• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

TINJAUAN TEORITIS MANAJEMEN RISIKO PEMBIAYAAN MURABAHAH

1. Pembiayaan Pada Bank Syariah

Dari segi ada atau tidaknya adanya kompensasi (keuntungan), fiqih muamalat membagi lagi akad pada bank syariah menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad tijarah/mu’awadah.5

Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil melainkan akad untuk mencari keuntungan akhirat. Dalam akad tabarru’ (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan), pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak dapat boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain.6

5

Karim, Adiwarman, Ir, S.E, M.B.A, M.A.E.P, “Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan”, Edisi Ketiga, Jakarta : Rajawali Press, 2004, h. 66

6

Berbeda dengan akad tabarru’, akad tijarah (compensational contract) adalah akad-akad yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil.

Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa, dan lain-lain. Dari akad inilah kemudian muncul dua kelompok besar dalam konsep pembiayaan, yang dibagi berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, yaitu Natural Certainty Contracts dan Natural Uncertainty Contracts. Hal inilah yang akan dibahas lebih lanjut.7

7

Gambar 2.1 Akad-akad dalam Bank Syariah

Sumber : Karim, Adiwarman, “Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan”, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2004

1.1 Pembiayaan berbasis Natural Certainty Contracts (NCC)

Pembiayaan berbasis Natural Certainty Contracts (NCC) yaitu kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah

Wa’ad Akad

Tabarru’

Not for profit transaction

Tijarah

For profit transaction

Natural Certainty Contracts Natural Uncertainty Contracts 1. Qard 2. Wadi’ah 3. Wakalah 4. Kafalah 5. Rahn 6. Hibah 7. Waqf 1. Murabahah 2. Salam 3. Istishna 4. Ijarah 1. Musyarakah (wujuh, inan, abdan, mufawadah, mudharabah) 2. Muzara’ah 3. Musaqah 4. Mukhabarah Teori Pertukaran Teori Percampuran

(amount) maupun waktu (timing)-nya. Cah flow-nya bias diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertransaksi diawal akad, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price) dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak ini secara “sunatullah” (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk kategori ini adalah kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dan lain-lain, yakni sebagai berikut :

a. Akad Jual-Beli (Al-Bai’. salam, dan Istishna’) b. Akad Sewa-Menyewa (Ijarah dan IMBT).8

Dalam akad-akad diatas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya (baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan risiko bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dengan asset si B. yang ada misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B menyerahkan uang kepada A. disini barang ditukarkan dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli (al-Bai’).

Dalam jual-beli murabahah , sipenjual menyatakan dengan terbuka kepada si pembeli mengenai tingkat keuntungan yang diambilnya.

Bentuk jual-beli lainnya adalah salam. Dalam jual-beli jenis ini, barang yang ingin dibeli biasanya belum ada (misalnya masih harus diproduksi). Dalam

8

jual-beli salam, uang diserahkan sekaligus dimuka sedangkan barangnya diserahkan diakhir periode pembiayaan.

Bentuk jual-beli selanjutnya adalah istishna’. Akad ini sebenarnya adalah akad salam yang pembayaran atas barangnya dilakukan secara cicilan selama periode pembiayaan (jadi tidak dilakukan secara lump-sum diawal).

Sedangkan untuk sewa-menyewa dikenal ada dua jenis yaitu ijarah dan IMBT. Ijarah adalah akad untuk memanfaatkan jasa, baik itu jasa atas barang maupun jasa atas tenaga kerja. Pada ijarah tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan. Perbedaan yang paling utama dengan IMBT (Ijarah Muntahia bittamlik) adalah adanya perpindahan kepemilikan objek pada akhir periode peminjaman.

1.2 Pembiayaan berbasis Natural Uncertainty Contracts (NUC)

Pembiayaan berbasis Natural Uncertainty Contracts (NUC) adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Tingkat return-nya bisa positif, negatif atau nol. Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real asset maupun financial asset) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung risiko secara bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara “sunatullah” tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak fixed and predetermined.

Contoh-contoh NUC adalah sebagai berikut:

a. Musyarakah (wujuh, ’inan, abdan, mufawadah, dan mudharabah)

b. Muzara’ah (kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap dimana benih berasal dari pemilik lahan, dan pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan bersama).

c. Mukharabah (sama seperti muzara’ah, hanya benihnya berasal dari penggarap).

d. Musaqah (muzara’ah yang lebih sederhana, dimana penggarap hanya bertanggung jawab pada penyiraman dan pemeliharaan).

Akad musyarakah (atau disebut juga syirkah) mempunyai lima variasi, yakni: mufawadah, ‘inan, wujuh, abdan, dan mudharabah. Dalam syirkah mufawadah, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang sama. Sedangkan pada syirkah ‘inan, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yamg tidak sama. Sedangkan dalam syirkah wujuh, terjadi percampuran antara modal dengan reputasi/nama baik seseorang (wujuh, bersal dari kata bahasa Arab yang berarti wajah atau reputasi).

Bentuk syirkah selanjutnya adalah syirkah abdan, dimana terjadi percampuran keahlian/keterampilan dari pihak-pihak berserikat. Misalnya, ketika konsultan perbankan syariah bergabung dengan konsultan information technologi untuk mengerjakan proyek system informasi Bank Syariah XYZ. Dalam syirkah ini, tidak terjadi percampuran modal (dalam arti uang), tetapi

yang terjadi adalah percampuran keahlian/keterampilan dari pihak-pihak yang berserikat.9

Sedangkan Bentuk syirkah yang terakhir adalah syirkah mudharabah. Dalam syirkah ini, terjadi percampuran antara modal dengan jasa (keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat. Ada dua pihak yang berserikat yaitu penyandang dana (shahibul mal) dan pihak yang menjadi pelaksana/pengelola (mudharib).

Perbadaan antara natural certainty contracts (NCC) dengan natural uncertainty contracts (NUC) ini sangat penting. Karena keduanya memiliki karakteristik khas yang tidak boleh dicampuradukkan. Bila natural certainty contracts diubah menjadi uncertain, terjadilah gharar (ketidakpastian). Dengan kata lain, kita mengubah hal-hal yang sudah pasti menjadi tidak pasti. Demikian pula sebaliknya, yakni bila natural uncertainty contracts diubah menjadi certain, maka terjadilah riba nasiah. Artinya, kita mengubah hal-hal yang seharusnya tidak pasti menjadi pasti. Kedua hal diatas jelas telah melanggar “sunatullah”.

2. Manajemen Risiko Bank Syariah 2.1Pengertian Manajemen Risiko

Berdasarkan bahasa, risiko mempunyai makna akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan

9

sedangkan manajemen Risiko berarti upaya untuk mengurangi dampak dari unsur ketidak pastian. Apabila kata-kata diatas ditambahkan dengan kata investasi dan pembiayaan, menjadi risiko investasi dan pembiayaan, akan memberikan makna akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu transaksi investasi dan pembiayaan. Dengan demikian manajemen risiko investasi dan pembiayaan berarti upaya untuk mengurangi dampak dari unsur ketidakpastiaan dan potensi yang menimbulkan kerugian finansial dari transaksi-transaksi investasi dan pembiayaan.10

Ir. Adiwarman A. Karim (2004) dalam bukunya Bank Islam menjelaskan risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu, sebagaimana lembaga perbankan pada umumnya, bank syariah juga memerlukan serangkaian prosedur dan metodologi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha, atau yang biasa disebut sebagai manajemen risiko.11

10

Surbakti, Muhamad Syarif, “Manajemen Risiko Perbankan Syariah” (PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.), Jakarta : 2004, h. 9-10

11

D. Borge mendefenisikan manajemen risiko sebagai suatu tindakan dengan penuh pertimbangan untuk menghilangkan keanehan-keanehan demi kepentingan kita, meningkatkan hasil yang baik dan mengurangi hasil yang buruk.

Sementara itu, Culp menyebutkan definisi umum manajemen risiko adalah proses dimana seseorang mencoba untuk memastikan bahwa risiko-risiko yang dihadapinya adalah risiko-risiko yang diyakininya untuk dan ingin dihadapi dengan tujuan untuk mencapai apa yang diinginkannya.12

Berdasarkan terminologi, beberapa pakar mengungkapkan manajemen risiko dengan berbagai penekanan yang berbeda, tetapi secara umum mempunyai makna inti yang relatif sama dengan pengertian berdasarkan bahasa diatas. Sebenarnya pengertian manajemen risiko bersifat umum, namun dapat dipahami secara khusus untuk aspek manajemen risiko investasi dan pembiayaan pada perbankan syariah.

Dari berbagai uraian diatas mengenai definisi manajemen risiko, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa manajemen risiko investasi dan pembiayaan merupakan suatu tindakan mengidentifikasi risiko-risiko investasi dan pembiayaan yang ada secara terencana dan terukur, dan mempersiapkan berbagai pendekatan untuk mengendalikannya agar tujuan bisnis yang telah ditetapkan tercapai.

12

2.2 Risiko Menurut Pandangan Islam

Pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan (kerugian) dan kematian merupakan takdir Allah. Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk menghadapi ketidakpastian di masa depan.

Allah berfirman dalam surat Al Hasyr (59) ayat 18 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.”

Dalam al-Qur’an, surat Yusuf (12) ayat 43-49, Allah juga menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja Mesir tentang mimpinya kepada Nabi Yusuf, dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor

sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah.

Nabi Yusuf dalam hal ini menjawab supaya kamu bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapi masa sulit tersebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan. Sangat jelas dalam ayat ini kita dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan memproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat-ayat diatas menyatakan bahwa Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sistem proteksi.

Dalam suatu riwayat hadits dikemukakan ketika harga-harga melambung tinggi dan orang-orang mengatakan kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah, tentukanlah harga untuk kami”, beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menekan, yang melapangkan, dan yang memberi rezeki. Saya ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun dari kamu yang menuntut saya karena suatu kezaliman baik mengenai masalah darah maupun masalah harta.” (Diriwayatkan oleh Abu daud, Tirmizi, Ibnu Majah, ad-Daimi dan Abu Ya’la).13

Dengan hadits ini, Rasulullah SAW menegaskan bahwa campur tangan penguasa atau pihak manapun yang berkepentingan atas kebebasan seseorang

13

(mekanisme pasar) tanpa ada alasan yang mendesak adalah suatu kezaliman, sehingga beliau ingin bertemu Allah dalam keadaan bebas dari tanggung jawabnya. Kondisi ini menghindari terjadinya risiko kesewenangan pihak tertentu didalam menentukan harga barang-barang yang tentunya akan menzalimi pihak konsumen.14

Dari beberapa contoh nash diatas, terlihat bahwa Islam sangat memperhatikan fungsi manajemen risiko dan syariat Islam sangat kental dengan kultur manajemen risiko., demi kemashlahatan manusia itu sendiri. Demikian juga halnya bagi perbankan syariah harus selalu menjalankan fungsi manajemen risiko karena sudah merupakan sunatullah dan keharusan relijius. Maka, sudah menjadi karakter dan kultur yang inheren bagi perbankan syariah untuk mengembangkan dan mengaplikasikan fungsi manajemen risiko didalam mengelola amanah finansial yang diembannya sehingga tidak menimbulkan kerugian finansial yang tidak perlu terjadi bagi pihak mudharib maupun shahibul mal. Permasalahan yang muncul kemudian adalah manajemen risiko yang bagaimana harus dikembangkan dan diaplikasikan oleh perbankan syariah agar sesuai dengan akar syariah itu sendiri, yaitu Islam. Pengembangan sistem manajemen risiko yang Islami akan mengacu kepada kaidah fiqh muamalah, yaitu semuanya boleh sepanjang terdapat nash yang melarangnya.

2.3 Teknik Mengidentifikasi Risiko

14

Identifikasi risiko yang dilakukan bank Islam tidak hanya mencakup berbagai risiko yang ada pada bank-bank pada umumnya, melainkan juga meliputi berbagai risiko yang khas hanya ada pada bank-bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah.15

Menurut Emmett J. Vaughan dalam bukunya “Risk Management”, ada empat (4) teknik dalam mengidentifikasikan risiko16 :

1. Orientation

Pada tahap awal ini, identifikasi risiko dilakukan dengan cara mengenal lebih dekat dengan organisasi dan teknik pelaksanaan operasional suatu perusahaan. Manajer risiko harus mengetahui secara cermat mengenai informasi tersebut, seperti perkembangan terakhir kondisi perusahaan, kemampuan perusahaan dalam meraih laba, maupun hubungan perusahaan dengan pihak lain seperti : investor, supplier, dan lainnya.

2. Analysis of documents

Dokumen yang wajib dianalisa adalah:

• Laporan keuangan terakhir

Flowchart operasional internal perusahaan, apakah sudah memenuhi standar (Standar Operational Procedures)?

• Kebijakan perusahaan, analisa dilakukan dengan memeriksa kontrak-kontrak yang dahulu pernah dilakukan oleh perusahaan

15

Karim, Adiwarman, Ir, S.E, M.B.A, M.A.E.P, op.cit, h. 256

16

Vaughan, Emmett j., “Risk Management”, United States of America : John Wiley & Sons, Inc, 1997, h. 113

Loss Report, laporan ini berisi kerugian-kerugian yamg pernah dialami oleh perusahaan dari kegiatan operasionalnya. Kerugian yang dimaksud bukan saja kerugian yang di-cover oleh asuransi saja, tetapi semua jenis kerugian yang pernah dialami oleh perusahaan.

• Selain itu, perlu juga diperiksa dokumen-dokumen lainnya yang berhubungan dengan risk planning yang pernah dilakukan oleh perusahaan

3. Interview

Bagian penting lainnya adalah dengan mewawancara dengan pihak-pihak kompeten dengan bisnis perusahaan (seperti: Manajer Operasional, Manajer Keuangan, Konsultan Hukum, Manajer Sumber Daya Manusia, Supervisor, pihak di Divisi Pembelian dan Penjualan, hingga wawancara dengan pekerja/karyawan). Hal ini dilakukan untuk memberikan informasi yang detail mengenai kondisi perusahaan yang sebenarnya. Sehingga, risiko yang dihadapi nantinya bisa lebih mudah untuk diantisipasi.

4. Inspection

Tahap ini dilakukan dengan cara menginspeksi secara langsung kondisi alat atau property perusahaan yang digunakan dalam kegiatan operasinya. Dari inspeksi ini diharapkan dapat diketahui mengenai possible loss yang mungkin akan dialami perusahaan dalam kegiatan operasinya.

2.4 Jenis-jenis Risiko Bank Syariah

Sebagaimana juga dialami bank konvensional, pengalaman perbankan syariah dalam menghadapi berbagai jenis banking risk juga kerap terjadi.karena bahasan pada penelitian ini adalah pembiayaan murabahah, maka risiko yang dibahas merupakan hasil penelitian di Bank Syariah Muamalat yang terkait dengan pembiayaan murabahah. Risiko-risiko tersebut dibagi menjadi dua faktor yaitu risiko terkait dengan faktor internal dan faktor-faktor eksternal bank syariah.

Risiko terkait dengan Faktor Internal (Internal Factor)

Dari hasil penelitian Bank Syariah Muamalat, ada beberapa faktor internal (manajemen bank syariah) yang bisa diidentifikasi dapat menimbulkan risiko pada pembiayaan murabahah, antara lain:

1. Faktor Manajemen (management risk) bank syariah itu sendiri.

- Risiko yang dihadapi karena adanya ketidakmampuan manajemen dalam melakukan analisa pembiayaan. Seperti ketidakmampuan manajemen bank dalam menilai karakter nasabah (character), menilai kelayakan (capacity) usaha calon nasabah, kemampuannya dalam menjalankan usaha dan hambatannya (constraints), dan yang terakhir dimungkinkan adanya salah penilaian dalam penentuan jaminan (collateral) yang harus diberikan nasabah kepada bank.

- Kurang cermatnya pihak bank dalam mengantisipasi adanya perubahan kebijakan moneter maupun adanya pengaruh ekonomi luar negeri.

2. Pricing risk

Pricing risk adalah risiko-risko yang berhubungan dengan penetapan harga dan jangka waktu pembiayaan. Bila risiko ini tidak diperhatikan secara hati-hati maka risiko ini akan memunculkan risiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada dana pihak ketiga. Karena faktor penentuan harga akan sangat berpengaruh kepada pendapatan bank, sedangka faktor penentuan jangka waktu pembiayaan akan berpengaruh pada likuiditas bank.

Oleh karena itu, bank dapat menentukan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan murabahah dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini17:

a. Tingkat keuntungan (marjin) saat ini dan prediksi perubahannya dimasa mendatang yang berlaku dipasar perbankan syariah (Direct Competitor’s Market Rate - DCRM18). Semakin cepat perubahan DCRM diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.

b. Suku bunga kredit saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan konvensional (Inderect Competitor’s Market Rate - ICRM19). Semakin cepat perubahan ICRM

17

Karim, Adiwarman, Ir, S.E, M.B.A, M.A.E.P, op.cit, h. 264

18

DCRM adalah tingkat marjin keuntungan rata-rata perbankan syariah

19

diperkirakan akan terjadi, semakin pendek pula jangka waktu maksimal pembiayaan.

c. Ekspektasi Bagi Hasil kepada Dana Pihak Ketiga yang kompetitif di pasar perbankan syariah (Expected Competitive Return for Investors - ECRI20). Semakin besar perubahan ECRI diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.

Kedua hal diatas dapat memunculkan lagi risiko yang dinamakan Operational risk, dimana karena lemahnya sistem operasional dan prosedur bank syariah menyebabkan naiknya biaya operasional dan pada akhirnya akan mengurangi laba usaha. Secara umum, kelemahan-kelemahan tersebut akan menurunkan kinerja dan daya saing bank.

Risiko terkait dengan Faktor Eksternal (External Factor)

Selain faktor internal, ada juga faktor eksternal yang bisa diidentifikasi menjadi faktor timbulnya risiko pada pembiayaan murabahah di Bank Syariah Muamalat :

1. Risiko default (kelalaian), yang berasal dari nasabah, risiko ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain :

a. Nasabah tidak membayar atau terlambat melakukan pembayaran jumlah pokok atau angsuran berikut marjinnya.

20

b. Nilai agunan atau kekuatan hukum agunan menjadi merosot, sehingga dapat merusak kekuatan bank terhadap pengikatan agunan, atau harganya menjadi jatuh. Misalnya:

Jatuhnya nilai mesin-mesin yang dijaminkan karena sudah tua, rusak atau sengaja dikurangi nilainya.

Sebagian barang agunan berupa kendaraan sudah dikontrakkan oleh nasabah dalam jangka waktu yang cukup panjang

c. Kemampuan usaha nasabah menurun karena alat produksinya mulai ketinggalan zaman dan mulai tidak disukai oleh masyarakat.

d. Kekayaan bersih nasabah semakin menurun karena nasabah mulai terlibat hutang-hutang dengan pihak lain.

e. Adanya beberapa persyaratan pinjam (loan covenants) yang tidak dipenuhi oleh nasabah, baik karena tidak mampu, maupun karena memang mempunyai itikad tidak baik.

2. Risiko Industri (Industry risk)

Risiko ini ditentukan oleh siklus industri seperti dibawah ini:

Gambar 2.2 Siklus risiko industri

Pelunasan utang bank Pembelian alat produksi Piutang perusahaan Finished good IV I III II

Pada risiko industri, banyak hal yang harus diperhatikan dan diawasi oleh pihak bank syariah: (kasus pembelian alat produksi)

• Mulai dari penyediaan raw material oleh supplier, apakah selama ini supplier-nya berpengalaman dalam menyuplai barang? (tahap I)

• Kemudian pada divisi produksi, apakah tenaga kerjanya bagus dan kompeten?; apakah mesin yang digunakannya sudah usang atau tidak layak pakai? (tahap II)

• Ketika barang produksi telah menjadi finished goods, apakah tim pemasaran perusahaan tersebut kredibel dalam melakukan distribusi barang?; bagaimana pula dalam penentuan harga dan promosi terhadap barangnya? (tahap III)

• Hingga pengelolaan piutang, apakah banyak kendala? (tahap IV) 3. Risiko Pasar (market risk), yaitu risiko kerugian pada posisi neraca dan

rekening administratif akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar.21 Risiko ini dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu karena forex risk, interest dan fluktuasi harga komparatif:

a. Forex (foreign currency exchange) risk, yaitu risiko kerugian akibat

perubahan nilai tukar mata uang.

21

Bank Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia No: 7/13/PBI/2005 tentang kewajiban penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah”

Apabila terjadi perubahan pada kurs mata uang asing terhadap rupiah pada saat bank memiliki posisi mata uang asing yang kurang menguntungkan dapat menimbulkan kerugian yang berdampak negatif terhadap kinerja bank. Perubahan kurs juga dapat menimbulkan kerugian bagi debitur-debitur bank yang memiliki pinjaman dalam mata uang asing (sementara sumber pengembaliannya berasal dari valuta rupiah). Ini juga berisiko bagi bank, karena akan berdampak pada kemampuan pengembalian debitur atas pinjamannya yang semakin menurun karena kenaikan kurs.

b. Interet risk, yaitu risiko karena kenaikan suku bunga pasar. Bila terjadi kenaikan suku bunga pasar, maka bank tidak diperkenankan untuk melakukan perubahan harga jual yang telah disepakati sebelumnya diawal akad pembiayaan murabahah (fixed payment). Tingkat suku bunga yang tinggi juga dapat mempengaruhi kemampuan bank dalam melakukan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK).

c. Fluktuasi harga komparatif

Hal ini terjadi bila harga suatu barang dipasar naik setelah bank

Dokumen terkait