• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini, dikemukakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya serta saran dari penulis.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Anatomi 2.1.1. Vesika Urinaria

Gambar 2.1 Vesika urinaria (Netter, 2011)

Vesika urinaria atau yang sering disebut kandung kemih merupakan viscera pelvis berongga yang tersusun oleh otot polos, lamina promina, submukosa dan mukosa. Kandung kemih memiliki

bentuk menyerupai buah pir (kendi) dan dilapisi oleh lapisan mukosa sel epitel transional, muskulus yang tebal (detrusor muscle), jaringan fibrous (kecuali pada bagian superior dibentuk oleh peritoneum parietal).

Kandung kemih terletak di dalam panggul besar, sekitar bagian posterosuperior dari simphysis pubis. Pada laki-laki terletak dibagian anterior dari rectum sedangkan pada wanita terletak disebelah anterior vagina dan uterus. Kandung kemih memiliki tiga bentuk membuka pada daerah triangular yang disebut sebagai trigone.

Pada saat kosong, vesika urinaria akan terlihat kolaps dan akan tampak rugae-rugae (kerutan). Apabila terisi penuh kandung kemih akan menegang atau membesar dan rugae akan menghilang. Bentuk, ukuran dan posisi vesika urinaria bervariasi tergantung dari jumlah urine yang terdapat di dalamnya. Secara umum volume kandung kemih berkisar antara 350 – 500 ml. Kandung kemih berfungsi sebagai tempat penampungan sementara (reservoa) urine.

Gambar 2.2 Prostat (Netter, 2011)

Ukuran prostat kecil dan letaknya ke arah posterior dan inferior dari simphysis pubis. Selain bentuknya yang kecil, kelenjar prostat juga menyerupai kerucut dengan bagian dorsalnya berhimpit dengan kandung kemih serta bagian apeksnya berhubung dengan bagian bawah pelvis. Ukuran bagian transversalnya ialah sekitar 1,5 inchi (3,75 cm) serta bagian anteroposterior sepanjang 1 inchi (2,5 cm). Prostat hanya ditemukan pada laki-laki dan berfungsi untuk motalitas semen selama reproduksi.

Gambar 2.3 Urethra (Netter, 2011)

Urethra merupakan saluran sempit yang terdiri dari mukosa membrane dengan muskulus yang berbentuk spinkter pada bagian bawah dari kandung kemih. Pada vesikourethra junction terdapat penebalan dari muskulus detrusor yang disebut internal urethral sphincter (involuntary). Sedangkan eksternal urethral sphincter (voluntary) dibentuk oleh muskulus skeletal yang mengelilingi urethra melalui diafragma urogenital. Dindingnya terdiri dari tiga lapisan yaitu: epitel transional, columnair pseudostratified dan squamous stratified. Letak urethra di atas dari orivisium internal urethra pada kandung kemih dan terbentang sepanjang 1,5 inchi ( 3,75 cm) pada wanita dan 7-8 inchi (18,75 cm) pada pria.

Urethra pria dibagi atas :

1. Urethra Posterior, dibagi menjadi:

a. Pars prostatika : dengan panjang sekitar 2,5 cm, berjalan melalui kelenjar prostate.

b. Pars membranacea : dengan panjang sekitar 2 cm, berjalan melalui diafragma urogenital antara prostate dan penis

2. Urethra Anterior, dibagi menjadi:

a. Pars bulbaris : terletak di proksimal,merupakan bagian urethra yang melewati bulbus penis.

b. Pars pendulum /cavernosa/spongiosa: dengan panjang sekitar 15 cm, berjalan melalui penis (berfungsi juga sebagai transport semen).

c. Pars glandis: bagian urethra di gland penis. Urethra ini sanga pendek dan epitelnya sangat berupa squamosa ( squamous compleks noncornificatum)

Urethra berfungsi untuk transport urine dari kandung kemih ke meatus eksterna, urethra merupakan sebuah saluran yang berjalan dari leher kandung kemih hingga lubang air. (Pearce, 1999).

2.2. Patologi Striktur Urethra

Striktur urethra adalah penyempitan lumen urethra akibat adanya jaringan parut dan kontraksi (C. Smeltzer, Suzanne; 2002 hal 1468). Adanya jaringan parut dan kontraksi ini yang menyebabkan penderita mengalami kesulitan saat berkemih atau bahkan tidak bisa berkemih.

Striktur urethra dapat terjadi karena :

1. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep urethra posterior

2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia

3. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai urethra pars membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai urethra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan urethra pada bingkai sepeda pria; trauma langsung pada penis; instrumentasi transurethra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah.

4. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur urethra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi. 5. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur

urethra, seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi urethra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.

Gambar 2.4 Derajat Penyempitan Urethra (Purnomo, 2003) Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur urethra dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu derajat:

1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen urethra. 2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen urethra 3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen urethra

Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

2.3. Bipolar Urethrocystography 2.3.1. Pengertian

Pemeriksaan radiologi untuk melihat fungsi dari urethra dan vesica urinaria yang mengalami gangguan berupa penyempitan dan sumbatan sehingga menimbulkan gangguan pada urethra dan vesica urinaria. Dikatakan Bipolar Urethrocystografi karena teknik pemasukan kontras media melalui dua saluran, yaitu saluran urethra dan kandung kemih yang dilakukan secara cystotomi. Cystotomi adalah pembentukan lubang kedalam kandung kemih dengan cara membuat lubang pada kulit supra pubis melalui pembedahan. Pembuatan lubang ini dilakukan

dengan tujuan untuk memasang cystofix sehingga pasien dapat melakukan miksi.

Cystofix adalah suatu kateter sementara yang dipasang pada daerah supra pubis dan berguna untuk mengalirkan urin dari kandung kemih. Teknik pemasukan bahan kontras secara bipolar (antegrade dan retrograde) dilakukan karena adanya kelainan atau gangguan yang menghalangi urine dari kandung kemih menuju urethra, sehingga jika kontras media hanya dimasukkan melalui urethra kemungkinan besar kontras media tidak akan sampai masuk ke kandung kemih.

2.3.2. Indikasi

1. Striktur urethra

Striktur urethra adalah penyempitan lumen urethra akibat adanya jaringan parut yang dialami dinding urethra dan terjadinya kontraksi.

2. Retensi urine

Kesulitan dalam berkemih. 3. Kelainan congenital

Kelainan bawaan dari lahir, hal ini jarang terjadi. 4. Fistule

Saluran abnormal yang terbentuk antara dua buah organ yang seharusnya tidak berhubung.

Lesi padat yang terbentuk akibat pertumbuhan sel yang tidak normal.

2.3.3. Kontra Indikasi 1. Cystitis akut

Peradangan akut pada kandung kemih yang biasanaya disebabkan oleh infeksi bakteri.

2. Alergi terhadap media kontras 3. Urethritis akut

Peradangan akut pada saluran kemih.

2.3.4. Persiapan Alat dan Bahan 1. Pesawat sinar x

2. Kaset dan film ukuran 24 x 30 cm beserta marker 3. Media kontras urografin

4. Gliserin 5. Kateter 6. Spuit 7. Kassa steril

8. Bengkok atau mangkuk steril 9. Kapas alcohol

10. Plester 11. Baju pasien

12. Handscoon 2.3.5. Persiapan Pasien

1. Penjelasan tindakan yang akan dilaksanakan dan penandatanganan inform consent

2. Tidak ada persiapan khusus

3. Vesica urinaria dikosongkan semaksimal mungkin 2.3.6. Pemasukkan Media Kontras

1. Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan 2. Daerah orificium urethra diolesi dengan gliserin

3. Masukkan media kontras melalui kateter sebanyak 12 cc untuk urethrography

4. Lakukan pemotretan dengan beberapa proyeksi

5. Masukkan media kontras sebanyak 150 – 500 cc melalui kateter cystotomi untuk cystography

6. Lakukan pemotretan dengan beberapa proyeksi 2.4. Teknik Radiografi Bipolar Urethrocystography

2.4.1. Plain Foto

Dilakukan dengan foto pelvis tampak urethra dengan proyeksi AP. Tujuan plain foto :

- Ketepatan positioning

- Koreksi faktor eksposi

- Melihat kemungkinan adanya patologi lain pada urethra 1. Posisi pasien

Gambar 2.5 Posisi pasien plain foto posisi AP (Bontrager, 2014) 2. Posisi objek

a. MSP tubuh di tengah meja pemeriksaan b. Kedua tangan diletakkan di samping tubuh

c. Daerah pelvis dan urethra ditempatkan persis di pertengahan meja pemeriksaan serta kedua kaki direnggangkan

d. Batas bawah : tampak urethra 3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertikal tegak lurus kaset b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm diatas symphysis pubis c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy dengan ukuran 24 x 30 cm

e. Eksposi : ekspirasi tahan napas

4. Kriteria radiograf

2.4.2. Proyeksi AP 1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan

Gambar 2.6 Posisi pasien proyeksi AP (Merrill’s, 2010) 2. Posisi objek

a. MSP tubuh di tengah meja pemeriksaan b. Kedua tangan diletakkan di samping tubuh

c. Daerah pelvis dan urethra ditempatkan persis di pertengahan meja pemeriksaan serta kedua kaki direnggangkan

d. Batas bawah : tampak urethra 3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : 10o – 15o caudad

b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm diatas symphysis pubis c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy dengan ukuran 24 x 30 cm

Gambar 2.7 Hasil radiograf posisi AP (Merrill’s, 2010) 4. Kriteria radiograf

Tampak gambaran tulang pelvis (ilium, ischium, sacrum dan symphisis pubis). Tampak rongga pelvis, tampak kandung kemih dan urethra yang terisi media kontras dengan kandung kemih tidak superposisi dengan symphisis pubis.

2.4.3. Proyeksi Oblik (RPO) 1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan dan daerah panggul dimiringkan 35 – 40o.

2. Posisi objek

a. Daerah panggul diatur miring kira-kira 35 – 40o ke kanan dengan kaki kiri ditekuk sebagai tumpuan namun tidak menutupi gambaran.

b. Daerah pelvis dan urethra ditempatkan persis di pertengahan meja pemeriksaan.

3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertical tegak lurus kaset b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm di atas symphysis

pubis dan 5 cm ke arah medial dari SIAS c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy dengan ukuran 24 x 30 cm

e. Eksposi : ekspirasi tahan napas

Gambar 2.9 Hasil radiograf proyeksi RPO (Merrill’s, 2010) 4. Kriteria radiograf

Tampak kontras mengisi urethra (Pars cavernosa, Pars membranecea, pars prostatica).

1. Posisi pasien

Pasien tidur miring di salah satu sisi

Gambar 2.10 Posisi pasien lateral kiri (Optional) (Bontrager, 2014) 2. Posisi objek

a. Kedua lutut ditekuk sebagai fiksasi dan kedua lutut diberi bantalan

b. Daerah pelvis berada tepat pada pertengahan meja pemeriksaan 3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertikal tegak lurus kaset

b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm diatas menuju ke belakang symphysis pubis

c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Ukuran film dan kaset khusus fluoroscopy ukuran 24 x 30 cm e. Eksposi : ekspirasi tahan napas

Gambar 2.11 Hasil radiograf proyeksi lateral (Merrill’s, 2010) 4. Kriteria radiograf

a. Hip joint dan femur superposisi

b. Tampak vesica urinaria terisi dengan kontras 2.5. Proteksi Radiasi

2.5.1. Proteksi bagi pasien

1. Pemeriksaan dengan sinar-x hanya dilakukan atas permintaan dokter

2. Mengatur luas lapangan pemeriksaan sesuai dengan kebutuhan 3. Waktu penyinaran sesingkat mungkin

2.5.2. Proteksi bagi petugas

1. Tidak menggunakan berkas sinar–x yang mengarah ke petugas 2. Berlindung dibalik tabir saat melakukan eksposi

3. Menggunakan alat monitoring radiasi secara continue selama bertugas

1. Pintu pemeriksaan tertutup rapat

2. Tidak mengarahkan sinar sumber sinar – x keruangan umum 3. Bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk ke ruang

pemeriksaan

BAB III

PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. Y

Jenis Kelamin : Laki – laki Tanggal Lahir : 13 Juli 1969

Alamat : Cirebon

No. RM : 9179**

Dokter Pengirim : dr. Tommy Yuwono Santoso, Sp.U Tanggal Pemeriksaan : 09 Mei 2016

Permintaan Pemeriksaan : Urethrocystography Keterangan Klinik : Striktur Urethra 3.2. Riwayat Pasien

Pada hari sabtu tanggal 7 Mei 2016 pasien mendatangi RSUD Gunung Jati Kota Cirebon untuk memeriksakan kelainan yang dialaminya. Pasien tidak bisa buang air kecil dan merasakan sakit pada alat kelaminnya saat ingin buang air kecil. Oleh dokter, pasien dipasang kateter melalui urethra sebagai pengganti saluran kencingnya. Namun, pemasangan kateter mengalami kegagalan sehingga dibuatlah kateter sementara kedalam vesica urinaria dengan proses cystotomi. Untuk melihat kelainan yang dialami pasien, maka dokter urologi meminta untuk dilakukan pemeriksaan bipolar urethrocystography.

3.3. Prosedur Pemeriksaan

3.3.1. Persiapan Alat dan Bahan

1. Pesawat Sinar-X yang dilengkapi dengan fluoroscopy

Merk : Hitachi Tipe : PM-155VC II (U51) No. Seri : KC12747407 kV max : 150 kV mA max : 630 mA Manufactured : May 2004

3. Aquabides

4. Media kontras Iopamiro 300 mg/ml 5. Gliserin

6. Handscoon 7. Kateter

8. Mangkok dan Bengkok 9. Plester 10. Gunting klem 11. Spuit 12. Kassa steril 13. Kapas alkohol 14. Baju pasien 15. Automatic processing 3.3.2. Persiapan Pasien

1. Keluarga pasien dan pasien diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan atau jalannya pemeriksaan dan penandatanganan inform consent

2. Tidak ada persiapan khusus

3. Pasien telah dipasang kateter cystotomi oleh dokter pengirim

3.3.3. Teknik Pemeriksaan

1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan 2. Posisi objek

a. MSP tubuh di tengah meja pemeriksaan b. Kedua tangan diletakkan di samping tubuh

c. Daerah pelvis dan urethra ditempatkan persis di pertengahan meja pemeriksaan serta kedua kaki direnggangkan

d. Batas bawah : tampak urethra

3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertikal tegak lurus b. Titik bidik/central pint (CP) : symphysis pubis c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy dengan ukuran 24 x 30 cm

Gambar 3.1 Hasil radiograf plain foto Sdr.Y 4. Kriteria radiograf

Tampak gambaran tulang pelvis, kandung kemih dan urethra.

3.3.3.2. Urethrography Proyeksi AP 1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan 2. Posisi objek

a. MSP tubuh di tengah meja pemeriksaan b. Kedua tangan diletakkan di samping tubuh

c. Daerah pelvis dan urethra ditempatkan di pertengahan meja pemeriksaan serta kedua kaki direnggangkan

d. Pasien diinstruksikan untuk menarik saluran urethra e. Batas bawah : tampak urethra

3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertikal tegak lurus kaset

b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm inferior symphysis pubis

c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy dengan ukuran 24 x 30 cm

Gambar 3.2 Hasil radiograf Urethrography Sdr.Y posisi AP 4. Kriteria radiograf

Tampak gambaran tulang pubis dan urethra. Tampak urethra yang terisi media kontras.

3.3.3.3. Urethrography Proyeksi RPO (Right Posterior Oblique)

1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan dan daerah panggul dimiringkan 35 – 40o.

2. Posisi objek

a. Daerah panggul diatur miring kira-kira 35 – 40o ke kanan dengan kaki kiri ditekuk sebagai tumpuan namun tidak menutupi gambaran.

b. Pasien diinstruksikan untuk menarik saluran urethra 3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertikal tegak lurus b. Titik bidik/central pint (CP) : ditujukan ke

pertengahan urethra

c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

Gambar 3.3 Hasil radiograf Urethrography Sdr.Y posisi RPO 4. Kriteria radiograf

a. Tampak gambaran tulang pubis dalam posisi oblik. b. Tampak gambaran urethra yang terisi media kontras. c. Tampak terjadinya penyempitan pada urethra

3.3.3.4. Cystography Proyeksi AP 1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan 2. Posisi objek

a. MSP tubuh di tengah meja pemeriksaan b. Kedua tangan diletakkan di samping tubuh

c. Daerah pelvis ditempatkan di pertengahan meja pemeriksaan

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertikal tegak lurus kaset

b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm superior symphysis pubis

c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy dengan ukuran 24 x 30 cm

Gambar 3.4 Hasil radiograf Cystography Sdr.Y posisi AP 4. Kriteria radiograf

Tampak gambaran tulang pelvis. Tampak kandung kemih yang terisi media kontras.

3.3.3.5. Cystography Proyeksi RPO (Right Posterior Oblique) 1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan dan daerah panggul dimiringkan 35 – 40o.

2. Posisi objek

Daerah panggul diatur miring kira-kira 35 – 40o ke kanan dengan kaki kiri ditekuk sebagai tumpuan namun tidak menutupi gambaran.

3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertikal tegak lurus b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm di atas

symphysis pubis dan 5 cm ke arah medial dari SIAS c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy ukuran 24 x 30 cm

Gambar 3.5 Hasil radiograf Cystography Sdr.Y posisi RPO 4. Kriteria radiograf

a. Tampak gambaran pelvis dalam posisi oblik.

b. Tampak gambaran kandung kemih yang terisi media kontras.

3.4 Hasil Pembacaan Radiograf X-Foto polos pelvis :

Tak tampak opasitas patologis pada kavum pelvis// Tak tampak deformitas sacrococcygeal.

Bipolar urethrography :

 Kontras dimasukkan melalui kateter cystotomy mengisi optimal VU, dinding irregular bentuk pine tree, additional shadow (-).

 Kemudian kontras water soluble dimasukkan secara retrograde melalui orificium urethra eksternum, mengisi urethra pars penile, pars bulbosa, pars membranasea, prostatica dan dapat mencapai vesica urinaria.

 Permukaan urethra anterior regular, filling defect (-), intravasasi kontras (-), additional shadow (-).

 Tampak penyempitan abrupt pada urethra posterior pars bulbosa. KESAN :

Severe cystitis

Suspect striktur urethra pars bulbosa

Striktur urethra adalah penyempitan lumen urethra akibat adanya jaringan parut dan kontraksi. Adanya jaringan parut dan kontraksi ini yang menyebabkan penderita mengalami kesulitan saat berkemih atau bahkan tidak bisa berkemih.

Penyempitan urethra pada kasus Sdr.Y menyebabkan pasien harus dipasangi kateter pada saluran urethranya sebagai saluran berkemih. Namun pemasangan kateter melalui urethra pada Sdr.Y mengalami kegagalan sehingga dilakukan pemasangan kateter cystotomi melalui vesica urinarianya. Untuk menilai penyempitan lumen tersebut maka dilakukan pemeriksaan radiologi yakni bipolar urethrocystography. Pemeriksaan ini menggunakan jenis pesawat fluoroscopy. Digunakannya jenis pesawat fluoroscopy yakni agar dapat mengamati gambaran struktur organ dan gerakan organ secara dinamik (real time imaging).

Media kontras yang digunakan pada pemeriksaan bipolar urethrocystography di Instalasi Radiologi RSUD Gunung Jati Kota Cirebon adalah Iopamiro dengan konsentrasi 300 mg/ml. Pada teori dikatakan bahwa media kontras yang digunakan yaitu 150 – 500 cc untuk kontras yang dimasukkan ke dalam vesica urinaria. Di Instalasi Radiologi RSUD Gunung Jati Kota Cirebon untuk vesica urinaria menggunakan 150 cc kontras dengan perbandingan sekitar 1:3 dan untuk urethra menggunakan 20-25 cc.

Pemeriksaan pertama yang dilakukan adalah urethrography untuk melihat adanya kelainan atau gangguan yang menghalangi urine dari kandung kemih menuju urethra, sehingga jika kontras media hanya dimasukkan

melalui urethra kemungkinan besar kontras media tidak akan sampai masuk ke kandung kemih. Sehingga setelah pemeriksaan urethrography dilanjutkan dengan pemeriksaan cystography untuk melihat bagaimana kontras media mengisi vesica urinaria.

Pemeriksaan bipolar urethrocystography terhadap Sdr.Y di Instalasi Radiologi RSUD Gunung Jati Kota Cirebon menggunakan dua arah pemasukkan media kontras yaitu untuk urethrography pemasukkannya secara retrograde melalui orificium urethra eksternum dan untuk cystography pemasukkannya secara antegrade melalui kateter cystotomi.

Pada pemasukkan media kontras secara retrograde pada urethrography, pasien diinstruksikan untuk menarik urethra agar utrethra yang memiliki struktur melengkung menjadi lurus sehingga dapat dinilai penyempitannya. Instruksi ini dilakukan pada saat proyeksi AP dan RPO. Proyeksi AP dilakukan untuk melihat dimana letak penyempintannya. Proyeksi RPO dilakukan agar urethra tidak superposisi dengan softissue yang ada di sekitarnya.

Proyeksi lateral tidak digunakan pada pemeriksaan bipolar urethrocystography di Instalasi Radiologi RSUD Gunung Jati Kota Cirebon dikarenkan proyeksi AP dan RPO sudah mampu untuk melihat kelainan yang dialami pasien.

Secara keseluruhan, pemeriksaan bipolar uretocystography Sdr.Y sudah dapat menunjukkan penyempitan urethra pada pars bulbosa yang menyebabkan gagalnya pemasangan kateter sehingga dipasangkan kateter

cystotomi. Dari pemeriksaan ini, dokter urologi dapat mengetahui panjang penyempitan dan lokasi penyempitan sehingga mampu untuk mengambil keputusan bagaimana tindakan selanjutnya.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Pemeriksaan bipolar urethrocystography tidak memerlukan persiapan pasien secara khusus, hanya mengosongkan vesika urinaria.

Radiologi RSUD Gunung Jati Kota Cirebon menggunakan dua arah pemasukkan media kontras yaitu untuk urethrography pemasukkannya secara retrograde melalui orificium urethra eksternum dan untuk cystography pemasukkannya secara antegrade melalui kateter cystotomi. 3. Pemeriksaan bipolar uretrocystography di RSUD Gunung Jati Kota

Cirebon menggunakan pesawat fluoroscopy.

4. Pemeriksaan bipolar uretrocystografi pada pasien Sdr.Y dengan kasus striktur urethra mempunyai peranan yang penting yaitu dapat menunjukkan lokasi striktur, panjang striktur dan total striktur sehingga mampu memberikan informasi diagnostik bagi dokter urologi untuk melakukan penanganan selanjutnya terhadap kasus ini.

4.2. Saran

1. Radiografer perlu memberikan penjelasan secara jelas pada pasien agar pasien mengerti dan dapat bekerja sama saat dilakukannya pemeriksaan. 2. Memposisikan objek tepat pada daerah lapangan penyinaran sehingga

dapat meminimalisasi waktu pemeriksaan dan mmengurangi dosis radiasi yang diterima pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Ballinger, P. W. 2003. Merrill’s Atlas of Radiographic Positioning and Procedures, Volume Two, Tenth Edition. St. Louis : CV Mosby Company Bontrager, Kenneth L. 2014. Textbook of Radiographic Positioning and Related

Anatomy, Eighth Edition. St. Louis : Mosby Elsevier

Netter, Frank H. 2011. Atlas of Human Anatomy, Fifth Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier

Pearce, Evelyn C. 1999. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar Dasar Urologi, Edisi Dua. Jakarta : Sagung Seto.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC Smeltzer, Suzane. 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC

Dalam dokumen LAPORAN KASUS PKL 2 TEKNIK PEMERIKSAAN (Halaman 10-42)

Dokumen terkait