• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berisi kesimpulan penelitian terhadap beberapa pertanyaan dari rumusan masalah penelitan, serta saran penulis yang bersifat membangun.

12

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Wacana Islampohobia

Sejak peristiwa hancurnya menara kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 lalu, kaum muslim di AS menjadi pusat perhatian bahkan kerap mengalami perlakuan diskriminasi. Diskriminasi dan rasisme terhadap Islam inilah yang disebut dengan Islamfobia.

Secara etimologi Islamfobia berasal dari kata Islam and Phobia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fobia adalah sebuah perasaan takut yang tak berdasar dan berlebihan terhadap sesuatu hal. Ketakutan ini kemudian akan menghambat kehidupan si penderitanya.1 Ketakutan tersebut yang akan mendorong seseorang untuk keluar atau menjauh dari situasi, objek, seseorang, atau aktivitas tertentu. Dengan demikian, Islamofobia berarti ketakutan yang tidak mendasar terhadap Islam sehingga keberadaannya harus dijauhi atau disingkirkan. Pada akhirnya ketakutan itu adalah diskriminasi terhadap umat Islam baik sebagai individu dan komunitas, serta menyingkirkan umat Islam dari urusan-urusan sosial dan politik yang lebih luas.

Sementara itu, Chris Allen mendefinisikan Islamphobia sebagai setiap ideologi atau cara berpikir dan atau perilaku di mana kalangan Muslim disingkirkan dari posisinya, hak-haknya diambil, diperlakukan dengan tidak adil

1

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2008) h. 319

dan keberadaan mereka sebagai warga tidak diperhatikan.2 Islamfobia terbagi menjadi dua level yakni, level institusional dan individual. Secara institusional Islamofobia mewujud pada kebijakan polisi yang melakukan tindakan pengawasan (surveillance) terhadap individu-individu maupun kelompok-kelompok muslim, baik di kampus maupun di lingkungan tempat tinggalnya; infiltrasi intelijen oleh FBI terhadap individu, keluarga, maupun organisasi Islam yang diduga memiliki jaringan dengan kelompok teroris luar negeri; proses pengadilan yang bertentangan dengan konsitutisi terhadap terduga teroris; penelusuran aliran keuangan individu dan kelompok-kelompok Muslim, serta penggambaran media (media profiling) yang sangat bias secara intensif dan sistematis pada tingkat nasional. Sementara itu, secara individual warga Muslim juga mengalami diskriminasi, mulai dari caci-maki (hate speech) hingga tindakan pemukulan, pengrusakan masjid, dan penembakan yang berujung kematian.3

Munculnya propaganda anti-Islam di Barat memiliki hubungan dengan aktivis sayap kanan Amerika Serikat. Ia merupakan kelompok yang menyatakan bahwa Islam bukanlah Agama dan tidak memiliki hak sebagai warga negara. Mereka juga beranggapan bahwa semua Muslim berbahaya dan kebebasan harus dipertahankan dengan cara mengambil kebebasan umat Muslim.

Laporan dari Center for American Progress, pada tahun 2001 hingga 2009, tercatat ada tujuh yayasan sayap kanan yang telah memberikan lebih dari $40 juta untuk menyebarkan virus Islamophobia. Tujuh yayasan tersebut berada di bawah

2

P.Thomson, Allen’s Islamphobia and The British New Media: A critical evaluation of Isamphobia as a concept and its application to the written news media in Britain between 2001 and 2008 (University of Wales: Trinity Saint David, 2013) h. 6-7

3

Harian Indoprogress, „Islamphobia dan Politik Imperialistik AS’ diakses pada 13 Mei 2015 pukul 14:37 WIB dari http://indoprogress.com/2014/01/Islamophobia-dan-politik-imperialistik-as/

pimpinan Frank Gaffney, David Yerushalmi, Daniel Pipes, Robert Spancer dan Steven Emerson. Biasanya mereka menggunakan cara-cara formal, seperti dengan menyebar kebencian melalui laman internet, blog, berita ataupun film yang telah dirancang secara sistematis dengan menguatkan pesan anti-Islam.4

Melalui penyebaran kebencian seperti itulah yang mempengaruhi persepsi warga Amerika Serikat terhadap Islam. Sebelum tahun 2001, 25% orang Amerika percaya Islam adalah agama yang penuh kekerasan dan membolehkan melakukan tindak kekerasan, sementara 51 persen tidak setuju dengan posisi itu. Namun hal itu berbalik setelah peristiwa 11/9 2001, 40 persen mengatakan bahwa Islam mendorong kekerasan, sementara 42 persen tidak melakukan kekerasan.5

B. Teori Propaganda

1. Pengertian Propaganda

Propaganda adalah upaya untuk membentuk, mempengaruhi, mengubah, dan mengarahakan serta mengendalikan sikap dan pendapat masyarakat guna mencapai tujuan tertentu.6 Untuk mendapatkan apa yang diinginkan, biasanya propagandis menyebarkan pikiran atau gagasan, menkontruksi atau bahkan menciptakan sebuah peristiwa lalu ditanamkan dan dilakukan secara berulang-ulang ke dalam hati dan pikiran targetnya. Propaganda kerap dilancarkan oleh individu, kelompok, partai, golongan, atau negara untuk mencapai kepentingan.

4

Palgrave Macmillan, Islamphobia in America, The Anatomy in Tolerance, (United State:

Martim‟s Press, 2013) h. 4

5

Palgrave Macmillan, Islamphobia in America, The Anatomy in Tolerance, h.3

6

Sementara menurut Harold D. Laswell, propaganda in broadest sense is the technique of insfluencing human action by the manipulation of

representations. And Propaganda pen, solely to the control of public opinion

by significant symbols, or to speak more concreatly and less accurately, by the

stories, rumours, report, pictures, and others form of social communication7

Propaganda tidak hanya mempengaruhi sikap dan pikiran seseorang. Gerak Propaganda juga dapat mempengaruhi kondisi psikologinya, propagandis mencoba masuk untuk mempengaruhi emosi publik sehingga publik tidak punya kesempatan atau dibuat tidak sempat untuk menggunakan akal sehatnya.

Propaganda tidak hanya menonjolkan tampilan yang menarik perhatian dan mengesankan, tetapi juga kerap menghancurkan struktur emosi masyarakat sambil merusak situasi hingga menimbulkan kepanikan. Semua ini sengaja dirancang untuk membuat target berpaling pada nilai, gagasan atau situasi yang ditawarkan propagandis.8 Bahkan tidak sedikit propaganda dilancarkan untuk menjatuhkan lawan dan untuk menebar kebencian serta permusuhan, mengabaikan kebenaran dan melumpuhkan akal sehat.

2. Teknik-teknik Propaganda.

Film bisa menjadi alat propaganda untuk memperluas jangkauan yang dikehendaki dalam memungkinkan untuk membentuk sikap dan sifat banyak orang secara simultan. Untuk melaksanakan propaganda secara efektif, terlebih dahulu harus mengerti penggunaan teknik propaganda.

7

Nurudin. Komunikasi Propaganda, h. 10

8

Mohammad Shoelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012) h, 27

Untuk melancarkan propaganda, ada beberapa tekniknya, diantara lain:9

a.Name Calling

Name Calling adalah propaganda dengan memberikan sebuah

ide atau label buruk. Tujuannya adalah agar orang menolak dan meyaksikan ide tertentu tanpa mengoreksinya atau memerikasanya terlebih dahulu. Salah satu ciri yang melekat pada teknik ini adalah propaganda menggunakan sebutan-sebutan buruk pada lawan guna menjatuhkan seseorang, kelompok, atau golongan tertentu.

b. Glittering Generalities

Glittering Generalities adalah mengasosiasikan sesuatu dengan

suatu “kata bijak” yang digunakan untuk membuat kita menerima dan menyetujui hal itu tanpa memeriksanya terlebih terdahulu. Teknik ini digunakan untuk menonjolkan propagandis dengan mengidentifikasi dirinya dengan segala apa yang serba luhur dan agung.

c. Transfer

Transfer meliputi kekuasaan, sanksi dan pengaruh sesuatu yang

telah dihormati serta dipuja dari hal lain agar membuat sesuatu lebih bisa diterima. Teknik propaganda ini dengan memakai pengaruh seseorang, tokoh, atau negara tertentu yang disegani.

d. Testimonial

Berisi perkataan manusia yang dihormati atau yang dibenci bahwa ide atau progaram adalah baik atau buruk. Propaganda ini

9

sering digunakan untuk komersial, meskipun bisa juga digunakan dalam kampaye politik.

e. Plain Folk

Plain Folk adalah propaganda dengan menggunakan cara

memberi identifikasi terhadap suatu ide. Teknik ini mengidentifikasi yang dipropagandakan milik atau mengabdi pada komunikan. Misalnya dengan kata-kata milik rakyat atau dari rakyat yang sering diusung oleh salah satu partai.

f. Card Stacking

Card Stacking meliputi seleksi dan kegunaan fakta atau kepalsuan

ilustrasi atau kebingunan dan masuk akal atau tidak masuk akal suatu pernyataan agar memberikan kemungkinan terburuk atau terbaik dalam suatu gagasan. Teknik ini bisanya hanya menonjolkan satu sisi saja, baik atau buruknya saja.

3. Film Sebagai Alat Propaganda

Film memiliki pengaruh yang sangat besar dan paling banyak digunakan sebagai alat propaganda, baik secara terang-terangan maupun secara tersirat. Seorang penguasa biasanya akan melakukan propaganda dengan cara apapun agar namanya selalu diingat publik. Mulai dari pidato di depan khalayak, menyebar brosur, turun langsung ke masyarakat, kampanye di surat kabar, televisi, hingga melalui film.

Menurut Fritz Hippler, dibandingkan dengan seni lainnya, film mampu menimbulkan dampak psikologis dan propagandistik yang abadi dan

pengaruhnya sangat kuat karena efeknya tidak hanya melekat pada pikiran, tetapi pada emosi dan bersifat visual sehingga tertanam lebih lama daripada pengaruh yang di dapat dari gereja, sekolah, buku, surat kabar atau radio. 10

Film yang memiliki daya persuasif emosional paling besar ini banyak dipilih oleh propagandis untuk melancarkan kepentingannya. Dalam konteks strategi propaganda, Film sangat diperlukan dalam kampanye indoktrinisasi dalam bentuk apapun. Ditinjau dari faktanya bahwa efek film lebih bertahan lama karena tidak mengenal aktualitas seperti surat kabar.11

Salah satu negara yang banyak melakukan propaganda malalui film adalah Amerika Serikat. Kepahlawanan tentara Amerika Serikat ditunjukkan dalam perang dengan setting Perang Vietnam. Contoh lainnya, film Coming Home, The Deer Hunter, Rambo, Platon, Apocalypse Now,12 dan film yang terbarunya, American Sniper. Film American Sniper mengesankan kepada publik bahwa Islam identik dengan kekerasan dan teror. Islam adalah momok yang menakutkan dan kerap meresahkan warga dunia. Kaum muslim adalah teroris dan pelaku kekerasan atas nama agama. Sementara Amerika ditampilkan sebagai negara pembasmi kekerasan yang rela membela warganya.

10

Mohammad Soelhi, Propganda dalam Komunikasi Internasional, h. 165

11

Moehammad Soelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, h. 166

12

C. Film

1. Pengertian Film

Film atau motion picture ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama untuk memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif.13

Film adalah bentuk seni yang kini mendapat respon paling kuat dari sebagian besar orang, dan dituju orang untuk memperoleh hiburan, ilham dan wawasan. Film memiliki kekuatan besar dalam segi estetika, kerena film menjajarkan dialog, musik, pemadangan dan tidakan bersama-sama secara visual dan naratif.

Layaknya pisau bermata dua, selain menjadi karya seni, sarana pendidikan dan alat penyebar informasi. Film juga berfungsi sebagai alat propaganda dan politik. Kehadirannya bahkan mampu menjangkau semua golongan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Film yang mampu diterima dengan mudah inilah yang kemudian film memiliki potensi lebih besar untuk mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat.

Sementara Film dalam ranah semiotik, film didefinisikan sebagai sebuah teks yang, pada tingkat penanda, terdiri atas serangkaian imaji yang merepresentasikan aktivitas dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film adalah cermin metaforis kehidupan. Jelaslah bahwa topik tentang film dalah salah satu topik sentral dalam semiotika karena genre-genre dalam film

13

Marcel danesi, pengantar memahami semiotika media. (Jogja: Jalasutra, 2010 ) hal 134

merupakan sistem signifikansi yang mendapat respons sebagian besar orang saat ini dan dituju orang untuk memperoleh hiburan, ilham dan wawasan.14

2. Struktur Film

Seperti halnya sebuah karya literatur yang dapat dipecahkan menjadi bab, alinea, dan kalimat, film jenis apapun, panjang atau pendek juga memiliki struktur fisik. Fisik film dapat dipecah menjadi unsur-unsur yaitu, Shot merupakan unsur terkecil dari film, yakni proses perekaman gambar atau perekaman gambar (satu kali take) sejak kamera diaktifkan hingga dimatikan. Dalam novel, shot bisa diibaratkan satu kalimat. Sekumpulan shot biasanya dapat dikelompokkan menjadi sebuah adegan. Satu adegan bisa berjumlah belasan hingga puluhan shot. Satu shot bisa terdiri dari kurang dari satu detik, beberapa menit, bahkan jam.15

Selanjutnya, adegan (scene) adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi kesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu isi (cerita), tema, karakter, atau motif, satu adegan umumnya terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan, biasanya film cerita terdiri 30 sampai 50 adegan. Struktur yang terkhir adalah sekuen (sequence) adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh atau sequence adalah sebuah rangkaian adegan. Satu sequence umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan.

14

Marsel Denesi, Pesan, Tanda dan Makna (Jogjakarta: Jalasutra, 2010) h. 119

15

Dalam karya literatur, sequence bisa diibaratkan bab atau sekumpulan bab. Film cerita bisanya terdiri dari 8-15 sequence.16

3. Ukuran Gambar (Frame Size) pada Film

Frame size adalah ukuran shot untuk memperlihatkan situasi objek

bersangkutan. Frame size yang menjadi kekuatan gambar baik dalam film maupun acara audio visual lainnya. Ada dua belas bagian dalam frame size, yaitu, Extreme Close-up (ECU) pengambilan gambar yang

menunjukan detail suatu objek seperti hidung, mata, telinga, atau bibir pemain, Big Close-Up (BCU) menonjolkan objek untuk menimbulkan ekspresi tertentu, seperti pengambilan gambar dari batas kepala hingga bahu objek.

Selanjutnya, Close-up (CU) memberikan gambaran objek secara jelas, seperti dari batas kepala sampai leher bagian bawah. Ada juga, Medium Close-up (MCU) menegaskan profil seseorang dari batas kepala

hingga dada atas, Mid Shot (MS) memperlihatkan seseorang dengan sosoknya yakni pengambilan gambar dari kepala hingga sampai pinggang dan Knee Shot (KS) menampilkan sosok objek yakni dari batas kepala hingga lutut.

Adapun pengambilan gambar secara keseluruhan disebut Full Shot (FS) memperlihatkan objek secara penuh dari batas kepala hingga kaki,

Long Shot (LS) memperlihatkan objek dengan latar belakangnya, Medium

Long Shot (MLS) yakni gambar objek diambil dari jarak yang wajar,

16

misalnya terdapat tiga objek maka semuanya akan terlihat sedangkan jika objeknya hanya satu orang maka tampak dari kepala sampai lutut dan Extreem Long Shot (ELS) gambar yang diambil dari jarak yang sangat

jauh. Sehingga latar belakang terlihat nampak jelas. Dengan demikian terlihat posisi objek dengan lingkungan sekitarnya.

D. Teori Analisis Semiotika

1. Pengertian Analisis Semiotika

Semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Maka semiotika berarti ilmu yang mempelajari tentang tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat.17

Analisis Semiotika adalah sebuah kajian mengenai tanda dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan apapun yang berada di luar diri. Namun, analisis Semiotika lebih dikenal hanya dengan sebutan Semiologi atau Semiotika saja.

Semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Tanda adalah stimulus yang menandakan atau menunjukan beberapa kondisi lain- seperti ketika ada asap menandakan adanya api. Konsep dasar teori Semiotika yang kedua adalah simbol, yang biasanya menandakan tanda

17

Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hypersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna

yang kompleks dengan banyak arti yang sangat khusus. Kebanyakan pemikir Semiotik melibatkan ide dasar triad of meaninng yang menegaskan bahwa arti muncul dari hubungan di antara tiga hal, benda (atau yang dituju), manusia (penafsir) dan tanda.18

Banyak tokoh yang menjelaskan tentang paham semiotika, karena semiotika merupakan ilmu yang menunculkan banyak karakter. Ada tiga tokoh yang cukup terkenal teorinya, yakni Charles Sander Pierce, Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes.

a. Charles Sander Pierce

Charles Sander Pierce adalah salah satu Filsuf Amerika yang paling orisinil dan multidimensional. Pierce dikenal sebagai ahli semiotik modern

pertama. Bagi pierce tanda adalalah “Is something whish stand somebody for something in some respect or capacity, sesuatu yang digunakan agar tanda

bisa berfungsi, oleh Pierce disebut ground.19 Sementara itu, Pierce mendefinisikan semiotik sebagai hubungan tanda-tanda, benda dan arti. Tanda tersebut merepresentasikan benda yang ditujuk dalam pikiran si penafsir. 20

Tampak pada definisi Peirce ini peran penafsir/ subjek sebagai bagian tak terpisahkan dari pertandaan. Model triadic Pierce (representamen+objek+interpretan=tanda) memperlihatkan peran besar subjek

18

Stephen W. Littejohn dan Karen A. Foss. Teori Komunikasi, Theories Of Human Communication.( Jakarta: Salemba Humatika, 2009 ) h. 54.

19

Alex sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009) h. 41

20

Stephen W. Littejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Theories Of Human Communication, h. l54

dalam proses transformasi bahasa. 21 Representamen adalah sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain, objek adalag sesuatu yang direpresentasikan sedangkan interpretan, interpetasi seseorang tentang tanda tertentu.

Atas dasar hubungan itu, Pierce mengadakan kualifikasi tanda. Tanda dibaginya menjadi qualisign, sinsign, legisign. Qualisign adalah kullitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, merdu atau lemah lembut. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda,

misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.

b. Ferdinand De Saussure

Ferdinand de Saussure, tokoh besar asal Swiss ini terkenal akan teorinya tentang tanda bahasa. Dalam catatannya yang kemudian dibukukan (1916) disebutkan lima hal penting, yakni (1) tanda terdiri dari penanda (signifiant) dan petanda (signifie) yang hubungan pemaknaannya didasari oleh konvensi sosial. (2) kerena itu, bahasa merupakan gejala sosial yang bersifat arbitrer serta konvensional dan terdiri dari perangkat kaidah sosial yang disadari bersama (langue) dalam praktik sosial (parole). (3) hubungan antar tanda bersifat sintagmatis (in-praesentia) dan asosiatif (in-absentia) dan (4) bahasa dapat didekati secara diakronis (perkembangannya) atau sinkronis

21

Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna, h. 310

(sistemnya pada kurun waktu tertentu), (5) sebagai gejala sosial, bahasa terdiri dari dua tataran, yakni kaidah sistem internal (langue) dan praktik sosial (parole). 22

Saussure berpendapat bahwa ada yang namanya penanda dan petanda. Dengan kata lain, penanda dikatakan sebagai bunyi atau coretan yang mempunyai makna. Bisa diartikan aspek material dari bahasa. Contohnya adalah apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang dibaca maupun ditulis. Petanda menurutnya adalah gambaran mental, konsep dan pikiran yang bisa disebut aspek mental dan bahasa. Kedua unsur ini tidak bisa dipisahkan. Saussure menyatakan bahwa penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari selembar kertas.23

c. Roland Barthes

Semiotika milik Roland Barthes (1915-1980) menggambarkan kekuatan penggunaan semiotika untuk membongkar struktur makna yang tersembunyi dalam tontonan, pertunjukan sehari-hari, dan konsep-konsep umum. Secara historis tokoh yang lahir dan dibesarkan di sebelah Barat Daya Prancis ini sering disebut sebagai penerus dari teori Saussurean. Barthes mengembangkan sebuah model relasi antara apa yang disebut sistem, yaitu pembendaharaan tanda (kata, visual, gambar, benda) dan sintagma, yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu.24 Cara pengkombinasian tanda serta aturan yang melandasinya memungkinkan untuk

22

Benny H.Hoed. Semiotik dan dinamika SOSIAL Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2014) H. 5-6

23

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 39-40

24

Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna,

menghasilkan makna sebuah teks. Oleh karena itu terbentuklah hubungan antara sebuah penandan dan petanda secara konvensi.

Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.25 Makna denotasi dalam hal ini, adalah makna apa yang tampak. Misalnya foto wajah Jokowi berarti wajah Jokowi yang sesungguhnya.

Konotasi adalah hubungan petanda dan penanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti.26

Gambar 2.1

Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.69

Konotasi menciptakan makna-makna tingkat kedua, konotasi identik dengan operasi ideologi, disebutnya sebagai mitos yang berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu.27 Barthes menjelaskan bahwa kunci dari

25

Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna.

H. 304

26

Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna.

H. 304-305

27

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.70-71

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda) 3. Denotative sign (Tanda denotatif)

4.Connotative Signifier (Penanda Konotatif)

5.Connotatieve Signified (Petanda konotatif) 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

analisisnya ada pada konotasi dan denotasi, ia mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sebuah ekspresi (E) atau signifier dalam hubungan (R) dengan isi (atau signified) C.28

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadiranya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai makna denotatif.

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos adalah perkembangan dari konotasi. Mitos merupakan sitem simiologis, yakni sistem tanda tanda yang dimaknai manusia, pemaknaanya bersifat arbitrer sehingga terbuka untuk berbagai kemungkinan.29 Mitos merupakan konotasi yang terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberikan konotasi tertentu dalam jangka waktu yang lama. Pengertian mitos pada umumnya tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti halnya cerita - cerita tradisional melainkan sebuah cara pemaknaan. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.

28

Alex sobur, Semiotika Komunikasi, h. 70

29

Semiotika menurut Roland Barthes pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan

(to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi,

Dokumen terkait