• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan, saran dan kata penutup. Yaitu memuat kesimpulan yang mencakup semua isi skripsi, saran dan diakhiri dengan kata penutup.

19 A. Kebahagiaan dalam Perspektif Filsafat

Bahagia artinya beruntung atau perasaan senang, tentram, yang mana berarti bebas dari bentuk segala sesuatu yang menyusahkan. Adapun arti kebahagiaan yaitu kesenangan dan ketentraman dalam hidup (lahir dan batin), keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir dan batin1. Dari segi bahasa, arti kata bahagia dalam Bahasa Arab adalah sa’adah yang artinya “keberuntungan” atau “kebahagiaan”.2

Dan dalam Bahasa Inggris kebahagiaan disebut Happines yang berarti juga “kebahagiaan”. Dari segi Filsafat, mengartikan kata "bahagia" dengan kenyamanan dan kenikmatan spiritual dengan sempurna dan rasa kepuasan, dan dengan tidak adanya cacat dalam pikiran sehingga akan tercipta perasaan tenang dan damai. Berikut adalah pendapat menurut beberapa tokoh Filsuf mengenai kebahagiaan.

Ada begitu banyak perbedaan pandangan dan pendapat mengenai kebahagiaan, mulai dari filsuf Yunani, Sokrates, dimana menurutnya budi ialah tahu. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya akan berbudi baik. Jalan menuju kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai kesenangan hidup. Tujuan etik baginya adalah untuk mencapai kebahagiaan atau kesenangan dalam hidup.3

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 65.

2 Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), h. 205.

3

Selanjutnya, ada Plato yang merupakan murid Sokrates. Dimana berdasarkan ajaran idealnya, Plato berpendapat bahwa kebahagiaan yang tertinggi itu tidak mungkin diperoleh di dunia, karena kebahagiaan tertinggi baru bisa diperoleh ketika jiwa sudah berpisah dengan jasad. Dalam pandangan Plato, kebahagiaan tertinggi itu hanya terletak pada jiwa bukan jasad, sehingga apabila jasad dan jiwa masih melekat pada tubuh yang kotor dengan berbagai kepentingannya, dan menyatu dengan berbagai kepentingan jasad, berarti jiwa belum benar-benar bahagia. Artinya, bagi Plato kebahagiaan yang nyata baru bisa dirasakan manusia di akhirat kelak.4

Sangat jauh berbeda dengan Plato, menurut Aristoteles, bahwa manusia hidup memiliki tujuan, yaitu nilai kebahagiaan, dan manusia mampu melihat kebahagiaan jauh di atas kesenangan-kesenangan yang bersifat nyata. Menurut Aristoteles, hidup yang baik dapat dikatakan dengan satu kata yaitu “kebahagiaan”, kebahagiaan adalah kebaikan instrinsik, dan merupakan tujuan dalam diri kita masing-masing. Lebih jelasnya, kebahagiaan adalah hidup yang terintegrasi dan memuaskan. Selanjutnya, kebahagiaan atau kesejahteraan, dapat diperoleh manusia di dunia jika manusia berupaya keras dalam hidupnya untuk mengusahakannya. Kebahagiaan adalah apa yang kita cari demi diri kita sendiri (Eudaimonia). Sebagian filosof lain misalnya kaum Hedonis dan Utilitarian menetapkan kebahagiaan sebagai landasan moral. Baik buruknya suatu tindakan diukur dari sejauh mana tindakan itu membawa orang pada kebahagiaan (kesenangan). Ada pula filosof yang mengatakan

4 Endrika Widdia Putri, Kebahagiaan Perspektif Al-Farabi, dalam skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Imam Bonjol Padang, h. 14.

bahwa perbuatan baik dan buruk tidak berkaitan sama sekali dengan kebahagiaan, karena bisa jadi ada tindakan yang membuat pelakunya bahagia, tetapi tidak bermoral, misalnya korupsi. Menurut kelompok ini, perbuatan baik adalah tuntutan etis untuk menjalankan kewajiban, walaupun membuat pelakunya menderita5. Bagi Aristoteles, kehidupan yang baik adalah kehidupan yang berarti dan berguna. Dan tercapainya apa yang dibutuhkan di dunia ini atau terpenuhinya kepentingan materi akan menjadi sebuah kebahagiaan dalam hidup. Jadi, kebahagiaan menurut Aristoteles terkait dengan materi, sehingga kebahagiaan tertinggi bisa dicapai di dunia ini.6

Sebagai contoh kita ambil pendapat dari seorang psikolog asal Amerika bernama Martin Seligman, yang mana ia juga meneliti tentang kebahagiaan dan salah satu bukunya yang terkenal berjudul Authentic

Happiness. Yang mana menurutnya, konsep bahagia dapat dilihat dari dua

sudut pandang, yaitu definisi moral-laden dan morally-neutral. Definisi moral-laden menghendaki bahwa tolak ukur kebahagiaan adalah nilai-nilai moral, yang pada intinya adalah kebahagiaan itu berpusat pada pelaksanaan kebaikan. Dan disisi lain, definisi kebahagiaan secara netral lebih menekankan kebahagiaan pada kesejahteraan subjektif dalam bentuk kepuasan penuh terhadap hidup atau pencapaian terhadap kenikmatan yang tinggi.7 Selain daripada itu, Seligmann juga berpendapat bahwa kebahagiaan bersifat abstrak

5 Jalaludin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), h.98.

6

Endrika Widdia Putri, Kebahagiaan Perspektif Al-Farabi, dalam skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Imam Bonjol Padang, h. 15.

7 Jusmiati, Konsep Kebahagiaan Martin: Sebuah Penelitian Awal, “Rausyan Fikr”, Vol. 13 No. 2 Desember 2017, h. 374.

dan tidak dapat disentuh atau diraba, atau hanya bisa dirasakan. Kebahagiaan jelasnya sangat erat berhubungan dengan kejiwaan dari individu yang bersangkutan. Dimana kebahagiaan otentik dapat diperoleh dari meningkatkan kualitas hidup diri sendiri, dan bukan dari membandingkannya dengan hidup orang lain. Kebahagiaan yang otentik (sejati) adalah perasaan baik yang ditimbulkan oleh kebaikan yang diperbuat oleh manusia.8

Terdapat juga beberapa pengaruh yang dihasilkan dari kebahagiaan, yaitu:

a. Suasana hati yang positif akan membuat individu menerima gagasan yang baru.

b. Kebahagiaan itu memperluas sumber-sumber intelektual, fisik, dan sosial yang dimiliki.

c. Emosi positif akan menjadikan individu lebih kreatif, toleran, konstruktif, murah hati, dan tidak defensif (sensitif).

d. Lebih memungkinkan untuk realistis terhadap kemampuan dirinya sendiri dibanding meratapi.

e. Memiliki perasaan yang lebih sering untuk mengingat peristiwa-peristiwa yang menyenangkan.

f. Dapat memanjangkan usia dan memungkinkan individu lebih sering mendapat kesehatan.

g. Lebih mudah mendapatkan teman dalam pergaulan.

h. Memperoleh pasangan hidup yang diinginkan dan menikah.

8 Martin Seligman, Authentic Happiness, Terj. Jalaludin Rakhmat, (Bandung: Mizan Media Utama, 2005), h.8

i. Menciptakan hubungan yang lebih baik dengan orang disekitar.9 B. Kebahagiaan dalam Perspektif Agama

Dari perspektif Agama, bahagia yaitu perasaan ridha dan ikhlas atas pemberian yang telah diberikan sang Maha Kuasa. Menurut Abu Hamid al-Ghazali memiliki pandangan bahwa bahagia atau kebahagiaan merujuk pada arti kata dalam bahasa arab yakni istilah sa‟adah, yang mana istilah itu berhubungan dengan dua dimensi eksistensi, didunia saat ini dan akhirat. Menurutnya kebahagiaan merupakan suatu kondisi jiwa yang tenang, damai tanpa suatu ada kekurangan apapun. Puncak kebahagiaan tersebut bisa diraih oleh seseorang ketika telah sampai pada makrifat Allah. Kebahagiaan makrifat Allah itu bisa dilukiskan dengan bahagianya mata ketika melihat sesuatu yang baik, ketika telinga mendengarkan hal-hal yang indah, begitu juga seterusnya.10

Kebahagiaan tersebut mengandung makna yang mana tidak merujuk kepada kenikmatan jasmani atau inderawi, melainkan kebahagiaan abadi diatas segala kenikmatan duniawi. Al-Ghazali pun memaparkan bahwa secara garis besar, konsep kebahagiaan bergantung pada tiga hal, yaitu kekuatan amarah, kekuatan syahwat dan kekuatan ilmu. Ketiganya harus ada pada posisi dan porsi yang seimbang. Jangan berlebihan menuruti kekuatan amarah, yang menyebabkan kita mudah terbawa pada akhir yang menyesalkan. Jangan pula berlebihan dalam menuruti kekuatan syahwat, sehingga pada akhirnya

9 Martin Seligman, Authentic Happiness, Terj. Jalaludin Rakhmat, h. 45

10 Jarman Arroisi, Bahagia dalam Perspektif al-Ghazali, Studi Agama-agama dan Pemikiran Islam, Vol. 17 No. 1, Maret 2019 h. 87.

membawa diri pada kesia-siaan. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan diantara keduanya, dan apabila ini terjadi, luruslah jalan menuju Tuhan.11

Sedangkan menurut Hamka, tidak susah untuk mencapai kebahagiaan apabila kita menempuh jalan agama, dimana apabila kita telah mencapai 3 perkara, yaitu:

1. I‟tikad

I‟tikad berasal dari bahasa Arab yang berati ikatan. Dimana apabila manusia telah beri‟tikad artinya hati manusia telah terikat oleh sesuatu kepercayaan atau pendirian. I‟tikad timbul dalam hati setelah lebih dahulu memikirkan sesuatu yang tidak jelas tujuannya, lalu barulah kemudian mendapat kesimpulan terhadap suatu pandangan yang menjadi keyakinan yang terikat dan manusia tidak meragukannya lagi. Oleh sebab itu apabila jiwa manusia telah terikat dengan iman dan takwa, ia tidak mau lari dari tanggung jawab terhadap agama, bahkan dengan tekun menyesali kesalahannya.

2. Yakin

Artinya nyata atau terang, yang mana yakin juga merupakan lawan dari segala keraguan. Jelaslah bahwa dalam hidup, manusia merasakan keraguan, dan untuk menghilangkan keraguan itu, dibutuhkan alasan yang kuat, yang artinya kita mendapat sebuah keyakinan. Perbedaan antara I‟tikad dan yakin adalah I‟tikad merupakan kesempurnaan pendapat pikiran sedangkan yakin lebih dari sekedar itu, karena yakin ada setelah

11 Munawir Haris, Kebahagiaan Menurut Para Filsuf, Tasamuh: Jurnal Studi Islam, Vol. 8, No. 2, September 2016, 243-264, h. 249.

melalui proses pengalaman. Oleh karena itu setiap keyakinan merupakan I‟tikad, sedangkan I‟tikad belum tentu sebuah keyakinan.

3. Iman

Secara etimologi iman berarti percaya, termasuk didalamnya segala bentuk amalan yang lahir dan bathin. Didalam Al-qur‟an iman adalah kunci pertama dalam meraih kebahagiaan.12

Konsep kebahagiaan juga identik dengan ajaran tasawuf. Bukan sekedar tasawuf spiritual biasa, namun berlandaskan akal, studi dan juga analisa serta aspek teoritis dan praktis. Dalam buku Tasawuf Modern yang dicetuskan oleh Buya Hamka, dimana makna bahagia adalah sesuatu yang tidak dapat terdefinisikan dan setiap orang memiliki perbedaan dalam memandang kebahagiaan itu sendiri. Sebagian orang mengatakan bahwa kebahagiaan itu letaknya ada pada harta. Akan tetapi yang berpikir demikian menurutnya ialah orang yang berputus asa dalam kemiskinannya. Dimana mereka ingin menjadi kaya namun selalu gagal dan apabila berpendapat, pendapatnya tak didengar lantaran ia miskin, karena itulah diputuskannya bahwa bahagia itu ada pada materi (uang). Kaidahnya ini berasal dari hati yang kecewa. Jika didefinisikan lebih dalam dan rinci ada suatu hal yang menyebabkan manusia sebagai makhluk yang diberikan suatu rasa agar tenang dan tentram juga kebahagiaan sebagai suatu tujuan kehidupan yang patut diraih, karena kebahagiaan ialah harapan semua orang. Dengan demikian, kebahagiaan berarti kondisi sejahtera, yang ditandai dengan keadaan relatif

12 Arrasyid, Konsep Kebahagiaan Dalam Tasawuf Modern Hamka, Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam Refleksi. Vol. 19, No. 2, Juli 2019, h.212-214.

tetap, dibarengi keadaan emosi yang secara umum gembira. Dalam perspektif ini kebahagiaan pada dasarnya adalah berkaitan dengan kondisi kejiwaan manusia.13

Untuk memperoleh kebahagiaan, manusia melakukan apapun yang memungkinkan untuk memperoleh kebahagiaan tersebut, karena kebahagiaan adalah cita-cita tertinggi manusia. Kebahagiaan tidak datang secara tiba-tiba, ia dilakukan dengan sebuah proses. Banyak manusia yang memperoleh kebahagiaan setelah sebelumnya menderita. Mereka mengubah kondisi penderitaan yang dialaminya dengan penghayatan terhadap kenyataan hidup yang tidak bermakna, sehingga mereka mampu menemukan hikmah dari adanya penderitaan. Dalam menjelaskan mengenai kebahagiaan, Hamka memberikan makna-makna kebahagiaan menurut para ahli. Pemikiran Hamka tentang kebahagiaan adalah perpaduan antara tasawuf dan filsafat, sehingga konsep tentang bahagia dengan lazim dapat dikaitkan dengan perasaan (jiwa) yang tenang dan damai.14

Adapun tujuan dari kebahagiaan menurut Hamka disamping kesenangan diri sendiri, ada pula kesenangan bersama, sebab hakikat dari kesenangan diri sendiri itu tidak ada. Tujuan kebahagiaan itu dapat tercapai apabila kebahagiaan itu juga dapat dirasakan orang lain. Karena manusia diberikan kelebihan oleh Allah dibanding makhluk lain, yg diberikan akal dan perasaan mestinya dapat memberikan manfaat kepada sesama makhluk.

13

Fuadi, “Refleksi Pemikiran Hamka Tentang Metode Mendapatkan Kebahagiaan”, Subtantia, No.1 Vol. 20,2018, h. 19. Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 45.

14

C. Kebahagiaan dalam Perspektif Psikologi Modern

Kebahagiaan bisa didefinisikan sebagai kondisi psikologis yang positif, dimana biasanya ditandai dengan tingginya kepuasan terhadap masa lalu, tingginya tingkat emosi yang positif, dan rendahnya tingkat emosi negatif. Adapula ciri-ciri orang yang bahagia, yakni dari hasil penelitian yang dilakukan Gail dan Seehy mengenai kebahagiaan terdapat sepuluh ciri atau tanda orang yang berbahagia, yaitu:

1. Hidup yang memiliki arti dan arah tujuan

Individu yang berbahagia adalah ketika dimana individu tersebut mampu menentukan apa tujuan hidupnya. Selain itu individu tersebut juga harus dapat berinteraksi dengan keadaan lingkungan sekitar, dan tidak menutup diri dari dunia luar.

2. Mampu berfikir dewasa

Individu yang berbahagia dicirikan dengan adanya kemampuan menyusun rencana yang disusun secara rinci dan penuh perhitungan. Dan disisi lain, mereka juga mampu menggunakan waktu tertentu untuk menerima kekurangan dan memanfaatkan kelebihan mereka.

3. Jarang merasa diperlakukan tidak adil dan dikecewakan

Orang yang berbahagia biasanya mampu menerima keadaan yang mereka alami dikehidupan sehari-hari, terutama hal-hal yang kurang mengenakkan. Hal ini seringkali erat berhubungan dengan kemampuan bersyukur atas apa yang telah dimiliki.

Individu yang berbahagia juga memiliki ciri dengan terpenuhinya beberapa tujuan hidup. Misal, memiliki kehidupan yang serba berkecukupan, keluarga yang harmonis dan hal-hal lain yang baik. Ini adalah puncak dari bahagianya kehidupan didunia.

5. Perduli dengan pertumbuhan dan perkembangan hidup

Individu yang berbahagia, selalu menggambarkan dirinya sebagai pribadi positif, seperti pribadi yang jujur, penuh cinta dan kasih sayang dan bertanggung jawab atas segala sesuatu. Individu yang memiliki penilaian yang positif terhadap dirinya sendiri akan lebih mampu dalam menghadapi realita di kehidupannya.

6. Memiliki perasaan mencintai dan dicintai

Jelaslah bahwa perasaan mencintai dan dicintai adalah ciri individu yang berbahagia. Mereka dapat memiliki hubungan yang baik dengan diri mereka sendiri dan orang lain. Perasaan ini biasanya menentramkan jiwa masing-masing individu. Dengan hubungan yang baik ini pula akan selalu dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Biasanya perasaan mencintai dan dicintai adalah suatu ikatan yang akan menyatukan dua individu dalam satu kehidupan.

7. Mempunyai banyak teman

Seperti halnya ciri pada nomor 6, mempunyai banyak teman juga termasuk hubungan antara individu dengan orang lain. Namun ciri ini lebih menuju kepada hanya sekedar memberikan perasaan nyaman dilingkungan sekitar individu namun tidak mengabaikan adanya hubungan timbal balik. Seperti adanya perasaan saling memberi dukungan.

8. Perasaan yang positif

Perasaan ini biasanya ditandai dengan selalu senang dan bersemangat dalam menjalani hidup. Hal ini dapat mempengaruhi keadaan lingkungan sekitar, sehingga dapat terjalin emosional dan hubungan yang intim. 9. Menerima kritik sebagai pengembangan diri

Individu yang berbahagia selanjutnya memiliki ciri yaitu mempunyai mental yang kuat dan harga diri yang cukup sehingga merasa aman ketika mendapat kritik dari orang lain. Bahkan dengan kritik yang diberikan oleh orang lain, mereka mampu menjadikan kritikan sebagai pengembangan diri dan lebih cepat bangkit dari keterpurukan.

10. Tidak memiliki ketakutan berlebihan

Ciri terakhir ini terdapat pada individu yang telah berbahagia karena tidak memiliki ketakutan yang berlebihan dimana pada umumnya dimiliki individu lain. Seperti takut akan kesendirian, takut sakit, takut berusaha

karena akhirnya gagal dan lain-lain. Hal ini juga biasanya berkaitan

dengan individu yang mampu bersyukur.15

15 Gail Sheehy, The Silent Passage “Menopause”, (London: Harper Collins, 1993), h. 63-66.

31 A. Taoisme

Awal mula munculnya Taoisme berkaitan dengan keadaan kerajaan Chou pada abad ke-6 SM yang mengalami masa kehancuran, akibat dari banyaknya penyelewengan dan kecurangan dalam pemerintahan. Kemudian berdasarkan dari sumber tertulis, bahwa Taoisme yang berkembang saat ini di Cina maupun diluar Cina tersebut berasal dari Lao Tzu. Sumber dari ajaran Tao tersebut berasal dari Lao Tzu dengan kitabnya yang cukup terkenal adalah

Tao te Ching (jalan dan kekuatan klasik).1 Namun penggagas pertama ajaran Taoisme adalah Yang Chu, yang kemudian dipopulerkan oleh Lao Tzu. Kemudian barulah menurut tradisi Cina, Lao Tzu disebutkan sebagai pendiri Taoisme.

Ajaran Lao Tzu ini ditulis dalam sebuah buku yang berjudul “Lao Tzu” dan buku itu akhirnya dikenal dengan nama “Tao Te Ching”. Buku tersebut memuat sajak-sajak pendek tentang etika, psikologi dan metafisika. Kemudian buku Lao Tzu ini dijadikan buku suci oleh para penganut Taoisme, karena memuat aturan-aturan tata kerja Taoisme. Tao te Ching ini secara sosial dimulai pada abad ke-6 SM, namun ide-ide yang terkandung di dalamnya adalah ide-ide yang sudah berkembang sebelum abad ke-6 SM yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lao Tzu. Tao te Ching juga menjelaskan teori yin dan yang, yang menyebabkan terjadinya sesuatu di

1

dunia ini termasuk juga gagasan mengenai Chi, energi kehidupan yang dapat menyebabkan semua makhluk hidup dapat bergerak atau hidup.2

Ketika kita mencoba memahami ajaran Taoisme, mau tidak mau kita harus paham apakah yang dimaksud dengan istilah Tao itu sendiri. Istilah “Tao” secara harfiah berarti “jalan”, atau satu cara bertindak. Istilah ini digunakan sebagai pengertian kefilsafatan yang mencerminkan cara berperilaku yang benar dalam bidang moral, sosial, dan politik.3 Agama Tao dalam perkembangannya membawa misi keadilan dan kemanusiaan. Karena itulah, Taoisme menempatkan ajaran kebajikan (te) sebagai pedoman dalam hidup. Selain Te dapat diartikan sebagai “kebajikan”, ia juga dapat diartikan sebagai “daya”. Akan tetapi yang harus kita pahami ialah bahwa “kebajikan” disini bukanlah lawan dari “keburukan”, melainkan kebajikan disini lebih mengacu pada makna “kesederhanaan”, “kewajaran”, “kepolosan”, “kemurnian” dan “kealamiahan” dalam hidup. Hidup yang bijak ialah yang menuruti Te-nya. Dan untuk mencapai kebajikan, seseorang harus berbuat sesuai dengan tata cara hidup Tao. Seperti yang dikatakan oleh Lao Tzu, bahwa kualitas kebajikan seseorang terdapat dalam cara hidup kesehariannya. Dengan demikian, hendaknya manusia harus menempatkan kesederhanaan sebagai prisip hidupnya. Tao sendiri oleh Lao Tzu, digambarkan sebagai “Balok yang belum terukir” (polos, lugu, sederhana). Tak ada sesuatu pun yang lebih sederhana dibanding Tao, dan Te adalah sesuatu yang paling

2

M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2010), h. 48-49.

3 H. G. Creel, Chinese Thought-From Confucius to Mao Tse-Tung, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 107.

sederhana berikutnya, oleh karena itu orang yang mengikuti jalan Tao harusnya menjalani hidup sesederhana mungkin.4

Dalam sistem Taoisme terdapat pemilahan antara yu (yang ada) dan wu (bukan yang-ada), dan antara yu ming (yang mempunyai nama, yang dapat diberi nama) dan wu ming (yang tidak mempunyai nama, yang tidak dapat diberi nama). Dua macam pemilahan ini pada kenyataannya hanyalah merupakan satu macam pemilahan, karena yu dan wu sebenarnya merupakan sekadar istilah ringkasan dari yu ming dan wu ming. Langit dan bumi beserta segala sesuatu dapat diberi nama. Demikianlah, langit bernama langit, bumi bernama bumi, dan masing-masing jenis barang sesuatu mempunyai nama sesuai dengan jenisnya. Karena ada langit, bumi, dan segala sesuatu, maka akibatnya terdapat nama langit, bumi, dan segala sesuatu; sebagaimana dikatakan oleh Lao Tzu: “Segera setelah balok terukir, maka terdapatlah nama-nama”. Akan tetapi Tao sendiri tidak dapat diberi nama; sekaligus ia merupakan sesuatu yang menyebabkan segala hal yang dapat diberi nama menjadi ada. Itulah sebabnya Lao Tzu berkata: “ Yang tak dapat diberi Nama merupakan awal pemula Langit dan Bumi; yang dapat diberi nama merupakan induk dari segala sesuatu”.5

Dengan semua penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa Tao adalah pendekatan menyesuaikan diri dengan alam. Gagasan dasar para Taoist adalah untuk membuat manusia menyadari bahwa kehidupan manusia sebenarnya hanya sebagian kecil dari proses alam yang besar, kehidupan

4 Fung Yu Lan, Sejarah Singkat Filsafat Cina, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Liberty, 1990), h. 133

5

manusia yang baik adalah kehidupan yang selaras dengan alam. Jika kita mengedepankan kerukunan antar manusia dan alam, tidak akan ada gesekan dan tidak akan ada kekerasan.

B. Biografi Chuang Tzu

Chuang Tzu merupakan salah satu tokoh terbesar Tao pada periode awal. Chuang Tzu diperkirakan lahir sekitar tahun 369 SM di sebuah tempat bernama “Meng” dekat perbatasan antara provinsi Shangtung dan Honan (sekitar Sangqiu pada saat ini, provinsi Henan) dan diperkirakan wafat sekitar tahun 286 SM. Ia merupakan tokoh yang sezaman dengan Mencius (murid Konfusius) dan Hui Shih (pendiri mazhab Nama-nama). Nama pribadinya adalah Zhou dan ia hidup pada masa pemerintahan Pangeran Wei dari Chu dan oleh karena itu sezaman dengan Mencius, seorang sarjana Konfusianisme terkenal yang dikenal sebagai “orang bijak kedua” Cina. Zhuang Tzu paling dikenal melalui buku yang menyandang namanya, “Zhuangzi”, atau dikenal juga sebagai Nanhua Zhenjing (klasik murni Nanhua).6

C. Kebahagiaan Menurut Chuang Tzu

Dalam rangka mengetahui pendapat Chuang Tzu tentang apa sebenarnya kebahagiaan sejati, perlu kita ketahui dahulu dasar pemikiran Chuang Tzu untuk membahas berbagai aspek hidup manusia. Kemudian baru kita bisa mempelajari bagaimana kebahagiaan sejati menurut Chuang Tzu. Berdasarkan perjalanan menuju kebahagiaannya, Chuang Tzu bercita-cita mencapai suatu negara yang mempunyai kebebasan mutlak, di dalamnya tidak

6 Diakses dari https://delphipages.live/id/filsafat-agama/filsuf/zhuangzi, pada tanggal 2 Juni 2021.

ada pembeda antara “saya” dan “engkau”, bahagia dan sengsara, hidup dan mati, semuanya itu dikesampingkan dan manusia menjadi satu dengan yang tidak terbatas. Menurut Chuang Tzu, berkat yang “transendental” akan membawa manusia kepada kedamaian jiwa dan memberi kesempatan kepada

Dokumen terkait