanya peristiwa krisis moneter yang berakibat kepada 16 bank dilikuidasi. Keadaan ini memperlihatkan bahwa hukum selalu ketinggalan di belakang peristiwanya (het recht hinkt achter de feiten aan). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang seharusnya diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 37 B ayat (4), namun dalam realitas yuridisnya telah dibentuk dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004. Dengan perubahan bentuk peraturan tersebut (dari peraturan pemerintah ke undang-undang) menunjukkan adanya pemikiran lain untuk memberikan perlindungan yang kuat bagi simpanan nasabah.

Dalam penjelasan Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah ditetapkan bahwa perlindungan konsumen didasarkan pada 5 (lima) asas, yaitu :

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas

(31)

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta

negara menjamin kepastian hukum.

Selain dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat dilakukan beberapa cara

untuk melindungi nasabah. Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi nasabah ini, Marulak

Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan

terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :55

a. Peraturan perundang-undangan di bidang perbankan,

Perlindungan

secara implisit (implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan

dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindari terjadinya kebangkrutan bank.

Perlindungan ini diperoleh melalui :

b. Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan

oleh Bank Indonesia,

c. Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan

perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya,

d. Memelihara tingkat kesehatan bank,

e. Melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian

Selain itu juga dilakukan perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui

55

(32)

pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No.26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.56

Dalam rangka perlindungan nasabah bank, maka terdapat beberapa mekanisme perlindungan nasabah, yaitu :

Pada dasarnya, perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana ini merupakan salah satu upaya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan bank yang tidak bisaa terlepas dari kepercayaan masyarakat, seperti nasabah penyimpan dan lain sebagainya.

Dalam rangka perlindungan nasabah bank, maka terdapat beberapa mekanisme perlindungan nasabah, yaitu :57

1) Pembuatan peraturan baru

Lewat pembuatan peraturan baru dibidang perbankan atau merevisi peraturan yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertujuan untuk melindungi nasabah. Akan tetapi lebih banyak lagi diperlukan seperti itu dari apa yang terdapat dewasa ini.

2) Pelaksanaan peraturan yang ada

Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan terhadap nasabah adalah dengan

melaksanakan peraturan yang telah ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak

otoritas moneter, khususnya peraturan mengenai perlindungan nasabah sehingga dapat

dijamin law enforcement yang baik. Peraturan perbankan tersebut harus ditegakkan secara

objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau pemegang saham dari bank tersebut.

56

Ibid.

57

(33)

3) Perlindungan nasabah deposan lewat lembaga asuransi deposito

Perlindungan nasabah, khususnya nasabah deposan melalui lembaga asuransi deposito yang

adil dan predictable ternyata juga dapat membawa hasil yang positif.

4) Memperketat perizinan bank

Memperketat pemberian izin untuk suatu pendirian bank baru adalah salah satu cara agar

bank tersebut kuat dan kualified sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi nasabahnya.

UUP menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi apabila suatu bank akan didirikan berupa

persyaratan dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Susunan organisasi;

b. Permodalan;

c. Kepemilikan;

d. Keahlian di bidang perbankan; dan

e. Kelayakan rencana kerja.

5) Memperketat peraturan di bidang kegiatan bank

Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan bank banyak juga yang bertujuan secara langsung dan tidak langsung untuk melindungi pihak nasabah. Peraturan-peraturan tersebut khususnya yang menyangkut dengan kegiatan bank mengatur tentang hal-hal sebagai berikut :

(34)

b. Ketentuan mengenai manajemen, yang dalam hal ini merupakan penilaian kualitatif mengenai manajemen permodalan, manajemen renthabilitas, dan manajemen likuiditas.

c. Ketentuan mengenai kualitas aktiva produktif, yang dalam hal ini diukur tingkat kemampuan pengembaliannya dengan kategori lancar, kurang lancar, diragukan atau macet. d. Ketentuan mengenai likuiditas. Dalam hal ini seringkali dilakukan pengukuran lewat cash ratio atau minimum reserve requirement. Juga harus dihindari adanya kesulitan likuiditas yang bisaaanya terjadi karena adanya tindakan yang disebut mismatch.

e. Ketentuan mengenai rentabilitas. Dalam hal ini sering diukur dengan cara penilaian kuantitatif melalui resiko perbandingan laba selama 12 bulan terakhir terhadap volume usaha dalam periode yang sama, dan rasio biaya operasional terhadap perdapatan operasional terhadap pendapatan operasional dalam periode satu tahun.

f. Ketentuan mengenai solvabilitas.

g. Ketentuan mengenai kesehatan bank. Dalam hal ini sering dipergunakan sebagai ukuran adalah capital, posisi devisa netto, batas maksimum pemberian kredit.

6) Memperketat pengawasan bank

Dalam rangka meminimalkan resiko yang ada dalam bisnis bank, maka pihak otoritas, khususnya Bank Indonesia harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank yang ada, baik terhadap bank-bank pemerintah maupun terhadap bank swasta.

(35)

(API) pada tanggal 9 Januari 2004, Bank Indonesia memformasikan 6 (enam) pilar utama sebagai sasaran yang ingin dicapai, yaitu : (i) struktur perbankan yang sehat, (ii) sistem pengaturan yang efektif, (iii) sistem pengawasan yang independen dan efektif, (iv) industri perbankan yang kuat, (v) infrastruktur yang mencukupi, dan (vi) perlindungan nasabah.

Soedrajad dalam makalahnya yang berjudul “Menuju Sistem Perbankan untuk Mendukung Pembangunan”, yang menyatakan bahwa API adalah kerangka menyeluruh, meliputi arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan Indonesia dalam jangka lima sampai sepuluh tahun kedepan, yang berlandaskan pada visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.58

Keempat program di atas saling terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan

dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Secara ideal,

implementasi program-program di atas seharusnya dimulai dengan memberikan edukasi kepada Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek di dalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan kedalam empat program API, yaitu : 1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah, 2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independent, 3. Penyusunan standar transparansi informasi produk, 4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.

58

(36)

masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produk-produk keuangan dan perbankan. Edukasi ini

selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri perbankan juga ditujukan

untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pengenalan perencanaan

keuangan. Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai

karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan.

Transparansi ini penting dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah) bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu sehingga keputusan untuk memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon nasabah.59

59Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Realisasi indikator kinerja pada tahun 2016 telah sesuai dengan target. jangka menengah yang ditetapkan dalam Rencana Strategis

Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru |alur selelsi Mandiri (SM). Program D3 Universitas Negeri Yogyakarta memberikan penghargaan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Operasional

Tiga puluh sampel dari usap endoskopi saluran cerna setelah proses disinfeksi tingkat tinggi dengan penyimpanan selama 24 jam dan tanpa penyimpan diambil dengan

Dalam satu stolon/sulur, sesudah maksimal 3 generasi stolon/sulur ditanam, ±1 bulan dari penanaman stolon/sulur generasi pertama, stolon/sulur tersebut dipotong dari tanaman

Results of the analysis of genetic distance showed that kuantan and pesisir cattle might be grouped into Bos indicus because it had a genetic distance of 0.000 in

luas dan asri, namun demikian kenyataan yang ada tidak mampu memberikan ruang bagi anak untuk sekedar bermain, justru mereka harus bermain ditempat yang

Rasio Keuangan Dalam Memprediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Property Dan Real Estate Di Bursa Efek Indonesia” Pengujian hipotesis dilakukan dengan