• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

DAN KERANGKA PIKIR

A. Sosiolinguistik

Pengertian sosiolinguistik dari berbagai pakar bahasa tidak jauh berbeda, diantaranya adalah menurut Abdul Chaer, sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguitik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor sosial di dalam masyarakat tutur (Abdul Chaer, 2004:4). Menurut Kridalaksana, sosiolingusistik merupakan ilmu yang mempelajari ciri bahasa, beberapa variasi bahasa dan hubungan antara pengguna bahasa dengan ciri fungsi variasi bahasa dalam suatu masyarakat tutur (Kridalaksana, dalam Abdul Chaer 2004:3 197). Sosiolinguistik menurut pendapat lain merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.

Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi disekitarnya. Disimpulkan oleh I Dewa Putu Wijana dan Muhammmad Rohadi bahwa (2006:7),

commit to user

Sosiolinguistik sebagai ilmu interdisipliner yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam hubunganya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kultural.

B. Masyarakat Bahasa

Dalam kamus linguistik masyarakat bahasa (speech community) adalah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standar yang sama (Harimurti krida laksana, 2001:134). I Dewa Putu Wijana dan muhammad Rohadadi (2006:46) menyebut masyarakat bahasa dengan istilah masyarakat tutur. Mereka berpendapat bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan.

“Masyarakat Bahasa (Speech Community) menurut para pakar antara lain, John Gumperz (1968) Masyarakat bahasa adalah sebuah bangsa, masyarakat subwilayah, asosiasi sekelompok orang dalam pekerjaan, atau geng suatu lokasi yang mencirikan keganjilan bahasa. Dell Hymes (1972/1973) Masyarakat bahasa adalah semua anggota masyarakat yang tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara bersama-sama dalam berbicara, tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu variasi bahasa. Glyn Williams (1992) Masyarakat bahasa adalah sekumpulan individu dalam interaksi. Bernard Spolski (2003) Masyarakat bahasa adalah semua orang yang menggunakan satu bahasa dengan pengucapan dan gramatika yang sama atau berbeda”. (http://www.sigodang.blogspot.com / 27 / 11 / 2008).

Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan

commit to user

mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.

Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal repertoire. Verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal repertoire yang dimiliki individu dan yang dimiliki masyarakat. Jika suatu masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat bahasa.

Menurut Ferdinan De jsarangih, Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, dibedakan menjadi tiga masyarakat bahasa, antara lain (1) Masyarakat monolingual (masyarakat penguna satu bahasa), (2) Masyarakat bilingual (masyarakat penguna dua bahasa), (3) Masyarakat multilingual atau masyarakat penguna lebih dari 2 bahasa dalam berkomunikasi (di kutip dalam http://www.sigodang.blogspot.com/27/11/ 2008).

C. Variasi Bahasa / Ragam Bahasa

Variasi bahasa atau ragam bahasa merupakan bahasa pokok dalam studi sosiolinguistik (Abdul Chaer, 2004:5). Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun karena penutur bahasa tersebut meski berada dalam masyarakat tutur tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang kongret disebut parole, menjadi tidak seragam. Sehingga bahasa menjadi bervariasi, terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para

commit to user

penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Dalam hal variasa atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Atau dengan kata lain, variasi bahasa pertama-tama dibedakan berdasarkan penutur dan penggunanya.

Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:62) mengklasifikasikan variasi-variasi bahasa sebagai berikut.

a) Variasi dari Segi Penutur

Pertama, variasi dari segi penutur adalah Idiolek, yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Hal ini berkenaan dengan suara, pilihan kata, gaya bahasa, dan susunan kalimat. Kedua, Dialek yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Ketiga, Kronolek atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Keempat, Sosiolek atau Dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkatan, golongan status, dan kelas sosial biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot dan ken. Adajuga yang menyebut dengan bahasa prokem.

commit to user

b) Variasi dari Segi Pemakaian

Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakainya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register (Nababan:1984, dalam Abdul Chaer:2004). Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi ini menyangkut bahasa itu digunakan untuk apa. Misalnya dalam bidang agama, pendidikan, dan lain sejenisnya.

c) Variasi dari Segi Keformalan

Berdasarkan keformalan, (Martin Joos:1967, dalam Abdul Chaer:2004) membagi bahasa menjadi lima macam gaya (selanjutnya disebut ragam), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsulatif). Gaya atau ragam Santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).

1) Ragam beku

Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi. Misalnya dalam khutbah di masjid, upacara kenegaraan, dan lain sejenisnya.

2) Ragam resmi

Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran dan lain sejenisnya.

3) Ragam usaha atau ragam konsulatif

Ragam usaha adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan disekolah, dalam rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau

commit to user

produksi. Atau dengan kata lain ragam ini adalah ragam bahasa yang paling oprasional. Wujud ragam ini berada diantara ragam formal dan ragam informal.

4) Ragam santai atau ragam kasual

Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang. Bentuk santai ini banyak menggunakan bentuk alegro, yaitu bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah, begitu juga dengan struktur morfologi dan sintaksis yang normatif tidak digunakan.

5) Ragam akrab atau ragam intimate

Ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubunganya sudah akrab, seperti teman yang sudah akrab. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena diantara partisipan sudah ada saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama.

d) Variasi dari Segi Sarana

Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis atau juga ragam dalam bahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya bahasa dalam telepon atau bahasa dalam SMS (short massage service) layanan pengiriman data via Handphone. Adanya ragam bahasa ini memiliki wujud atau struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental

commit to user

atau unsur nonlinguistik yang berupa nada atau suara gerak-gerik tanggan dan sejumlah gejala-gejala lainnya, tetapi dalam bahasa tulis hal tersebut tidak ada dan diekspresikan secara verba.

D. Kontak Bahasa

Dalam masyarakat sosial, artinya masyarakat yang angotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat akan terjadi kontak bahasa (Abdul Chaer, 1984:65). Kontak bahasa itu merupakan bentuk-bentuk yang mungkin saja tidak sesuai dengan standar yang berlaku pada masyarakat yang mengalami kontak bahasa.

Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Banyumas, dialek Surakarta, dialek Yogyakarta, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dan lain sebagainya, dan menurut Saussure dalam Chaer (2004), hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Dari kontak bahasa tersebut akan dengan menggunakan dwibahasa tersebut sehingga menimbulkan alih kode, campur kode, dan interverensi.

1. Alih Kode

Menurut Appel dalam Abdul Chaer (2004:114) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan bahasa karena perubahan situasi. Tetapi menurut Dell

commit to user

Hymes, dalam Kunjana Rahardi (2001:20) menyatakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang berbeda dalam suatu bahasa. Apabila seseorang berkomunikasi semula menggunakan bahasa Jawa, kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, atau berubah dari ragam santai menjadi ragam resmi atau kebalikanya, maka peralihan pengunaan bahasa seperti itu disebut alih kode (code switching) di dalam sosiolinguistik peristiwa alih kode biasa berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya, atau alih register (Soewito, 1983:68).

Alih kode dapat berupa alih kode tetap dan alih kode sementara atau tidak tetap. Alih kode tetap merupakan alih kode jika penutur semula menggunakan bahasa X kemudian tidak lagi menggunakan bahasa X akan tetapi menggunakan bahasa Y. Untuk alih kode sementara peralihan penggunaan bahasa X ke dalam bahasa Y yang sifatnya hanya sementara dapat berubah lagi menggunakan bahasa sebelumnya (bahasa X) hal tersebut karena dipengaruhi faktor-faktor tertentu.

Pendapat Soewito (1983: 69) alih kode terdiri dari dua, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, sedangkan alih kode ekstrn terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing.

Alih kode interen nampak misalnya ketika orang semula menggunakan bahasa Jawa kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, bisa juga orang semula menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kemudian mengunakan bahasa Jawa ragam krama, disebabkan sesuatu hal. Sedangkan alih kode ekstern nampak jika seorang

commit to user

penutur semula menggunakan bahasa Jawa tetapi atas suatu hal penutur tersebut beralih menggunakan bahasa Arab.

Menurut Suwito (1983: 72), wujud alih kode intern maupun ekstern dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: 1) Penutur atau orang pertama, dilakukan dengan maksud mengubah situasi dari situasi resmi ke situasi tak resmi. 2) Mitra tutur atau orang kedua, pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur. 3) Hadirnya orang ketiga, hal tersebut karena ingin berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. 4) Pokok pembicaraan atau topik, biasanya berupa pokok pembicaran formal informal. 5) Untuk membangkitkan rasa humor, agar tidak merasa bosan atau tegang. 6) Untuk sekedar gengsi, bahwa penutur mampu mengunakan bahasa lain.

2. Campur Kode

Hampir rancu pengertian alih kode dan campur kode, kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah orang yang mengunakan dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai nilai keduanya namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonom masing-masing, dilakukan dengan sadar, dengan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan campur kode dilakukan untuk mempermudah menyampaikan suatu hal dan tidak serta-merta dilakukan dengan sadar, tetapi dilakukan secara spontanitas.

Menurut Thender (1976) seperti yang dikutip oleh Abdul Chaer (2004:115) dalam membedakan campur kode dengan alih kode apabila dalam suatu peristiwa

commit to user

tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke bahasa lain, maka peristiwa tersebut adalah alih kode. Tetapi di dalam suatu peristiwa tutur baik klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa atau frasa campuran (hybrid clauses, hybrid pharase), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa tersebut merupakan peristiwa campur kode.

Menurut Kachru dalam Suwito (1983: 76) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain secara konsisten.

Campur kode dipengaruhi oleh beberapa hal, faktor yang menjadi sebab terjadinya campur kode menurut Suwito dalam Mulyani (tesis tahun 2004) berlatar belakang pada sikap dan kebahasaan. Sehingga atas dasar tersebut, faktor penyebab alih kode adalah: 1) Identifikasi peranan, yaitu berkenaan dengan sosial, registral, dan edukasional. (2) identifikasi ragam, dimana seseorang ingin menempatkan dalam hierarkhi status sosialnya. 3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dari hal di atas ketiga faktor tersebut saling bergantung dan tumpang tindih.

Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini bisaanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Bisaanya ciri menonjolnya berupa keadaan santai atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.

commit to user

Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu; (1) campur kode ke dalam (innercode-mixing) adalah campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala ragamnya, (2) campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.

Ditinjau wujud lingualnya, sebagian bahasa yang diperoleh dari bahasa lain dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga berupa frasa atau unit-unit bahasa yang lebih besar. Wujud campur kode dapat dibedakan berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya (Suwito, 1983: 78) yaitu:

1) Unsur yang berwujud kata yang disisipkan.

A : Nggih pak nderekke

‘ Ya pak mengikuti’

B : Antum mau ikut?

‘Kamu (laki-laki) mau ikut?’

2) Frasa yang disisipkan.

Nggih napa naminipun ukuwah ihwah, saudara bersaudara jenengan niku saudara kula.

‘Ya apa namanya rasa persaudaraan, saudara bersaudara anda itu saudara saya’

3) Bentuk baster yang disisipkan.

Dilanjutkan dengan pengaosan ataupun ta’lim rutin hari selasa dan jum’at dalam keadaan sehat wal’afiah.

‘Dilanjutkan dengan pengkajian atau pertemuan rutin hari selasa dan jum’at dalam keadaan sehat dan selamat’.

commit to user

4) Pengulangan kata yang disisipkan.

Wasilah-wasilah utawi napa namine niku perantara-perantara kersane iman kita tambah, kersane iman kita niku baru, iman kita niku napa jadi kuat niku sing sepinda napa mbah?

‘Hal-hal atau apa namanya itu perantara-perantara agar keyakinan kita bertambah, agar keyakinan kita baru, keyakinan kita itu apa jadi kuat itu yang pertama apa embah?’

5) Ungkapan atau idiom yang disisipkan.

Kemudian sing nomer tiga niku nggih punika mencuri, haa. Syirik, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri. Rasullullah niku bersabda assarikku wasarikoh fatau uadiaadiahuma.

‘Kemudian yang nomor tiga itu ya itu mencuri, haa. Menyekutukan, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri. Rosullullahitu bersabda pencuru itu potonglah tanganya.’

6) Klausa yang disisipkan.

Napa buk kira-kira? Qira’atul e.. dzikrullah fi ayamillah, yaitu dzikir dhumateng Allah dimanapun kita berada. Dzikir nggih buke. Dzikir ndek mbiyen punika buk napa namine?

‘Apa buk kira-kita? Membaca e.. mengingat Allah dimanapun, yaitu mengingat kepada Allah dimanapun kita berada. Dikir ya buk. Dikir kala dulu itu buk apa namanya?’

Dari hal tersebut campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang tertentu ingin menduduki fungsi tertentu yaitu menunjukkan status sosial dan identitas pribadi dalam masyarakat, menurut pendapat Suwito (1983:78).

3. Interferensi

Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) dalam Abdul Chaer (2004:120) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa

commit to user

sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, dan penutur multi lingual, masyarakat pengguna bahasa-bahasa secara bergantian.

Mackey dalam paul ohoiwutun (2007), menyebut gejala interferensi dapat dilihat dalam 3 (tiga) dimendi kejadian : (1) dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. (2) dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. (3) dimensi pembelajaran bahasa.

Dimensi tingkah laku individu penutur dapat disimak dari berbagai praktek campur kode yang dilalukan penutur yang bersangkutan. Interferensi ini murni merupakan rancangan atau model buatan penutur itu sendiri yaitu menyampur atau mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dalam konteks bahasa lainya. Interferensi dapat masuk dalam masyarakat karena sistem ke-dua bahasa yang keke-dua bahasa atau lebih merupakan bahasa yang digunakan secara umum dalam masyarakat. Sehingga interferensi muncul untuk suatu tujan tertentu oleh individu penguna bahasa.

Interferensi jenis ke-tiga yaitu dalam dimensi pembelajaran. Dalam hal ini proses pembelajaran bahasa ke-dua atau Asing, pembelajar tentu menjumpai unsur-unsur yang mirip atau mungkin sama dengan bahasa pertama (bahasa induk). Kondisi demikian dianggap dapat mempermudah proses pembelajaran. Pembelajaran menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama itu dalam mengenai dan menggunakan sistem bahasa yang baru.

commit to user

Proses ‘transfer’ ini diidentifikasi sebagai transfer positif. Sebaliknya bahasa pertama dengan bahasa asing sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang mirip, maka proses pembelajaran akan semakin rumit. Transfer dalam bisnis pembelajaran bahasa yang kurang menguntungkan ini dikategorikan sebagai transfer (pembelajaran) negative. Transfer positif dapat dapat dijadikan alat oleh guru untuk membantu keberhasilan pembelajaran. Sebaliknya guru dapat berupaya mengurangi sedapat mungkin terjadinya transfer negatif pada siswa.

Baik transfer positif maupun negatif tergolong interferensi, karena kedua-duanya melibatkan pengalihan unsur-unsur bahasa dari satu bahasa yang satu kedalam bahasa yang lainnya. Interferensi terjadi dalam pembelajaran bahasa secara resmi di kelas dan dapat juga terjadi dalam proses pemerolehan bahasa ke-dua atau bahasa asing di luar program kelas, misalnya adalah hal pidato, kajian agama atau ta’lim atau dalam pergaulan kita dalam masyarakat yang bilingual atau multi lingual.

Jika interferensi dalam masyarakat berlangsug dalam waktu yang lama sehingga unsure serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan system bahasa penyerapnya, sehingga menjadi umun karena tidak lagi terasa asing oleh suwito disebut dengan integrasi (Suwito, 1983:59).

E. Bilingualisme

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah bilingualisme merupakan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain secara bergantian (Abdul

commit to user

Chaer 2004:84). Pendapat Blomfield mengenai bilingualisme, yaitu kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa secara sama baiknya, menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode (Blomfield dalam Abdul Chaer, 1933:87).

Pakar lain berpendapat bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur (Mackey dalam Abdul Chaer 2004:87). Pergantian dalam pemakaian bahasa dilatarbelakangi dan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindak tutur (bdk.Sumarsono dalam Kunjana Rahardi, 2001:14). Macnamara, seperti yang dikutip oleh Kunjana Rahardi (2001:14), mengatakan bahwa batasan bilingualisme pemilikan penguasan (mastery) atas paling sedikit bahasa pertama dan bahasa kedua.

F. Diglosia

Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing memiliki peranan tertentu (Ferguson dalam Abdul Chaer, 2004:92). Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa : variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R).

Menurut Fishman seperti yang dikutip oleh Kunjana Rahardi (2001:14), melihat diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi, mulai adanya perbedaan stilistik

commit to user

dari sebuah bahasa sampai adanya perbedaan fungsi dari dua buah bahasa yang berbeda yang terdapat antara dialek, register, atau fariasi bahasa secara fungsional.

Dokumen terkait