• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab ini, meliputi kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang dapat penulis sampaikan.

15 BAB II

TINJAUAN TEORETIS

A. Efektivitas

Efektivitas berasal dari bahasa inggris, yaitu effective yang berarti berhasil, tepat atau manjur.1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti mempunyai nilai efektif, pengaruh atau akibat, biasa diartikan sebagai kegiatan yang bisa memberikan hasil yang memuaskan.2

Pencapaian hasil efektifitas yang dilakukan oleh suatu organisasi terdiri dari tiga tahap, yakni input, conversion, dan output atau masukan, perubahan dan hasil. Pertama, input meliputi semua sumber daya yang dimiliki, informasi dan pengetahuan, bahan-bahan mentah serta modal. Pada tahap input, tingkat efisiensi sumber daya yang dimiliki sangat menentukan kemampuan yang dimiliki. Kedua, conversion ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, manajemen dan penggunaan teknologi agar dapat menghasilkan nilai. Tahap ini, tingkat keahlian SDM dan daya tanggap organisasi terhadap perubahan lingkungan sangat menentukan tingkat produktifitasnya. Ketiga, output, pelayanan yang diberikan merupakan hasil dari penggunaan teknologi dan keahlian SDM. Organisasi yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara

1 Drs. Putut Sudarwanto, Kamus Lengkap300 Milyard Inggris – Indonesia, (Surabaya : Giri Utama), h. 67., t.th.

2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2008, Edisi ke-4), h. 352.

efisien dapat meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan dengan memuaskan kebutuhan pelanggan. 3

B. Akad Murabahah

Secara etimologis, murabahah berarti saling menguntungkan, sedangkan secara terminologis, murabahah yaitu suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungannya (margin) yang diinginkan.4

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.5 Menurut Fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.6

Pengertian murabahah menurut praktik yaitu, murabahah menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, bukan hanya pinjaman semata sebagaimana dalam sistem kredit di perbankan konvensional. Dalam praktik pembiayaan murabahah, nasabah datang mengajukan pembiayaan atas sebuah komoditas dengan kriteria tertentu.

3 Suhairi dan Fatmawati Maryan Ali, “Efektifitas Penyelesaian Pembiayaan Murabahah Bermasalah di BPRS Metro Madani Kota Metro Tahun 2014”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol.03 No.2, (2014), h. 163.

4 Dr. Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 123.

5

Penjelasan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

17

Pada tahap ini terjadi negosiasi dan penyertaan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Kemudian, bank memesan barang kepada supplier sesuai dengan kriteria yang diinginkan nasabah. Setelah barang tersebut resmi menjadi milik bank, baru kemudian terjadi kontrak jual beli antara nasabah dan pihak bank. Barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, kemudian nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Dengan demikian, jika melihat praktik pembayaran murabahah, tidak ditemukan adanya unsur bunga, hanya margin sebagai tambahan atas harga pokok pembelian sehingga tidak bertentangan dengan syariah.7

Allah SWT berfirman: َي َييِزَّلا ْنًََُِّأِب َكِل ََٰر ۚ ِّسَوْلا َيِه ُىبَطْيَّشلا َُُطَّبَخَتَي يِزَّلا ُمُْقَي بَوَك َّلَِإ َىُْهُْقَي َلَ بَبِّشلا َىُْلُكْأ ْيِه ٌةَظِع َْْه ٍَُءبَج ْيَوَف ۚ بَبِّشلا َمَّشَحَّ َعْيَبْلا ُ َّاللَّ َّلَحَأَّ ۗ بَبِّشلا ُلْثِه ُعْيَبْلا بَوًَِّإ اُْلبَق ِّبَس َٰىََِتًْبَف َِ َىُّذِلبَخ بَِيِف ْنُُ ۖ ِسبٌَّلا ُةبَحْصَأ َكِئََٰلُّأَف َدبَع ْيَهَّ ۖ ِ َّاللَّ ىَلِإ ٍُُشْهَأَّ َفَلَس بَه ََُلَف .

"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)

Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk

7 Tri Setiady, “Pembiayaan Murabahah dalam Perspektif Fiqh Islam, Hukum Positif, dan Hukum Syariah”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 3, (Juli-September 2014), h. 9.

membeli barang yang dipesannya. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan.8

Ketentuan murabahah menurut Fatwa DSN, yaitu :

a. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah

1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

2) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari‟ah Islam.

3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

8 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Amanah Ummah, Panduan Sistem Operasional dan

19

b. Ketentuan Umum Murabahah kepada Nasabah

1) Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.

2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. 3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan

nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk

membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.

5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.

6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.

7) Jika uang muka memakai kontrak „urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka :

a) jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.

b) jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

c. Jaminan dalam Murabahah

1) Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.

2) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

d. Utang dalam Murabahah

1) Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.

2) Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya. 3) Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah

tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

e. Penundaan Pembayaran dalam Murabahah

1) Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.

2) Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari‟ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

f. Bangkrut dalam Murabahah

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

Ketentuan umum teknik perbankan dalam bidang murabahah dapat diaplikasikan sebagai berikut:

21

a) Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari produsen (pabrik/toko) ditambah keuntungan (mark-up). Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan waktu pembayaran.

b) Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati, tidak dapat berubah selama berlaku akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bitsaman ajil).

c) Dalam transaksi ini, bila sudah ada barang, diserahkan segera kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.9

C. Akibat Hukum Akad Murabahah

Cakupan prestasi yang menjadi hak salah satu pihak dan kewajiban pihak lain merupakan akibat hukum yang timbul dari akad. Seperti yang telah dikemukakan,bahwa akibat hukum dari akad dalam hukum Islam dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) akibat hukum pokok, yang dalam istilah fikih disebut hukum pokok akad, dan (2) akibat hukum tambahan akad, yang dalam fikih disebut juga hak-hak akad atau hukum tambahan akad.

Akibat hukum pokok akad untuk masing-masing akad bernama sudah ditetapkan. Sedangkan untuk akad-akad tidak bernama hukum pokok akad itu tidak ditetapkan oleh Pembuat hukum, melainkan ditetapkan oleh para pihak sendiri sesuai dengan maksud mereka menutup perjanjian dengan syarat tidak bertentangan dengan Syariah.

Akibat hukum tambahan, yang disebut juga hak-hak akad, dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) akibat-akibat hukum yang ditentukan oleh pembuat hukum syariah, dan (2) akibat hukum yang timbul karena

9 Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S.H. S.IP., M.Hum., Hukum Ekonomi Syariah: Dalam

diperjanjikan oleh para pihak dalam klausul akad. Akibat hukum yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi kewajiban dan hak bagi masing-masing pihak secara otomatis dan tanpa diperjanjikan. Misalnya, kewajiban menyerahkan barang, menjamin terhadap cacat barang, menjamin terhadap revindikasi, dan kewajiban membayar harga dalam akad jual beli; kewajiban menyerahkan barang yang disewa, kewajiban menjamin terhadap cacat, kewajiban membayar uang sewa, kewajiban menggunakan barang sewa sesuai perjanjian, kewajiban mengembalikan barang kepada pemilik seusai sewa menyewa dalam akad sewa menyewa (ijarah); dan seterusnya. Selain akibat hukum yang ditetapkan langsung oleh hukum syariah, ada pula akibat hukum perjanjian yang menjadi kewajiban dan hak para pihak karena diperjanjikan dalam klausul akad.10

Beberapa persoalan yang berkaitan dengan aspek hukum yang sering muncul dalam transaksi murabahah antara lain berkaitan dengan penyerahan barang, risiko, jaminan, dan pajak.11

Adapun risiko berkaitan dengan pembayaran, yaitu nasabah tidak melakukan pembayaran baik sebagian atau sepenuhnya sesuai dengan jadwal pembayaran. Syariah menghindari risiko ini antara lain dengan adanya agunan, penanggungan (jaminan pihak ketiga), dan syarat perjanjian yang menyatakan bahwa semua hasil barang murabahah yang dijual kepada pihak ketiga (baik tunai maupun angsuran) harus atas sepengetahuan bank hingga kewajiban pembayaran kepada bank dibayar secara penuh. Jika tidak melakukan pembayaran dikarenakan faktor diluar kemampuan pengawasan nasabah, bank syariah secara moral berkewajiban untuk melakukan penjadwalan ulang (rescheduling) bahkan

10

Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A., Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 309-310.

11 Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A., Penerapan Hukum Perjanjian dalam

23

restructuring piutang tersebut,12 dan sebaliknya, jika nasabah sudah memiliki kemampuan untuk membayar pada waktunya tetapi dia tidak melakukan, maka bank dapat menjalankan konsep denda untuk dibebankan kepada nasabah. Jumlah denda yang diberikan tergantung kepada “tingkat normal return” pada dana bank yang diinvestasikan, sesuai dengan biaya dana (cost of fund) dari sejumlah modal.

Dalam beberapa kasus dimana pemulihan secara keseluruhan tidak mungkin, bank syariah dapat mengeksekusi jaminan untuk menutupi sejumlah sisa kewajiban dari pembiayaan yang diberikan kepada nasabah. Hal ini juga ditegaskan dalam Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berikut : “Jaminan dalam murabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.”

Pada praktiknya, penyusunan suatu perjanjian antara bank syariah dengan nasabah, dari sisi hukum positif, selain mengacu kepada KUH Perdata, juga harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sedangkan dari sisi syariah, para pihak tersebut berpedoman kepada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.13

D. Pembiayaan Bermasalah

Pengertian kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

12

Fatwa DSN-MUI No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan

Murabahah, dan Fatwa DSN-MUI No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.

13 Ir.Adiwarman A.Karim, S.E., MBA., M.A.E.P., Bank Islam ; Analisis Fiqih dan

peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.14

Sedangkan Pembiayaan menurut Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008 adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam

bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;

d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi

multi jasa.

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan / atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan / atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.15

Analisis Pembiayaan bank syariah merupakan suatu proses analisis yang dilakukan oleh bank syariah unuk menilai suatu permohonan pembiayaan yang telah diajukan oleh calon nasabah. Dengan melakukan analisis permohonan pembiayaan, bank syariah akan memperoleh keyakinan bahwa proyek yang akan dibiayai layak (feasible). Penerapan prinsip dasar dalam pemberian pembiayaan serta analisis yang mendalam terhadap calon nasabah, perlu dilakukan oleh bank syariah agar bank tidak

14

Lihat pada Pasal 1 Poin 11, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, h. 2.

15 Lihat pada Pasal 1 poin 25, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, h. 5.

25

salah memilih dalam menyalurkan dananya sehingga dana yang disalurkan kepada nasabah dapat terbayar kembali sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan. Prinsip dasar tersebut, yaitu :

a. Character (Kepribadian)

Character menggambarkan watak dan kepribadian calon nasabah.

Bank perlu melakukan analisis terhadap karakter calon nasabah dengan tujuan untuk mengetahui bahwa calon nasabah mempunyai keinginan untuk memenuhi kewajiban membayar kembali pembiayaan yang telah diterima hingga lunas. Bank ingin meyakini willingness to repay dari calon nasabah, yaitu keyakinan bank terhadap kemauan calon nasabah mau memenuhi kewajibannya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. Bank ingin mengetahui bahwa calon nasabah mempunyai karakter yang baik, jujur, dan mempunyai komitmen terhadap pembayaran kembali pembiayaannya.16

b. Capacity (Kemampuan)

Analisis terhadap capacity ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan keuangan calon nasabah dalam memenuhi kewajibannya sesuai jangka waktu pembiayaan. Bank perlu mengetahui dengan pasti kemampuan keuangan calon nasabah dalam memenuhi kewajibannya setelah bank syariah memberikan pembiayaan. Kemampuan keuangan calon nasabah sangat penting karena merupakan sumer utama pembiayaan. Semakin baik kemampuan keuangan calon nasabah, maka akan semakin baik kemungkinan kualitas pembiayaan, artinya dapat dipastikan bahwa pembiayaan yang diberikan bank syariah dapat dibayar sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan.17

16 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 120. 17

c. Capital (Modal)

Yang dimaksud dengan capital adalah kemampuan suatu calon debitur dalam melakukan usahanya dengan memiliki kemampuan modal yang cukup. Investasi yang dimaksud oleh pengusaha menunjukkan kepercayaan terhadap perusahaan, produk, dan masa depan usahanya. Bank ingin mengetahui apakah pemilik ataukah kreditor yang memberikan modal.18

d. Collateral (Jaminan)

Sering Collateral diadakan untuk mengimbangi sesuatu kelemahan pada salah satu atau beberapa “C” lainnya. akan tetapi ia tidaklah dapat menggantikan character. Dengan mengutamakan collateral dan meremehkan character dan capacity, sebuah bank akan mengalami kesulitan. Dengan memperhatikan kedua unsur tersebut, maka

collateral akhirnya mungkin bisa habis sampai tak ada harganya sama

sekali.19

e. Condition of Economy (Kondisi Ekonomi)

Condition of Economy merupakan analisis terhadap kondisi

perekonomian. Bank perlu mempertimbangkan sektor usaha calon nasabah dikaitkan dengan kondisi ekonomi. Bank perlu melakukan analisis dampak kondisi ekonomi terhadap usaha calon nasabah di masa yang akan datang, untuk mengetahui pengaruh kondisi ekonomi terhadap usaha calon nasabah.20

18

Julius R. Latumaerissa, Manajemen Bank Umum, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2014), h. 140.

19 Julius R. Latumaerissa, Manajemen Bank Umum, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2014), h. 141.

20 Drs. Ismail, MBA., Ak., Manajemen Perbankan : Dari Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 113.

27

Dalam prinsip 5C, setiap permohonan pembiayaan,telah dianalisis secara mendalam sehingga hasil analisis sudah cukup memadai. Dalam analisis 5C yang dilakukan secara terpadu, maka dapat digunakan sebagai dasar untuk memutuskan permohonan pembiayaan. Analisis 5C perlu dilakukan secara keseluruhan. Namun demikian, dalam praktiknya, bank syariah akan memfokuskan terhadap beberapa prinsip antara lain character, capacity, dan collateral. Ketiga prinsip dasar pemberian pembiayaan ini dianggap sebagai faktor penting yang tidak dapat ditinggalkan sebelum mengambil keputusan.21

Maka risiko yang akan dihadapi bank, antara lain: pertama, tidak kembalinya pokok pembiayaan dan tidak mendapat imbalan, ujrah, atau bagi hasil sebagaimana telah disepakati dalam akad pembiayaan antara bank syariah dan nasabah penerima fasilitas; kedua, bertambah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh bank dan bertambahnya waktu untuk penyelesaian Non Performing Financing (NPF); dan ketiga, turunnya kesehatan pembiayaan bank (kolektibilitas pembiayaan menurun).22

Upaya yang dilakukan bank untuk penyelamatan terhadap kredit bermasalah, antara lain :

1. Rescheduling

Rescheduling merupakan upaya yang dilakukan bank untuk menangani kredit bermasalah dengan membuat penjadwalan kembali. Penjadwalan kembali dapat dilakukan kepada debitur yang mempunyai itikad baik akan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk membayar angsuran pokok dengan jadwal yang telah diperjanjikan. Penjadwalan kembali dilakukan oleh bank dengan harapan debitur dapat membayar kembali kewajibannya. 23

21

Husein Umar, Research Methods and Banking, (Jakarta : Gramedia, 2010), h. 111. 22 A. Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syari’ah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2012), h. 89.

2. Reconditioning

Reconditioning (persyaratan kembali) merupakan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank, antara lain meliputi:

a. Perubahan jadwal pembayaran b. Perubahan jumlah angsuran c. Perubahan jangka waktu

d. Perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah

e. Perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah

f. Pemberian potongan24

3. Restructuring

Restructuring merupakan upaya yang dilakukan oleh bank dalam menyelamatkan kredit bermasalah dengan cara mengubah struktur pembiayaan.25

4. Kombinasi

Kombinasi yaitu kondisi dimana seorang nasabah dapat saja diselamatkan dengan kombinasi antara Rescheduling dengan Restructuring, misalnya jangka waktu diperpanjang, pembayaran

23 Drs. Ismail, MBA., Ak., Manajemen Perbankan : Dari Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 125-126.

24

A. Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syari’ah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2012), h. 449.

25 Drs. Ismail, MBA., Ak., Manajemen Perbankan : Dari Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 127.

29

bagi hasil ditunda atau Reconditioning dengan Rescheduling, misalnya jangka waktu diperpanjang modal ditambah.26

5. Eksekusi

Eksekusi merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan oleh bank untuk menyelematkan kredit bermasalah. Eksekusi merupakan penjualan agunan yang dimiliki oleh bank. Sisa atas penjualan agunan, akan dikembalikan kepada debitur. Sebaliknya, kekurangan atas hasil penjualan agunan menjadi tangungan debitur, artinya debitur diwajibkan untuk membayar kekurangannya.27

26 Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 129. 27 Drs. Ismail, MBA., Ak., Manajemen Perbankan : Dari Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 129.

30 BAB III

GAMBARAN UMUM BPRS AMANAH UMMAH LEUWILIANG BOGOR

A. Profil BPRS Amanah Ummah Leuwiliang Bogor 1. Visi BPRS Amanah Ummah Leuwiliang Bogor

Menjadi BPR Syariah pilihan ummat, menjadi BPR Syariah yang Amanah dan Profesional.

2. Misi BPRS Amanah Ummah Leuwiliang Bogor

Membangun kualitas kehidupan ummat melalui perbankan syariah.

3. Motto BPRS Amanah Ummah Leuwiliang Bogor Meraih laba, Menepis riba, Mengundang berkah.

4. Budaya Perusahaan BPRS Amanah Ummah Leuwiliang Bogor a. Pelayanan cepat

b. Amanah c. Profesional

5. Sejarah Berdirinya BPRS Amanah Ummah Leuwiliang Bogor Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Amanah Ummah atau disingkat dengan BPR Syariah Amanah Ummah adalah salah satu Bank Permbiayaan Rakyat Syariah yang tumbuh di Indonesia khususnya wilayah Bogor Barat yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam yang bertujuan diantaranya, menumbuhkan ekonomi masyarakat atas dasar syariah Islam sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

31

Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka kehadiran Bank Syariah di Indonesia yang diyakini prinsip-prinsip dan operasionalnya sesuai dengan syariah Islamiyah adalah suatu kebutuhan sekaligus suatu keharusan. Hal ini didasarkan pada suatu keyakinan ummat yang kuat bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang tidak hanya mengatur masalah aqidah dan akhlaq juga mengatur ibadah dan muamalah dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan sosial-ekonomi. Akan tetapi dilihat dari realitas kehidupan

Dokumen terkait