• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isi dari bab ini meliputi teori yang berkaitan dengan kewibawaan kyai (pengertian kewibawaan kyai, munculnya wibawa kyai, indikasi tindakan kewibawaan kyai, peran kyai), kedisiplinan pengurus

(pengertian kedisiplinan pengurus,macam-macamkedisiplinan, aspek-aspek kedisiplinan, kiat-kiat disiplin), intensitas shalat berjama‟ah (pengertian intensitas shalat berjama‟ah, dalil shalat berjama‟ah, hukumshalat berjama‟ah, aturan shalat berjama‟ah, tujuan shalat berjama‟ah, keutamaan shalat berjama‟ah, manfaat shalat berjama‟ah). Bab III : Laporan Hasil Penelitian

Dalam bab ini peneliti menjelaskan tentang gambaran umum keadaan Pondok Pesantren Sunan Giri berkaitan sejarah singkat berdirinya, letak geografis, profil, visi dan misi, aktifitas pendidikan, dan lain-lain. Selanjutnya menyajikan data responden dan jawaban angket tentang pengaruh kewibawaan kyai dan tingkat kedisiplinan pengurus terhadap intensitas shalat berjama‟ah.

Bab IV : Analisis Data

Pada bab ini berisi tentang analisis data yang sudah terkumpul, untuk menguji hipotesis yang diajukan dengan statistik melalui tahapan analisis deskriptif (tiap-tiap variabel) kemudian dilanjutkan dengan pengujian hipotesis dan pembahasan.

Bab V : Penutup

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kewibawaan Kyai

1. Pengertian Kewibawaan Kyai

Kewibawaan berasal dari kata wibawa yang berarti kekuasaaan memberi perintah (yang harus ditaati) (Poerwadarminta,2006: 1366). Sedangkan yang dimaksud dengan kewibawaan adalah suatu pancaran batin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap untuk mengakui, menerima, dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut (Tirtarahardja, 2005: 54). Kewibawaan dalam kata lain juga disebut gezag. Gezag berasal dari kata “zeggen” yang berarti berkata.Siapa yang perkataanya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain, berarti mempunyai kewibawaan atau gezag terhadap orang lain (Purwanto,1995:48).

Dengan demikian bahwa kewibawaan adalah perkataan atau perbuatan seseorang yang dapat mempengaruhi dan mengikat orang lain. Adapun orang yang dipengaruhi tersebut tunduk dan patuh terhadap apa yang diperintahkan. Rasa tunduk dan patuh itu bukan karena terpaksa, akan tetapi karena taat dan patuh terhadap orang tersebut.

Adapun kyai adalah gelar yang diberikan masyarakat kepada ahli agama Islam yang memilikiatau menjadi pemimpin pesantren dan

mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai, ia juga sering disebut orang alim (Zamakhsyari, 1983: 55).

Mujamil Qomar (dalam Haryanto, 2001:28) menjelaskan bahwa gelar kyai tidak didapatkan melalui jalur formal, melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus memberikannya. Adanya gelar ini diperoleh atas kelebihan-kelebihan ilmu dan amal yang tidak dimiliki orang lain, dan atas dukungan komunitas pondok pesantren yang dipimpinnya. Oleh karenanya kyai menjadi patron bagi masyarakat sekitar, terutama yang menyangkut kepribadian. Sebagai patron, seorang kyai memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru. Kyai bukan sekedar menempatkan dirinya sebagai pengajar dan pendidik santri-santrinya, melainkan juga aktif memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

Sikap patuh yang dilakukan santri terhadap kyai adalah adanya rasa hormat santriyang mendalam kepada kyai.Karena menurut pandangan santri, bahwasannya seorang kyai mempunyai kelebihan dalam penguasaan ilmu-ilmu agama dibanding santri tersebut dan mempunyai sifat wira‟i dalam menjalankan syari‟at agama.Selain itu kepribadian kyai dapat memberikan contoh pada santri-santrinya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Munculnya Wibawa Kyai

Wibawa dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Adapun menurut Jacuba (1980: 17) sumber yang dapat memunculkan kewibawaan yaitu:

a. Sakti (kesaktian)

Sakti artinya “kekuatan dan daya yang luar biasa atau kekuasaan untuk dapat melahirkan sesuatu yang luar biasa, juga kekuasaan untuk membuat sesuatu yang ganjil”.

b. Keturunan

Keturunan meruapakan dasar kewibawaan tradisional. Seseorang yang berasal dari keluarga yang memimpin dengan baik dianggap memiliki sesuatu “lambang” sebagai dasar kepemimpinannya.

c. Ilmu

Yang dimaksud disini ialah ilmu yang sifat dan isinya merupakan suatu kekuatan yang bermanfaat langsung dan dapat menunjang pelaksanaan nilai-nilai agama dan adat. Pola ini dipengaruhi oleh kualitas pengetahuan ulama. Ilmu pengetahuan agama belum tentu menjadi sumber kewibawaan jika tidak disertai kesucian. Demikian pula ilmu pengetahuan hasil pendidikan modern yang tidak disertai dengan martabat dan pembawaan diri yang disukai masyarakat serta tidak dapat menunjang pelaksanaan nilai-nilai agama dan adat tidak akan membawa serta kewibawaan bagi pemiliknya.

d. Sifat-sifat Kepribadian 1. Adil dan jujur 2. Berani dan tegas 3. Dermawan 4. Ramah tamah.

Sedangkan menurut Munir (2010: 9-13) wibawa bisa muncul dari dua hal, yaitu:

a. Karisma

Karisma adalah keistimewaan yang bersifat pribadi yang berbentuk daya pikat dan pesona yang dimiliki seseorang untuk membuat orang lain tertarik dan terpengaruh. Karisma biasanya muncul dengan sendirinya karena merupakan bawaan sejak lahir. Karisma biasanya berkaitan dengan hal-hal yang melekat pada diri pribadi seseorang, seperti postur tubuh, bentuk wajah, gaya bicara, tatapan mata, sampai cara berjalan. Seseorang yang kharismatik tidak perlu belajar terlebih dahulu atau mengubah penampilan untuk mencari perhatian orang lainkarena sudah memiliki daya pikat yang dibawa sejak lahir. Dari sinilah munculnya kemampuan untuk membuat orang lain terpesona dan terpengaruh.

Karisma memiliki sifat-sifat yang sama dengan sebuah magnet. Sifat-sifat karismatik yang termasuk dalam konteks ini adalah menarik perhatian seseorang, mengajak dan membawanya ke arah tertentu, serta menahannya hingga orang tersebut tidak mau mengambil sikap dan

keputusan tertentu sebelum ada penjelasan dari orang-orang yang dikaguminya itu.

b. Performa

Performa yaitu kebiasaan yang lahir dari standar dan plan kerja yang dimiliki guru. Dibandingkan dengan karisma, peforma lebih mudah dipelajari dan dibentuk karena tidak terkait dengan hal-hal yang sifatnya bawaan.

Secara bahasa, peforma memilki arti sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Jadi, peforma yang baik adalah daya pikat seseorang dalam menawan hati orang lain dengan prestasi kerja yang bagus. Berbeda dengan karisma yang terkait dengan tampilan fisik, peforma menitikberatkan pada bagaimana tampilan nonfisik seseorang. Biasanya performa terwujud dalam bentuk sikap tegas, cerdas, sopan, konsisten, jujur, dan selalu memiliki solusi saat menghadapi masalah.

Sedangkan munculnya wibawa kyai itu karena adanya karisma, bukan dalam hal performa. Karisma kyai dapat dilihat dari tutur katanya yang halus dan sopan, dan bagi orang yang mendengarkan akan termotivasi untuk melaksanakan nasehat-nasehat yang beliau katakan.

3. Indikasi Tindakan Kewibawaan Kyai

Kyai dalam pesantren merupakan figur yang berdiri kokoh diatas kewibawaan moral, yang bisa membawa santri ke jalan kebenaran dan melangkah meninggalkan kesesatan. Cukup besar wibawa kyai, sehingga

santri terbiasa menjadikan kyai sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moril dalam kehidupan pribadinya. Maka tidak mengherankan bila seorang santri selalu hormat dan ta‟dhim terhadap kyainya. Ukuran yang dipakai guna mengukur kesetian santri kepada kyai adalah kesungguhan dalam melaksanakan pola kehidupan muttasawuf(Muhtarom, 2002: 45).

Pemimpin yang wibawa adalah seorang pemimpin yang memilki karakteristik berikut:

a. Memilki rasa percaya diri dan dapat mengatakan bisa pada diri sendiri untuk dapat menyelesaikan masalah.

b. Sensitif terhadap perasaan/ emosi pihak lain/ anak buah.

c. Dapat menyelesaikan masalah dengan cepat yang menjadi tanggung jawabnya dan terbiasa mencari solusi setiap masalah dan bersikap

action oriented.

d. Berpikir ke depan dan sealalu berpikir contigency plan, yaitu selalu mengembangkan pikiran dalam beberapa skenario untuk mengantisipasi kondisi yang akan terjadi.

e. Pikirkan selalu kenyamana anggota organisasi dalam bekerja (Asmani, 2009: 97-98).

4. PeranKyai dalam Pesantren

Peran kyai dalam membentuk pribadi muslim adalah melalui pendidikan dalam pondok pesantren. Berbagai hal telah diajarkan kyai

kepada santri untuk mengatur kehidupannya. Adapun tujuan kyai dalam pembetukan pribadi santri yaitu sebagai berikut:

a. Beriman dan bertaqwa kepada Allah

b. Bermoral dan berakhlak seperti akhlak Rasulullah c. Jujur dan menjunjung tinggi nilai-nilai spritual d. Mampu hidup mandiri dan sederhana

e. Berilmu pengetahuan dan mampu mengaplikasikan ilmunya f. Ikhlas dalam setiap perbutannya karena Allah SWT

g. Tawadhu‟, ta‟dhim dan menjauhkan diri dari sikap congkak dan takabur.

h. Sanggup menerima kenyataan dan mau bersikap qona‟ah i. Disiplin terhadap tata tertib hidup (Muhtarom, 2002: 46).

B. Kedisilinan Pengurus

1. Pengertian Kedisiplinan Pengurus

Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, disiplin mengandung pengertian latihan batin dan watak, dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib, ketaatan pada aturan dan tata tertib (Poerwodarminto, 2006:296).

Sikap disiplin merupakan proses dari sebuah perjalanan waktu. Artinya sikap itu muncul berkaitan dengan bagaimana seseorang menggunakan waktunya dengan baik untuk tetap menjalankan setiap

tindakannya sesuai dengan apa yang ingin dicapai dari tujuan yang telah ditetapkan (Saleh, 2012: 299).

Sedangkan pengurus adalah orang yang mengurus: sekelompok orang yang mengurus dan memimpin perkumpulan (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2007: 1253).

Adapun kedisplinan pengurus yang dimaksud penulis adalah ketaatan dan kepatuhan pengurus terhadap tata tertib/peraturan yangberkaitan dalam kegiatan pondok.

Peraturan pondokdiberlakukan pada setiap kegiatan, mengajarkan tentang tanggung jawab dan konsekuensi yang diterima jika melanggar peraturan.Dalam hal ini pengurus menempati peranan yang penting yaitu sebagai pengawas dan pengontrol dalam mengatur santri di pondok.

Dan hubungannya dengan pengertian kedisiplinan, penulis kemukakan ayat dalam Al Qur‟an yaitu surat Al-Ashr ayat 1-3 sebagai berikut:





































Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supayamentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al-Ashr/103: 1-3)(Depag, 2009: 601).

Dari ayat tersebut, dapat diketahui bahwa Allah menyuruh manusia supaya dapat memanfaatkan waktu dengan baik, yaitu tidak

menyia-nyiakan waktu yang tersedia dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat.Ini menunjukkan bahwa Allah menyuruh manusia untuk berlaku disiplin dalam menggunakan waktu yang tersedia.Namun perintah disiplin tersebut tidak terbatas dalam aspek waktu saja, akan tetapi disiplin dalam segala aspek kehidupan termasuk disiplin pengurus dalam menegakkan peraturan pondok pesantren.

Dengan demikian, kedisiplinan pengurus dapat dipahami sebagai suatu sikap penuh kerelaan dan ketaatan dalam memenuhi semua aturan atau norma yang berlaku di dalam meleksakan peraturan di pondok pesantren. Karena selain teladan dari kyai penguruslah yang akan menjadi contoh disiplin bagi santri lainnya.

2. Macam-Macam Kedisiplinan

Di samping itu, Jamal Ma‟mur Asmani menyebutkan disiplin ada beberapa macam, yaitu:

a. Disiplin waktu

Disiplin waktu merupakan hal yang pokok dalam kehidupan.Disiplin waktu menjadi sorotan utama bagi seorang pendidik.Waktu masuk sekolah biasanya menjadi parameter utama kedisiplinan guru.Kalau dia masuk sebelum bel dibunyikan, berarti dia orang ynag disiplin.

b. Disiplin menegakkan aturan

Disiplin menegakkan aturan sangat berpengaruh terhadap kewibawaan seseorang.Model pemberian sanksi yang diskriminatif harus ditinggalkan.

Anak kalau diperlakukan semena-mena dan pilih kasih mereka akan merasa kesal dan cenderung akan menentang. Selain itu, pilih kasih dalam memberikan sanksi sangat dibenci dalam agama.Keadilan harus ditegakkan dalam keadaan apapun. Karena, keadilan itulah yang akan mengantarkan kehidupan ke arah kemajuan kebahagiaan dan kedamaian. c. Disiplin sikap

Disiplin mengontrol perbuatan diri sendiri menjadi starting point untuk menata perilaku orang lain. Misalnya, disiplin untuk tidak marah, tergesa-gesa, dan gegabah dalam bertindak.Disiplin dalam sikap ini membutuhkan latihan dan perjuangan.Karena, setiap saat banyak hal yang menggoda kita untuk melanggarnya.

Dalam melaksanakan disiplin sikap ini kita tidak boleh mudah tersinggung dan cepat menghakimi seseorang hanya karena persoalan sepele. Selain itu, kita juga harus mempunyaikeyakinan kuat bahwa tidak ada yang bisa menjatuhkan harga diri kita sendiri kecuali kita. Kalau kita disiplin memegang prinsip dan perilaku dalam kehidupan ini niscaya kesuksesan akan menghampiri kita.

d. Disiplin dalam beribadah

Menjalankan ajaran agama juga menjadi parameter utama dalam kehidupan ini.Bagi seorang pedidik dan orang tua, menjalalankan ibadah adalah hal yang sangat penting. Kalau pendidik dan orang tua menyepelekan masalah agama, maka anak didiknya akan meniru bahkan

lebih dari itu, tidak menganggap agama sebagai hal penting. Oleh karena itu, kedisiplinan pendidik dan orang tua dalam menjalankan agama akan berpengaruh terhadap pemahaman dan pengalaman anak didik terhadap agamanya.

Namun sebaliknya, kalau pendidik ataupun orang tua malas dan suka terlambat menjalankan shalat, tidak pernah puasa Senin Kamis dan tidak pernah bersedekah misalnya, maka anak didiknya tidak lebih sama, bahkan lebih jelek. Di sinilah pentingnya kedisiplinan pendidik maupun orang tua dalam beribadah menjalankan ajaran agamanya sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab kepada Tuhannya dalam hidup dan kehidupan di dunia sampai akhirat nanti (Asmani, 2009:94-95).

Sebagai pengurus menerapkan jiwa kedisiplinan di pondok pesantren itu juga penting. Agar dengan begitu tercipta suasana yang nyaman dan teratur. Ketika pengurus bersikap disiplin juga akan berpengaruh pada santri, karena pengurus adalah contoh bagi para santri.

3. Aspek-aspek Kedisiplinan

Menurut Bahri (2009: 27) ada tiga sapek disiplin yaitu sebagai berikut: a. Sikap mental (mental attitude) yang merupakan sikap taat dan tertib

sebagai hasil atu pengembangan dan latihan pengendalian pikiran dan pengendalian watak.

b. Pemahaman yang baik mengenai sistem aturan tingkah laku, pemahaman tersebut menumbuhkan atau kesadaran untuk memahami disiplin sebagai aturan yang membimbing tingkah laku.

c. Sikap dan tingkah laku yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati untuk mentaati segala hal secara cermat.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa aspek-aspek yang perlu dikembangkan untuk membentuk sikap disiplin adalah pemahaman tentang perilaku, menumbuhkan sikap mental yang taat terhadap norma yang berlaku.

4. Kiat-kiat Disiplin

Hal yang harus diperhatikan agar muncul sikap disiplin,adalah memiliki beberapa kompetensi sikap sebagaimana berikut:

a. Kejelasan tujuan yang akan diraih. Semakin jelas sebuah tujuan maka akan mampu mengarahkan pada sebuah sebuah sikap yang harus terus secara konsisten dibangun walau banyak rintangan yang muncul dalam perjalanan itu. Karena mereka yang memiliki kejelasan tujuan akan mampu terus menapaki seuah jalan walaupun melalui jalan yang sulit. b. Memiliki niat yang kuat untuk mencapai tujuan. Niat atau dorongan

hati akan menjadikan seseorang terus melakukan apa yang kita yakini dalam niat. Dorongan hati untuk mengejar impian itulah yang akan sendirinya mendisiplinkan diri seseorang, agar terus berupaya menapaki jalan menuju impian itu. Sebuah pepatah mengatakan bahwa

barang siapa yang menanam maka dia akan menuai. Semua kan menuai apa yang telah ditabur. Hasil yang baik tidak datang begitu saja. Bila seseorang menabur disiplin, maka ia akan menuai keberhasilan hidup. Disiplin tidak datang sendirinya, yang pasti disiplin itu harus diciptakan diri sendiri.

c. Penepatan skala prioritas. Seseorang yang berkeinginan kuat untuk mencapai impian, maka harus memilih sikap selektif dan dan tidak sembarangan mempergunakan waktunya. Seseorang harus memilih sebuah tindakan mana yang dapat mengantarkan pada tujuan pencapaian dan mana yang malah menjauhkan dari tujuan pencapaian. Mana yang merupakan tindakan utama dan harus didahulukan dan mana yang bisa di kesampingkan kemudian.

d. Tekun dan sabar dalam menapaki jalan sukses yang di yakini. Ketekunan dan kesabaran akan membuahkan hasil yang gemilang, karena ketekunan akan membuat seseorangbersedia untuk terus belajar dari sebuah kesalahan dan kegagalan. Beragam masalah yang menghadang akan dinilai sebagai sebuah cara untuk meningkatkan kompetensi dan kemampuan dalam menggapai mimpi yang di inginkannya. Demikian firman Allah SWT :“ jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu”. Karena kesabaran dan ketekunan ibarat kita sedang meneteskan sebuah air pada sebuah batu. Jika kita teteskan

secara terus menerus walaupun hanya setetes maka pasti akan mampu memecahkan batu sekeras apapun(Saleh, 2012: 300-301).

C. Intensitas Shalat Berjama’ah

1. Pengertian Intensitas Shalat Berjama’ah

Intensitas menurut Poerwadarminto (1978: 437) ialah ukuran kekuatan keadaan tingkatan seseorang. Tolak ukur yang kemudian menjadi kebiasaan-kebiasaan seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan. Sedangkan shalat jamaah berasal dari kata jamaah(jama‟ah) artinya secara bahasa „berkelompok‟. Dan salat jama‟ah adalah salat yang dikerjakan bersama-sama, paling sedikitnya dikerjakan dua orang, yaitu yang satu sebagai imam dan yang lain sebagai makmum. Ada beberapa shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjamah, yaitu:

a. Shalat fardhu lima waktu

b. Shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) c. Shalat Tarawih dan Witir pada bulan Ramadhan d. Shalat Istisqa‟(shalat meminta hujan)

e. Shalat gerhana matahari dan bulan

f. Shalat Jenazah (Abi Nashir, 2012: 77-78).

Dan yang dimaksud intensitas shalat berjama‟ah disini adalah tolak ukur yang kemudian menjadi kebiasaan santri dalam melaksanakan shalat berjamaah lima waktu.

Yang disebut imam adalah orang yang berdiri paling depan dan hanya ada seorang saja. Ia bertindak sebagai pemimpin dalam shalat, oleh karena itu seoarang imam shalat itu diusahakan orang yang lebih tua, lebih pandai, dan lebih fasih dalam membaca Al Qur‟an dan sebagainya, sebab ia akan diikuti oleh orang banyak atau orang yang dibelakangnya. Sedangkan yang disebut dengan makmum adalah orang yang berada di belakang imam, boleh hanya seorang, dua orang atau lebih banyak lebih baik (Fahrurrozi, 1999: 67-69).

Untuk menegakkan disiplin tidak selamanya harus melibatkan orang lain, tetapi melibatkan diri sendiri juga bisa. Bahkan yang melibatkan diri sendirilah yang lebih penting, sebab menegakkan disiplin karena melibatkan diri sendiri berarti disiplin yang harus timbul itu adalah karena kesadaran.Dan seharusnya kesadaran itulah yang harus dimiliki setiap santri agar tercipta kediplinan berjama‟ah.

2. Dalil tentang shalat berjama’ah

Shalat berjama‟ah merupakan perintah Allah, umat Islam yang mengerjakan termasuk orang yang bertaqwa. Dalam Al-qur‟an, Allah SWT.memberikan landasan hukum yang jelas untuk melaksanakan shalat secara berjamaah, yaitu:

















Artinya: “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' (berjamaah”). (Q.S Al-Baqarah: 43).

Ayat di atas diperkuat dengan hadis Nabi SAW sebagai berikut:

ِوْيَلَع للها َّلَص ِللها َلْوُسَر َّنَا :ُوْنَع ُللها َيِضَر َرَمُع ِنْب ِللها ِدْبَع ْنَع

َلاّق َمَّلَسَو

:

ُُةَلاَص

ِةَعاَمَجْلا

ُ

ةَجَرَدَُنْيِرْشِعَوٍُعْبَسِبُِّذَفْلاُِةَلاَصُْنِمُُلَضْفُ ت

(

:هاور

)يراخبلا

Artinya:“Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sholat berjama'ah itu lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada sholat sendirian” (H.R

Bukhori).

3. Hukum Shalat Berjama’ah

Menurut Khalid (2009: 156-158) shalat jama‟ah hukumnya wajibain

atas kaum laki-laki, baik dalam keadaan mukim atau safar, dalam keadaan aman maupun takut. Dalil atas kewajibannya berdasarkan al-Qur‟an, sunnah dan amalan kaum muslimin dari generasi ke generasi, sejak dahulu hingga sekarang.Orang yang tidak ikut serta shalat jama‟ah tidak lepas dari dua keadaan: Pertama, shalat orang tidak bisa mengikuti shalat jama‟ah karena sakit, atau karena takut dan semacamnya, dan biasanya akan mengikuti shalat berjma‟ah seandainya bukan karena udzur.Kedua,

tidak shalat jama‟ah bukan karena ada udzur. Orang yang semacam ini apabila shalat sendirian, maka shalatnya tetap sah menurut jumhur, akan tetapi dia kehilangan kesempatan mendapatkan banyak pahala. Karena shalat jama‟ah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat. Disamping tidak mendapatkan pahala jama‟ah, ia juga berdosa karena meninggalkan kewajiban tanpa udzur.

Dan menurut pendapat lain, hukum shalat berjama‟ah adalah fardhu kifayah. Namun sebagian ulama ada yang berpendapat hukumnya sunah muakkadah bagi orang laki-orang laki-laki yang berakal, merdeka, muqim

(bertempat tinggal tetap, bukan musafir), menutupi aurat, dan tidak mempunyai halangan (uzur). Hukum fardhu kifayah tersebut di dalam shalat berjama‟ah salat ada‟ (tepat waktu) maktubah, sementara berjama‟ah untuk salat Jum‟at hukumnya fardhu „ain (Bakri, 2006: 142). 4. Aturan dalam Melaksanakan Shalat Berjama’ah

Dalam setiap beribadah, orang Islam mempunyai aturan dalam pelaksaanaannya. Aturan tersebut diambil berdasarkan pada Alqur‟an dan Hadis.

Amal ibadah menjadi sah jika sesuai dengan perintah Allah (ajaran agama Islam) dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Untuk mencapai hal tersebut maka orang Islam harus memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun syarat sebagai imam yaitu sebagai berikut:

a. Islam. b. Baligh. c. Berakal.

d. Untuk makmum laki-laki, imam harus laki-laki(tidak boleh perempuan). Tetapi jika yang menjadi makmum kaum wanita, maka tidak disyaratkan imam harus laki-laki.

f. Mampu membaca dan melaksanakan rukun-rukun shalat dengan baik, utamanya bacaan Al Fatihah.

g. Orang yang kita jadikan imam tidak sedang berstatus sebagai makmum dari imam lain (Nashir,2012: 68).

Disamping imam mempunyai syarat tertentu, makmum pun juga begitu. Adapun menurut Bakri (2006: 145-146) syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh makmum sebagai berikut:

a. Niat mengikuti imam. b. Mengikuti gerakan imam.

c. Mengetahui segala yang dikerjakan imam baik melihat langsung maupun sebagian shaf yang melihat imam, mendengar suara imam, atau suara pengeras suara imam.

d. Salat makmum harus sesuai dengan salat imam. e. Imam dan makmum harus sesuai dengan salat imam.

f. Makmum tidak boleh bertentangan dengan imam dalam aktivitas sunah, seperti bila imam mengerjakan sujud tilawah, maka makmum wajib mengerjakannya.

g. Posisi makmum tidak lebih ke depan dari posisi imam. h. Salatnya imam sah menurut keyakinan makmum.

i. Tidak bermakmum kepada orang berkewajiban mengulangi salat,

Dokumen terkait