• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penutup meliputikesimpulan dan saran Daftar Pustaka

commit to user

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tembang Macapat

Kata Jawa tembang mempunyai berbagai penggunaan baku. Dalam makna yang paling luas artinya puisi saja, dan dengan demikian berlawanan dengan gancaran atau prosa. Ini adalah dua kategori dasar dalam sastra, meskipun sebagian berdasarkan karya sastra Jawa kuna dan modern ditulis dalam puisi. Sebenarnya hampir tidak ada susastra yang menggunakan prosa sampai pertengahan abad ke-15 dan bahkan serat seringkali disusun dalam tembang sampai abad ke-20. Dalam bentuk majemuk bersama adjektif, kata tembang selanjutnya dipakai dalam arti yang lebih khusus guna membedakan tiga idiom puisi utama, atau kategori puisi dalam sastra Jawa: tembang macapat, tembang tengahan, dan tembang gedhe.

Macapat yaitu (1) kata macapat berasal dari ma dan capat. Tembang macapat cara membacanya cepat, tidak pelan, lagunya tidak kebanyakan cengkok. (2) kata macapat, cara membacanya empat-empat. Maksudnya, jika melagukan, pamedhoting gatra „pemutusan baris‟ pertama berakhir dengan suku kata yang empat. (3) Berdasarkan lagu „gendhing‟ juga dijarwani, Macapat wancahan „gabungan‟ dari mat dan pat. Maksudnya, tembang itu jika dilagukan dengan iringan gamelan

commit to user

satu irama berisi empat suku kata (Subalidinata, 1954: 31-32).

Pada dasarnya macapat adalah puisi yang terikat pada pola persajakan dan mengandung unsur titi laras. Baik pola persajakan maupun pola titi laras tergantung pada jenis pola persajakan yang digunakan. Dengan demikian jenis pola persajakan sangat menentukan guru gatra, guru wilangan dan guru lagu macapat. Di samping itu setiap jenis pola persajakan memiliki sifat-sifat tertentu, sehingga penggunaan suatu jenis pola persajakan tergantung suasana dan rasa cakepan wacana (Karsono H. Saputro, 1988: 51).

Pola persajakan macapat ditandai dengan seperangkat kaidah khas yang mengatur (1) jumlah larik pada setiap bait (guru gatra), (2) jumlah suku kata pada setiap larik (guru wilangan) dan (3) kualitas vokal (a, i, e, o, u tapi tak pernah é) suku kata akhir setiap larik (guru lagu). Maka jenis pola persajakan Dhandhanggula misalnya mempunyai 10 baris. Pola setiap bait yang disusun menurut pola sebagai berikut: (1) 10 i, (2) 10 a, (3) 8 e, (4) 7 u, (5) 9 i, (6) 7 a, (7) 5 u, (8) 8 a, (9) 12 i, (10) 7 a. Angka dalam kurung mewakili nomor urut larik, angka kedua jumlah suku kata dalam larik dan huruf mewakili kualitas vokal dalam suku kata akhir larik.

Adanya ketentuan guru lagu dan guru wilangan, mempengaruhi penggunaan kata. Beberapa teknik untuk menjatuhkan vokal pada akhir larik agar sesuai dengan guru lagu adalah:

commit to user

(2) mengubah vokal akhir tanpa mengubah maknanya, (3) memilih kata yang searti,

(4) menggunakan kaidah baliswara (Karsono H. Saputro, 1998: 19).

B. Puisi

Puisi adalah karya sastra yang paling kuat imajinasinya. Sejaklahirnya, puisi memeng sudah menunjukkan ciri-ciri khas yang kita kenal sekarang, meskipun puisi telah mengalami perkembangan dan perubahan tahun demi tahun. Bentuk karya puisi memang dikonsep oleh penulis atau pengarangnya pada pengonsentrasian segala kekuatan bahasa dan pengonsentrasian gagasannya untuk mlahirkan puisi. Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa puisi sebagai karya sastra memiliki kelebihan dibandingkan dengan karya sastra yang lain yaitu adanya karya sastra memiliki kelebihan dibandingkan dengan karya saastra yang laain yaitu adanya karya kreatif yang terletak pada bahasa daan unsur interaksi antar unsur tersebut dengan dunia nyata yang ada di luarnya. Puisi tidaklah mengungkapkan dunia sebagaimana adanya, melainkan sebagai dunia yang terlihat oleh mata batin. (Agus Prihandoko,2004:3)

Secara etimologi istilah puisi berasal dari bahassa Yunani “Pouma" yang berarti membuat, dan “Poeisi” yang berarti „pembuatan‟, dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “Poem” atau

commit to user

puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan dunia tersendiri, yang mungkin berisikan pesan atau gambar-gambar suasana tertentu baik secara fisik maupun batiniah (Aminuddin, 1991: 134)

Puisi merupakan karya seni yang puitis. Kata puitis mengandung nilai keindahan yamg khusus untuk puisi. Kepuitisan tersebut dapat tercapai misalnya dengan menggunakan bentuk visual: tipografi, susunan bait, dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi: dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Untuk mengetahui kepuitisan puisi, telebih dahulu harus mengetahui unsur-unsur pembentukan puisi (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:13). Dikarenakan itulah penciptaan karya puisi sangat menimbang pemakaian unsur-unsur penyusunannya. Salah satu unsur dalam puisi ialah bunyi. Dibanding karya sastra dalam bentuk lain, bunyi merupakan unsur yang penting dalam penciptaan puisi. Dalam puisi bunyi berssifaat estetik untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Hal itu tentu saja berhubungan dengan selera manusia terhadap lagu dan melodi. Selain sebagai pembentuk keindahan dan tenaga ekspresif bunyi juga bisaa digunakan untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasaa dan membentuk imajinasi pembacanya atau pendengarnya.

commit to user

Untuk memanfaatkan potensi bunyi dalam puisi, seorang pengarang bisa menggunakan sarana-sarana persajakan awal, tengah, dalam, dan akhir, kombinasi vokal dan konsonan tertentu: aliterasi dan asonanssi; orkestrasi buyi; efoni dan kakofani; simbol bunyi: anomatope, kiasan suara, lambang rasa. Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi): a, e, i, o, u, bunyi-bunyi konsonan bersuara (voiced): b, d, g, j, bunyi liguida: r, l, dan bunyi sengau: m, n, ng, ny menimbulkan bunyi merdu dan berirama (efoni). Bunyi yang merdu dapat mendukung suara mesra, kasih sayang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya kombinasi yang tidak merdu, parau penuh buyi k, p, t, s (bunyi konsonan tak bersuara) disebut kakofoni. Cocok dan dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serta tak beraturan, bahkaan memuakkan (Rachmat Djoko pradopo, 1987 : 29-30).

Disamping tugasnya yang pertama sebagai simbol arti dan juga untuk orkestra, bunyi kata digunakan juga sebagai peniru bunyi. Peniru bunyi atau anomatope dalam puisi kebanyakan hanya memberikan sarana tentang suara sebenarnya . Onomatope menimbulkan tanggapan yang jelas dai kata-kata yang tidak menunjukkan adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk. Kiasan suara merupakan gambaran sesuatu menggunakan buyi.

Seorang pencipta atau pengarang untuk mendapatkan kepuitisan puisi perlu memperhatikan beberapa hal aturan atau norma

commit to user

Djoko Pradopo (1987 ; 15-19) aturan atau normanya adalah sebagai berikut:

a) Lapis Bunyi (Sound Stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang

terengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak pendek, agak panjang, dan panjang. Tetapi suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara sesuai dengan konvensi bahasa disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Dengan adanya satuan-saatuan suara itu orang menangkap artinya.

b) Lapis Arti (Unit of Mening. Berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase

dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian dkalimat menjadi bait, bab dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak.

c) Lapis norma meliputi objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan, dan dunia

pengarang yang berupa cerita atau lukisan.

d) Lapis Dunia. Lapis Dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu yang

tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied). Sebuah

peristiwa daalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan „terdengar‟ atau „terlihat‟ bahkan peristiwa yang sama. Misalnya suara jederan pintu dapat diperlihatkan aspek “luar” atau “dalam” watak daalam si pembuka itu hati-hati. Keadaan sebuah kamar yang terlihat daapat memberikan sugesti watak orang yang tinggal di daalamnya.

Lapis Metafisis. Lapis ini dapat memberikan suatu renungan bagi pembaca. Lapis metafisis berupa sifat-sifat metafisis (yang sublim,

commit to user

yang tragis, mengerikan atau menakutkan dan yang suci) dengan sifat ini seni dapat memberikan renungan (kontenplasi) kepadaa pembaca.

C. Konsep Psikologi Sastra

Psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang menyelidiki manusia dengan segala tingkah lakunya sebagai objek, sedangkan sastra membicarakan manusia itu sebagai sumber penceritaannya. Antara psikologi dan sastra merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda, namun dalam penelitian karya sastra, kedua ilmu tersebut dapat digunakan secara bersamaan dan saling terkait, karena mempunyai objek yang sama. Keduanya memfokuskan pada kehidupan manusia.

Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari keadaan manusia sudah pasti mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain yang juda mempelajari manusia dan kehidupannya, antara lain filsafat, sosiologi, antropologi dan juga sastra.

Psikologi dalam karya sastra bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, karena tokoh-tokoh dalam karya sastra harus dihidupkan, diberi jiwa yang dapat dipertanggungjawabkan secara psikologi juga. Pengarang baik sadar maupun tidak memasukkan jiwa manusia ke dalam karyanya. Hal ini akan terlihat dalam diri tokoh cerita dan lingkungan cerita di mana cerita tersebut terjadi (Rene Wellek, 1990: 41).

commit to user

sebagai kreativitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karya dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing (Suwardi Endraswara, 2011: 96).

Andre Hardjana berpendapat bahwa ilmu jiwa menelaah jiwa manusia secara mendalam dari segi sifat dan sikap manusia. Lewat tinjauan psikologis akan menampakkan bahwa fungsi dan peranan sastra adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya. Atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya sastra pada hakekatnya bertujuan melukiskan kehidupan manusia (Andre Hardjana, 19911: 66).

Pandangan Rene Wellek dan Austin Warren (1990) serta Andre Hardjana (1985: 60-61), psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian yaitu:

(1) Penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe pribadi. Studi in ini cenderung ke arah psikologi seni. Seorang peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menghasilkan karya sastra.

(2) Penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi ini berhubungan dengan psikologi proses kreatif.

commit to user

(3) Penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Dalam kaitan ini studi dapat diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya: psikoanalisis ke dalam sebuah teks sastra.

(4) Penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah-arah aspek pragmatik psikologis teks sastra terhadap pembacanya (Suwardi Endraswara, 2011: 98-99).

Psikologi dengan sastra, keduanya terdapat hubungan yang cukup erat, keduanya sama-sama berobjekkan manusia. Psikologi mempelajari tingkah laku dan jiwa manusia, sedangkan sastra berbicara tentang kehidupan manusia. Karena memiliki kesamaan objek, maka keduanya memungkinkan untuk saling membantu. Kaitan psikologi dan sastra adalah bahwa psikologi merupakan ilmu bantu yang sangat relevan, karena dari proses pemahaman karya sastra dapat ditimba mengenai ajaran dan kaidah psikologi (Andre Hardjana, 1991: 60).

Pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya (Atar Semi, 1989: 46). Pada posisi lain psikologi mempelajari manusia pada tingkah lakunya, dalam hal ini terkait dengan masalah-masalah yang bersifat kejiwaan. Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama adalah studi psikologi sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua adalah studi proses kreatif. Ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).

commit to user

tipe hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra (Rene Wellek, Austin Warren, 1993: 90).

Tokoh-tokoh dalam drama atau novel dinilai apakah benar secara psikologi. Kadang-kadang ada teori psikologi tertentu yang dianut pengarang secara sadar atau samar-samar oleh pengarang dan teori ini cocok untuk menjelaskan tokoh dan situasi cerita (Rene Wellek & Austin Warren, 1993: 106).

Pendekatan psikologi sastra terhadap teks dilangsungkan secara diskriptif belaka, tetapi sering mendekati suatu penafsiran, sering digunakan psikoanalisis ala Freud. Terdapat titik temu antara penelitian sastra dengan teori psikoanalisis, khususnya mengenai metodenya. Psikoanalisis akan menafsirkan penyakit jiwa seorang pasien lewat ucapan-ucapannya, imajinasinya, demikian juga kritikus sastra akan menafsirkan ungkapan dalam teks tertentu.

Teori Freud mempergunakan alam bawah sadar untuk menerangkan pola kelakuan manusia serta penyimpangan tertentu (Dick Hartoko & B. Rahmanto, 1986: 127). Cermin kehidupan dari karya sastra menciptakan pula tingkah laku berbudaya. Sehingga hal ini dapat dikaji secara psikologis dari sisi kejiwaan manusia yang ada dalam karya sastra sebagai individu yang berkehendak.

commit to user

D. Konsep Psikoanalisis

Aliran psikoanalisis ini diperkenalkan oleh Sigmund Freud yang lahir di Moravia tanggal 6 Mei 1856. Selama hampir 80 tahun ia tinggal di Wina sampai pada waktu Nazi menyerang Australia tahun 1937, ia pindah ke Inggris hingga meninggal di London 23 September 1939.

Psikoanalisis termasuk dalam golongan ilmu jiwa, bukan ilmu jiwa kedokteran dalam arti kata yang lam, bukan ilmu jiwa tentang proses penyakit jiwa, melainkan semata-mata ilmu jiwa yang luar biasa. Sudah pasti bahwa psikoanalisa tidak merupakan keseluruhan dari ilmu jiwa biasa, tetapi merupakan suatu cabang dan mungkin malahan dasar dari keseluruhannya “ilmu jiwa” (Hall, 1980: 24).

Teori ini menganalisis kehidupan jiwa manusia sampai pada alam bawah sadar, karena sebagai makhluk individu, seorang manusia selalu mengalami konflik batin dalam keresahan dan ketertekanan jiwa.

Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku dan aspek kejiwaan manusia. Terdapat beberapa kajian psikologi dan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah psikologi kepribadian. Hal itu mengingat bahwa penelitian ini menganalisis tentang tingkah laku manusia (tokoh) guna memperoleh tipologi kepribadian tertentu berdasarkan karakter tokoh tersebut.

Teori psikoanalisis Freud, membandingkan jiwa manusia dengan gunung es yaitu bagian yang lebih kecil yang timbul di permukaan air menggambarkan daerah ketidaksadaran. Di dalam daerah ketidaksadaran

commit to user

perasaan-perasaan yang ditekan suatu dunia bawah yang besar berisi kekuatan-kekuatan vital dan tak kasat mata yang melaksanakan kontrol penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan sadar individu.

Sigmund Freud membagi susunan kepribadian manusia menjadi tiga sistem, yaitu:

1. Das Es atau Id, merupakan aspek biologis dan sebagai lapisan kejiwaan yang paling dasar. Id berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir, yaitu naluri-naluri bawaan (seksual dan agresoif), termasuk keinginan-keinginan yang direpresi. Id merupakan reservoir energi psikis yang menggerakkan ego dan super ego. Id berfungsi untuk mencapai kepuasan bagi keinginan nalurinya sesuai prinsip kesenangan. Oleh karenanya id tidak mengenal hukum akal dan id tidak memiliki nilai etika atau akhlak. Hanya ada dua kemungkinan bagi proses id yaitu berusaha memuaskan keinginan atau menyerahkan kepada pengaruh ego.

2. Das Ich atau Ego, merupakan aspek psikologi dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan untuk berhubungan dengan dunia kenyataan (realita). Ego adalah devirat id yang bertugas menjadi perantara kebutuhan instingtif dengan keadaan lingkungan untuk mencari objek yang tepat guna mereduksi tegangan. Sebagai aspek ekskutif kepribadian, ego mempergunakan energi psikis yang dikuasai untuk mengintegrasikan ketiga aspek kepribadian, agar timbul keselarasan

commit to user

batin sehingga hubungan antara pribadi dengan dunia luar dapat mempergunakan energi psikis secara baik maka akan timbul konflik internal atau konflik batin, yang diekspresikan dalam bentuk tingkah laku yang pathologis dan abnornal.

3. Das Ueber Ich atau The Super Ego, merupakan aspek psikologi kepribadian yang fungsi pokoknya menentukan benar salahnya atau susila tidaknya sesuatu. Dengan demikian, pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat. Super ego dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya larangan/perintah dari luar diolahs sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Fungsi pokok super ego terlihat dalam hubungannya dengan ketiga sistem kepribadian, yaitu merintangi impuls-impuls id terutama seksual dan agresif, mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal moralitas dan mengejar kesempurnaan. Aktivitas super ego menyetakan diri dalam konflik dengan ego yang dirasakan dalam emosi-emosi, seperti rasa bersalah, menyesal dan sikap observasi diri dan kritik (Sumadi Suryabrata, 2006: 124-128).

Selain menggolongkan struktur kepribadian manusia, Freud juga mengemukakan adanya kecemasan yaitu:

commit to user

dikenadalikan dan menyebabkan orang berbuat ssuatu yang dapat dihukum.

c. Kecemasan moral; kecemasan yang dialami sebagai suatu perasaan bersalah atau malu dalam ego, ditimbulkan oleh sesuatu pengamatan mengenai bahaya dari hati nurani (Sumadi Suryabrata, 2006:139) Cara individu mereduksi tegangan dan kecemasan, yaitu dengan:

a. Identifikasi, sebagai metode yang dipergunakan orang dalam

menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian dari kepribadiannya. Dia belajar mereduksi tegangannya dengan cara bertingkah laku seperti tingkah laku orang lain.

b. Pemindahan objek, apabila objek sesuatu insting yang asli tidak dapat Ddicapai karena rintangan (anti cathexis) baik rintangan dari dalam maupun dari luar, maka terbentuklah cathexis yang baru, kecuali kalau terjadi penekanan yang cukup kuat. Insting adalah sumber perangsang soinatis dalam yang dibawa sejak lahir.

c. Mekanisme pertahanan das ich

Terdapat beberapa bentuk pokok mekanisme pertanhanan antara lain: (1) Penekanan atau represi adalah pengertian yang mula-mula sekali

dalam psikoanalisis. Mekanismse yang dilakukan individu dalam hal ini adalah ego, untuk meredakan kecemasan dengan jalan menekan dorongan atau keinginan yang menjadi sebab kecemasan tersebut ke alam tak sadar.

commit to user

(2) Proyeksi adalah mekanisme yang dipergunakan untuk mengubah ketakutan neurotis dan ketakutan moral menjadi ketakutan realistis. Pengubahan ini mudah dilakukan, karena ketakutan neurotis dan ketakutan moral dua-duanya sumber aslinya adalah ketakutan akan hukuman dari luar.

(3) Pembentukan reaksi adalah penggantian impuls atau perasaan yang menimbulkan ketakutan atau kecemasan dengan lawannya di dalam kesadaran.

d. Fiksasi dan Regresi, pada perkembangan yang normal, kepribadian akan melewati fase-fase yang sedikit banyak sudah tetap dari lahir sampai dewasa. Hal ini akan menimbulkan sejumlah frustasi dan ketakutan (Sumadi Suryabrata, 2006:138-139)

E. Konsep Penokohan

Penokohan merupakan penciptaan citra tokoh dalam sebuah karya sastra (Panuti Sudjiman, 1984: 58). Selain itu penokohan adalah cara pengarang dalam menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh pada sebuah cerita rekaan (Mursai Esten, 1990: 27)

Tokoh pada umunya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tokoh utama atau tokoh sentral dan tokoh bawahan atau tokoh pembantu (Panuti Sudjiman, 1983: 17). Yang dimaksud dengan tokoh utama (a central character), adalah orang yang mengambil bagian dalam sebagian

commit to user

kejadian-kejadian yang menyebabkan terjadinya perubahan sikap diri tokoh atau perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut (Atar Semi, 1993:39)

Melalui penokohan, penulis lakon dapat menciptakan tokoh-tokoh dan memeprkenalkan ciri-cirinya, baik ciri fisik maupun non fisik yang meliputi triikotomi kejiwaan (pikiran, perasaan dan kehendak), moral, norma-norma (etika, estetika, logoka dna agama), aspek sosial, kultural, aspekaspek lainnya (Soediro Satoto, 1998:21)

Penampilan tokoh dalam cerita, ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pengarang seperti penggamabran tokoh dari segi fisiknya, segi lingkungan sekitarnya dan sebaginya. Menurut Mochtar Lubis, terdapat metode untuk memberikan penilaian pada setiap tokoh, yaitu: a. Pysical Description (melukiskan watak fisik dari pelaku).

b. Portrayal or Of Concious Thought (melukiskan jalan pikiran pelaku atau apa yang terlintas dalam pikiran pelaku).

c. Rection To Event (reaksi pelaku terhadap kejadian).

d. Direct Author Analysis (pengarang dengan langsung menganlisa watak pelaku).

e. Discussion Of Enviroment (melukiskan keadaan pelaku).

f. Reaction Of Others To Character (pandangan-pandangan pelaku lain terhadap pelaku utama).

commit to user

g. Conversation Of Others Character (pelaku-pelaku lain

memperbincangkan pelaku utama) (dalam Dra. Aning Retnaningsih, 1983: 23)

F. Kearifan

Sebelum berlanjut, buku ini lebih dahulu membatasi pengertian tentang ”kearifan”. Secara leksikal, seperti yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), arti kata “arif” adalah „bijaksana‟, „cerdik dan pandai‟,„berilmu‟,„paham‟,„memahami‟,„mengerti‟. Kearifan berarti (1) „kebijaksanaan‟ dan (2) „kecendekiaan‟. Berdasarkan pengertian makna dalam kamus tersebut, makna kata “arif” berkenaan dengan dua hal, yakni (1) karakter atau kepribadian (emosi) dan (2) kecerdasan (kognisi). Orang yang arif adalah orang yang memiliki kepribadian baik yang mampu membuat orang lain merasa dihargai keberadaanya. Selain itu, orang yang arif adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan hidup yang dialami dengan menggunakan kecerdasanya. Kearifan merupakan “sesuatu” yang dihasilkan dari sebuah kecerdasan manusia yang dapat digunakan oleh sesamanya sebagai sarana pencerdasan pula. Kearifan dihasilkan dari proses pemikiran dan pengambilan keputusan yang bijaksana, tidak merugikan semua pihak, serta bermanfaat bagi siapapun yang tersapa oleh kearifan itu. Kearifan dapat menjadi sarana pemelajaran bagi setiap manusia untuk menjadi orang yang cerdas, pandai, dan bijaksana. Segala hal yang tidak membuat manusia menjadi cendekia dan

commit to user

kearifan. Manusia yang bijak/arif dapat menjadi sarana pemelajaran bagi orang lain atau setidaknya memberikan inspirasi tentang bagaimana berperilaku adil.

Pemikiran dan sikap hidup manusia yang dilandasi kearifan mampu memberikan ketenteraman dan kebahagiaan hidup kepada sesama manusia dalam bermasyarakat. Sebagai sebuah pemikiran, kearifan akan menghasilkan nilai-nilai dan norma-norma yang luhur untuk kepentingan hidup bersama. Pada tahap penerapan, kearifan akan mengarahkan penerapan nilai-nilai dan norma-norma tersebut dalam wujut perilaku secara benar, bukan menyimpangkan atau membelokkan nilai ataupun norma tersebut untuk kepentingan individual. Berperilaku arif adalah berperilaku sesuai dengan etika dan etiket yang berlaku dimasyarakat. Berperilaku yang tidak arif adalah perilaku yang melanggar etika dan etiket. Keseluruhan norma dan nilai yang digunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya disebut etika (Soeseno, 1984: 6). Bertens (2001:8-11) menjelaskan bahwa etika berkenaan dengan norma-norma, sedangkan etiket berkenaan dengan sopan santun (lihat Rahyono, 2005: 49).

commit to user

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bentuk dan Jenis Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan objek khusus penelitian adalah karya sastra. Sesuai dengan karakteristik dan cara kerja penelitian, bentuk penelitian

Dokumen terkait