• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa WTO dan GATT

Perjanjian GATT adalah suatu dokumen yuridis. Dalam dokumen ini tercantum hak maupun kewjaiban negara pesrta perjanjian. Adanya serangkaian hak dan kewajiban yang secara eksplisit dicantumkan tentunya sering menimbulkan sengketa. Sebagai lembaga, maka GATT telah menerapkan tatacara dan prosedur untuk menangani sengketa yang timbul antara negara peserta.

Dalam konteks hukum internasional secara umum, masyarakat internasional memberikan peluang untuk melakukan penyelesaian sengketa antara negara-negara melalui berbagai cara. Sengketa antar negara-negara dapat diatasi melalui:

1. Proses dimana pihak yang bersengketa menerima penyelesaian sengketa yang dirumuskan dan diputuskan oleh pihak ketiga;

2. Proses dimana pihak yang bersengketa dianjurkan supaya berembuk dan berusaha untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka sendiri.20 Pasal XXIII menentukan kapan suatu negara peserta dapat menggunakan prosedur penyelesaian sengketa GATT dan WTO guna melindungi

20

H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang

kepentingannya. Prosedur ini baru dimungkinkan apabila suatu negara peserta beranggapan bahwa keuntungan yang diperolehnya baik secara langsung maupun tidak langsung dari perjanjian ini hilang atau terganggu, atau pencapaian salah satu tujuan dari perjanjian ini terganggu sebagai akibat:

1. Kegagalan Negara peserta lain untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya menurut perjanjian ini atau

2. Penerapan suatu tindakan oleh suatu negara-negara peserta lain apakah itu bertentangan atau tidak dengan ketentuan perjanjian ini atau

3. Adanya situasi-situasi lain.

Jika salah satu keadaan tersebut di atas terjadi, pihak yang merasa dirugikan dapat menghubungi pihak lain yang dianggap terlibat untuk mengadakan penyelesaian memuaskan. Pihak yang dihubungi harus memberi pertimbangan simpatik terhadap permintaan pihak lain tersebut.

Berikut ini adalah tahapan-tahapan dalam penyelesaian sengketa dagang di dalam WTO/GATT: 21

1. Konsultasi

Pasal III dari WTO Agrreement menyatakan salah satu fungsi utamanya adalah pelaksanaan dari The Understanding on Rules

Procedures Governing the Settlement of Disputes. Suatu dokumen yang

telah disetjui dalam Uruguay Round adalah The Dispute Settlement

Understanding (DSU) yang merupakan the first fully integrated text of GATT dispute settlement procedures.22

Konsultasi merupakan upaya yang dilakukan oleh para pihak yang sebelum perkara tersebut diproses oleh majelis hakim (panels) di WTO/GATT. Jadi, sebenarnya yang dimaksudkan tidak lebih dari sekedar suatu upaya penyelesaian sengketa secara musyawarah di antara para pihak untuk mencapai suatu solusi yang memuaskan kedua belah pihak (win-win solution).23

Tujuan dari mekanisme penyelesaian sengketa dagang di WTO adalah menguatkan solusi yang positif terhadap sengketa. Tahap pertama adalah konsultasi antara pihak-pihak yang bersengketa. setiap anggota harus menjawab secara tepat dalam waktu sepuluh hari untuk meminta diadakan konsultasi dan memasuki periode konsultasi selama tiga puluh hari setelah waktu permohonan.

Untuk memastikan kejelasannya, setiap permohonan untuk konsultasi harus diberitahukan kepada DSB secara tertulis, kemudian disebutkan alasan-alasan permohonan konsultasi termasuk dasar-dasar hukum untuk pengaduan.

Bila konsultasi gagal dan kedua belah pihak setuju, masalah untuk dapat diajukanke Direktur Jenderal WTO yang akan siap menawarkan

22

Astim Ryanto, World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia), Yapemdo,Bandung. 2003. hlm.58

23

Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek hukum dari WTO), (PT. CitraAditya Bakti: Bandung, 2004), hlm.115

diadakan good offices, konsiliasi, atau mediasi dalam menyelesaikan sengketa.

2. Pembentukan Panel

Dengan dibentuknya sistem panel maka apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan melalui konsultasi dan konsiliasi bilateral, jalan keluar yang tersedia adalah didirikannya suatu panel. Sejak dibentuknya sistem panel, banyak masalah GATT yang telah diselesaikan melalui panel. Pada masa mendatang, dalam WTO, jumlah panel akan lebih banyak lagi dan masalah yang akan ditangani juga semakin lebih luas sehingga memerlukan jaringan panel yang lebih luas.24

Jika suatu anggota tidak memberikan jawaban untuk meminta diadakan konsultasi dalam waktu sepuluh hari atau jika konsultasi gagal untuk diselesaikan dalam waktu enam puluh hari, prinsip dapat meminta ke DSB untuk membentuk suatu panel untuk menyelesaikan masalah pembentukan panel. Prosedur ini menuntut DSB untuk segera membentuk panel, selambat-lambatnya pada siding kedua dari permintaan panel. Jika tidak, maka diputuskan secara konsensus. Hal ini dimaksudkan adalah negara yang digugat tidak boleh menghalangi pembentukan panel. Dalam hal ini penentuan term of reference dan komposisi panel juga diajukan. Panel harus segera disusun dalam waktu tiga puluh hari pembentukan.

Sekretariat WTO akan menyarankan tiga orang panelis yang potensial pihak-pihak sengketa. Jika pihak-pihak tersebut tidak setuju terhadap

panelis dalam waktu dua puluh hari dari pembentukan panel, direktur jenderal melakukan konsultasi kepada kedua DSB dan ketua dewan akan menunjuk panelis. Para panelis akan melayani sesuai dengan kapasitasnya dan tidak berpegang pada instruksi-instruksi dari negara yang bersangkutan.

3. Prosedur-prosedur Panel

Pengertian ini menunjukkan bahwa periode dimana panel melaksanakan pengujian masalah, selanjutnya term of reference dan komposisi panel disetujui, kemudian panel memberikan laporan kepada para pihak yang bersengketa tidak boleh lebih dari enam bulan. Dalam hal-hal yang penting, termasuk untuk barang-barang yang mudah rusak, aktu dapat dipercepat menjadi tiga bulan. Apabila tidak ada masalah, waktu pembentukan ke sirkulasi laporan kepada anggota tidak boleh lebih dari sembilan bulan.

4. Penerimaan Laporan Panel ke DSB

Prosedur WTO menunjukkan bahwa laporan panel harus diterima oleh DSB dalam waktu enam puluh hari dari pengeluaran. Jika tidak, satu pihak memberitahukan keputusannya untuk menarik atau consensus terhadap pengesahan laporan. DSB tidak dapat mempertimbangkan laporan panel lebih cepat dari dua puluh hari setelah laporan tersebut disirkulasikan kepada para anggota.

Para anggota yang merasa keberatan atas laporan itu diwajibkan untuk alasan-alasan secara tertulis untuk disirkulasikan sebelum diadakan pertemuan DSB dimana laporan panel akan dipertimbangkan.

5. Peninjauan Kembali

Suatu gambaran baru dari mekanisme penyelesaian sengketa di WTO memberikan kemungkinan penarikan terhadap salah satu pihak dalam suatu berlangsungnya panel. Semua permohonan akan didengar oleh suatu badan peninjau (Appellate Body) yang dibentuk oleh DSB. Badan ini terdiri dari tujuh orang yang merupakan perwakilan dari keanggotaan WTO yang akan melayani dalam termin empat tahun. Mereka harus merupakan orang yang ahli di bidang hukum dan perdagangan internasional, dan tidak berafiliasi dengan Negara manapun.

Tiga orang anggota Appellate Body mendengarkan permohonan-permohonan mereka dapat membela, mengubah, atau membatalkan hasil kesimpulan panel sesuai aturan, namun pengajuan permohonan tidak lebih dari 60-90 hari. Tiga puluh hari sesudah pengeluaran, laporan dari

Appelate Body harus diterima oleh DSB dan tanpa syarat diterima oleh

pihak-pihak yang bersengketa jika tidak, konsensus akan diberlakukan terhadap pengesahan ini.

Segera setelah laporan panel atau laporan appellate body diadopsi, pihak yang tersangkut sengketa harus menotifikasikan niatnya mengenai implementasi dari rekomendasi yang telah diadopsi. Apabila ada kesulitan

untuk melaksanakan apa yang direkomendasikan, maka pihak yang bersangkutan diberi waktu yang dianggap wajar.

Penentuan mengenai batas waktu yang dianggap wajar dapat ditempuh melalui persetujuan antara pihak yang bersengketa dan direstui oleh DSB, dalam 45 hari setelah adopsi DSB, atau ditentukan melalui arbitrase, dalam waktu 90 hari setelah adopsi DSB. Dalam implementasi, DSB harus senantiasa melakukan hingga masalahnya selesai.

Mengenai kompensasi dalam retalisasi, perjanjian baru ini menentukan bahwa dalam kurun waktu yang ditentukan, pihak yang bersengketa dapat mencapai kesepakatan tentang kompensasi yang diberikan. Jika hal ini belum berhasil disetujui, pihak yang bersengketa dapat meminta kepada otorisasi dari DSB untuk membatalkan konsepsi yang pernah diberikan kepada mitra yang melanggar.

DSB memberikan otorisasi untuk membatalkan konsesi kepada pihak yang bersalah dalam 30 hari setelah hangus waktu implementasi yang disepakati. Apabila ada sengketa mengenai tingkah pembatalan konsesi yang akan diambil, hal itu dapat diserahkan pada arbitrase.25

6. Implementasi

Kebijaksanaan menekankan bahwa peraturan dari DSB sangat penting agar mencapai resolusi yang efektif dari persengketaan-persengketaan yang bermanfaat untuk sema anggota. Pada pertemuan DSB berlangsung dalam waktu tiga puluh hari dari adopsi panel, pihka bersangkutan harus

menyatakan niat untuk menghargai implementasi dari rekomendasi-rekomendasi. Bila hal itu tidak berguna untuk segera menyetujui, anggota akan diberikan suatu periode waktu yang beralasan yang ditentukan oleh

Dispute Settlement Body (DSB).

Bila hal itu gagal dalam waktu yang telah ditentukan itu, diwajibkan untuk mengadakan negosiasi dengan penggugat untuk menentukan kompensasi yang diterima kedua belah pihak yang bersengketa. jika dalam waktu dua puluh hari tidak ada kompensasi yang memuaskan yang dapat disetujui, penggugat dapat memohon otorisasi dari DSB untuk menangguhkan konsensi-konsesi atau obligasi-obligasi terhadap pihak tergugat. Prosedur menentukan bahwa DSB menjamin otorisasi ini dalam waktu tiga puluh hari dari batas waktu “reasonable periode of time”. Jika konsensus akan diberlakukan. Jika anggota yang bersangkutan menolak/berkeberatan terhadap tingkat suspensi, hal tersebut diteruskan pada arbitrase.

Hal ini akan diselesaikan oleh anggota-anggota panel asli. Bila hal ini tidak mungkin dilakukan oleh arbitrator yang ditunjuk oleh Jenderal WTO. Arbitrase harus selesai dalam waktu enam puluh hari dari batas waktu, dan hasi keputusan harus diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan sebagai final, dan tidak diteruskan kepada arbitrase lainnya. DSB selanjutnya memberikan kuasa suspensi dari konsesi-konsesi secara konsisten dari hasil penyelesaian arbitrator. Jika tidak, maka diadakan konsensus.

B. Keterlibatan Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan

Selama menjadi negara peserta GATT 1947 dan sebagai negara anggota WTO Indonesia belum pernah memanfaatkan mekanisme formal bagi penyelesaian sengketa sebagai penggugat ataupun tergugat, baik dalam GATT 1947, maupun WTO.

Dengan demikian hingga saat ini secara langsung Indonesia belum terlibat dalam proses penyelesaian sengketa GATT berdasarkan pasal XXII dan XXXIII ataupun prosedur lain dalam rangka GATT, dan juga dalam sistem WTO. Namun hal ini tidak berarti Indonesia belum pernah berselisih dengan mitra dagangnya. Menurut suatu sumber di departemen perdagangan, kasus-kasus perselisihan dagang antara Indonesia dengan negara-negara lain akhir-akhir ini telah diselesaikan secara bilateral di luar kerangka GATT. Misalnya dalam persengketaan antara Indonesia dan MEE mengenai rotan, Indonesia dan Amerika Serikat mengenai tarif dan non-tarif (1989). Begitu pula persengketaan mengenai subsidi dengan Amerika Serikat (1985) telah diselesaikan melalui konsultasi bilateral.

Dalam penyelesaian sengketa demikian jelas sebagai pihak yang lemah, Indonesia telah menjadi korban tekanan bilateral dari negara maju yang menjadi mitra dagangnya. Salah satu contoh lemahnya posisi Indonesia dalam melakukan konsultasi bilateral dengan negara maju adalah ketika Amerika Serikat berhasil menggiring Indonesia untuk mau menandatangani Code of Subsidies and

C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sebagai Bagian dari Pengawasan Internasional

Persengketaan dan bagaimana cara menyelesaikannya adalah inheren dalam setiap sistem hukum, termasuk hukum internasional. Perbedaan pendapat, dan bagaimana subjek hukum mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat ini untuk sampai pada suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua belah pihak, baik secara sukarela maupun karena dirasakan sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat yang diatur sistem hukum yang bersangkutan, akan memperkaya dan memperkuat sistem hukum yang bersangkutan secara normatif maupun dalam implementasi.

Sebagai bagian dari sistem hukum internasional norma-norma GATT juga telah berkembang dan diperkokoh oleh pengalaman yang panjang dari system penyelesaian sengketanya dalam menyelesaikan perselisihan perdagangan antar negara anggota.

Salah satu fungsi penyelesaian sengketa adalah agar supaya norma-norma hukum yang mengatur hubungan di antara anggota masyarakat dipatuhi. Dengan perkataan lain di dalamnya terkandung fungsi pengawasan dalam masyarakat nasional, pengawasan ini dipercayakan pada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam masyarakat internasional, yang tidak mungkin kekuasaan sentral, diserahkan pada para anggotanya sendiri.26

26

Hata, Perdagangan Internasional: dalam Sistem GATT dan WTO, Refika Aditama: Bandung, hlm.181.

Menurut Van Hoof pengawasan internasional mempunyai tiga fungsi:

1. Review Function, pada umumnya, review diartikan sebagai mengukur atau menilai suatu berdasarkan tolak ukur tertentu, dalam konteks hukum ini berarti menilai sesuatu perilaku untuk menentukan kesesuaiannya dengan aturan hukum. Review function dalam hubungannya dengan Negara dilaksanakan apabila perilaku suatu negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu lembaga pengawasan yang mempunyai status internasional. Pengawasan ini dilakukan oleh suatu negara atau lebih atau oleh suatu lembaga yang dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil dari pengawasan ini adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya Negara tersebut dengan hukum internasional.

2. Correction Function: fungsi ini dilaksanakan manakala telah timbul suatu keadaan yang bertentangan dengan hukum internasional, namun demikian, fungsi ini dapat pula bersifat preventif, manakala negara-negara menyesuaikan diri pada aturan-aturan hukum internasional sebagai akibat eksistensi atau ancaman dan mekanisme koreksi ini. Tujuan akhir dari pengawasan internasional adalah untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan hukum internasional. Oleh karena itu pelanggarannya harus diperbaiki. Terlepas dari kasus-kasus di mana negara melakukan pelanggaran memperbaiki pelanggaran atas kehendak sendiri, kepatuhan terhadap hukum internasional harus dipastikan melalui persuasi atau paksaan dari luar. Ini merupakan

fungsi koreksi dari pengawasan internasional, yang biasa juga disebut sebagai fungsi pemaksa (enforcement function). Satu persoalan yang terkait dengan hal ini adalah pengenaan sanksi dalam hukum internasional.

3. Creative Function: sekalipun review creative function merupakan bagian pokok dari pengawasan, namun pengawasan juga dapat berfungsi kreatif, terutama dalam hukum internasional. Hal ini disebabkan karena tidak adanya semacam eksekutif dan judikatif. Tindakan-tindakan legislatif seringkali abstrak atau tidak jelas. Oleh karena itu usaha untuk memperjelas norma-norma hukum internasional ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan yaitu fungsi kreatif. Jadi fungsi kreatif ini berupa penafsiran atas aturan-aturan hukum internasional yang belum jelas.27

Secara normatif GATT dan WTO menyediakan sejumlah ketentuan pengawasan di dalamnya. Misalnya, dalam GATT pasal X mengandung ketentuan tentang pengawasan secara umum. Pasal ini mewajibkan negara-negara menerbitkan aturan-aturan nasional yang terkait dengan perdagangan internasional. Ini merupakan review function dari pengawasan.

D. Hubungan Penyelesaian Sengketa GATT dan WTO dengan Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional secara Damai

Sebagaimana diketahui metode penyelesaian sengketa internasional secara damai dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yakni secara diplomatic

(negotiation, mediation, inqiry dan conciliation), dan secara hukum (arbitration, dan judicial settlement).

Pertama-tama, pasal XXII mengandung dua ayat yang menunjuk pada penyelesaian sengketa lewat konsultasi. Ayat pertama konsultasi dilakukan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya dalam ayat dua, disebutkan jika usaha konsultasi bilateral tersebut pada ayat sati tidak menghasilkan penyelesaian, maka salah satu pihak dapat meminta bantuan contracting parties, untuk berkonsultasi dengan pihak lain.

Konsultasi yang diadakan sesuai dengan ketentuan pasal XXII tersebut tidak mengharuskan telah terjadinya kerugian bagi salah satu pihak. Akan tetapi pihak yang dimintakan konsultasinya oleh pihak lain harus memberikan symphatetic

consideration terhadapnya. Salah satu persidangan contracting parties tahun 1960

dinyatakan bahwa symphatic consideration dalam pasal tersebut mengandung unsur simpati dan tidak dapat ditundukkan pada suatu definisi hukum. Menurut perbaikan prosedur konsultasi yang disepakati tahun 1958, yakni procedures

under article XXII on question affecting the interest of number of contracting parties, dinyatakan bahwa setiap negara peserta yang meminta konsultasi harus

juga melaporkannya kepada seluruh negara peserta.

Apakah konsultasi suatu metode penyelesaian sengketa yang telah dikenal dalam hubungan-hubungan internasional? Konsultasi sebenarnya adalah salah satu perwujudan dari negosiasi. Negosiasi merupakan metode utama untuk menyelesaikan sengketa yang mengancam perdamaian internasional ataupun

sengketa-sengketa lain. sebenarnya dalam praktek, negosiasi lebih banyak digunakan dibandingkan dengan metode lain sekalipun digabungkan bersama.

Seringkali negosiasi merupakan satu-satunya cara, bukan semata-mata karena yang biasanya pertama kali dicoba dan sering berhasil akan tetapi karena banyaknya negara merasa yakin bahwa manfaatnya sangat besar sehingga dapat mengecualikan metode-metode lain. Negosiasi juga tidak sekadar dapat menyelesaikan perselisihan akan tetapi juga dapat mencegah sengketa-sengketa yang mungkin timbul.

Ini terbukti dalam penyelesaian sengketa GATT. Dengan adanya ketentuan pasal XXII dan XXIII:1, konsultasi biasanya merupakan langkah pertama dan sering merupakan yang terakhir, dan banyak sengketa diselesaikan atau dicegah sebelum menjadi konflik yang lebih parah. Suatu aspek penting dalam prsedur konsultasi GATT dan WTO merupakan ciri khas yang berbeda dari prosedur negosiasi pada umumnya adalah ciri transparansi yang melekat padanya dengan adanya keharusan untuk melaporkan kepada organisasi yang berwenang di dalam organisasi tersebut yang pada negara lain yang tidak terlibat dalam konsultasi akan mengetahui hasil akhir dari konsultasi tersebut, dan akan dapat mengambil langkah-langkah konkretnya sendiri apabila hasil konsultasi itu akan mengancam kepentingan mereka.

Inquiry sebagai suatu istilah digunakan dalam dua situasi yang berbeda.

Pertama, dalam arti luas ia menunjuk pada suatu proses yang dilaksanakan manakala suatu pengadilan atau badan-badan lain yang berusaha menyelesaikan perselisihan atas fakta tertentu. Dikarenakan setiap persengketaan internasional

menimbulkan persoalan tentang fakta, sekalipun di dalamnya juga ada persengketaan hukum atau politik, jelas bahwa inquiry dalam artian operasional ini dapat merupakan komponen utama dari arbitrase, konsiliasi, tindakan oleh organisasi internasional dan cara-cara penyelesaian oleh pihak ketiga lainnya.

Dalam arti lain, inquiry adalah suatu pengaturan institusional yang dipilih oleh negara dengan maksud untuk menyelidiki persoalan yang disengketakan secara bebas dalam bentuk kelembagaannya dalam hukum internasional dikenal dengan Commission of Inquiry dan mulai diperkenalkan dalam Konvensi Den Haag 1899.

Inquiry dalam arti yang kedua yakni dalam bentuk suatu komisi biasanya

dibentuk oleh dua negara yang berselisih untuk mencari kebenaran dari suatu fakta dalam suatu sengketa internasional secara tidak memihak.

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Upaya-upaya penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional. Suatu sengketa terjadi apabila ada pertentangan misalnya karena adanya pelanggaran ketentuan GATT yang menimbulkan kerugian salah satu fihak. Di dalam GATT mengatur tingkah laku perdagangan untuk mencapai harmonisasi antara peraturan internasional dengan kebijaksanaan internasional dengan kebijaksanaan nasional. Penyelesaian sengketa ini merupakan salah satu jenis kegiatan yang telah melembaga dalam GATT dan WTO.

Hal ini berarti bahwa khusus dalam bidang penyelesaian sengketa, berdasarkan atas pengalaman institusional sejak didirikannya GATT dan WTO, telah tersusun suatu sistem dan tata cara yang semakin berbentuk. Dalam kata lain, dengan telah berjalannya sistem tata yang telah tersusun sejak empat puluh

tahun lamanya, maka telah tercipta suatu institutional memory yang menjadi landasan dalam melaksanakan kegiatan penyelesaian sengketa.

Konsultasi, konsiliasi dan penyelesaian sengketa merupakan salah satu segi fundamental yang terpenting dari pekerjaan sehari-hari GATT sebagai suatu lembaga internasional. Negara anggota GATT dan WTO baik yang besar maupun yang kecil dapat menggunakan GATT sebagai forum untuk mencapai penyelesaian bila negara tersebut merasa bahwa haknya yang diperoleh dan sesuai dengan ketentuan GATT telah diganggu akibat tindakan atau kebijaksanaan negara anggota lainnya.

B. Saran

Berdasarkan kajian terhadap mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO, penulis kemukakan beberapa saran yang penulis anggap perlu bagi perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO, yakni sebagai berikut:

1. WTO sebagai organisasi perdagangan internasional dalam menyelesaikan sengketa-sengketa perdagangan internasional harus selalu bersifat independen. Artinya harus dapat menempatkan seluruh anggotanya pada posisi yang sama, tanpa kecuali.

2. Berbagai bentuk sengketa GATT dan WTO yang terjadi dalam lintas perdagangan internasional, sebaiknya mendahulukan cara-cara yang persuasif, yakni cara-cara damai dalam penyelesaian sengketanya.

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.

___________. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Grafika: Jakarta.

AK., Syahmin. 2004. Hukum Perdagangan Internasional (Dalam Kerangka

Studi Analitis). (Naskah Tutorial). Fakutlas Hukum Universitas Sjakhyakirti,

Palembang.

___________. 2000. Peranan Hukum Kontrak Internasional pada Era Pasar

Bebas, Course Materials. FH UNISTI Palembang.

Fuady, Munir. 2004. Hukum Dagang Internasional (Aspek hukum dari

WTO).

PT Citra Aditya Bakti: Bandung.

Kusuma Atmadja, Mochtar. 1987. Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta.

www.dprin.go.id., WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, diakses Selasa, 2 April 2013.

www.wto.org, World Trade Organization – Organisasi Perdagangan Dunia, Diakses Selasa, 2 April 2013.

Dokumen terkait