• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Akibat Hukum Atas Putusan Yang Batal Demi Hukum

V. PENUTUP

Pada bab ini akan memuat suatu kesimpulan dari pembahasan serta beberapa saran dari penulis sehubungan dengan pemecahan masalah yang dibahas.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Pidana dan Tujuan Hukum.

Mengenai pengertian hukum pidana, dikalangan para sarjana memiliki perbedaan pendapat sesuai dengan perumusan ataupun batasannya. Moeljanto mengatakan hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk; menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggarnya, menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan, menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Aturan hukum seperti ini dikenal dengan hukum pidana materiil.

Hukum Pidana materiil tidak dapat tegak tanpa adanya aturan hukum lainnya yang menjamin pelaksanaan dari hukum materiil. Aturan hukum tersebut kemudian dikenal dengan istilah Hukum formil. Menurut E.Y Kanter8 hukum

8

E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Jakarta, Gunung Mulia, 1982, hlm. 10-11.

17

materiil adalah ketentuan – ketentuan tentang acara penyelesaian pelanggaran hukum materiil termasuk didalamnya mengatur kekuasaann badan – badan peradilan dan acaranya. Terkait dengan ini kita mengenalnya dengan hukum acara pidana.

Pemidanaan merupakan salah satu bagian dari sarana mencapai tujuan hukum. Tujuan hukum adalah sebuah alasan mengapa adanya hukum materiil dan juga hukum formil. Tujuan hukum dapat tercapai apabila hukum ditegakkan berdasarkan aturan yang berlaku dengan berlandaskan kepada etika dalam penegakannya.

Tentang apa yang menjadi tujuan hukum terdapat banyak teori, namun demikian mustahil dapat kita bahas secara memadai satu persatu dalam tulisan ini. Namun demikian diantara begitu banyak teori tentang tujuan hukum maka paling tidak ada beberapa teori yang dapat menjadi acuan sebagai dasar kita untuk melihat tentang apa yang menjadi tujuan hukum.

Ahmad Ali membagi grand theory tentang tujuan hukum, yaitu : teori barat, teori timur dan teori islam yang akan penukis jabarkan sebagai berikut :9

a. Teori Barat

1) Teori klasik :

- Teori Etis adalah tujuan hukum semata mata untuk mewujudkan keadilan (justice).

- Teori Utilistis adalah tujuan Hukum semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan (utility).

9

18

- Teori Legalistik adalah tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kepastian hokum (legal certainly).

2) Teori Modern

- Teori Prioritas Baku adalah Tujuan Hukum mencakupi Keadilan, Kemanfaatan, Kepastian Hukum.

3) Teori Prioritas Kasuistik adalah Tujuan hukum mencakupi keadilan kemanfaatan – kepastian hukum dengan urutan prioritas, secara proposional, sesuai dngan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.

b. Teori Timur

Berbeda dengan teori barat tentang tujuan hukum, maka teori timur umumnya tidak menempatkan kepastian tetapi hanya menekankan kepada tujuan hukum yaitu keadilan adalah keharmonisandan keharmonisn adalah kedamaian. Jadi berbeda dengan tujuan hukum barat, maka tujuan hukum timur masih menggunakan kultur hukum asli mereka yang tidak terlalau berlandaskan kepada keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum.

Perbedaan mendasar teori hukum barat dengan teori hukum timur adalah jika hukum barat mengedepankan kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan maka yang menjadi tujuan hukum teori timur adalah kedamaian (peace). Sebagai contoh penegakan hukum di negara Jepang adalah jika pengadilan Jepang dalam putusannya, sering mengabaikan ketentuan formal, demi mewujudkan kedamaian didalam masyarakat mereka. Bahkan, perkara-perkara yang tidak berat, seperti pencurian, dapat dilakukan perdamaian antara pelaku pencurian (bahasa

19

jepangnya dorobo), dengan korbannya secara resmi di kantor-kantor polisi, dimana disana sudah tersedia formulir khusus untuk perdamaian.

Syaratnya jika perdamaian itu antara pencuri dan korbannya, adalah bahwa pencuri langsung mengaku bersalah, meminta maaf kepada korbannya, mengembalikan barang curiannya, dan yang terpenting adalah korbannya memaafkannya. Perkara ditutup dan tidak lagi dilanjutkan, meskipun sebenarnya ketentuan formal dari hukum acara pidana di Jepang, identik dengan hukum acara

pidana Barat dan Indonesia, yaitu menganut asas “tidak ada perdamaian dalam perkara pidana”, tetapi sendi dalam realitas praktik hukum, undang-undang diabaikan demi tujuan hukum kedamaian.

c. Teori Islam

Teori tujuan hkum Islam pada prinsipnya bagaimana mewujudkan “kemanfaatan” kepada seluruh umat manusia, yang mencakupi “kemanfaatan” dalam kehidupan

di dunia maupun diakhirat. Tujuan mewujudkan “kemanfaatan” ini, sesuai dengan

prinsip umum Al-Qur’an :

a. al-Asl fi al-manafi al-hall wa fi al-mudar al-man’u (segala yang bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat dilarang).

b. La darara wa la dirar (jangan menimbulkan kemudaratandan jangan menjadi korban kemudaratan).

20

Selain teori diatas Leden Marpaung membagi tujuan hukum Pidana kepada dua hal yaitu Teori Absolut dan teori Relatif10.

1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie).

Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat.

2. Teori Relatif (Doeltheorie).

Teori ini dilandasi oleh tujuan (doel) sebagai berikut a. Menjerakan.

Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventie).

b. Memperbaiki pribadi terpidana.

Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi peerbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.

c. Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya

Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup.

10

21

B. Teori- Teori Terhadap Putusan Hakim

a. Bebas dan Impartial (tidak memihak)

Suatu pengadilan yang bebas merupakan suatu syarat yang “indispensable” dalam suatu masyarakat dibawah “Rule Of Law”. Kebebasan demikian mengandung

didalamnya kebebasan dari campur tangan dari badan-badan lain, baik dari Eksekutif maupun dari Legislatif, meskipun ini tidak berarti bahwa hakim itu boleh bertindak sewenang-wenang. Syarat demikian dikemukakan pula oleh Universal Declaration of Human Rights, yang disamping itu menghendaki adanya

suatu”impartial tribunal”.

Prinsip hakim yang bebas atau Independent Judge memiliki makna bahwa hakim dapat membawa pengaruh luar akan tetapi dalam batas-batas minimal. Beberapa Negara-negara sosialis misalnya meninggalkan praktek dimana Kementrian Kehakiman itu dapat mempengaruhi jalannya peradilan, sedangkan CC dari CPSU melarang intervensi dari organ-organ partai terhadap proses pada pengadilan tingkatan rendah.11

b. Presumption of innocence

Adalah suatu prinsip yang penting dalam Hukum Acara Pidana, yaitu prinsip

Presumption of innocence”, yang timbul dari pengakuan terhadap prinsip legality

dan yayng menyatakan, bahwa seseorang tertuduh harus dipandang tidak salah, sehingga terdapat bukti tentang kesalahannya. Ia mengandung unsur kepercayaan

terhadap seseorang dalam negara hukum dan merupakan suatu “disapproval

terhadapa kekuasaan yang sewenang-wenang dalam suatu negara, yang

11

22

berpendapat bahwa setiap orang itu diapandang salah, hingga terbukti bahwa ia tidak salah.

Merupakan sesuatu yang menggembirakan, bahwa prinsip tersebut terdapat dalam perundang-undangan nasional kita, akan tetapi perlu diperingatkan, bahwa prinsip demikian jangan menjadi suatu prinsip yang abstrak dan bahwa pejabat-pejabat yang bersangkutan harus punya rasa tanggung jawab secukupnya untuk

menghormati prinsip ”Presumption of innocence”.

c. Prinsip “ne bis in idem

Prinsip ini mengandung makna bahwa seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena satu perbuatan, dalam prinsip ini mengandung sebuah kontradiksi antara

kepastian hukum dengan “gengsi negara”. Pengalaman menunjukan, bahwa

kadang-kadang seseorang tertuduh yang dibebaskan oleh hakim dihadang dan ditahan lagi, mengenai hal yang sama sebetulnya, akan tetapi penahanannya di

inkleden” dalam pasal lain.

C. Korelasi antara Putusan Hakim dan Hak Asasi Manusia

Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak-hak dasar secara perseorangan yang wajib dilindungi oleh Negara. Untuk itu muncul sebuah teori Negara hukum yang menurut Immanuel Kant Negara berfungsi sebagai penjaga keamanan baik preventif (mencegah) maupun represiif (memaksa)12. Lebih lanjut Immanuel Kant berpendapat bahwa rakyat harus diberi kebebasan dalam mengusahakan kemakmurannya tanpa dibatasi oleh Negara termasuk didalamnya putusan hakim.

12

23

Konsepsi Negara hukum juga dikeluarkan oleh Friedrich Julius Stahl mengemukakan 4 usur yang harus dimiliki oleh Negara hukum yaitu perlindungan terhadap hak dasar manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, peradilan tata usaha dalam peradilan.

Kesimpulan pendapat pakar diatas menerangkan bahwa suatu Negara hukum baik yang dikembangkan oleh Negara-negara kontinental atau oleh Negara-negara anglo sexon memiliki sebagai basic requirement pengakuan, jaminan hak-hak dasar manusia, yang dijunjung tinggi. Hak-hak dasar ini, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun dan yang seolah-olahmerupakan suatu holy area (area bebas) yang tidak boleh dilampaui, kemudian diperluas dan mencakupi juga hak-hak sosial, ekonomis dan cultureel.

Hal demikian jelas dinyatakan oleh Universal Declaration of Human Rights, dimana hak-hak tersebut perlu dilaksanakan untuk menjunjung tinggi martabat manusia. Kepadanya harus diberikan hak untuk bekerja pemilihan bebas tentang pekerjaan, syarat-syarat yang favourable untuk bekerja dan perlindungan terhadap pengangguran. Setiap orang mempunyai standard of living yang sesuai, adequate, dengan kesehatan dan kesejahteraannya dan keeluarganya dan security apabila ia sakit, nanggur, tua dan termasuk didalamnya putusan hakim.

Putusan hakim yang dimaksud adalah putusan hakim yang memiliki kebebasan termasuk didalamnya kebebasan dari campur tangan badan-badan lainnya seperti eksekutif maupun legislatif meskipun ini tidak berarti bahwa hakim tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena putusan hakim itu bersifat kongkrit individual.

24

Putusan hakim yang didasarkan kepada kelalaian bahkan kecenderungan kepada like or dislike (suka atau tidak suka), selain bertentangan dengan prinsip Negara hukum karena telah melanggar hak asasi manusia, juga bertentangan dengan prinsip presumptionof innocence (praduga tak bersalah). Jika putusan hakim yang didasarkan kepada perasaan suka atau tidak suka dan kelalaian, maka akan menghasilkan sebuah putusan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terdapat dilapangan dan pengadilan. Padahal asas praduga tak bersalah menyatakan bahwa seorang tertuduh harus dipandang tidak salah, sehingga terdapat bukti tentang kesalahannya. Ia mengandung unsur kepercayaan terhadap seseorang dalam Negara hukum dan merupakan suatu disapproval terhadap kekuasaan yang sewenang-wenangdalam suatu Negara, yang berpendapat, bahwa setiap orang itu dipandang salah, hingga terbukti bahwa ia tidak salah.

D. Makna Keadilan (Justice)

Banyak penjelasan mengenai tujuan hukum bahwa sesungguhnya keadilan merupakan muara dari penegakan hukum. Lantas sesungguhnya apa yang dimaksud dengan keadilan tersebut sebab keadilan merupakan sesuatu yang abstrak, subjektif karena keadilan bagaimanapun juga menyangkut nilai etis yang dianut masing-masing individu. Ada yang mengaitkan keadilan dengan peraturan politik negara, sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan, senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada juga yang memandang keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus untuk memberikan apa yang menjadi hak untuk setiap orang. Ada juga

25

yang melihat keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksanaan hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan.

Diantara ungkapan atau pengertian diatas ada yang menegaskan bahwa yang namanya keadilan sempurna itu tidak pernah ada. Yang ada hanyalah sekedar pencapaian keadilan dalam kadar tertentu. Dalam hal ini sebagian orang meyakini yang dimaksud dengan keadilan adalah sebuah kelayakan.

E. Asas-asas Pidana Terkait Dengan Putusan Hakim

a. Asas Legalitas.

Asas pertama dari pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “Hukum Pidana” harus

bersumber pada undang-undang, disebut juga sebagai asas legalitas. Artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang. Yang dimaksud dengan undang-undang disini adalah dalam pengertian luas, yaitu bukan saja yang secara tertulis telah dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dengan DPR, akan tetapi juga produk per-undang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan/instruksi Menteri, Gubernur/Kepala Daerah dan lain sebagainya. Karena penguasa dalam melaksanakan tugasnya (dalam hal ini peradilan) terikat kepada ketentuan per-undang-undanga, maka akan terhindar kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi seenaknya. Hal ini berarti akan terdapat kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan (yang juga terikat kepada ketentuan perundang-undangan tersebut).

26

b. Keuntungan yang paling menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa.

Jika perubahan ketentuan itu mengenai pengurangan atau penurunan jenis bahkan penghapusan pidana, mudah dipahami bahwa yang lebih menguntungkan ditinjau dari sudut tersangaka atau terdakwa, adalah ketentuan-ketentuan yang dapat dirubah, bukan hanya pidananya saja, melainkan dapat juga mengenai normanya, bahkan norma dari undang-undang hukum lainnya yang ada hubungannya dengan undang-undang hukum pidana. Selain dari pada itu, yang diubah itu dapat juga berupa suatu ketentuan umum seperti ketentuan-ketentuan mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat atau waktu, percobaan, penyertaan, gabungan (samenloop), cara penuntutan, kadaluarsaan, interpretasi otentik, atau gabungan dari ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam hal perubahan tersebut berupa gabungan, tidak selalu mudah untuk menentukan yang lebih menguntungkan tersangka atau terdakwa.

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Cara penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan normatif dan empiris sebagai penunjang. Pendekatan normatif dan empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian perundang-undangan yang berlaku dan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu13 dan mempelajari serta menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai putusan hakim yang bertentangan dengan syarat-syarat formil sebagaimana tertera dalam KUHAP serta kedudukan hukumnya apabila ditemukan sebuah putusan yang tidak memenuhi syarat-syarat KUHAP.

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doctrinal yaitu objek penelitiannya adalah dokumen perundang-undangan dan bahan pustaka.14 Hal yang paling mendasar dalam penelitian ilmu hukum normatif, adalah bagaimana seorang peneliti menyusun dan merumuskan masalah penelitiannya secara tepat dan tajam, serta bagaimana seorang peneliti memilih metode untuk menentukan

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2007), hlm. 56.

14

28

langkah-langkahnya dan bagaimana melakukan perumusan dalam membangun teorinya.15

Pendekatan masalah menggunakan pendekatan normatif empiris dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi sumber hukum yang menjadi dasar rumusan masalah; b. Mengidentifikasi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang bersumber dari

rumusan masalah;

c. Mengidentifikasi dan menginventarisasi sumber data, ketentuan-ketentuan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berdasarkan rincian sub pokok bahasan;

d. mengkaji secara komprehensif analitis sumber data primer, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan;

e. hasil kajian sebagai jawaban permasalahan dideskripsikan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis dalam bentuk laporan hasil penelitian atau karya tulis ilmiah.

B. Sumber Data

Data merupakan hal yang paling penting dalam suatu penelitian, karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.16 Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan. Data

15

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008, hlm. 88. 16

29

yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan cara melakukan studi dokumentasi dan literatur untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat teoritis, asas hukum, konsep, dan pandangan, doktrin hukum serta isi kaidah hukum yang menyangkut putusan hakim yang bertentangan dengan syarat-syarat formil formil sebagaimana tertera dalam KUHAP.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat,17 adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,18 antara lain buku-buku literatur ilmu hukum, karya ilmiah dari kalangan hukum,

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2007), hlm. 52

18

30

jurnal hukum, makalah dan artikel, serta bahan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu :

a. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media, 2011.

b. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2010.

c. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia UI-Press, 2007.

d. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,19 misalnya:

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia; b. Kamus Inggris-Indonesia.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan informasi yang diinginkan dan dapat memberikan tanggapan terhadap informasi yang diberikan. Pada penelitian ini penentuan narasumber hanya dibatasi pada :

19

31

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 (Satu) orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung : 1 (Satu) orang 3. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 (Satu) orang +

Jumlah : 3 (Tiga) orang

D. Teknik Pengumpulan Data & Metode Pengolahan Data

1. Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum

Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk membantu dalam proses penulisan, maka penulis menggunakan prosedur pengumpulan data, yaitu menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan.

a. Studi Pustaka adalah suatu prosedur data dengan cara membaca, memahami, dan mengutip sumber data berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan tersier yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Studi Lapangan adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan wawancara langsung dengan pihak yang menjadi responden dalam penelitian dengan cara mengajukan pertanyaan dan disertai dengan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya.

2. Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum

Data dan bahan hukum yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

32

1) Mengidentifikasi data, yaitu dilakukan setelah semua data dikumpulkan kemudian diidentifikasi dengan cara memberikan tanda terhadap data penelitian penelitian.

2) Klasifikasi data, yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok yang ditentukan sehingga diperoleh data yang objektif dan sistematis sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

3) Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

E. Analisis Data

Setelah data-data tersebut tersusun secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok pembahasan bidang penelitian, maka data-data tersebut dianalisis secara kualitatif deskriptif yaitu menginterpretasikan data-data dalam bentuk uraian kalimat sehingga diharapkan dari data-data tersebut di dapat penjelasan mengenai Pelaksanaan Putusan Hakim Yang Berkekuatan Hukum Tetap Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika: studi kasus No. 281/Pid.B/2013/PN.TK.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Yuridis Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap terhadap pelaku Tindak Pidana Narkotika, sesuai dengan Putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK sebagaimana telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf F, bahwa putusan Hakim hendaknya memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terpidana. Hal ini sama saja dengan kesimpulan bahwa seorang terpidana yang diadili dan diputus bersalah berdasarkan pertimbangan Hakim harus sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan memperhatikan bukti dan fakta persidangan serta keyakinan Hakim atas perbuatan Pidana seorang terpidana. Dan berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf H, memerintahkan putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak Pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa putusan No.

58

281/Pid.B/2013/PN.TK bertentangan dengan KUHAP karena Hakim telah memutus seorang terdakwa dengan unsur pasal yang berbeda dengan dakwaan Jaksa.

2. Dalam Pasal 197 ayat (2) ditentukan apabila putusan Hakim yang tidak memenuhi dua syarat diatas maka putusan itu dianggap batal demi hukum (venrechtswege nieting ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum. Dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor Putusan pengadilan.

3. Berbeda dengan pandangan normatif diatas, Hakim menganggap peristiwa ini adalah hal yang biasa, mengingat Hakim juga seorang manusia biasa yang

Dokumen terkait