• Tidak ada hasil yang ditemukan

15 BAB II

KHITBAH DAN WALIMAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT ISLAM

Perkawinan merupakan salah satu sunantullah yang umumnya berlaku pada makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.1. Firman Allah:

51

49

Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (Az- Zariyyat 51 /49)

Namun demikian, Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti mahkluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dalam berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki. 2Allah berfirman pula:









































)

30

21

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”( Ar-Rum 30/21).

1

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa Moh. Thalib, dari buku fiqh sunnah, (bandung: PT. Al-Ma’arif), jilid 6, h. 7.

2

Islam sebagai agama yang lengkap, sempurna dan memiliki rincian yang jelas tentang tatanan kehidupan manusia dalam segala bidang termasuk masalah pernikahan, tidak membiarkan masalah pernikahan ini berjalan menurut kemauan hawa nafsu manusia. 3

Islam memberi garis tertentu yang membedakan antara pernikahan menurut Islam dan pernikahan menurut selain Islam. Garis yang ditetapkan Islam ini sejalan dengan fitrah manusia yang diridahi oleh Allah SWT. Kita dilarang keluar dari garis tertentu Islam ini. Oleh karena itu, kita tidak boleh melakukan cara pernikahan yang diproduksi oleh budaya dan tradisi non- Islam yng menyalahi ketentuan Islam.4

Untuk mengetahui petunjuk cara pernikahan yang sesuai dengan ajaran Islam, maka berikut ini akan dipaparkan tentang proses dan tata cara pelaksanaan pernikahan yang Islami dalam hal khitbah, walimah, dan biaya pernikahan.

A. Khitbah (peminangan).

Islam dan Syari’atnya yang bersifat tolerans dan benar telah memberikan pola kidah-kaidah dan dasar-dasar praktis yang harus ditaati bagi seorang peminang, yang ingin melakukan pernikahan. Kaidah-kaidah ini bila ditaati oleh seorang laki-laki atau seorang wanita dalam melakukan pernikahan, maka pernikahan akan bahagia dan kecintaan serta kasih sayang antara suami dan istri. Allah menggariskan agar masing-masing pasangan yang hendak menikah, terlebih

3

Muhammad Thalib, Tuntunan Meminang Islami, (Bandung, Irsyad Baitus Salam,1999), cet I. h-09

4

17

dahulu saling mengenal (ta’aruf) sebelum dilakukan akad nikah sehingga pelaksanaan pernikahannya nanti benar –benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.5 Bahkan semuanya akan hidup di bawah naungan pernikahan yang bahagia dan sempurna serta saling mengerti dan memahami satu sama lain.

Kata “Peminang” berasal dari kata “ pinang atau meminang” (kata kerja)6. Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa arab disebut

“khitbah”. Menurut etimologi meminang atau melamar artinya (antara lain) “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orng lain)’’. Menurut terminologi perminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita’’7

atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isterinya. Dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat, dalam pelaksanan lamaran (khitbah) biasanya masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya atau keluarganya.8 Tujuannya tidak lain untuk menghindari terjadinya kesalapahaman diantara kedua belah pihak.

Khitbah merupakan pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran

5

Abdurahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h.73.

6

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta:Akademika Pressindo, 1992), edisi pertama, h. 113.

7

Dahlan Idhamy, Azas-Azas Fiqh Munakahat, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1984), h.15.

8

masing-masing pihak, adakalanya pernyataan keinginan tersebut disampakan dengan bahasa yang jelas dan tegas (sharih) atau dapat juga dilakukan dengan sindiran (kinayah).

Adapun dasar nash al-quran tentang lamaran (khitbah):

1

235

Artinya : “Tidak dosa bagimu meminnag wanita-wanita dengan sindiran atau menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu, Allah SWT mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dari pada itu jangalah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka

perkataan ma’ruf (sindiran)…” (Qs, Al-Baqarah ; 235). Dasar nash Hadits, yaitu Hadits jabir bin Abdullah riwayat Abu Daud :

9

Artinya: “Dari ibnu Jabir r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda Apabila seseorang di antara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat melihat apa yang dapat mendorongnya semakin kuat untuk

menikahinya , maka laksanakanlah”. (HR. Abu Daud ).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa khitbah (meminang) adalah langkah awal ke arah pernikahan berupa ungkapan ataupun perkataan yang berisi permintaan seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk

9

19

menjadi istrinya10. khitbah di tinjau dari segi bahasa arab adalah lamaran atau permohonan seorang laki-laki kepada seorang wanita yang dipinang untuk dinikahinya.

Jadi hal ini hanya sebatas permohonan saja, terlepas dari diterima atau tidak oleh wanita yang dipinang atai wali wanita yang dipinang atau permohonan tersebut. Pinangan dalam pandangan syari’at Islam bukanlah suatu taransaksi (akad) antara laki-laki yang meminang dengan wanita yang dipinang atau dengan walinya, akan tetapi pinangan itu tidak lebih dari pada lamaraan atau permohonan untuk menikah.

Dengan diterimanya suatu, pinangan baik oleh wanita yang bersangkutan maupun oleh seorang walinya, tidaklah berarti telah terjadi akad nikah di antara kedua belah pihak. Akan tetapi kata terima itu hanya berarti bahwa laki-laki tersebut adalah calon untuk menjadi seorang suami bagi wanita tersebut pada masa yang akan datang.

Khitbah (meminang) pada lazimnya dilakukan oleh laki-laki terhadap wanita, tetapi tidak ada larangan wanita terhadap laki-laki.11 Sebagaimana di bolehkan pula bagi wali wanita itu untuk menawarkan pernikahannya pada laki-laki. Sama saja apakah laki-laki yang dipinang itu jejaka atau beristeri. Sejarah telah mencatat adanya seorang wanita yang menghibahkan (menyerahkan diri

10

M. Nasih Ulwan, Tata Cara Meminang Dalam Islam, alih bahasa, Ahmad Al-Wakidy, (Solo: CV. Pustaka Manthiq, 1995),cet ke-4, hal 31

11

untuk dinikahi) kepada Rasulullah SAW dan Nabi tidak mengingkari perbuatan itu.12

Melakukan khitbah pada dasarnya adalah mubah (boleh) selama tidak ada larangan syara’. Sementara bagi Mazhab Imam Malik bahwa hukum khitbah adalah sunnah13. Namun kadang ada pula pinangan itu menjadi makruh, seperti pinangan yang berlangsung pada waktu ihram haji maupun ihram umrah. Dalam sebuah hadits yang telah diriwayatkan dari aban bin Utsman r.a:

14

Artinya: “Bersabda Rasulullah SAW, bahwa Seorang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan serta tidak boleh pula melakukan pinangan” (HR. Muslim).

Senada dengan Imam Gurunya Imam al-Syafi’i juga memberi alasan yang sama yaitu sunnah melakukan khitbah tetapi makruh bagi muhrim laki-laki yang ihram atau muhrimah perempuan yang ihram dilarang melakukan aqad nikah15. Dasar laranganya itu adalah hadits Ustman bin affan berbunyi :

12

Abd Nashir Taufiq Al-Athar, Saat Anda Meminang, (Jakarta: Pustaka Azzam,2001),h.25.

13

Ahmad Sudirman Abaas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antara Mazhab,

(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), hal. 92.

14 Hafidz Dzakiyu ad-Diin Abdul Mu’aziim al-Mundziriy, Mukhtasar Shahih Muslim,

(Riyadh: Darussalam, 1996), cet. 1, h.407

15

21

16

Artinya : “Dari Ustman bin affan RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : seorang laki-laki yang sedang berihram (memakai pakaian ihram dalam berhaji dan umrah) tidak dapat (dilarang) melakukan akaq nikah, tidak dapat (dilarang) dinikahkan dan dilarang melakukan

lamaran atau dilamar.” (HR. Muslim)

Ulama yang lain berpendapat bahwa hukum pinangan itu disesuaikan dengan hukum pernikahan, sebab pinangan merupakan pintu gerbang menuju pernikahan17 . Apabila pernikahan tersebut hukumnya mubah, maka pinangan yang dilakukan juga mubah dan jika pernikahan itu hukumnya wajib maka pinangan yang dilakukan berstatus wajib. Sedangkan bila pernikahan itu hukumnya sunnah, maka pinangan hukumnya sunnah. Demikian pula jika pernikahan itu pernikahan yang diharamkan, maka pinangan yang dilakukan pun haram, dan bila pernikahan itu hukunya makruh, maka pinangan tersebut juga menjadi makruh. Tetapi pendapat ulama yang mengatakan hukum pinangan disesuaikan dengan hukum pernikahan dapat dibantah karena pinangan itu tidaklah selamanya mengikuti hukum pernikahan.

Islam membolehkan pembatalan pinangan, dengan syarat dalam melakukan pembatalan pinangan harus didasarkan dengan alasan yang rasional,

16

Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram

17

tidak boleh bila pembatalan pinangan dilakukan tanpa alasan yang tidak sesuai dan tidak dibenarkan oleh syara, karena akan mengecewakan salah satu pihak.18

1. Syarat-syarat Khitbah (peminangan) Ada dua syarat meminang, yaitu19 :

a. Syarat Muhtasinah. Yang dimaksud syarat muhtasinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Yang termasuk ke dalam syarat muhtasinah adalah:

1) Wanita yang akan dipinang itu hendaklah sejodoh (sekufu) dengan laki-laki yang meminangnya.

2) Wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan wanita yang peranak. 3) Wanita yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang akan

meminangnya.

4) Hendaklah mengetahui keadaan-keadaan jasmaninya, budi pekertinya dan sebagainya dari wanita yang akan dipinangnya dan sebaliknya, yang dipinangn sendiri harus mengetahui lelaki yang dipinangnya.20

18

Subki Djunaedi, Pedoman Mencaridan Memilih Jodoh, (bandung:CV. Sinar baru, 1992), h.118.

19

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang 1993), cet, III, h. 33.

20

23

5) Misi advokasi, jika dalam poin satu disebutkan syarat setara (sekufu) yang menitik beratkan pada kesamaan seperti starata, pendidikan, agama, dan tidak menutup kemungkinan pada masalah-masalah fisik, maka dalam misi advokasi berlaku kebalikan. Orang yang berharta dianjurkan untuk menikahai orang miskin, karena untuk membantunya. Yang berpendidikan dianjurkan untuk menikahi orang yang kurang berpendidikan dengan tujuan untuk mendidiknya. Bagi yang beragama Islam dianjurkan untuk menikahi non muslim dengan tujuan untuk mengislamkanya. Bagi yang berpangkat di anjurkan untuk menikahi dengan kaum sudera, dengan alasan untuk menghilangkan sekat-sekat strata. Inilah yang di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan menikahi para janda21.

b. Syarat Lazimah. Yang dimaksud dengan syarat lazimah adalah syarat yang harus dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Yang termasuk kedalam syarat ini adalah

1) Wanita yang akan dinikahi tidak sedang ada dalam pinangan orang lain. Namun laki-laki yang meminangnya telah melepaskan hak pinangannya, Berdasarkan hadits:

21

22

Artinya :“Dari Umar r.a. Berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW.

bersabda: Janganlah seorang laki-laki meminang pinangan saudaranya, hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau mengizinkannya (melakukan pinangan)”. (HR.

Bukhari).

Disebutkan pula dalam Hadits lain:

23

Artinya : “Dari Abdurrahmann Bin Syumasah, bahwa dia telah mendengar Uqbah bin Amir r.a. berkata dia atas mimbar, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, „Seorang mukmin tidak boleh membeli sesuatu yang masih dalam penawaran saudaranya, juga tidak boleh melamar perempuan yang telah dipinang oleh saudaranya

kecuali jika ia telah meninggalkannya atau melepasnya”. (HR.

Muslim).

Dari dua buah hadits di atas jelas menunjukan kepada adanya larangan bagi seorang laki-laki muslim untuk meminang wanita yang secara resmi telah dipinang oleh laki-laki lain. Adapun hikmah larangan meminang perempuan yang telah dipinang yang dengan jelas menerima pinangan tersebut. Karena

22ِِAbii Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar al-Fikr), juz-3, h. 251.

23

Hafidz Dzakiyu ad-Diin Abdul Mu’aziim al-Mundziriy, Mukhtasar Shahih Muslim,cet. 1, h.407.

25

perbuatan tersebut merusak hati dan memberi kemudharatan kepada peminang pertama, sedangkan merusak perasaan seseorang itu hukumnya adalah haram.

Di antara ada yang merasa perlu untuk memberi pengajaran bagi pelaku perbuatan ini dengan suatu hukuman ta’zir. Hukuman itu ditetapkan oleh sang Imam atau putusan qadhi (hakim) seperti membayar denda, hukuman dera atau mempermalukannya, hukuman ini ditetapkan karena orang tersebut telah melakukan perbuatan maksiat.

Jumhur Ulama berpendapat jika seseorang meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain dan wanita tersebut menerimanya, lalu melangsungkan akad nikah dengan peminang yang terahir, maka pernikahannya dianggap sah dan tidak boleh dibatalkan24. Karena peminangan tidak ada sangkut pautnya dengan akad nikah dan peminangan bukan termasuk salah satu rukun dan bukan pula termasuk dalam syarat sah pernikahan.

Sementara sebagian ulama berpendapat, apabila terjadi akad nikah dengan wanita yang berada dalam pinangan orang lain, maka pernikahan tersebut dibatalkan, alasannya adalah karena larangan meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain hukumnya adalah haram25

24

Abd. Nashir Taufiq Al-Athar, h. 79-81.

25

Tetapi alasan dapat dibantah, karena larangan untuk meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain, hanya sebatas pada pinangan, tidak termasuk haran untuk menikah.

Dengan demikian, larangan untuk meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain adalah larangan yang menitik beratkan pada adab-adab Islam dan tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan26.

Alasan yang membolehkan bagi seseorang untuk meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain adalah ketidak tahuan terhadap pinangan terlebih dahulu atau dia mengetahui pinangan namun tidak tahu bahwa pinangan itu diterima. Namun sebaiknya jika seseorang laki-laki ingin meminang seorang wanita terlebih dahulu menyelidiki status wanita tersebut.

Jumhur Ulama berpendapat, bahwa meminang wanita yang telah dipinang orang lain hukumnya haram berkata Al-Khatibi, bahwa larangan disini adalah adab sopan santun bukan larangan haram27. Menurut Imam Syafi’I dan Imam Hanbali, bahwa meminang itu haram jika telah diterima pinangaan yang pertama oleh pihak wanita. Tetapi apabila pinangan ditolak, maka tidaklah haram meminangnya.

Menurut Jumhur Ulama (termasuk Imam Syafi’i dan Imam Malik), bahwa meminang wanita yang dipinang oleh laki-laki yang meminang pertama itu bukan orang Islam, maka haram juga orang Islam meminangnya,

26

Abd. Nashir Taufiq Al-Athar, h. 81.

27

Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulus as-Salaam, (Surabaya: al-Ikhlas. 1995), jilid III, h. 412

27

karena menjaga pergaulan dan hubungan baik sesama warga Negara meskipun berlainan agama28.

Menurut Amir Husain dalam kitabnya as-Syifa sesungguhnya boleh meminang wanita sholehah yang dipinang oleh orang fasik29. Pendapat demikian dikutip juga dari Ibnu Qasim, sahabat Malik dan diperkuat oleh Ibnu Arabi dan pendapat itu lebih dekat kepada kebenaran, apabila wanita yang dipinang itu adalah wanita suci lagi sholehah dengan demikian orang fasik itu jelas tidak sekufu dengan wanita suci lagi sholehah itu.

2) Wanita yang tidak dalam masa iddah. Haram hukumnya meminang seorang wanita yang dalam masa talak raj’i. Apabila wanita yang dalam masa iddah

raj’i yang lebih berhak mengawininya kembali adalah bekas suaminya. Kaitannya dengan hukum haram lamaran atau pinangan, dibagi menjadi tiga30: a) Boleh dilamar atau dipinang wanita yang dicerai dan wanita belum disetubuhi, sebab wanita tersebut sama sekali tidak masuk dalam hitungan iddah menurut kesepakatan para Ulama, yang didasarkan kepada firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab (33): 49.

28

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: tp, 1995), h. 11-12.

29

Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulus as-Salaam,., h.413.

30

Ahmad Sudirman Abaas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antara Mazhab, hal. 112.













































33

49

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”.(QS. Al-Ahzab 33: 49).

b) Wanita yang tidak boleh dilamar atau dipinang baik isyarat maupun secara terang-terangan, yaitu wanita yang ditalak raj’i, karena masih dalam hukum wanita yang diperistri.

c) Wanita yang boleh dilamar atau dipinang dengan isyarat, tapi tidak boleh terang-terangan, yaitu wanita pada masa iddah karena suaminya meninggal dunia31.

d) Wanita yang dilamar atau dipinang itu tidak berada dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki lain32. Contoh dari ucapan terang-terangan dan sindiran dalam pinangan seperti, bahasa terus terang yaitu : “Bila kamu dicerai oleh suamimu saya akan mengawini kamu”, atau dengan

31

Butsainan as-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h.54-55.

32

29

bahasa sindiran seperti “Jangan khawatir dicerai suamimu, saya akan melindungimu”.

Dalam hukum Islam, ada wanita-wanita yang boleh dinikahkan dan ada pula yang tidak boleh di nikahkan. Wanita yang tidak boleh dinikahkan tentu jelas tidak boleh dipinang. Wanita yang boleh di nikahkan tentu jelas wanita tersebut boleh dipinang.

2. Etika meminang (khitbah)

Membicarakan etika peminangan tidak dapat dipisahkan dengan syaratnya. Kerena dilihat dari arti etika peminangan itu sendiri adalah tata cara atau sopan santun di dalam peminangan antara peminang dengan yang dipinang atau walinya yang dipinang, tentu merupakan rangkaian yang bersamaan dengan syaratnya. Seorang laki-laki yang akan meminang seorang wanita dianjurkan meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya itu, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Hal ini termasuk kedalam syarat mustahsinah33, yaitu:

a. Wanita yang akan dipinang tidak sedang ada dalam pinangan orang lain, ataupun dalam pinangan orang lain namun laki-laki yang meminangnya telah melepaskan hak pinangannya. Bedasarkan Hadits:

33

34

Artinya : “Dari Umar RA. Berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: janganlah seorang laki-laki meminang pinangan saudaranya, hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau

mengizinkannya (melakukan pinangan)” (HR. Bukhari).

Disebutkan pula dalam hadits lain :

35

Artinya : “Dari Abdurrahman bin Syumasah, bahwa dia telah mendengar Uqbah bin Amir RA berkata di atas mimbar, “Sesungguhnya

Rasulullah SAW bersabda, „Seorang mukmin itu saudara mukmin

yang lain. Oleh karena itu seorang mukmin tidak boleh membeli sesuatu yang masih dalam penawaran saudaranya, juga tidak boleh melamar perempuan yang telah dipinang oleh saudaranya kecuali jika ia telah meninggalkannya”. (HR. Bukhari).

Dari dua buah hadits di atas jelas menunjukan kepada adanya larangan bagi seorang laki-laki muslim untuk meminang wanita yng secara resmi telah dipinang oleh laki-laki lain. Di antaranya ada yang merasa perlu untuk memberi pengajaran bgi pelaku perbuatan ini dengan suatu hukuman ta’zir. Hukuman itu ditetapkan oleh sang imam atau putusan hakim (qadhi) seperti membayar denda, hukuman dera atau mempermalukannya, hukuman ini ditetapkan karena orang tersebut telah melakukan perbuatan maksiat.

34ِAbu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, h.251.,

35

31

Sementara sebagian ulama berpendapat, jika terjadi akad nikah dengan wanita dengan wanita yang berada dalam pinangan orang lain, maka pernikahan tersebut di batalkan, alasannya adalah karena larangan meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain adalah haram hukumnya. Tetapi alasan dapat dibantah, karena larangan untuk meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain, hanya sebatas pada pinangan, tidak termasuk haram untuk menikah.

Dengan demikian, larangan untuk meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain adalah larangan yang menitik beratkan pada adab-adab Islam dan tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan. Alasan yang membolehkan bagi seseorang untuk meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain adalah ketidak tahuan terhadap pinangan terlebih dahulu atu dia mengetahui pinangan namun tidak tahu bahwa pinangan itu diterima. Namun sebaliknya jika seorang laki-laki ingin meminang seorang wanita terlebih dahulu menyelidiki status wanita tersebut.

b. Wanita yang sedang dalam sedang masa iddah, kaitannya dengan hukum haram lamaran atau pinangan sampai habis masa iddahnya.36

c. Wanita yang dilamar atau dipinang tersebut tidak berada dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki lain37.

36

Butsainan as-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, h. 54-55.

37

d. Wanita yang berlainan Agama (musyrikah) sebagai mana firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Baqarah ; 2: 221.

















































2

221

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (QS. Al-baqarah : 221)

e. Wanita yang sedang berihram dalam ibadah haji atau umrah. Dilarang melakukan aqad nikah dan melakukan lamaran.

Dalam hukum Islam, ada wanita-wanita yang boleh dinikahkan dan ada pula yang tidak boleh dinikahkan. Wanita yang tidak boleh dinikahkan tentu jelas tidak boleh dilamar atau dipinang, wanita yang boleh dinikahkan tentu jelas boleh dipinang.

3. Tujuan meminang (khitbah)

Setiap orang yang melakukan peminangan sebelum akad pernikaha, adalah untuk merealisasikan tujuan yang sangat banyak, diantaranya adalah:38

38

33

a. Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dengan yang dipinang serta keluarga kedua belah pihak. Untuk menumbuhkan rasa kasih sayang (mawaddah) selama masa peminangan, setiap salah satu dari kedua belah pihak akan memanfaatkan momen ini secara maksimal dan penuh kehati-hatian dalam mengenal pihak yang lain, berusaha untuk menghargai dan

Dokumen terkait