commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Disusun Oleh :
IHSAN JAUHARI E 1105013
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Disusun Oleh :
IHSAN JAUHARI E 1105013
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada: Hari : Selasa
Tanggal : 18 Januari 2011
TIM PENGUJI
Ketua
1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum.: ... NIP. 196202091989031001
Sekretaris
2. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : ... NIP. 195706291985031002
Anggota
3. Kristiyadi, S.H., M.Hum. : ... NIP. 195812251986011001
MENGETAHUI Dekan,
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : IHSAN JAUHARI
NIM : E1105013
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : ”Kajian Tentang Pengaturan Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 18 Januari 2011
yang membuat pernyataan
commit to user
v Abstrak
Ihsan Jauhari, NIM. E1105013, KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini dilihat dari jenisnya merupakan penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan. Sifat penelitiannya adalah preskriptif. Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder. Sumber data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis memakai teknik pengumpulan data studi kepustakaan. Teknik analisis data dengan metode silogisme dan interpretasi. Mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absensia, ialah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Berdasarkan Pasal 196 ayat (1) KUHAP, pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain. Berdasarkan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Di dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi mengatur sidang in absensia,yaitu: jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat: a. memutus perampasan barang-barang yang telah disita, b. memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu. Pengaturan in absensia di dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tertuang dI dalam Pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Peradilan in absensia terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu mengenai hal kehadiran terdakwa di dalam persidangan, jika terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
commit to user
vi
Abstract
Ihsan Jauhari, NIM. E1105013, THE INSTRUCTION OF ARRANGEMENT SESSION OF THE COURT WITHOUT ATTENDANCE OF DEFENDANT IN DOING AN INJUSTICE CORRUPTION BASED ON LAW AND
REGULATION IN INDONESIA. Faculty Of Law Surakarta Sebelas Maret
University.
This research has a goal to know the arrangement session of the court without attendance of defendant in corruption doing an injustice based on law and regulation in Indonesia. In this study, the writer used normatif law research with statute approach. The kinds of data collection and source of data is taken from secondary subject. The writer also used prescriptive research design to illustrate the condition of subject of the research. Source of secondary data consist of materials punish primary, materials punish secondary, and tertiary law materials. To get data in this research used writer bibliography study data collecting technique or documentation. Technique study of data used interpretation method. Judging or bringing to justice by in absentia is judge defendant someone and can punishing it without attended by its defendant. Based
on Article 196 Sentence (1) criminal prosedure (KUHAP), justice judge the case
of attended its defendant except in the case determine the other of law. Based on Article 26 of Law Number 31 Year 1999 about Eradication Doing An Injustice Corruption, investigation, prosecution, and inspection in court to corruption doing an injustice, conducted pursuant to procedure of criminal going into effect, except determined the other of this law. In Article 16 Sentence (1) of Law Number 7 Emergency Year 1955 about Decreasetion, Prosecution, and Jurisdiction of Economic Doing An Injustice arrange absentia is if there are good enough reason to anticipate, that someone passing away, before the case is inexorable decision again have done economic doing an injustice, so the judge on the publik prosecutor demand with justice decision could be a. breaking hijack of goods which have been confiscated b. breaking that discipline action of called at section 8 sub c and conducted by weighing against its estae someone who pass away. The rule of In absentia at Law Number 3 Year 1971 about Eradication Doing An Injustice Corruption decanted in Article 23 Sentence (1) expressing that if defendant called with and was absent in court without reasoning valid, hence case can be checked and decision by judge without its attendance. Jurisdiction of In absensia to corruption doing an injustice arranged in Article 38 of Law Number 31 Year 1999 about Eradication Doing An Injustice Corruption, that is hit matter attendance of defendant in conference, if defendant have been called validly, and absent in court without valid reason, hence case can be checked and decised without its attendance.
commit to user
vii MOTTO
Pengetahuan adalah satu-satunya kekayaan yang tidak bisa di lenyapkan, hanya
kematian yang bisa melenyapkan lentera pengetahuan yang ada di dalam dirimu.
Kekayaan yang sebenarnya dari suatu bangsa bukan terletak pada jumlah emas
dan perak yang terkandung di dalam sumber alamnya tetapi terletak pada
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Dengan setulus hati, saya persembahkan Penulisan Hukum (Skripsi) ini untuk
kedua orang tua saya tercinta H. Djahuri, B.A dan Hj. Ruwaidah, keluarga besar,
Deni Herbiyanti, Spsi, Ronggo, S.H, Singgih, S.H, sahabat-sahabat terbaik saya,
untuk Almamater Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, serta
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut asma Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang serta diiringi rasa syukur kepada Allah SWT, penulisan hukum
(skripsi) yang berjudul “KAJIAN TENTANG PENGATURAN
PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA”, dapat penulis selesaikan.
Penulisan hukum (skripsi) ini membahas permasalahan tentang pengaturan
pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi
menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penulis yakin bahwa
penulisan hukum (skripsi) ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
terutama kepada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk menyusun penulisan hukum (skripsi) ini.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Acara Pidana
yang telah banyak memberikan masukan dan nasehat dalam penulisan hukum
(skripsi) ini.
3. Bapak Hardjono, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Program S1 Non Reguler
yang telah banyak memberikan masukan dan nasehat dalam penulisan hukum
(skripsi) ini.
4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum selaku Pembimbing yang telah banyak
memberikan masukan dan nasehat dalam penulisan hukum (skripsi) ini.
5. Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik
yang telah banyak memberikan nasehat yang berguna selama penulis belajar
commit to user
x
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum
pada khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam
penulisan hukum (skripsi) ini dan semoga dapat penulis praktekkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
7. Staf dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah
selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus,
nasehat-nasehat, semangat, serta doa-doa yang penuh limpahan berkah rahmat
Allah SWT yang selalu mengiringi di setiap langkah saya.
9. Deni Herbiyanti, Spsi, Ronggo, S.H, Singgih, S.H, Edi Maryandi, S.H, Tiyas,
S.H, dan semua sahabat-sahabat terbaik saya yang telah memberikan
semangat.
10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum (skripsi) ini terdapat
banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran
yang membangun sehingga dapat memperjelas isi penulisan hukum (skripsi) ini.
Semoga Allah SWT membalas segala amal kebaikkan semuanya dan
mudah-mudahan penulisan hukum (skripsi) ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua, terutama bagi penulis sendiri, kalangan akademisi, praktisi, serta
masyarakat umum. Amin ya Robbal ‘alamin.
Surakarta, 18 Januari 2011
Penulis
commit to user
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Metode Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Kerangka Teoritis ... 10
1. Tinjauan Tentang Peradilan In Absensia…….………... 10
a. Pengertian In Absensia……….. 10
b. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi... 12
c. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi………... 13
commit to user
xii
2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi………. 14
a. Pengertian Tindak Pidana………. 14
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi………... 17
3. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi………... 27
a. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi……. 27
b. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi…….. 28
B. Kerangka Pemikiran... 31
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………... 32
Pengaturan Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia………... 32
BAB IV : PENUTUP... 59
A. Simpulan... 59
B. Saran... 60
DAFTAR PUSTAKA... 61
LAMPIRAN-LAMPIRAN... 64
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
commit to user
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan
perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi, jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas maupun
kuantitasnya tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis serta
lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat yang merupakan
suatu fenomena kejahatan yang menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional, merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, serta membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar
diprioritaskan dalam rangka mewujudkan keadilan berdasarkan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua, bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan
biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
cara-cara yang luar biasa. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi
diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara
yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya. Tindak pidana korupsi
merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi
transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa
Indonesia. Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang
bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga
memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat
menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional
commit to user
maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan
dukungan manajemen tata laksana pemerintahan yang baik dan kerjasama
internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana
korupsi.
Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus,
antara lain dimulai dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (selanjutnya UU
7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi), Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, Peraturan
Penguasa Perang Pusat A.D. Nomor PRT/PEPERPU/013/1958, Undang-Undang
Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(selanjutnya UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (selanjutnya UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (selanjutnya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(selanjutnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi),
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi), dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003) (selanjutnya UU No. 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption
Tahun 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003)).
Memperhatikan berbagai langkah kebijakan penanggulangan tindak pidana
korupsi di atas, terkesan bahwa strategi kebijakan lebih memfokuskan pada upaya
melakukan pembaharuan dan perubahan peraturan perundang-undangan atau law
reform, upaya tersebut memang merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan
tetapi oleh karena masalah tindak pidana korupsi sarat dengan berbagai
kompleksitas maka seyogyanya ditempuh pendekatan integral sehingga tidak
hanya law reform tetapi juga social, economic, political, cultural, moral, and
administrative reforms.
Tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 1,95 triliun
yang dilakukan oleh Almarhum Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing selaku
Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa yang dilikuidasi pada tanggal 1
November 1997 lalu (selanjutnya BHS) yang dijatuhi hukuman penjara seumur
hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyidangkan
perkaranya secara in absensia pada 22 Maret 2002. Alm. Hendra Rahardja
dihukum karena terbukti menyalahgunakan dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (selanjutnya BLBI) secara bersama-sama dengan Eko Edi Putranto
sebagai mantan Komisaris BHS yang juga anak Alm. Hendra Rahardja, dan
Sherny Kojongian sebagai mantan Direktur Kredit BHS, yang harus disalurkan ke
pengusaha kecil dan menengah itu dihabiskan untuk membeli tanah, membangun
gedung BHS di sejumlah kota di Indonesia, dan dikucurkan ke kelompok
perusahaannya sendiri hingga melanggar batas maksimum pemberian kredit
(Hendriko L. Wiremmer, 2001: 1).
Harta Alm. Hendra Rahardja di Australia nilainya sekitar Aus$ 600.000,00
atau setara dengan Rp 3,84 miliar disita Pemerintah Australia, kemudian
commit to user
diserahkan Menteri Kehakiman dan Bea Cukai Australia Chris Ellison kepada
Duta Besar Indonesia di Australia Imron Cotan, rekeningnya tersebut terdapat di
dua bank di Australia, yaitu di Sidney dan Perth kedua rekening tersebut sudah
dibekukan. Rekening Alm. Hendra Rahardja yang berada di sebuah bank di
Hongkong berisi US$ 385.000, 00 dapat ditarik kembali ke Indonesia karena
Indonesia memiliki perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan
hukum timbal balik dengan Hongkong (Dewi Indriastuti, 2008: 1).
Kejaksaan Agung menyatakan, jumlah aset Alm. Hendra Rahardja yang
disita sekitar 232 item, yang telah dilelang 17 item dan cuma menghasilkan uang
Rp 13 miliar. Dana hasil pelelangan sejumlah perusahaan milik Grup BHS, seperti
PT Eka Sapta Dirgantara, PT Arta Buana Sakti, PT Inti Bangun Adi Pratama, PT
Prasetya Mandiri, dan PT Setyo Harto Jaya Building sebesar Rp 430,3 miliar serta
Kejaksaan Agung menyita aset tanah seluas 500 hektar di Bogor, Jawa Barat (Kun
Wahyu Winasis, 2002: 1).
Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian masing-masing dihukum 20 tahun
penjara. Hendra Rahardja, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian didenda
sebesar Rp 30 juta dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 1,95 triliun.
Waktu itu, hanya Hendra Rahardja yang mengajukan banding, sedangkan Eko Edi
Putranto dan Sherny Kojongian tidak mengajukan banding. Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta tetap memvonis Hendra Rahardja dengan penjara seumur hidup.
Berdasarkan siaran pers Kedutaan Besar Republik Indonesia dengan nomor
58/Pen/I/03, yang menyatakan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra
telah menerima pemberitahuan dari pejabat Kejaksaan Agung Australia bahwa
terpidana penyalahgunaan BLBI yaitu, Hendra Rahardja telah meninggal dunia
pada hari Minggu, tanggal 26 Januari 2003 di Sydney, Australia karena kanker
ginjal. Sedangkan, Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian hingga saat ini masih
Sehubungan dengan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Hendra Rahardja tersebut diperiksa di muka persidangan secara in absensia, maka
penulis menuangkannya ke dalam sebuah penulisan yang berbentuk penulisan
hukum dengan judul:
KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA
KEHADIRAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA.
B. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan
dibahas, maka perumusan masalahnya adalah:
Bagaimanakah pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam
tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya, sehingga tujuan penelitian ini adalah:
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa
dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan
hukum agar memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar
sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta,
b. Untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman mengenai
pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak
pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia,
c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh
commit to user
D. Manfaat PenelitianAdanya suatu penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi bidang
ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai pengaturan pemeriksaan
perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut
peraturan perundang-undangan di Indonesia dan semua pihak yang terkait
dalam menangani masalah tindak pidana tersebut,
b. Memberikan gambaran yang nyata mengenai pengaturan pemeriksaan
perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut
peraturan perundang-undangan di Indonesia,
c. Hasil penelitian tentang pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran
terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia, diharapkan dapat menambah bahan referensi di
bidang karya ilmiah lainnya.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis, serta
untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan penulis dalam
mengimplementasikan ilmu hukum yang diperoleh,
b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti,
c. Menambah pengetahuan tentang pengaturan pemeriksaan perkara tanpa
kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum
approach . Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan
tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 50-51).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitiannya adalah preskriptif atau terapan, yaitu penelitian ini
dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
yang termasuk dalam data sekunder.
3. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan
data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang diperoleh
melalui bahan-bahan, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan,
laporan, desertasi, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis
lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto,
2006: 12).
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah
sumber data sekunder yang terdiri dari: bahan hukum primer, yaitu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder, yaitu bahan
hukum yang membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer
seperti penjelasan undang-undang, serta bahan hukum tersier pada dasarnya
mencakup bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan
acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, contohnya,
ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan seterusnya (Soerjono Soekanto,
2006: 11).
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis memakai teknik
pengumpulan data studi kepustakaan atau dokumentasi. Studi dokumentasi ini
dokumen-commit to user
dokumen tersebut diharapkan dapat menjadi nara sumber yang dapat
memecahkan permasalahan penelitian. Di dalam melakukan studi
dokumentasi, peneliti menyelidiki bahan-bahan pustaka yang merupakan data
sekunder.
6. Teknik Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif, permasalahan hukum dianalisis
dengan metode silogisme dan interpretasi.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan
hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis
membuat suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan
hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka,
pembahasan, dan penutup, ditambah dengan lampiran-lampiran dan daftar
pustaka. Apabila disusun dengan sistematis adalah sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian antara lain: tujuan obyektif dan subyektif, manfaat
penelitian antara lain: manfaat teoritis dan praktis, metode penelitian yang
mencakup jenis penelitian, sifat penelitian, jenis data, sumber data, teknik
pengumpulan data, serta diuraikan juga sistematika penulisan hukum.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan antara lain mengenai kerangka teoritis dan
kerangka pemikiran. Di dalam kerangka teoritis meliputi: pertama, tinjauan
tentang peradilan in absensi yang di dalamnya dijelaskan tentang pengertian in
absensia, pengaturan in absensia dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun
1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Tindak Pidana Korupsi. Kedua, tinjauan tentang tindak pidana korupsi yang di
dalamnya dijelaskan tentang pengertian tindak pidana dan tindak pidana korupsi.
Ketiga, hukum acara tindak pidana korupsi yang di dalamnya dijelaskan tentang
hukum acara tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menurut
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan mengenai pengaturan in absensia di dalam
Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi yang tercantum dalam pasal 16 ayat (1), Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
tercantum dalam pasal 23 ayat (1), dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB IV: PENUTUP
Pada bab ini diuraikan simpulan berdasarkan analisis data yang dilakukan
sebagai jawaban atas permasalahan yang dirumuskan dan diuraikan mengenai
saran-saran yang ditujukan kepada para pihak yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Di dalam daftar isi diuraikan sumber-sumber pustaka yang digunakan oleh
penulis, baik sumber-sumber dari buku, peraturan perundang-undangan, maupun
bahan-bahan dari internet.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran-lampiran terdiri dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
commit to user
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Tinjauan Tentang Peradilan In Absensia
a. Pengertian In Absensia
Mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absensia, ialah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Berdasarkan Pasal 196 ayat (1) KUHAP, pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain (Djoko Prakoso, 1985: 54-57).
Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan sebagai segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara baik perkara perdata maupun pidana untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum materiil. Sedangkan menurut Arief Sidharta, peradilan adalah pranata hukum untuk secara formal, imparsial, obyektif, serta adil manusiawi memproses penyelesaian definitif yang hasilnya dirumuskan dalam bentuk vonis yang implementasinya dapat dipaksakan dengan menggunakan aparat negara (HP. Panggabean, 2008: 95-96).
Istilah ”peradilan” dalam peraturan perundang-undangan dapat
ditemukan pada Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kata
”peradilan” pada rumusan judul peraturan tersebut merupakan salah satu
tahap penyelesaian perkara pidana, di samping tahap penyidikan dan
penuntutan. Peradilan di sini mempunyai pengertian sebagai suatu proses
pemeriksaan sampai dengan putusan pengadilan.
Secara fomal kata ”In Absentia” dipergunakan dalam
Undang-Undang Nomor 11/Pnps/1963 yang perumusannya terdapat pada Pasal 11
ayat (1). Kata in absentia diartikan dengan mengadili di luar kehadiran
terdakwa. Kata ”In Absentia” dalam rumusan tersebut sebenarnya
menunjuk pada pengertian ”peradilan In Absentia” yang mencakup
pemerikasaan sampai dengan putusan pengadilan di luar kehadiran
terdakwa. Pengertian di atas sesungguhnya mempunyai cakupan yang
sempit, dalam arti bahwa pengertian tersebut hanya didasarkan pada
terjemahan masing-masing kata yang membentuknya, yaitu kata peradilan
dan kata In Absentia. Kata peradilan diterjemahkan sebagai pemeriksaan
dan putusan pengadilan sedangkan kata In Absentia deterjemahkan sebagai
tidak hadir. Tidak hadir dalam pengertian ini adalah tidak hadirnya
terdakwa.
Menurut ensiklopedia Wikipedia, In absentia is Latin for "in the
absence". In legal use it usually pertains to a defendant's right to be
present in court proceedings in a criminal trial. Apabila diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia, yaitu in absensia dalam bahasa Latin dapat
diartikan ketidakhadiran. Di dalam sistem hukum pada umumnya adalah
ketidakhadiran seorang terdakwa di pengadilan dalam suatu perkara
pidana (Wikipedi,2008: 1-2).
Conviction of a person in absentia, that is in a trial in which they
are not present to answer the charges, is held to be a violation of natural
justice Apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, dikatakan in
absensia adalah terdakwa yang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang seharusnya dijawab dalam suatu persidangan dipengadilan (Anthony,
2005: 1-2).
KUHAP secara umum tidak mengatur peradilan in absensia. Tanpa
kehadiran terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara oleh
pengadilan tidak dapat dilakukan. Sejalan dengan itu, Pasal 154 ayat (1)
sampai dengan ayat (7) KUHAP mengatur bagaimana cara menghadirkan
terdakwa dalam persidangan, yaitu: ayat (1) hakim ketua sidang
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam
tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. Ayat (2) Jika dalam
pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari
commit to user
terdakwa sudah dipanggil secara sah. Ayat (3) Jika terdakwa dipanggil
secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari
sidang berikutnya. Ayat (4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara
sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan
perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Ayat (5) Jika dalam
suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa
hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat
dilangsungkan. Ayat (6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar
terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara
sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama
berikutnya. Ayat (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum
tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6)
dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang. Dalam perkara tindak
pidana umum, tidak dimungkinkan untuk diperiksa dan diputus tanpa
hadirnya terdakwa atau dilakukan secara in absensia, tetapi untuk tindak
pidana khusus dimungkinkan sebab adanya kekhususan dan berbagai
aspek pertimbangan untuk dilakukannya persidangan secara in absensia,
misalnya adanya kerugian negara akibat tindak pidana khusus tersebut
sehingga dapat berdampak kepada masyarakat (Adami Chazawi, 2005:
391).
b. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun
1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi
Pasal 16 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi mengatur lebih jelas
tentang sidang in absensia meskipun masih mengandung penafsiran yang
luas karena tidak rinci, yaitu: jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa
yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka
hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat: a.
memutus perampasan barang-barang yang telah disita, b. memutus bahwa
tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan
dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.
c. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pengaturan in absensia di dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tertuang di dalam Pasal 23 ayat (1)
sampai dengan ayat (6) yang menyatakan bahwa ayat (1) jika terdakwa
setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan
tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus
oleh hakim tanpa kehadirannya. Ayat (2) bila terdakwa hadir pada
sidang-sidang selanjutnya sebelum putusan dijatuhkan, ia wajib diperiksa dan
didengar serta sidang dilanjutkan. Ayat (3) putusan pengadilan
diumumkan oleh panitera dalam papan pengumuman pengadilan atau
kantor pemerintah daerah. Ayat (4) terhadap putusan pengadilan yang
dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa, terdakwa atau kuasanya dapat
memajukan banding. Ayat (5) a. jika ada alasan yang cukup menduga,
bahwa seorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada
putusan yang tidak dapat diubah lagi, telah melakukan suatu tindak pidana
korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum, dengan putusan
pengadilan dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah
disita. b. ketentuan tersebut pada ayat (4) tidak berlaku bagi orang yang
meninggal dunia dimaksud sub a. Ayat (6) Setiap orang yang
berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada pengadilan yang
telah menjatuhkan putusan dimaksud ayat (5) dalam waktu tiga bulan
commit to user
d. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Ketidakhadiran terdakwa atau saksi dalam persidangan sangat
mengganggu para penegak hukum, terlebih Jaksa sebagai Penuntut Umum
dan eksekutor putusan hakim. Dengan kejadian seperti ini, akan
mengakibatkan membengkaknya jumlah tunggakan-tunggakan perkara
pidana termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi ataupun denda-denda
yang menjadi sumber penghasilan bagi negara. Untuk menghindari hal ini
beberapa kasus atau perkara pidana yang menurut undang-undang yang
berlaku, masuk ke pengadilan diselesaikan meskipun tanpa kehadiran
terdakwa di muka sidang. Peradilan in absensia terhadap tindak pidana
korupsi diatur dalam Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu mengenai hal kehadiran
terdakwa di dalam persidangan, jika terdakwa telah dipanggil secara sah,
dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara
dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana
Belanda yang disebut strafbaar feit, dengan demikian istilah strafbaar feit
juga terdapat dalam Hukum Pidana Indonesia., tetapi tidak ada penjelasan
resmi dari istilah strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dari istilah strafbaar feit, tetapi belum ada
keseragaman pemakaian istilah strafbaar feit, ada yang menggunakan
istilah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana,
perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Adami Chazawi, strafbaar
feit diartikan dengan tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan hukuman pidana (Adami Chazawi, 2002: 55).
Sedangkan menurut Moeljatno, strafbaar feit yang di terjemahkan
dengan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno
merupakan penganut aliran dualisme yang mana memisahkan unsur
perbuatan dan unsur tanggungjawab dalam strafbaar feit. Alasan
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana karena (Moeljatno,
1983: 54):
1) Bahwa yang dilarang adalah perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan
pada perbuatannya, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada
orangnya,
2) Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan dengan ancaman
hukuman yang ditujukan kepada orangnya, ada hubungan yang erat,
oleh karena itu perbuatan dengan orang yang menimbulkan perbuatan
tadi ada hubungan yang erat pula,
3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat tadi maka digunakan
istilah perbuatan pidana yang merupakan suatu pengertian abstrak
yang menunjuk pada dua keadaan kongkrit, yaitu adanya kejadian
tertentu (perbuatan) dan adanya orang yang berbuat.
R. Saleh dalam Martiman Prodjohamidjojo, juga menggunakan
istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan
sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan (Martiman
Prodjohamidjojo, 1997: 15-18).
commit to user
Bermacam-macamnya terjemahan dari istilah strafbaar feit, tidak
menjadikan adanya suatu permasalahan, asalkan makna dari istilah
strafbaar feit tersebut sama, dan istilah tindak pidana yang dianggap
merupakan istilah resmi dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia sebab hampir seluruh peraturan perundang-undangan di
Indonesia menggunakan istilah tindak pidana (Andi Hamzah, 1993: 2).
Di dalam suatu tindak pidana terdapat unsur-unsur yang melekat
padanya. Sama halnya dalam mengartikan strafbaar feit yang tersebut di
atas, tidak ada keseragaman pemakaian arti strafbaar feit, dan mengenai
unsur-unsur tindak pidana, tidak ada keseragaman pendapat oleh para ahli
hukum pidana. Unsur-unsur tindak pidana terbagi dua macam, yaitu
unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur-unsur-unsur yang melekat atau berhubungan dengan
diri pelaku tindak pidana dan yang termasuk di dalamnya, segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif terdiri dari (PAF.
Lamintang, 1997: 193-194):
a) Kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (culpa).
Kesengajaan (intention/opzet/dolus) terdiri atas: kesengajaan sebagai
maksud (oogmerk), kesengajaan sebagai sadar kepastian (opzet als
zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai sadar kemungkinan
(dolus evantualis). Sedangkan kealpaan (culpa) terdiri atas: kealpaan
yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari (Leden Marpaung,
2005: 9),
b) Adanya maksud atau niat untuk melakukan tindak pidana,
c) Ada atau tidak adanya perencanaan dalam melakukan tindak pidana,
d) Adanya perasaan takut dari pelaku tindak pidana.
Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan pelaku tindak pidana harus dilakukan (unsur-unsur dari luar diri
pelaku tindak pidana. Unsur-unsur objektif terdiri dari:
b) Keadaan-keadaan tertentu yang menyertai perbuatan pelaku tindak
pidana atau kualitas dari pelaku tindak pidana,
c) Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu
kenyataan sebagai akibat atau kausalitas.
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Kata korupsi walaupun sudah tidak asing lagi di telinga kita
rupanya merupakan kata serapan dari bahasa asing. Menurut Fockema
Andreae dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa Latin
corruptio atau corruptus, selanjutnya disebut bahwa kata corruptio itu
berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
Dari bahasa Latin itulah penggunaan istilah korupsi diserap berbeda di
beberapa negara. Seperti Inggris, menyerapnya menjadi corruption,
corrupt, dan di Belanda menjadi corruptie (koruptie). Dan dari bahasa
Belanda turun ke bahasa Indonesia menjadi “korupsi”. Secara harafiah dari
kata corruptio itu diartikan sebagai kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, kata-kata atau ucapan yang menghina (Andi
Hamzah, 2006: 4-9).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan
pribadi atau orang lain.
Masa pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan
perundang-undangan, antara lain:
1) Masa 1945 - 1957,
2) Masa 1957 - 1960,
3) Masa 1960 - 1971,
4) Masa 1971 - 1999,
commit to user
1) Masa 1945 - 1957Tindak pidana korupsi belum dianggap sebagai ancaman negara
yang membahayakan dan pada tahun 1956, tindak pidana korupsi mulai
menguat dengan diangkatnya kasus tindak pidana korupsi di media cetak
oleh Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar, namun keduanya malah di
penjara pada tahun 1961.
2) Masa 1957 - 1960
Tindak pidana korupsi dirasakan sudah mulai menguat dalam
tubuh pemerintahan. Nasionalisme perusahaan asing dianggap sebagai titik
awal tindak pidana korupsi di Indonesia. Dasar hukum pemberantasan
tindak pidana korupsi dengan menggunakan peraturan-peraturan militer
yaitu:
a) Perarutan Penguasa Militer No.PRT/PM/06/1957 (tata kerja
menerobos kemacetan memberantas korupsi),
b) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 (pemilikan harta
benda),
c) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/11/1957 (penyitaan harta
benda korupsi, pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan
korupsi),
d) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AL No.
PRT/z.1/I/7/1958,
e) Peraturan Penguasa Perang AD No. PRT/PEPERPU/031/1958.
Pada masa orde lama ini, pernah dibentuk Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN), yang dipimpin oleh A.H. Nasution dibantu
oleh M.Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Namun karena kuatnya reaksi
dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi, PARAN berakhir
3) Masa 1960 - 1971
Dasar hukumnya dengan UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menambah perumusan tindak
pidana korupsi yang ada di dalam KUHP. Pasal 1 UU No. 24/Prp/Tahun
1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disebut tindak
pidana korupsi ialah:
a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu
kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan
keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara
atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal
kelonggarankelonggaran dari negara atau masyarakat,
b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu
kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan
kedudukan,
c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai pasal 21 UU
No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan di dalam Pasal-pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419,
420, 423, 425, dan 435 KUHP.
Lembaga khusus untuk memberantas korupsi mulai dibentuk,
yaitu: Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963), Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR), dengan ketua Presiden Soekarno
dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani, Tim Pemberantasan Korupsi
(Keppres No.228/1967), Komisi Anti Korupsi (KAK) (1967), Tim Komisi
Empat (Keppres No. 12/1970). Kegagalan UU No. 24/Prp/Tahun 1960
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah masih ada
perbuatan yang merugikan keuangan negara tetapi tidak ada
perumusannya dalam undang-undang sehingga tidak di pidana serta pelaku
commit to user
4) Masa 1971 - 1999Perumusan pengertian tindak pidanakorupsi tercantum di dalam
Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yaitu: dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: ayat (1)
a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara,
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara,
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209,
210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP,
d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya
atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan itu,
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420
KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
berwajib.
Ayat (2) Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk
melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e
UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang memperluas perumusan tindak pidana
korupsi yang ada dalam KUHP dan undang-undang sebelumnya,
perumusan tindak pidana korupsi dengan delik formil, dan percobaan dan
pemufakatan jahat di anggap sebagai delik selesai. Pada masa ini
dibentuknya Tim OPSTIB (Inpres No. 9/1977), Tim Pemberantas korupsi
diaktifkan kembali (1982), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara atau KPKPN (Keppres 127/1999).
5) Masa 1999 - Sekarang
Tindak Pidana Korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diatur di
dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,
2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, diatur di dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
3) Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
commit to user
memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, diatur di
dalam Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
4) Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri
sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, diatur di dalam Pasal 6
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
5) Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
a) pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang,
b)setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,
atau keselamatan negara dalam keadaan perang,
c) setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
d)setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang,
e) bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang.
6) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diatur di dalam
Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
7) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau
daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, diatur di dalam
Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
8) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja, diatur di dalam Pasal 10 UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
commit to user
a) menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jabatannya,
b) membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut,
c) membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut.
9) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya, diatur di dalam Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi,
10)Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
a) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya,
b) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
c) hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili,
d) seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili,
e) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri,
f) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang,
g) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang,
h) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di
atasnya terdapat hak pakai, seolaholah sesuai dengan peraturan
commit to user
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundangundangan,
i) pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun
tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
11)Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, diatur di dalam
Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
12)Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan, diatur di dalam Pasal
13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi,
13)Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara
tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang ini, diatur di dalam Pasal 14 UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang adalah orang
perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi, yaitu kumpulan orang
dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum, sedangkan pegawai negeri meliputi pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun
Pokok-pokok Kepegawaian, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam
KUHP, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, dan orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal
atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Dijelaskan di dalam Pasal 1 UU
No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian, yaitu pegawai negeri adalah setiap warga
negara republik indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam Penjelasan Pasal 5 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, penyelenggara negara adalah penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, meliputi: pejabat negara pada lembaga tertinggi
negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur,
hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi
strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi
a. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Hukum acara terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.
commit to user
dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 40, yaitu penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi
harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya dan
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang
sulit pembuktiannya, yaitu tindak pidana korupsi di bidang perbankan,
perpajakan, pasar modal, perdagangan, industri, komoditi berjangka,
bidang moneter, dan keuangan yang bersifat sektoral, dilakukan dengan
menggunakan teknologi canggih, dan dilakukan tersangka atau terdakwa
yang berstatus sebagai penyelenggara negara sebagaimana yang tercantum
dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka dapat dibentuk tim
gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
b. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Di atas telah diuraikan hukum acara terhadap tindak pidana korupsi
yang diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, sedangkan hukum acara terhadap tindak pidana
korupsi yang diatur di dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 62 UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di
dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diperkenalkan adanya perangkat pendukung lain seperti
dibentuknya tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung apabila
terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dan di dalam
undang-undang tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (selanjutnya KPK) yang merupakan lembaga
memberantas tindak pidana korupsi bersifat independen dan bebas dari
kekeuasaan manapun (Supanto, 2008: 88).
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum acara
terhadap tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Pasal 38 sampai
dengan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yaitu segala kewenangan yang berkaitan dengan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP
berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK dan
dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama
KPK, tetapi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
KUHAP, yaitu penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b, yaitu pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang sesuai dengan
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, yaitu pejabat polisi
negara Republik Indonesia, tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana
korupsi sebagaimana ditentukan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu,
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan yang diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik,
penyidik, dan penuntut umum pada KPK, yaitu penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
commit to user
sedangkan penyelidik, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan penyidik, yaitu pejabat
polisi negara Republik Indonesia. Penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan,
sedangkan jaksa, yaitu pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan penuntut umum adalah
jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan