• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini diuraikan simpulan berdasarkan analisis data yang dilakukan sebagai jawaban atas permasalahan yang dirumuskan dan diuraikan mengenai saran-saran yang ditujukan kepada para pihak yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Di dalam daftar isi diuraikan sumber-sumber pustaka yang digunakan oleh penulis, baik sumber-sumber dari buku, peraturan perundang-undangan, maupun bahan-bahan dari internet.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran-lampiran terdiri dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Tinjauan Tentang Peradilan In Absensia

a. Pengertian In Absensia

Mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absensia, ialah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Berdasarkan Pasal 196 ayat (1) KUHAP, pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain (Djoko Prakoso, 1985: 54-57).

Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan sebagai segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara baik perkara perdata maupun pidana untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum materiil. Sedangkan menurut Arief Sidharta, peradilan adalah pranata hukum untuk secara formal, imparsial, obyektif, serta adil manusiawi memproses penyelesaian definitif yang hasilnya dirumuskan dalam bentuk vonis yang implementasinya dapat dipaksakan dengan menggunakan aparat negara (HP. Panggabean, 2008: 95-96).

Istilah ”peradilan” dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kata ”peradilan” pada rumusan judul peraturan tersebut merupakan salah satu tahap penyelesaian perkara pidana, di samping tahap penyidikan dan penuntutan. Peradilan di sini mempunyai pengertian sebagai suatu proses pemeriksaan sampai dengan putusan pengadilan.

Secara fomal kata ”In Absentia” dipergunakan dalam Undang-Undang Nomor 11/Pnps/1963 yang perumusannya terdapat pada Pasal 11 ayat (1). Kata in absentia diartikan dengan mengadili di luar kehadiran terdakwa. Kata ”In Absentia” dalam rumusan tersebut sebenarnya menunjuk pada pengertian ”peradilan In Absentia” yang mencakup pemerikasaan sampai dengan putusan pengadilan di luar kehadiran terdakwa. Pengertian di atas sesungguhnya mempunyai cakupan yang

sempit, dalam arti bahwa pengertian tersebut hanya didasarkan pada terjemahan masing-masing kata yang membentuknya, yaitu kata peradilan dan kata In Absentia. Kata peradilan diterjemahkan sebagai pemeriksaan dan putusan pengadilan sedangkan kata In Absentia deterjemahkan sebagai tidak hadir. Tidak hadir dalam pengertian ini adalah tidak hadirnya terdakwa.

Menurut ensiklopedia Wikipedia, In absentia is Latin for "in the absence". In legal use it usually pertains to a defendant's right to be

present in court proceedings in a criminal trial. Apabila diterjemahkan

dalam Bahasa Indonesia, yaitu in absensia dalam bahasa Latin dapat diartikan ketidakhadiran. Di dalam sistem hukum pada umumnya adalah ketidakhadiran seorang terdakwa di pengadilan dalam suatu perkara pidana (Wikipedi,2008: 1-2).

Conviction of a person in absentia, that is in a trial in which they are not present to answer the charges, is held to be a violation of natural

justice Apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, dikatakan in

absensia adalah terdakwa yang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dijawab dalam suatu persidangan dipengadilan (Anthony, 2005: 1-2).

KUHAP secara umum tidak mengatur peradilan in absensia. Tanpa kehadiran terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara oleh pengadilan tidak dapat dilakukan. Sejalan dengan itu, Pasal 154 ayat (1) sampai dengan ayat (7) KUHAP mengatur bagaimana cara menghadirkan terdakwa dalam persidangan, yaitu: ayat (1) hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. Ayat (2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah

commit to user

terdakwa sudah dipanggil secara sah. Ayat (3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya. Ayat (4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Ayat (5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Ayat (6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. Ayat (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang. Dalam perkara tindak pidana umum, tidak dimungkinkan untuk diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa atau dilakukan secara in absensia, tetapi untuk tindak pidana khusus dimungkinkan sebab adanya kekhususan dan berbagai aspek pertimbangan untuk dilakukannya persidangan secara in absensia, misalnya adanya kerugian negara akibat tindak pidana khusus tersebut sehingga dapat berdampak kepada masyarakat (Adami Chazawi, 2005: 391).

b. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun

1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Pasal 16 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi mengatur lebih jelas tentang sidang in absensia meskipun masih mengandung penafsiran yang luas karena tidak rinci, yaitu: jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan

yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat: a. memutus perampasan barang-barang yang telah disita, b. memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.

c. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan in absensia di dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tertuang di dalam Pasal 23 ayat (1) sampai dengan ayat (6) yang menyatakan bahwa ayat (1) jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Ayat (2) bila terdakwa hadir pada sidang-sidang selanjutnya sebelum putusan dijatuhkan, ia wajib diperiksa dan didengar serta sidang dilanjutkan. Ayat (3) putusan pengadilan diumumkan oleh panitera dalam papan pengumuman pengadilan atau kantor pemerintah daerah. Ayat (4) terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa, terdakwa atau kuasanya dapat memajukan banding. Ayat (5) a. jika ada alasan yang cukup menduga, bahwa seorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi, telah melakukan suatu tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum, dengan putusan pengadilan dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita. b. ketentuan tersebut pada ayat (4) tidak berlaku bagi orang yang meninggal dunia dimaksud sub a. Ayat (6) Setiap orang yang berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan putusan dimaksud ayat (5) dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman tersebut dalam ayat (3).

commit to user

d. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Ketidakhadiran terdakwa atau saksi dalam persidangan sangat mengganggu para penegak hukum, terlebih Jaksa sebagai Penuntut Umum dan eksekutor putusan hakim. Dengan kejadian seperti ini, akan mengakibatkan membengkaknya jumlah tunggakan-tunggakan perkara pidana termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi ataupun denda-denda yang menjadi sumber penghasilan bagi negara. Untuk menghindari hal ini beberapa kasus atau perkara pidana yang menurut undang-undang yang berlaku, masuk ke pengadilan diselesaikan meskipun tanpa kehadiran terdakwa di muka sidang. Peradilan in absensia terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu mengenai hal kehadiran terdakwa di dalam persidangan, jika terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yang disebut strafbaar feit, dengan demikian istilah strafbaar feit

juga terdapat dalam Hukum Pidana Indonesia., tetapi tidak ada penjelasan resmi dari istilah strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dari istilah strafbaar feit, tetapi belum ada keseragaman pemakaian istilah strafbaar feit, ada yang menggunakan istilah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan perbuatan pidana.

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Adami Chazawi, strafbaar feit diartikan dengan tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Adami Chazawi, 2002: 55).

Sedangkan menurut Moeljatno, strafbaar feit yang di terjemahkan dengan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno merupakan penganut aliran dualisme yang mana memisahkan unsur perbuatan dan unsur tanggungjawab dalam strafbaar feit. Alasan Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana karena (Moeljatno, 1983: 54):

1) Bahwa yang dilarang adalah perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orangnya,

2) Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan dengan ancaman hukuman yang ditujukan kepada orangnya, ada hubungan yang erat, oleh karena itu perbuatan dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan yang erat pula,

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat tadi maka digunakan istilah perbuatan pidana yang merupakan suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan kongkrit, yaitu adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan adanya orang yang berbuat.

R. Saleh dalam Martiman Prodjohamidjojo, juga menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan (Martiman Prodjohamidjojo, 1997: 15-18).

commit to user

Bermacam-macamnya terjemahan dari istilah strafbaar feit, tidak menjadikan adanya suatu permasalahan, asalkan makna dari istilah

strafbaar feit tersebut sama, dan istilah tindak pidana yang dianggap

merupakan istilah resmi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebab hampir seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah tindak pidana (Andi Hamzah, 1993: 2).

Di dalam suatu tindak pidana terdapat unsur-unsur yang melekat padanya. Sama halnya dalam mengartikan strafbaar feit yang tersebut di atas, tidak ada keseragaman pemakaian arti strafbaar feit, dan mengenai unsur-unsur tindak pidana, tidak ada keseragaman pendapat oleh para ahli hukum pidana. Unsur-unsur tindak pidana terbagi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur-unsur-unsur yang melekat atau berhubungan dengan diri pelaku tindak pidana dan yang termasuk di dalamnya, segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif terdiri dari (PAF. Lamintang, 1997: 193-194):

a) Kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (culpa). Kesengajaan (intention/opzet/dolus) terdiri atas: kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan sebagai sadar kepastian (opzet als

zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai sadar kemungkinan

(dolus evantualis). Sedangkan kealpaan (culpa) terdiri atas: kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari (Leden Marpaung, 2005: 9),

b) Adanya maksud atau niat untuk melakukan tindak pidana,

c) Ada atau tidak adanya perencanaan dalam melakukan tindak pidana, d) Adanya perasaan takut dari pelaku tindak pidana.

Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan pelaku tindak pidana harus dilakukan (unsur-unsur dari luar diri pelaku tindak pidana. Unsur-unsur objektif terdiri dari:

b) Keadaan-keadaan tertentu yang menyertai perbuatan pelaku tindak pidana atau kualitas dari pelaku tindak pidana,

c) Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat atau kausalitas.

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi walaupun sudah tidak asing lagi di telinga kita rupanya merupakan kata serapan dari bahasa asing. Menurut Fockema Andreae dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruptio atau corruptus, selanjutnya disebut bahwa kata corruptio itu

berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah penggunaan istilah korupsi diserap berbeda di beberapa negara. Seperti Inggris, menyerapnya menjadi corruption,

corrupt, dan di Belanda menjadi corruptie (koruptie). Dan dari bahasa

Belanda turun ke bahasa Indonesia menjadi “korupsi”. Secara harafiah dari kata corruptio itu diartikan sebagai kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, kata-kata atau ucapan yang menghina (Andi Hamzah, 2006: 4-9).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Masa pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-undangan, antara lain:

1) Masa 1945 - 1957, 2) Masa 1957 - 1960, 3) Masa 1960 - 1971, 4) Masa 1971 - 1999,

commit to user

1) Masa 1945 - 1957

Tindak pidana korupsi belum dianggap sebagai ancaman negara yang membahayakan dan pada tahun 1956, tindak pidana korupsi mulai menguat dengan diangkatnya kasus tindak pidana korupsi di media cetak oleh Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar, namun keduanya malah di penjara pada tahun 1961.

2) Masa 1957 - 1960

Tindak pidana korupsi dirasakan sudah mulai menguat dalam tubuh pemerintahan. Nasionalisme perusahaan asing dianggap sebagai titik awal tindak pidana korupsi di Indonesia. Dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan peraturan-peraturan militer yaitu:

a) Perarutan Penguasa Militer No.PRT/PM/06/1957 (tata kerja menerobos kemacetan memberantas korupsi),

b) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 (pemilikan harta benda),

c) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/11/1957 (penyitaan harta benda korupsi, pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan korupsi),

d) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AL No. PRT/z.1/I/7/1958,

e) Peraturan Penguasa Perang AD No. PRT/PEPERPU/031/1958.

Pada masa orde lama ini, pernah dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), yang dipimpin oleh A.H. Nasution dibantu oleh M.Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Namun karena kuatnya reaksi dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi, PARAN berakhir tragis.

3) Masa 1960 - 1971

Dasar hukumnya dengan UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menambah perumusan tindak pidana korupsi yang ada di dalam KUHP. Pasal 1 UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disebut tindak pidana korupsi ialah:

a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggarankelonggaran dari negara atau masyarakat,

b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan,

c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai pasal 21 UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan di dalam Pasal-pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.

Lembaga khusus untuk memberantas korupsi mulai dibentuk, yaitu: Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963), Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR), dengan ketua Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani, Tim Pemberantasan Korupsi (Keppres No.228/1967), Komisi Anti Korupsi (KAK) (1967), Tim Komisi Empat (Keppres No. 12/1970). Kegagalan UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah masih ada perbuatan yang merugikan keuangan negara tetapi tidak ada perumusannya dalam undang-undang sehingga tidak di pidana serta pelaku tindak pidanakorupsi hanya pegawai negeri

commit to user

4) Masa 1971 - 1999

Perumusan pengertian tindak pidanakorupsi tercantum di dalam Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: ayat (1)

a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP, d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu,

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Ayat (2) Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.

UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memperluas perumusan tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP dan undang-undang sebelumnya, perumusan tindak pidana korupsi dengan delik formil, dan percobaan dan pemufakatan jahat di anggap sebagai delik selesai. Pada masa ini dibentuknya Tim OPSTIB (Inpres No. 9/1977), Tim Pemberantas korupsi diaktifkan kembali (1982), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara atau KPKPN (Keppres 127/1999).

5) Masa 1999 - Sekarang

Tindak Pidana Korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diatur di dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diatur di dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

3) Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

commit to user

memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, diatur di dalam Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

4) Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, diatur di dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

5) Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

a) pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang,

b)setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang,

c) setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang,

d)setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang,

e) bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

6) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

Dokumen terkait