Bab ini merupakan bab terakhir, yang berisikan kesimpulan dari kesuluruhan
analisis yang dilakukan dalam bab sebelumnya dan saran-saran dari hasil
BAB II
DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN 2.1.Gambaran Pemilu di Kota Yogyakarta
Sebagai salah satu kota utama di Indonesia, Kota Yogyakarta tentu
saja menyimpan dinamika-dinamika yang menarik dalam setiap
pelaksanaan pemilu. Untuk melihat bagaimana dinamika politik dalam
pemilu yang terjadi di Kota Yogyakarta, kita bisa menjadikan hasil
perolehan kursi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kota Yogyakarta dan perolehan suara pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden di Kota Yogyakarta dalam dua pemilu
terakhir sebagai acuan.
Tabel 2.1
Perolehan Kursi Partai Politik Pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta Dalam Pemilu 2009
No Nama Partai Perolehan Kursi
1 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 11
2 Partai Demokrat 10
3 Partai Amanat Nasional 5
4 Partai Keadilan Sejahtera 5
5 Partai Golongan Karya 5
6 Partai Persatuan Pembangunan 2 7 Partai Gerakan Indonesia Raya 2
Total 40
Sumber: Website Resmi KPUD Kota Yogyakarta (http://www.kpu-jogjakota.go.id/)
Pada pemilu 2009, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
dan Partai Demokrat berhasil menguasai perolehan kursi DPRD Kota
berhasil memperoleh lebih dari setengah jumlah kursi yang tersedia
dengan rincian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
memperoleh sebelas kursi sedangkan Partai Demokrat memperoleh
sepuluh kursi. Lima belas kursi selanjutnya dikuasai oleh Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai
Golongan Karya (Golkar) yang masing-masing memperoleh lima
kursi, sementara itu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengunci empat kursi terakhir
dengan masing-masing memperoleh dua kursi.
Tabel 2.2
Perolehan Suara Calon Presiden dan Wakil Presiden Pada Pemilu 2009
No Nama Pasangan Perolehan Suara Persentase 1 Megawati-Prabowo Subianto 65.801 29.12% 2 Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono
130.836 57.90%
3 Jusuf Kalla-Wiranto 29.326 12.98%
Total 225.963 100%
Sumber: Website Resmi KPUD Kota Yogyakarta (http://www.kpu-jogjakota.go.id/)
Pada pemilu 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
melanjutkan dominasinya dalam perolehan kursi di DPRD Kota
Yogyakarta. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berhasil
memperoleh lima belas kursi atau lebih banyak empat kursi dari
perolehannya pada pemilu 2009. Di posisi berikutnya ada Partai
Golongan Karya, Partai Amanat Nasional dan Partai Gerakan
selanjutnya diikuti Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan
Pembangunan yang masing-masing memperoleh empat kursi. Dua
kursi terakhir diperoleh oleh Partai Demokrat dan Partai Nasional
Demokrat yang merupakan partai baru dengan masing-masing
memperoleh satu kursi.
Pergeseran yang sangat signifikan dapat kita lihat pada
merosotnya perolehan kursi partai Demokrat.Partai Demokrat yang
pada pemilu 2009 berhasil memperoleh sepuluh kursi DPRD Kota
Yogyakarta hanya mendapatkan satu kursi pada pemilu 2014.Prahara
yang terjadi di tubuh Partai Demokrat sebelum pelaksanaan pemilu
2014 memberikan dampak yang cukup besar bagi para pemilih di Kota
Yogyakarta.Para pemilih cenderung enggan memilih calon legislatif
dari partai yang bermasalah.
Tabel 2.3
Perolehan Suara Calon Presiden dan Wakil Presiden Pada Pemilu 2014
No Nama Pasangan Perolehan
Suara
Persentase
1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
98.441 39,96%
2 Joko Widodo-Jusuf Kalla 147.900 60,04%
Total 46.341 100%
Sumber: Website Resmi KPUD Kota Yogyakarta (http://www.kpu-jogjakota.go.id/
Berbeda dengan pemilu 2009, kemenangan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam perolehan kursi DPRD Kota
Yogyakarta pada pemilu 2014 kali ini berhasil diiringi juga dengan
Pasangan Jokowi-JK berhasil menang di Kota Yogyakarta dengan
perolehan suara sebanyak 147.900 suara atau 60,04% dari total suara
sah. Sementara itu, pasangan Prabowo-Hatta hanya memperoleh
98.441 suara atau 39,96% dari total suara sah di Kota Yogyakarta.
Kemenangan ini menunjukkan adanya peningkatan kesolidan antara
para pengurus dan loyalis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di
Kota Yogyakarta dalam mendukung pasangan kandidat yang diusung.
2.2.Profil Komisi Pemilihan Umum Kota Yogyakarta 2.2.1. Kedudukan KPU Kota Yogyakarta
KPU Kota Yogyakarta adalah Lembaga Penyelenggara
Pemiluyang berkedudukan di Ibukota Kabupaten/ Kota.KPU
Kabupaten/Kotadipimpin oleh seorang ketua merangkap
anggota dan anggota, yangdalam menjalankan tugasnya
dibantu oleh Sekretariat.
2.2.2. Tugas Pokok KPU Kota Yogyakarta
KPU Kabupaten/ Kota mempunyai tugas pokok
melaksanakantugas dan wewenang dalam penyelenggaraan
Pemilu diKabupaten/Kota. Adapun tugas KPU Kota
Yogyakarta adalah
a. Merencanakan penyelenggaraan Pemilu
b. Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan
c. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan
mengendalikan semuatahapan pelaksanaan Pemilu
d. Menetapkan peserta Pemilu
e. Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon
anggotaDPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten.Kota
f. Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan
kampanye dan pemungutan suara
g. Menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calon
terpilihanggota DPR, DPD Provinsi dan DPRD
kabupaten/Kota
h. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu
i. Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur
undangundang
2.2.3. Fungsi KPU Kota Yogyakarta
Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemilihan Umum
KotaYogyakarta menyelenggarakan fungsi sebagai berikut
a. Penyusunan program dan anggaran Pemilu di
Kabupaten/Kota
b. Pemberian pelayanan teknis pelaksanaan penyelenggaraan
Pemiludi Kabupaten/Kota
c. Pemberian pelayanan administrasi yang meliputi
d. Perumusan dan penyusunan bantuan serta penyelesaian
masalahdan sengketa hokum
e. Pemberian dan pelayanan informasi Pemilu, partisipasi
masyarakatdan penyelenggaraan hubungan masyarakat bagi
keperluan Pemiludi Kabupaten/Kota
f. Pengelolaan data Pemilu di Kabupaten/Kota
g. Pengelolaan logistik dan distribusi barang/jasa keperluan
Pemilu
h. Pelaksanaan kerjasama antar lembaga
i. Penyusunan laporan penyelenggaraan kegiatan dan
pertanggung
jawaban KPU Kabupaten/Kota
2.2.4. Tugas Sekretariat
a. Membantu penyusunan program dan anggaran Pemilu.
b. Memberikan dukungan teknis administratif.
c. Membantu pelaksanaan tugas KPU Kabupaten/Kota dalam
menyelenggarakan Pemilu.
d. membantu pendistribusian perlengkapan penyelenggaraan
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan
e. Membantu perumusan dan penyusunan rancangan
keputusan KPU Kabupaten/Kota.
f. Memfasilitasi penyelesaian masalah dan sengketa
pemilihan Bupati/Walikota.
g. Membantu penyusunan laporan penyelenggaraan kegiatan
dan pertanggungjawaban KPU Kabupaten/Kota, dan
membantu pelaksanaan tugas-tugas lainnya sesuai dengan
peraturan perundang undangan.
2.2.5. Kewenangan, Kewajiban, dan Tanggung Jawab 2.2.5.1.Sekretariat KPU Kabupaten/Kota berwenang:
a. Mengadakan dan mendistribusikan perlengkapan
penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota berdasarkan
norma, standar, prosedur, dan kebutuhan yang
ditetapkan oleh KPU;
b. Mengadakan perlengkapan penyelenggaraan Pemilu
sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
c. Memberikan layanan administrasi, ketatausahaan, dan
kepegawaian sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2.2.5.2.Sekretariat KPU Kabupaten/Kota berkewajiban:
a. Menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan;
c. Mengelola barang inventaris KPU Kabupaten/Kota.
d. Sekretariat KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab
dalam hal administrasi keuangan serta pengadaan
barang dan jasa berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
2.2.6. Struktur KPU Kota Yogyakarta 2.2.6.1.Anggota KPU Kota Yogyakarta
a. Wawan Budiyanto, S.Ag, MSI
b. Hidayat Widodo, S.IP
c. R. Moeh N. Aris Munandar, SE.
d. Sri Surani, SP
e. Siti Nurhayati, S.S.
2.2.6.2.Profil Sekretariat KPU Kota Yogyakarta
a. Ka. Sub Bag. Umum Indradi Yohananto, SH.
b. Ka. Sub Bag. Hukum Purbaningsih, SH.
c. Ka. Sub Bag. Teknis Pemilu & Hupmas Warisna
Wijaya, S.IP.
d. Ka. Sub Bag. Program dan Data Yurnelis Piliang, S.IP.,
2.3.Organisasi Penyandang Difabel yang Mendorong Partisipasi Politik Difabel di Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta.
Organisasi Difabel di Daerah Istimewa Yogyakarta pada
tahun 2013 melakukan pertemuan membahas mengenai permasalahan
yang dihadapi Difabel saat Pemilu. Pertemuan ini di inisiasi oleh
Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) dan didukung oleh
The Asia Foundation (TAF) .Adapun organisasi yang terlibat dalam
peretmuan tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 2.7
Perwakilan organisasi Difabel D.I Yogyakarta
NO Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
1. Organisasi Sosial Penyandang Cacat (OSPC)
2. Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) 3. Forum Peduli Difabel Bantul (FPDB)
4. Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) 5. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI )
Yogyakarta
6. PERTUNI Yogyakarta
7. Deaf Art Community (DAC) Kulon Progo
8. Persatuan Penyandang cacat Kulon Progo (PPCKP) 9. PERTUNI Kulon Progo
10. SLB YAPENAS Sleman
11. Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP) Sleman 12. Organisasi Difabel Mlati(ODM) Sleman
13. Persatuan Penyandang Cacat Sleman (PPCS) Sumber : SIGAB 2014
Dalam pertemuan ini gerakan difabel telah menghasilkan
beberapa rekomendasi untuk mewujukan pemilu yang inklusif.
Rekomendasi ini tidak serta merta disusun tanpa adanya pemahaman
akan permasalaha yang terjadi. Seperti yang disampaikan oleh
narasumber saat wawancara bahwa saat pemilu legislatif tahun 2014
masih banyak ditemukan celah-celah pelanggaran sehingga hal ini
harus segera dicarikan solusi bersama dengan organisasi Difabelnya
agar permasalahan saat pemilu legislatif tidak terulang saat pemilu
presiden dan wakil presiden tahun 2014.
Salah satu organisi Difabel yang aktif menyuarakan dan
mendorong partisipasi politik difabel adalah Sasana Integrasi dan
Advokasi (SIGAB) adalah organisasi non pemerintah yang bersifat
independen, nirlaba, dan nonpartisan. SIGAB didirikan di Yogyakarta
pada tanggal 5 Mei 2003.Organisasi yang mempunyai motto “Bersama Menuju Masyarakat Inklusi” ini mempunyai cita-cita besar untuk membela dan memperjuangkan hak-hak difabel di seluruh Indonesia
hingga terwujud kehidupan yang setara dan inklusif. SIGAB
didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga difabel masih
dimarginalkan, baik secara struktural maupun kultural.Hak-hak warga
difabel seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial,
perlindungan hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai
pada penggunaan fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak.
SIGAB juga melakukan Pendidikan Politik untuk Meningkatkan
Kekuatan Tawar Difabel dalam Pemilu 2009 di Kabupaten Sleman dan
Kulonprogo, Provinsi DIY. Bekerja sama dengan Yayasan TIFA yang
dilakukan menjelang Pemilihan Umum 2009, dengan kegiatan antara
lain: (1) Workshop Penyusunan Kurikulum dan Modul; (2) Pendidikan
Politik; (3) Loby dengan Parpol dan Caleg; (4) Deklarasi Politik Bela
Bangsa; (5) Dialog Publik Jelang Pemilu Legislatif; (6) Workshop
Penyusunan Strategi Advokasi Lanjut; (7) Loby dengan DPRD
Terpilih; (8) Konsultasi Publik; (9) Talkshow Radio; (10) Talkshow
TV Lokal; (11) Workshop Evaluasi
SIGAB telah mampu memfasilitasi embrio pemilih kritis
Difabel di 4 provinsi (Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa
Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta). Selain menghasilkan
dokumentasi hasil pemantauan aksesibilitas PEMILU 2014, program
yang didukung AIESP The Asia Foundation ini juga telah
menghasilkan sebuah survei perspektif Difabilitas di kalangan calon
legislator 2014, buku “PEMILU dan Gerakan Politik Kaum Difabel”,
serta kampanye perspektif Difabel dan penguatan partisipasi Difabel
dalam PEMILU 2014. Melalui program ini diharapkan ke depan,
Difabel di area program dapat lebih aktif mengawal kinerja legislatif
untuk lebih berperspektif Difabel
SIGAB melakukan pemantauan pemilu yang difokuskan pada berbagai
difabel.Pemantauan dilaksanakan di 29 TPS di 21 kecamatan di
seluruh DIY.Kelompok pemantau yang menamakan diri “Kelompok Difabel Pemantau Pemilu (KEDIPP) 2004 DIY” ini memantau
pendataan pemilih, kampanye Pemilu, masa tenang, pemungutan suara,
dan penghitungan suara.Kegiatan ini dilakukan untuk Pemilu Legislatif
maupun Pemilu Presiden/Wapres.
SIGAB melakukan pendidikan Politik Dalam Rangka
Membangun Partisipasi Politik Difabel Uuntuk Mewujudkan
Pemerintah Yang Demokratis Dan Inklusif.Melalui dukungan The
Asia Foundation / Aus Aid, program ini ditujukan untuk melakukan
pendidikan politik kepada difabel di DIY, Jawa Timur, Kalimantan
Timur serta Sulawesi Selatan dalam rangka meningkatkan ruang dan
partisipasi difabel dalam pestademokrasi di negeri ini. Difabel, sebagai
bagian integral warga Negara yang mempunyai hak dan kewajiban
yang sama, masih seringkali terpinggirkan pemenuhan hak politiknya.
Selain akses fisik yang masih menjadi kendala besar bagi difabel untuk
menggunakan hak suara memilihnya, hak dipilih serta keterwakilan
politik yang masih kecil, kepentingan mereka juga hamper sama sekali
tak terwakili oleh para pelaku politik. Itu barangkali sebabnya
mengapa difabel dan kepentngan mereka tak banyak dibicarakan,
bahkan tidak menjadi pertimbangan dalam perencanaan kebijakan dan
program pembangunan yang merupakan produk dari para actor politik.
program ini juga akan mengukur tingkat perspektif difabilitas di
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Respon Masyarakat Difabel TerhadapRuang Partisipasi Yang di Bangun KPU Kota Yogyakarta
Pada tanggal 10 November 2011, DPR mengeluarkan UU No. 19
Tahun 2011 yang berisi pengesahan Convention on the Rights of Persons
with Disabilities (CPRD) atau Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas. Dijelaskan di dalamnya bahwa kewajiban Negara adalah
untuk menjamin partisipasi penyandang difabel dalam setiap aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya berpolitik.Di dalam CPRD yang
berkaitan dengan pemilu, menetapkan bahwa pemerintah harus
memberikan fasilitas yang bisa diakses dan mudah bagi penyandang
difabilitas untuk memilih tanpa terintimidasi.Pemerintah juga harus
menjamin kebebasan berekspresi mereka sebagai pemilih dan, ketika
diperlukan, Difabel bisa bisa menunjuk pendamping saat memilih (KPU
Kota Yogyakarta, 2014). Adapun prinsip CPRD terdiri dari 8 (delapan)
prinsip yaitu: penghormatan atas martabat yang dimiliki, otonomi dan
kemandirian individu; non-diskriminasi; partisipasi secara penuh dan
efektif dan inklusif/keikutsertaan dalam masyarakat; penghormatan atas
perbedaan dan penerimaan terhadap Difabel sebagai bagian dari
kemanusian dan keragaman manusia; kesempatan yang sama;
atas kapasitas anak Difabel dan hak mereka untuk mempertahankan
identitasnya.
Wignjosoebroto dalam Saiful Arif, dkk (2006) menekankan arti
penting persyaratan terwujudnya eksistensi para warga sebagai insan
politik, yang tak hanya memperoleh jaminan perlindungan hak akan tetapi
juga jaminan termanfaatkannya hak-hak para warga untuk membangun
demokrasi, sehingga KPU dalam hal ini sebagai representasi Negara
mempunyai kewajiban untuk melaksanakan dan memastikan aksesibilitas
pemilu. Terkait dengan hak –hak Difabel dalam hal politik khususnya dalam Pemilu 2014 di Kota Yogyakarta, KPU Kota sebagai lembaga
penyelenggara pemilu berkewajiban untuk memastikan semua warga
masyarakat dan kelompok dapat berpartisipasi. Pada Pemilu 2014 jumlah
Daftar Pemilih Difabel Kota Yogyakarta adalah sejumlah 268 orang
terdiri dari 143 Laki-laki dan 125 perempuan. Dari 268 pemilih difabel
tersebut terdiri dari tuna daksa sebanyak 27 Orang, Tuna Netra sebanyak
112, tuna runggu sebanyak 129 orang (KPU Kota Yogyakarta, 2014).
Untuk mengakomodir hak-hak Difabel agar memperoleh jaminan
perlindungan Daerah Istimewa Yogyakarta telah membuat payung
hukum yang jelas untuk memenuhi hak-hak masyarakat penyandang
disabilitas. Dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 4 tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan
hak-hak penyandang disabilitas, di dalam pasal 2 menyatakan bahwa
a. Penghormatan atas martabat yang melekat otoritas individual
termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan kemandirian
orang-orang
b. Non-diskriminasi
c. Partisipasi dan keterlibatan penuh dan efektif dalam masyarakat
d. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan manusia dan rasa
kemanusiaan
e. Kesetaraan kesempatan
f. Aksesibilitas
g. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
h. Penghormatan atas kapasitas yang berkembang dari penyandang
disabilitas anak dan penghormatan atas hak penyandang disabilitas
anak untuk melindungi identitas mereka.
Pemerintah Daerah DIY berupaya membuat peraturan daerah
sebagai landasan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas bertujuan
agar tidak ada diskriminasi sehingga tercapai kesetaraan dimasyarakat.Jika
dicermati maka dalam kaitannya Difabel DIY telah berupaya membuat
payung hukum untuk melindungi hak-hak penyandang Difabel. Terkait
dengan politik dalam perda ini mengatur secara jelas dalam pasal 72-78
menyatakan bahwa setiap Penyandang Difabel mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam menyampaikan pendapat baik secara lisan,
tertulis, maupun dengan isyarat. Penyampaian pendapat dapat dilakukan
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
memfasilitasi proses penyampaian pendapat oleh penyandang Difabel,
pendidikan politik secara berkala, terencana, terarah dan
berkesinambungan bagi penyandang Difabel, mendapatkan sosialisasi
tentang pemilihan umum dan mendapatkan informasi, teknis dan/atau
asistensi tentang penyelenggaraan pemilihan umum yang sesuai dengan
jenis kebutuhan.
KPU Kota Yogyakarta merupakan salah satu KPU yang cukup
berhasil dalam rangka memfasilitasi penyandang Difabel dalam pemilu
tahun 2014, hal tersebut terbukti dengan diperolehnya penghargaan dari
KPU RI terkait fasilitasi penyandang Difabel. KPU Kota Yogyakarta
mencoba memenuhi semua hak konstitusi warga negara dalam
menyalurkan hak-hak politiknya tanpa ada dikriminasi untuk penyandang
Difabel, meskipun KPU Kota Yogyakarta tidak didesain secara khusus
menangani Pemilu Difabel akan tetapi KPU Kota Yogyakarta mencoba
mengarahkan layanan untuk penyandang Difabel agar mampu
menyalurkan hak-haknya.
Perbaikan dalam kebijakan Pemilu oleh KPU Kota Yogyakarta
tidak terlepas dari respon Difabel yang mampu melihat banyaknya
pelanggaran dalam pemilu yang dilakukan oleh petugas, sehingga
mengakibatkan enggannya Difabel berpartisipasi saat pemilu, hal ini
sejalan dengan yang disampaikan oleh narasuber yaitu Ibu Widi.
“saya kepingin banget melihat seberapa pelanggaran yang terjadi di KPU, akhirnya kita jadi tim pemantau di kampanye,
penemuan-penemuan itu kita evaluasi, ada evaluasi kita ikut memberikan masukan” (Wawancara dengan ibu Widi pegiat komunitas Difabel di Kota Yogyakarta tanggal 12 November 2016)
Berdasarkan wawancara tersebut perbaikan di KPU Kota
Yogyakarta tidak terlepas dari peran aktif difabel untuk mengurangi
pelanggran-pelanggaran yang kemudian di evaluasi bersama-sama
pemangku kepentingan sehingga respon tersebut tidak berhenti sebagai
kritik tetapi menjadi solusi yang mengarahkan KPU Kota Yogyakarta jauh
lebih baik. Selain itu kesadaran dalam politik dan peran aktif Difabel
dalam mengagregasikan kepentingnnya dalam pemilu berdampak terhadap
perbaikan fasilitasi saat pemilu bisa diwujudkan. Hal ini diakui oleh Ibu
Rani salah satu komisioner KPU Kota Yogyakarta yang mengatakan
bahwa gerakan Difabel yang semakin massif menuntut kesataraan
sehingga menjadikan KPU Kota Yogyakarta lebih terbuka dan terus
menerus berupaya melakukan perbaikan untuk mewujudkan pemilu yang
inklusif.
“Gerakan Difabel untuk menuntut kesataraan semakin massif, SIGAB misalnya ada di 7 Provinsi di Pileg, melakukan monitoring yang disiapkan Negara, temuannya luar biasa, pelanggarannya luar biasa bicara tentang Difabel, itu menjadi cambuk bagi Negara dalam hal ini penyelenggara pemilu untuk membuat perubahan” (wawancara ibu Rani, komisioner KPU Kota Yogyakarta tanggal 8 November 2016)
Tuntutan gerakan Difabel mengisyaratkan bahwa kesadaran akan
realita keterlibatan mereka secara langsung, dapat merubah kebijakan,
Kota Yogyakarta telah mampu merespon permasalahan-permasalahan
dalam proses pemilu seperti kurang berpihaknya petugas TPS dan
pelanggaran-pelanggaran mendasar lainnya. Hal ini menegaskan bahwa
Difabel di Kota Yogyakarta mempunyai kesadaran penuh. Freire (1999)
mengatakan bahwa ketika masyarakat mulai sadar secara penuh terhadap
pemasalahan yang ada maka akanmulai ada gerakan massa yang menekan
elit. Munculnya kesadaran ini sekaligus juga mempengaruhi tingkat
kesadaran penguasa yaitu Komisi Pemilihan umum dan pembuat kebijakan
lainnya. KPU kota Yogyakarta telah berupaya melakukan terobosan atau
inovasi berdasarkan masukan dari Difabel untuk mengupayakan
peningkatan partisipasi penyandang Difabel dalam pemilu pada tahun
2014, salah satunya dengan melibatkan masyarakat penyandang Difabel
tidak hanya sebagai objek tapi sudah dilibatkan sebagai aktor maupun
mitra kerja dari KPU Kota Yogyakarta. Sejauh ini pelibatan masyarakat
Difabel sudah pada tahap penyusunan kebijakan yang akan dilakukan KPU
Kota seperti penyusunan kebijakan metode sosialisasi sehingga metode
yang dibuat akan lebih tepat sasaran. KPU Kota Yogyakarta terus berusaha
membenahi diri untuk menaikan tingkat partisipasi politik Difabel dalam
berpolitik khusunya dalam proses Pemilihan Umum.
Masifnya kehadiran Difabel dalam ruang-ruang politik merupakan
bagian dari gerakan difabilitas yang dibangun oleh sejumlah organisasi
Difabel di seluruh Indonesia. Pergerakannya memang belum dalam satu
berdasarkan isu tertentu. Salah satu barisan kelompok itu adalah SIGAB
dan mitra lokalnya di 4 daerah dalam mendorong perspektif difabilitas
masuk dalam mendesain dan melaksanakan pemilihan umum baik
legislatif maupun eksekutif (Ishak Salim, 2015).
Sumbangan teori yang dikemukan Freire (1999) tentang tiga
tingkat kesadaran yaitu kesadaran semi intransitif, Kesadaran Naive
Transitivity, kesadaran kritis, masih sangat relevan dalam menggambarkan
bagaiamana perjalanan Difabel dalam proses merespon ruang partisipasi
yang dibangun oleh KPU Kota Yogyakarta saat pemilihan umum presiden
dan wakil presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta. Adapun
tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut :
1.1.1. Kesadaran Semi Intransitif
Kesadaran ini dimiliki oleh struktur sosial yang tertutup, pada tahap ini Difabel belum membuka diri dengan keadaan-keadaan sekitar,
Difabel seolah-olah tunduk pada kenyataan, kesadaran ini tidak akan
berhasil memahami adanya banyak tantangan, atau memahaminya.
Kesadaran ini tidak bisa mengobjektifikasi fakta dan kehidupan sehari-hari
yang sebetulnya banyak mengandung permasalahan.hal ini dapat
digambarkan secara jelas oleh salah satu narasumber yang mengemukakan
bahwa ketika difabel belum memahami permasalahan yang ada dan tidak
mengetahui hak-haknya mereka akan tunduk dengan keadaan walaupun
“ketika dulu saya tidak tau hak saya memang ngikut aja apa yang menjadi peraturan pemerintah saya ngikut saja ndak ngerti ada pelanggaran, saya dulu nerimo ing pandum’ (Wawancara dengan ibu widi-seorang difabel- tanggal wawancara 12 november 2016 ) Dalam tahapan ini difabel di kota Yogyakarta masih sangat tertutup
dan enggan bersosialisasi sehingga tidak memperoleh informasi dan
sosialisasi yang mengakibatkan mereka tidak menggunakan haknya
sebagai warga Negara dalam pemilu. Kesadaran ini dimiliki Difabel di