commit to user
PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI
PONDOK PESANTREN
DARUSY SYAHADAH
KABUPATEN BOYOLALI
(SUATU KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh : WIRATNO
C0105052
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
ii
PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI
PONDOK PESANTREN
DARUSY SYAHADAH
KABUPATEN BOYOLALI
(KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)
Disusun oleh:
WIRATNO C0105052
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Sri Mulyati, M.Hum. Prof. Dr. Sumarlam, M. S. NIP 195610211981032001 NIP 196203091987031001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Sastra Daerah
commit to user
iii
PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI
PONDOK PESANTREN
DARUSY SYAHADAH
KABUPATEN BOYOLALI
(KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)
Disusun oleh:
WIRATNO C0105052
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal: ………..…
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum ………
NIP 195710231986012001
Sekretaris Drs. Sujono, M.Hum ………
NIP 195504041983031002
Penguji I Dra. Sri Mulyati, M.Hum. ………
NIP 195610211981032001
Penguji II Prof. Dr. Sumarlam, M.S. .………
NIP 196203091987031001
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
commit to user
iv
MOTTO
“Karakteristik waktu adalah keras dan tidak kenal menunggu, ia akan mengerus siapa saja yang ada di dalamnya.” (Amron Yuflaeli Widyanto).
“Jika berada diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu sore, kerjakanlah sekarang jangan menunggu nanti, sesunguhnya kematian amat dekat dengan
kita.” (Anonim).
commit to user
v
PERNYATAAN
Nama : Wiratno NIM : C0105052
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pemakaian Bahasa Jawa oleh Santri Pondok Pesantren Darusy Syahadah Kabupaten Boyolali (Kajian Sosiolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 1 Maret 2011 Yang membuat pernyataan,
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk :
• Keluarga, Ibu, Bapak, Kakakku (Winendro), Adikku (Capung). • Olisches, trimakasih selalu sabar, memberi kasih sayang, cinta, doa, dan
semangat.
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
Skripsi dengan judul Pemakaian Bahasa Jawa oleh Santri Pondok Pesantren Darusy Syahadah Kabupaten Boyolali (Kajian Sosiolinguistik) ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret yang memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.
2. Drs. Imam Sutardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah
FakultasSastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan dan ilmunya dalam penyusunan skripsi ini.
3. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah
yang telah memberikan nasihat, semangat, dan member ilmu dalam menyusun skripsi ini.
commit to user
viii
5. Prof. Dr. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing kedua yang telah berkenan memberikan waktu dan ilmunya, serta memberikan masukan dan penyempurnaan pada penulisan skripsi ini.
6. Ibu Siti Muslifah, S.S, M.hum., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dari awal kuliah sampai akhir kuliah, dengan penuh perhatian dan
kebijaksanaannya.
7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah dan dosen-dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
8. Kepala dan staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun Pusat Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kemudahan dalam layanan.
9. Rekan-rekan Sastra Daerah, Ustad, dan sahabat-sahabat di Pondok Pesantren Darusy Syahadah.
10. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, 1 Maret 2011
commit to user
ix ABSTRAK
Wiratno. C0105052. 2011. PemakaianBahasa Jawa oleh Santri Pondok Pesanten
Darusy Syahadah Kabupaten Boyolali. (Suatu Kajian Sosiolinguistik), Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu: 1) Bagaimanakah bentuk pemakaian bahasa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah, 2) Faktor apa saja yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah?, 3) Bagaimanakah fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah?
Tujuan penelitian adalah 1) Mendeskripsikan bentuk ragam bahasa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah meliputi, alih kode, campur kode, interferensi, ragam bahasa Jawa. 2) Menentukan faktor apa saja yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa Ponpes Darusy Syahadah. 3) Mendeskripsikan fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh Santri Ponpes Darusy Syahadah.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan data-data lisan kebahasaan berdasarkan bentuk dan maknanya. Data dalam penelitian ini berupa kalimat yang mengandung Alih kode, campur kode, dan interferensi. Sumber data berasal dari informan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Penyediaan data dengan metode simak, teknik dasar dengan memakai teknik sadap.Teknik lanjutan: 1) Teknik Simak Libat Cakap 2) Teknik Bebas Libat Cakap, 3) Teknik Rekam, 4) Teknik catat. Dari hasil rekam kemudian data di transkrip kedalam bentuk tulisan. Teknik analisis dengan menggunakan metode distribusional dan metode padan.
Dari hasil analisis ditemukan: 1. Bentuk pemakaian bahasa Jawa yang berupa 1). Alih kode external dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab dan sebaliknya. Alih kode internal berupa bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia dan sebaliknya, serta antar ragam bahasa Jawa (ngoko ke krama dan sebaliknya). 2). Campur kode bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa; “lima waktu”. Campur kode bahasa Arab dalam bahasa Jawa; “dinul Islam”. Campur kode bahasa Inggris dalam bahasa Jawa; “global warming”. 3). Interferensi dari bahasa Indonesia; “dithuthoklah” Interferensi dari bahasa Arab; “syariat”. Interferensi dari Bahasa Inggris; “moderen”. Wujud tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko,madya dan krama.
2. Faktor yang menjadi sebab pemakian bahasa Jawa dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, (1) penutur atau orang pertama, (2) mitra tutur atau orang kedua, (3) pokok pembicaraan atau topik, (4) untuk membangkitkan rasa humor, (5) keinginan untuk menjelaskan, (6) sebagai rasa hormat dan kesantunan berbahasa.
commit to user
x
DAFTAR ISI
JUDUL ... i
PERSETUJUAN ... ii
PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERNYATAAN ... v
PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Masalah ... 10
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Tujuan Penelitian ... 11
E. Manfaat Penelitian ... 11
1. Manfaat Teoretis ... 11
2. Manfaat Praktis ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 14
A. Sosiolinguistik ... 14
B. Masyarakat Bahasa ... 15
C. Variasi Bahasa ... 16
D. Kontak Bahasa ... 20
1.Alih Kode ... 20
2.Campur Kode ... 22
commit to user
I. Pondok Pesantren Darusy Syahadah... 36
J. Kerangka pikir ... 48
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ... 62
A. Bentuk Pemakaian Bahasa ... 62
1. Bentuk Alih kode ... 62
2.Bentuk Campur kode... 113
3.Bentuk Interferensi ... 162
4.Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Jawa ... 200
B. Faktor yang Melatar Belakangi Pemakaian Bahasa Jawa ... 210
C. Fungsi Pemakaian Bahasa Jawa ... 214
BAB V. PENUTUP ... 218
commit to user
xii
commit to user
xiii
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN
A. Daftar Tanda
‘…’ : glos sebagi penjepit terjemahan
“…” : tanda petik menandakan kutipan langsung
: tanda panah artinya berubah menjadi
[…] : tanda titik-titik maksudnya ada kalimat yang dihilangkan [ ] : penganti kata
/ : garis miring adalah menyatakan atau /…/ : pengapit fonetis
B. Daftar Singkatan
ACI : Alih kode, Campur kode, Interferensi
BUL : Bagi Unsur Langsung
DS : Darusy Syahadah
KMA : Kuliyyatul Mu’allimat (SMA Putri)
KMI : Kuliyyatul Mu’allimin (SMA Putra) MDI : Madrasah Diniyah Islamiyah
MDA : Madrasah Diniyah Awwaliyah
MDU : Madrasah Diniyah Ulya
MDW : Madrasah Diniyah Wustho
MI : Madrasah Ibdidaiyah
MP3 : Musik Player 3 (Tiga)
commit to user
xiv
OSIS : Organisani Siswa Intra Sekolah PDS : Pondok Pesantren Darusy Syahadah
Ponpes : Pondok Pesantren
SAPALA : Santri Pecinta Alam
SD : Sekolah Dasar
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMU : Sekolah Menengah Umum
SMS : Short Massage Service (Pesan Singkat)
dkk : dan kawan kawan
Swt. : Subhanahu wata`ala
Saw : Sallalahhu a’llahi wasalam
TID : Takhasshush I’dad Du’at / Da’iyat (Paska SMA)
TKS : Takhasshush (Persiapan masuk setigkat SMA) TPA : Taman Pendidikan Al Qur’an
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak dapat terlepas dari
peristiwa komunikasi. Dalam berkomunikasi manusia memerlukan sarana untuk
mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya. Sarana
yang paling utama dan vital adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah
bahasa. Dengan demikian fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana
komunikasi. Setiap anggota masyarakat dan komunitas selalu terlibat dalam
komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai komunikator (pembicara atau penulis)
maupun sebagai komunikan (mitra bicara, penyimak, pendengar, atau pembaca)
(Sumarlam, 2005:1).
Bahasa Jawa merupakan bagian dari bahasa nusantara dan termasuk rumpun
bahasa austronesia yang ada di dunia ini. Secara linier bahasa Jawa memiliki sejarah
yang panjang, area pemakaian yang amat luas dan jumlah penutur yang banyak,
sebanyak orang Jawa yang ada (Wakit Abdullah dan Sri Lestari Handayani, 2007:11).
Bahasa Jawa digunakan dibeberapa wilayah di Indonesia, yang terutama di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagian daerah di Jawa
Barat, maupun di luar negeri.
Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan
commit to user
banyak permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan tidak
terbatas, dan antara tataran permainan bahasa satu dengan lainnya tidak dapat di
tentukan dengan suatu aturan yang bersifat umum. Namun demikian, walaupun
terdapat perbedaan ada kalanya terdapat suatu kemiripan, dan hal ini sulit ditentukan
secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak mengetahui secara persis sebuah
permainan bahasa tertentu, namun manusia mengetahui apa yang harus diperbuat
dalam suatu komunikasi. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat bahasa
dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi
serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan secara
berbeda.
Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sistem mediasi, bahasa
tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan konsepsinya,
tetapi juga membentuk visi tentang realitas. Hal tersebut, menggacu pada pemikiran
bahwa dengan bahasa mendapat arti jauh lebih tinggi dari pada sistem bunyi atau
fonem.
Masyarakat Indonesia mempunyai banyak ragam bahasa, antara bahasa satu
dengan yang lain mempunyai ciri yang berbeda, perbedaan tersebut merupakan
kekayaan hasil budaya. Beberapa bahasasa yang digunakan oleh masyarakat di
Indonesia berasal dari bahasa suku-suku di Indonesia juga dari bahasa dari Negara
lain yang membudaya dalam masyarakat bahasa. Jika salah satu bahasa hanya
difahami oleh masyarakat minoritas tertentu atau kelompok, jika digunakan dalam
masyarakat umum maka akan timbul komunikasi yang tidak baik. Hal ini disebabkan
commit to user
budaya, maka masyarakatpun gagal untuk memahami dan dipahami dalam konteks
komunikasi antarbudaya.
Dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat dikatakan
sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat untuk
berkomunikasi. Akan tetapi fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat
komunikasi, bagi sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat yang fungsinya
menyampaikan pikiran saja dianggap terlalu sempit (Abdul Chaer, 2004:15). Hal
tersebut merupakan fungsi bahasa sebagai expresi atau buah pikiran manusia.
Jika dalam suatu kelompok masyarakat terdiri dari berbagai daerah-daerah
dan penguasaan bahasa yang perbeda-beda akan menimbulkan bahasa yang unik,
apalagi jika suatu kelompok masyarakat tersebut merupakan pengguna lebih dari satu
bahasa (multi lingual) akan timbul pencampuran bahasa atau sering disebut campur
kode dan alih kode.
Dalam sistem pendidikan formal maupun nonformal bahasa sangat berperan
penting dalam penyampaikan ilmu dari pendidik kepada orang yang mencari ilmu.
Bahasa merupakan modal utama agar terjadi proses pencapaian ilmu untuk difahami
dan dimengerti oleh para pencari ilmu. Dalam proses belajar menggajar dalam
instansi resmi bahasa yang digunakan cenderung bahasa formal nasional atau
Internasional, tetapi dalam proses belajar-mengajar nonformal bahasa yang digunakan
sesuai dengan kebutuhan, tidak harus formal tetapi dapat dimenggerti oleh para
penuntut ilmu. Tetapi dalam menyampaikan ilmu, terutama pengajar berasal dari
daerah lain yang dimungkin penguasaan bahasanya terbatas dengan para penuntut
commit to user
percampuran bahasa yang dikuasai oleh pengajar dalam menyampaikan ilmu.
Sehingga dalam penelitian bahasa yang mengkaji tentang sosiolinguistik, terutama
meneliti pemakaian bahasa yang mengandung alih bahasa sangat menarik untuk
dilakukan.
Penelitian yang terdahulu tentang tingkat tutur bahasa Jawa, alih kode,
campur kode antara lain penelitian yang dilakukan oleh; Mulyani dalam tesis dengan
judul “Alih Kode dan Campur Kode Dalam Kegiatan Belajar-Mengajar di Pesanttren
Moderen Arrisalah Kabupaten Ponorogo” (Kajian Sosiolinguistik). Penelitian ini
menampilkan data alih kode dan campu kode dari empat bahasa, yaitu bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Jawa. Dalam analisinya meninjau
(1) Wujud alih kode yang ditemukan dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, di
pesantren moderen “Arrisalah” serta kapan munculnya. (2) Campur kode yang
ditemukan dalam kegiatan belajar-mengajar. (3) Faktor-faktor penentu peristiwa alih
kode dan campur kode.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut (1) Terjadi alih kode dari
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, Arab, dan Jawa. (2) kegiatan alih kode
muncul pada kegiatan belajar-mengajar pada awal (meliputi; salam, tegur, sapa, dan
memberikan motifasi), kegiatan inti (meliputi; memberikan penjelasan, merespon
pemahaman santri, dan menarik kesimpulan topik pelajaran), kegiatan akhir
(meliputi; menutup pelajaran, salam, dan motivasi). (3) Terjadi campur kode ke-luar
(counter code mixing) dan campur kode ke-dalam (inner code mixing) dari base
commit to user
penyisipan kata, frasa, idiom atau ungkapan, kata ulang, dan klausa antar bahasa
Indonesia dengan bahasa Inggris, bahasa Arab, serta bahasa Jawa.
Skripsi “Pemakaian Bahasa Jawa dalam Ludruk” (Tinjauan Sosiolinguistik)
(1986) oleh Siti Zuhriyah, yang membahas tentang aspek kebahasaan yaitu alih kode,
interferensi bahasa, bahasa slang, undha usuk, kosakata, lafal, dan bentuk kata. Inti
dari pembahasanya dalam kajian bahasa Jawa dalam Ludruk memiliki
perbedaan-perbedaan dengan bahasa baku dalam hal lafal kata, bentuk kata, dan kosakata serta
banyak ditemukanya alih kode, interferensi bahasa Indonesia, pemakaian slang, dan
penggunaan ragam krama desa.
Skripsi pada tahun 2001 dengan judul “Kajian Bahasa Jawa di Desa Ketandan
Kecamatan Klaten Utara” (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik) oleh Arisanti Suwarso.
Dalam skripsi tersebut mengkaji tentang bentuk bahasa Jawa dan ragam bahasa Jawa
yang digunakan oleh masyarakat desa ketandan, kelurahan Klaten Utara. Salah satu
faktor yang menentukan penggunaan ragam bahasa Jawa masyarakat Desa Ketandan.
Penggunaan bahasa Jawa di daerah tersebut mengunakan jenis wacana berdasarkan
pemaparanya. Meliputi wacana historis dan wacana eksposisi. Tingkat tutur yang
digunakan masyarakat tersebut adalah (1) penutur, (2) mitra tutur, (3) situasi tutur, (4)
tujuan tutur, (5) hal yang dituturkan.
Peneliti tertarik terhadap salah satu kelompok masyarakat sebagai pengguna
lebih dari satu bahasa adalah lembaga pendidikan pesantren atau lebih popular
disebut dengan Pondok Pesantren (selanjutnya disingkat: Ponpes). Terutama Ponpes
yang ada di wilayah Jawa Tenggah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.
commit to user
pendidikan Ponpes. Lebih spesifik Boyolali merupakan bagian dari Karesiden
Surakarta yang mempunyai lembaga pendidikan Islam Ponpes yang sampai sekarang
masih ada bahkan semakin berkembang sistem pendidikanya. Salah satu Kecamatan
Boyolali yang memiliki lembaga pendidikan Ponpes adalah Kecamatan Simo, Desa
Gunungmadu. Lembaga tersebut benama Ponpes Darusy Syahadah (selanjutnya
disingkat: PDS). Bahasa yang umum digunakan di PDS adalah bahasa Indonesia,
bahasa Arab, dan bahasa Inggris, sedangkan bahasa Jawa tidak dipakai dalam
aktifitas di PDS, tetapi dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar ponpes, bahasa
Jawa sering digunakan dan memegang peranan penting dalam tercapainya suatu
komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar.
Secara geografis ponpes tersebut berlokasi di pedesaan sehingga masyarakat
sekitar merupakan pengguna bahasa Jawa. Dalam berkomunikasi dengan masyarakat
sekitar, santri PDS menggunakan beberapa bahasa salah satunya adalah bahasa Jawa,
bahasa Indonesia, dan sedikit bahasa Inggris. Sehingga dalam komunikasi dengan
masyarakat, santri PDS mengunakan beberapa bahasa secara bersama dan ada
percampuran bahasa yang digunakan. Disamping itu, para santri yang kebanyakan
berasal dari luar daerah setempat, bahkan santri berasal dari luar pulau Jawa.
Sehingga dipastikan ada perbedaan ciri kebahasaan yang dikuasai oleh para santri
khususnya bahasa Jawa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan penduduk
setempat. Walaupun bahasa Jawa tidak dibolehkan digunakan dalam situasi formal
dalam pondok, tetapi diperbolehkan dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar,
sehingga bahasa Jawa masih sering digunakan bagi santri yang mampu berbahasa
commit to user
Salah satu wadah komunikasi dengan masyarakat di wilayah sekitar PDS
adalah kajian yang dilakukan oleh para santri. Kajian tersebut atau istilah yang
digunakan oleh santri PDS disebut dengan kegiatan Ta’lim, kegiatan tersebut
merupakan pengabdian santri PDS terhadap masyarakat sekitar. Kegiatan ta’lim
tersebut dilakukan di wilayah sekitar PDS, yaitu wilayah kecamatan Simo. Ta’lim
dilakukan oleh para santri PDS putra selama duakali dalam sepekan, yaitu hari selasa
dan hari ju’mat. Kegiatan ta’lim tersebut dimulai sekitar pukul lima belas tiga puluh
atau jam setengah empat sore dan selesai sekitar pukul tujuh malam.
Kegiatan ta’lim (belajar) tersebut berupa pengajaran ilmu agama Islam, kajian
Islam, atau tausyiah untuk para masyarkat. Ta’lim tersebut dilakukan di masjid dan
mushola sekitar PDS atau dalam wilayah Kecamatn Simo. Masyarakat sekitar
merupakan pemakai bahasa Jawa sehingga dalam penyampain materi harus
menyesuaikan dengan bahasa yang dikuasai masyarakat sekitar. Sehingga
dimungkinkan akan banyak alih kode, campur kode dan interferensi bahasa yang
digunakan oleh santri dalam menyampaikan ilmu.
Melihat kenyataan diatas, jika beberapa bahasa tersebut digunakan untuk
berkomunikasi dengan masyarakat maka akan timbul percampuran bahasa atau
penggunaan bahasa lebih dari satu. Peneliti mengangap bahwa objek tersebut sesuai
dengan bidang linguistik terutama dalam kajian sosiolinguistik, maka penelitian ini
commit to user
Dari hasil survai lapangan yang biasa dipaparkan dalam kaitanya dengan
peristiwa alih kode, campur kode, dan interferensi yang terjadi santri PDS dalam
kegiatan pengapdian masyarakat yang berupa kegiatan rutin ta’lim di masjid dan
mushola di wilayah sekitar kecamantan Simo adalah sebagai berikut.
a. Alih kode
1. Mboten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat. (279)
‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya bu ini. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat.’
2. Menawi Rasaullullah ngelaksanaaken ngeten niki nggih kita ngelaksanaaken, ananging yen menawi Rasullullah mboten ngelaksanaake, nggih kita mboten ngelaksanaake. Amargi napa, man amilla ammallaisa allahwama asmummah falya’ rabbun. (255)
‘Terus ada, Rassul Allah (utusan Allah) ya pernah bicara. Barang siapa yang mempercayai dukun atau tukang sihir maka selama empat puluh hari sholatnya tidak diterima.’
b. Campur kode
1. Dados nek dicuri niku ukurane napa namine seper empat dinar, seper empat dinar niku nek dirupiahke berapa buk?Satu dinarniku berapa?(59)
‘Jadi kalau (yang) dicuri itu ukuranya apa namanya satuper empat dinar (mata uang emas) satuseper empat dinar itu kalau dirupiahkan berapa Bu? Satu dinar itu berapa?’
2. Nek misale iqab wonten ndonya nggih kathah sanget buk. Iqab ndonya nggih ibuk sampun ngerthosi ananing yen iqob wonten akhirat kita sedhaya boten ngertosi magkih di antar kita sedaya wonten ingkang mlebet suwarga nggih boten ngertos, wonten ing neraka nggih boten ngertos sedhaya. (151)
commit to user
c. Interferensi
1. Kemudian napa malih buk? Ketika sujud. Kletika terdholimi, jenengan tersakiti oleh orang lain. Nggih misale napa namine? Bu Sini niki dithutuklah kalih buk takmirlah. (12)
‘Kemudia apa lagi Bu? Ketika sujud, ketika tertindas. Anda tersakiti oleh orang lain . ya misanya apa namanya? Bu Sini itu dipukul oleh bu Takmir lah.’
2. Pemerintahan niku di rancang kalian islam didadhekke hukum-hukum Islam kalian pemimpin niku hanya bertaqwa kepada Allah, mboten wonten korupsi, mboten wonten. Bahwasane niku malah seperti sakniki jamane pemilu demokrasi, pemilu niki sing nyalonke nggih butuh ragat gedhe, dadhos ngeh mangkih wonten maksud liyane. (110)
‘Pemerintahan itu dirancang dengan Islam dijadikan hukum-hukum Islam oleh pemerintah itu hanya bertaqwa kepada Allah, tidak ada korupsi, tidak ada. Bahwasanya itu malah seperti sekarang jamanya pemilu demokrasi pemilu ini yang mencalonkan ya butuh biyaya besar, jadi ya nanti ada maksud lainya.’
Dalam paparan tersebut merupakan model bahasa yang digunakan oleh santri
PDS dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Ihwal kode merupakan hal
yang penting untuk diteliti dalam bidang linguistik, terutama dalam pendekatan
sosiolinguistik. Dalam penelitian ini membahas alih kode, campur kode, interferensi
serta ragam bahasa Jawa pada masyarkat multilingual, yaitu kelompok masyarakat
pengguna beberapa bahasa. Berupa Pemakaian bahasa oleh santri Pondok Pesantren
Darusy Syahadah. Penelitian ini berfokus pada alih kode, campur kode, interferensi,
dan bahasa Jawa yang digunakan oleh Santri PDS dalam berkomunikasi dengan
masyarakat. Terjadinya ACI (Alih kode, Campur kode, dan Interferensi) karena
bahasa Santri PDS merupakan pengguna beberapa bahasa yang digunakan secara
commit to user
B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini mengkhususkan pada pemakaian bahasa Jawa oleh santri putra
Ponpes Darusy Syahadah, yaitu untuk menentukan, alih kode campur kode,
interferensi, ragam bahasa Jawa atau pilihan kata dalam berkomunikasi. Terutama
komunikasi dalam masyarakat pada kegiatan ta’lim yang diselengarakan oleh PDS
secara rutin dua kali dalam sepekan, pada hari selasa dan jum’at di lingkup Kecaman
Simo.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan
di atas, maka penelitian ini mengajukan tiga masalah, yaitu.
1. Bagaimanakah bentuk pemakaian bahasa oleh santri Ponpes Darusy
Syahadah? (rumusan ini mencakup alih kode, campur kode, interferensi, dan
ragam /tingkat tuturbahasa Jawa).
2. Faktor apa saja yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa oleh santri
Ponpes Darusy Syahadah? (rumusan ini mengkaji faktor-faktor yang
mepengaruhi pemakaian bahasa Jawa).
3. Bagaimanakah fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy
Syahadah? (rumusan ini membahas fungsi bahasa Jawa dalam alih kode,
commit to user
D. Tujuan Penelitian
Tujuan ahli bahasa adalah untuk mempelajari selengkap mungkin tentang
segala sesuatu yang sistematis dalam pemakaian bahasa (Uhlenbeck, 1982:15).
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini meliputi.
1. Mendeskripsikan bentuk pemakaian bahasa oleh santri Ponpes Darusy
Syahadah meliputi, alih kode, campur kode, interferensi, dan ragam bahasa
Jawa.
2. Menentukan faktor apa saja yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa
Ponpes Darusy Syahadah.
3. Mendeskripsikan fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh Santri Ponpes Darusy
Syahadah.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari suatu penelitian adalah menggambarkan nilai dan
kualitas penelitian. Adapaun manfaat penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat
memberikan manfaat baik secara teoretis, maupun secara praktis
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan mengenai
sosiolinguistik . Terutama menberikan pemahaman dan pengetahuan tentang wujud
alih kode, campur kode, interferensi, dan pemakaian bahasa Jawa oleh santri PDS
commit to user
2. Manfaat Praktis
1) Bagi peneliti, selanjutnya diharapkan dapat memberikan informasi tentang
alih kode, campur kode, dan interferensi dalam pandangan sosiolinguistik.
Selain itu dapat dipakai sebagai model penelitian berikutnya.
2) Bagi masyarakat, penelitian ini dapat membantu memberi informasi
kebahasaan serta mengetahui penggunaan bahasa Jawa oleh santri dalam
berkomunikasi dengan masyarakat.
3) Bagi santri, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan contoh pemakaian
bahasa Jawa untuk melaksanakan ta’lim dengan baik dan benar.
F. SistematikaPenulisan
Sistematika penulisan laporan atau hasil penelitian ini terdiri dari lima bab
yaitu sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan. Meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
Bab II Kajian Pustaka dan kerangka pikir. Untuk kajian pustaka mencakup
pengertian sosiolinguistik, masyarakat bahasa, variasi bahasa, kontak
bahasa, bilingualisme, diglosia, tingkat tututr bahasa Jawa, komponen tutur,
serta informasi keadaan ponpes Darusy Syahadah. Sedangkan untuk kerang
kapikir merupakan tahapan- tahapan alur kerja penelitian.
Bab III Metode Penelitian. Bab ini berisi tentang jenis penelitian, lokasi penelitian,
commit to user
teknik penyediaan data, metode dan teknik analisis data, dan metode
penyajian hasil analisis data.
Bab IV Hasil Analisis Data dan Pembahasan. Bab ini merupakan hasil analisis dan
pembahasan dari keseluruhan data mengenai pemakaian bahasa Jawa oleh
Santri Ponpes DS Kabupaten Boyolali.
Bab V Penutup. Bab ini adalah bagian akhir yang memuat tentang kesimpulan dan
commit to user
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
DAN KERANGKA PIKIR
A. Sosiolinguistik
Pengertian sosiolinguistik dari berbagai pakar bahasa tidak jauh berbeda, diantaranya adalah menurut Abdul Chaer, sosiolinguistik merupakan cabang ilmu
linguitik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor sosial di dalam masyarakat tutur (Abdul
Chaer, 2004:4). Menurut Kridalaksana, sosiolingusistik merupakan ilmu yang mempelajari ciri bahasa, beberapa variasi bahasa dan hubungan antara pengguna bahasa dengan ciri fungsi variasi bahasa dalam suatu masyarakat tutur (Kridalaksana,
dalam Abdul Chaer 2004:3 197). Sosiolinguistik menurut pendapat lain merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa
digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat tidak lagi sebagai individu, akan tetapi
sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi disekitarnya.
commit to user
Sosiolinguistik sebagai ilmu interdisipliner yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam hubunganya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kultural.
B. Masyarakat Bahasa
Dalam kamus linguistik masyarakat bahasa (speech community) adalah
kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standar yang sama (Harimurti krida laksana, 2001:134). I Dewa Putu Wijana dan muhammad Rohadadi (2006:46)
menyebut masyarakat bahasa dengan istilah masyarakat tutur. Mereka berpendapat bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit
yang berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan.
“Masyarakat Bahasa (Speech Community) menurut para pakar antara lain, John Gumperz (1968) Masyarakat bahasa adalah sebuah bangsa, masyarakat subwilayah, asosiasi sekelompok orang dalam pekerjaan, atau geng suatu lokasi yang mencirikan keganjilan bahasa. Dell Hymes (1972/1973) Masyarakat bahasa adalah semua anggota masyarakat yang tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara bersama-sama dalam berbicara, tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu variasi bahasa. Glyn Williams (1992) Masyarakat bahasa adalah sekumpulan individu dalam interaksi. Bernard Spolski (2003) Masyarakat bahasa adalah semua orang yang menggunakan satu bahasa dengan pengucapan dan gramatika yang sama atau berbeda”. (http://www.sigodang.blogspot.com / 27 / 11 / 2008).
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara
commit to user
mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.
Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut
verbal repertoire. Verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal
repertoire yang dimiliki individu dan yang dimiliki masyarakat. Jika suatu
masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat bahasa.
Menurut Ferdinan De jsarangih, Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, dibedakan menjadi tiga masyarakat bahasa, antara
lain (1) Masyarakat monolingual (masyarakat penguna satu bahasa), (2) Masyarakat bilingual (masyarakat penguna dua bahasa), (3) Masyarakat multilingual atau masyarakat penguna lebih dari 2 bahasa dalam berkomunikasi (di kutip dalam
http://www.sigodang.blogspot.com/27/11/ 2008).
C. Variasi Bahasa / Ragam Bahasa
Variasi bahasa atau ragam bahasa merupakan bahasa pokok dalam studi sosiolinguistik (Abdul Chaer, 2004:5). Sebagai sebuah langue sebuah bahasa
mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun karena penutur bahasa tersebut meski berada dalam masyarakat tutur
commit to user
penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Dalam hal variasa atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya
keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi
dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Atau dengan kata lain, variasi bahasa pertama-tama dibedakan berdasarkan penutur dan penggunanya.
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:62) mengklasifikasikan
variasi-variasi bahasa sebagai berikut. a) Variasi dari Segi Penutur
Pertama, variasi dari segi penutur adalah Idiolek, yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Hal ini berkenaan dengan suara, pilihan kata, gaya bahasa, dan susunan kalimat. Kedua, Dialek yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Ketiga, Kronolek atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh
kelompok sosial pada masa tertentu. Keempat, Sosiolek atau Dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkatan,
golongan status, dan kelas sosial biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot dan ken. Adajuga yang
commit to user
b) Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakainya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register (Nababan:1984, dalam Abdul Chaer:2004).
Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi ini menyangkut bahasa itu digunakan
untuk apa. Misalnya dalam bidang agama, pendidikan, dan lain sejenisnya. c) Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan keformalan, (Martin Joos:1967, dalam Abdul Chaer:2004)
membagi bahasa menjadi lima macam gaya (selanjutnya disebut ragam), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha
(konsulatif). Gaya atau ragam Santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). 1) Ragam beku
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam
situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi. Misalnya dalam khutbah di masjid, upacara kenegaraan, dan lain sejenisnya.
2) Ragam resmi
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku
pelajaran dan lain sejenisnya.
3) Ragam usaha atau ragam konsulatif
commit to user
produksi. Atau dengan kata lain ragam ini adalah ragam bahasa yang paling oprasional. Wujud ragam ini berada diantara ragam formal dan ragam informal.
4) Ragam santai atau ragam kasual
Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang. Bentuk santai ini banyak menggunakan bentuk alegro,
yaitu bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah, begitu juga dengan struktur morfologi dan sintaksis yang normatif tidak digunakan.
5) Ragam akrab atau ragam intimate
Ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur
yang hubunganya sudah akrab, seperti teman yang sudah akrab. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena diantara partisipan sudah ada saling
pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama.
d) Variasi dari Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis atau juga ragam
dalam bahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya bahasa dalam telepon atau bahasa dalam SMS (short massage service) layanan pengiriman data via
Handphone. Adanya ragam bahasa ini memiliki wujud atau struktur yang tidak sama.
commit to user
atau unsur nonlinguistik yang berupa nada atau suara gerak-gerik tanggan dan sejumlah gejala-gejala lainnya, tetapi dalam bahasa tulis hal tersebut tidak ada dan diekspresikan secara verba.
D. Kontak Bahasa
Dalam masyarakat sosial, artinya masyarakat yang angotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat akan terjadi kontak bahasa (Abdul Chaer, 1984:65). Kontak bahasa itu
merupakan bentuk-bentuk yang mungkin saja tidak sesuai dengan standar yang berlaku pada masyarakat yang mengalami kontak bahasa.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia
bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Banyumas, dialek Surakarta, dialek Yogyakarta, dialek
Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dan lain sebagainya, dan menurut Saussure dalam Chaer (2004), hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Dari kontak bahasa tersebut akan dengan menggunakan dwibahasa tersebut sehingga
menimbulkan alih kode, campur kode, dan interverensi.
1. Alih Kode
commit to user
Hymes, dalam Kunjana Rahardi (2001:20) menyatakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang berbeda dalam suatu bahasa. Apabila seseorang berkomunikasi semula menggunakan
bahasa Jawa, kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, atau berubah dari ragam santai menjadi ragam resmi atau kebalikanya, maka peralihan pengunaan
bahasa seperti itu disebut alih kode (code switching) di dalam sosiolinguistik peristiwa alih kode biasa berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya, atau alih register (Soewito, 1983:68).
Alih kode dapat berupa alih kode tetap dan alih kode sementara atau tidak tetap. Alih kode tetap merupakan alih kode jika penutur semula menggunakan bahasa
X kemudian tidak lagi menggunakan bahasa X akan tetapi menggunakan bahasa Y. Untuk alih kode sementara peralihan penggunaan bahasa X ke dalam bahasa Y yang sifatnya hanya sementara dapat berubah lagi menggunakan bahasa sebelumnya
(bahasa X) hal tersebut karena dipengaruhi faktor-faktor tertentu.
Pendapat Soewito (1983: 69) alih kode terdiri dari dua, yaitu alih kode intern
dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, sedangkan alih kode ekstrn terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing.
Alih kode interen nampak misalnya ketika orang semula menggunakan bahasa Jawa kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, bisa juga orang semula
commit to user
penutur semula menggunakan bahasa Jawa tetapi atas suatu hal penutur tersebut beralih menggunakan bahasa Arab.
Menurut Suwito (1983: 72), wujud alih kode intern maupun ekstern
dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: 1) Penutur atau orang pertama, dilakukan dengan maksud mengubah situasi dari situasi resmi ke situasi tak resmi. 2) Mitra tutur
atau orang kedua, pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur. 3) Hadirnya orang ketiga, hal tersebut karena ingin berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. 4) Pokok pembicaraan atau topik, biasanya berupa pokok
pembicaran formal informal. 5) Untuk membangkitkan rasa humor, agar tidak merasa bosan atau tegang. 6) Untuk sekedar gengsi, bahwa penutur mampu mengunakan
bahasa lain.
2. Campur Kode
Hampir rancu pengertian alih kode dan campur kode, kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah orang yang mengunakan dua bahasa atau
lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai nilai keduanya namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonom
masing-masing, dilakukan dengan sadar, dengan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan campur kode dilakukan untuk mempermudah menyampaikan suatu hal
commit to user
tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke bahasa lain, maka peristiwa tersebut adalah alih kode. Tetapi di dalam suatu peristiwa tutur baik klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa atau frasa campuran (hybrid
clauses, hybrid pharase), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi
mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa tersebut merupakan peristiwa
campur kode.
Menurut Kachru dalam Suwito (1983: 76) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur
bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain secara konsisten.
Campur kode dipengaruhi oleh beberapa hal, faktor yang menjadi sebab
terjadinya campur kode menurut Suwito dalam Mulyani (tesis tahun 2004) berlatar belakang pada sikap dan kebahasaan. Sehingga atas dasar tersebut, faktor penyebab alih kode adalah: 1) Identifikasi peranan, yaitu berkenaan dengan sosial, registral, dan
edukasional. (2) identifikasi ragam, dimana seseorang ingin menempatkan dalam hierarkhi status sosialnya. 3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dari hal
di atas ketiga faktor tersebut saling bergantung dan tumpang tindih.
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa
lainnya. Hal ini bisaanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Bisaanya ciri menonjolnya
commit to user
Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu; (1) campur kode ke dalam (innercode-mixing) adalah campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala
ragamnya, (2) campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Ditinjau wujud lingualnya, sebagian bahasa yang diperoleh dari bahasa lain dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga berupa frasa atau unit-unit bahasa yang lebih besar. Wujud campur kode dapat dibedakan berdasarkan unsur-unsur kebahasaan
yang terlibat di dalamnya (Suwito, 1983: 78) yaitu: 1) Unsur yang berwujud kata yang disisipkan.
A : Nggih pak nderekke ‘ Ya pak mengikuti’ B : Antum mau ikut?
‘Kamu (laki-laki) mau ikut?’
2) Frasa yang disisipkan.
Nggih napa naminipun ukuwah ihwah, saudara bersaudara jenengan niku saudara kula.
‘Ya apa namanya rasa persaudaraan, saudara bersaudara anda itu saudara saya’
3) Bentuk baster yang disisipkan.
Dilanjutkan dengan pengaosan ataupun ta’lim rutin hari selasa dan jum’at dalam keadaansehat wal’afiah.
commit to user
4) Pengulangan kata yang disisipkan.
Wasilah-wasilah utawi napa namine niku perantara-perantara kersane iman kita tambah, kersane iman kita niku baru, iman kita niku napa jadi kuat niku sing sepinda napa mbah?
‘Hal-hal atau apa namanya itu perantara-perantara agar keyakinan kita bertambah, agar keyakinan kita baru, keyakinan kita itu apa jadi kuat itu yang pertama apa embah?’
5) Ungkapan atau idiom yang disisipkan.
Kemudian sing nomer tiga niku nggih punika mencuri, haa. Syirik, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri. Rasullullah niku bersabda assarikku wasarikoh fatau uadiaadiahuma.
‘Kemudian yang nomor tiga itu ya itu mencuri, haa. Menyekutukan, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri. Rosullullahitu bersabda pencuru itu potonglah tanganya.’
6) Klausa yang disisipkan.
Napa buk kira-kira? Qira’atul e.. dzikrullah fi ayamillah, yaitu dzikir dhumateng Allah dimanapun kita berada. Dzikir nggih buke. Dzikir ndek mbiyen punika buk napa namine?
‘Apa buk kira-kita? Membaca e.. mengingat Allah dimanapun, yaitu mengingat kepada Allah dimanapun kita berada. Dikir ya buk. Dikir kala dulu itu buk apa namanya?’
Dari hal tersebut campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik
antara peranan (penutur), bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang
mempunyai latar belakang tertentu ingin menduduki fungsi tertentu yaitu
menunjukkan status sosial dan identitas pribadi dalam masyarakat, menurut pendapat
Suwito (1983:78).
3. Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) dalam
commit to user
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, dan penutur multi lingual,
masyarakat pengguna bahasa-bahasa secara bergantian.
Mackey dalam paul ohoiwutun (2007), menyebut gejala interferensi dapat
dilihat dalam 3 (tiga) dimendi kejadian : (1) dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. (2) dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. (3) dimensi pembelajaran bahasa.
Dimensi tingkah laku individu penutur dapat disimak dari berbagai praktek campur kode yang dilalukan penutur yang bersangkutan. Interferensi ini murni
merupakan rancangan atau model buatan penutur itu sendiri yaitu menyampur atau mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dalam konteks bahasa lainya. Interferensi dapat masuk dalam masyarakat karena sistem
ke-dua bahasa yang keke-dua bahasa atau lebih merupakan bahasa yang digunakan secara umum dalam masyarakat. Sehingga interferensi muncul untuk suatu tujan tertentu
oleh individu penguna bahasa.
Interferensi jenis ke-tiga yaitu dalam dimensi pembelajaran. Dalam hal ini proses pembelajaran bahasa ke-dua atau Asing, pembelajar tentu menjumpai
unsur-unsur yang mirip atau mungkin sama dengan bahasa pertama (bahasa induk). Kondisi demikian dianggap dapat mempermudah proses pembelajaran. Pembelajaran
commit to user
Proses ‘transfer’ ini diidentifikasi sebagai transfer positif. Sebaliknya bahasa pertama dengan bahasa asing sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang mirip, maka proses pembelajaran akan semakin rumit. Transfer
dalam bisnis pembelajaran bahasa yang kurang menguntungkan ini dikategorikan sebagai transfer (pembelajaran) negative. Transfer positif dapat dapat dijadikan alat
oleh guru untuk membantu keberhasilan pembelajaran. Sebaliknya guru dapat berupaya mengurangi sedapat mungkin terjadinya transfer negatif pada siswa.
Baik transfer positif maupun negatif tergolong interferensi, karena
kedua-duanya melibatkan pengalihan unsur-unsur bahasa dari satu bahasa yang satu kedalam bahasa yang lainnya. Interferensi terjadi dalam pembelajaran bahasa secara
resmi di kelas dan dapat juga terjadi dalam proses pemerolehan bahasa ke-dua atau bahasa asing di luar program kelas, misalnya adalah hal pidato, kajian agama atau ta’lim atau dalam pergaulan kita dalam masyarakat yang bilingual atau multi lingual.
Jika interferensi dalam masyarakat berlangsug dalam waktu yang lama sehingga unsure serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan
system bahasa penyerapnya, sehingga menjadi umun karena tidak lagi terasa asing oleh suwito disebut dengan integrasi (Suwito, 1983:59).
E. Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut
commit to user
Chaer 2004:84). Pendapat Blomfield mengenai bilingualisme, yaitu kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa secara sama baiknya, menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode (Blomfield dalam Abdul Chaer,
1933:87).
Pakar lain berpendapat bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan
bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur (Mackey dalam Abdul Chaer 2004:87). Pergantian dalam pemakaian bahasa dilatarbelakangi dan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penutur
itu dalam tindak tutur (bdk.Sumarsono dalam Kunjana Rahardi, 2001:14). Macnamara, seperti yang dikutip oleh Kunjana Rahardi (2001:14), mengatakan
bahwa batasan bilingualisme pemilikan penguasan (mastery) atas paling sedikit bahasa pertama dan bahasa kedua.
F. Diglosia
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu
masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing memiliki peranan tertentu (Ferguson dalam Abdul Chaer, 2004:92). Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu
bahasa : variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R).
commit to user
dari sebuah bahasa sampai adanya perbedaan fungsi dari dua buah bahasa yang berbeda yang terdapat antara dialek, register, atau fariasi bahasa secara fungsional.
Fasold, dalam (Abdul Chaer, 2004: 98) konsep diglosia dikembangkan
menjadi apa yang disebut broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau juga dua
dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada perbedaan tingkat fungsi kebahasaan, sehingga muncul apa yang disebut oleh Fasold diglosia ganda
dalam bentuk yang disebut doubel overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Double-nested diglosia adalah
keadaan dalam masyarakat multi lingual, yang terdapat dua bahasa yang diperbedakan yaitu, satu sebagai bahasa tinggi dan yang lain sebagai bahasa rendah. Sedangkan linear polyglosia dimana dalam masyarakat multi lingual terdapat bahasa
yang mempunyai dua kedudukan.
G. Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah bahasa, juga harus memperhatikan siapa orang yang diajak bicara. Berbicara dengan orang tua
berbeda dengan berbicara pada anak atau yang seumur. Tingkat tutur merupakan sistem ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara, secara kasar dari bentuk
commit to user
juga Aryo Bimo Setiyanto (2007:26), menyebut tingkat tutur bahasa Jawa dengan istilah unggah-ungguhing basa.
Dalam Parama Sastra Bahasa Jawa tingkat tutur bahasa Jawa pada dasarnya
dibagi menjadi tiga, yaitu ngoko, madya, dan krama. Selain itu orang-orang Istana/Kedhaton menggunakan bahasa Kedhaton atau sering disebut bahasa
bagongan, sehingga tingkat tutur bahasa Jawa dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu ngoko, madya, krama, dan kedhaton. Ngoko dibagi menjadi dua, (1) ngoko lugu, (2) ngoko andhap. Madya dibagi menjadi tiga, (1) madya ngoko, (2) madya
krama, dan (3) madyaantara. Krama dibagi menjadi lima, yaitu (1) mudha krama, (2)
krama antara, (3) wredha krama, (4) krama inggil, dan (5) krama desa. Bahasa
kedhaton tidak dibagi tetapi hanya disebut dengan bahasa bagongan (Aryo Bimo Setiyanto, 2007:26).
Karti Basa dalam Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:12-13) disebut
bahwa tindak tutur bahasa Jawa dengan istilah undha-usuk bahasa Jawa terdiri dari (1) ngoko,(2) madya, (3) krama, (4) krama inggil, (5) kedhaton, (6) krama desa, dan
(7) kasar. Tingkat tutur ngoko dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko lugu dan ngoko andhap. Ngoko andap dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ngoko antyabasa dan basaantya. Tingkat tutur madya dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) madya ngoko, (2)
madya antara, dan (3) madya krama. Tingkat tutur Krama Juga dibedakan lagi menjadi tiga, yaitu (1) mudha krama, (2) krama antara, dan (3) wredha krama.
commit to user
dengan Hadiwijana, menbagi tingkat tutur Jawa menjadi basa baku, basa krama, basa madya, dan bahasa hurmat. Sudaryanto juga membagi tingkat tutur menjadi empat, yaitu, ngoko, krama alus, krama, dan krama alus.
Eko Wardono dalam Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:18) mengelompokkan tingkat tutur bahasa Jawa menjadi dua yaitu ngoko dan krama. Jika
tingkat tutur ngoko ditambah krama inggil, tingkat tutur tersebut akan menjadi ngoko alus. Jika tingkat tutur krama ditambah krama inggil, tingkat tutur tersebut akan menjadi krama inggil, tingkat tutur tersebut hanya berupa ngoko lugu atau krama
lugu. Jadi ada kesamaan antara pendapat Sudaryanto dengan Eko Wardonono.
Berdasarkan uraian diatas tingkat tutur bahasa Jawa atau unggah ungguhing
basa yang dipakai dalam penelitian membagi tingkat tutur BJ menjadi tiga seperti dalam buku parama sastra jawa oleh Antun Suhono (1953); (1) ragam Ngoko, (2) ragam Madya, (3) ragam Krama. Ragam Ngoko dibagi menjadi 2 (dua), Ngoko Lugu
dan Ngoko Andap. Ragam madya dibagi menjadi 3 (tiga); Madya Ngoko, Madya Krama, dan Madyantara. Sedangkan ragam Krama di bagi menjadi lima, Muda
Krama, Kramaantara, Wredakrama, Krama Inggil, dan Krama Desa.
1. Ragam Ngoko
Yang dimaksud dengan ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi inti ragam ngoko adalah
commit to user
a) Ngoko Lugu adalah semua kata dalam tingkat ini bentuk ngoko dan netral tanpa ada leksikon yang lain. Biasa ditandai dengan afiks [-e] (dak, ko, di), dan kata aku (ku), kowe (mu) serta [-ake]. Ragam ini digunakan untuk; orang
tua kepada anak, untuk urang sedrajat, status sosial tinggi kepada status sosial rendah.
b) Ngoko Andap adalah percampuran leksikon ngoko, netral dan krama tetapi yang dominan adalah leksikon ngoko, leksikon krama (krama inggil atau krama andap) yang muncul dalam ragam ini hanya digunakan untuk
penghormat mitra tutur (menyebut mitra tutur) . Digunakan untuk orang yang sudah akrab.
2. Ragam Madya
Ragam ini merupkan tingkatan sedang, leksikon terdapat dalam tingkat tutur
ini adalah leksikon ngoko dan leksikon krama yang kadar kehalusanya relatif rendah. Ragm ini dibagi menjadi 3 (tiga) seperti di bawah ini.
a) Madya Ngoko, leksikon yang muncul adalah leksikon madya dan ngoko. Misalnya /aku/ menjadi /kula/, /kowe/ menjadi /dika/. Digunakan oleh orang desa atau orang pegunungan.
b) Madya Krama, terdiri dari leksikon madya tercampur leksikon krama. Misalnya /aku/ menjadi /kula/, /kowe/ menjadi /sampeyan/. Digunakan oleh
orang desa dengan orang desa lainya.
commit to user
3. Ragam Krama
Tingkat tutur krama merupakan ragam atau tingkat tutur bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama bulan leksikon yang lain. Afik yang sering muncul dalam
ragam ini adalah afik berbentuk krama. Ragam krama mencerminkan penuh rasa sopan santun.
a) Muda Krama adalah semua kata dalam tingkat ini bentuk krama, meskipun begitu yang menjadi leksikon inti adalah dalam ragam krama dan terdapat krama inggil digunakan untuk lawan bicara. Ragam ini cocok untuk siapa
saja, misalnya orang muda kepada orang tua
b) Kramantara adalah merupakan bentuk ungah-unguh bahasa Jawa yang semua
kosakatanya merupakan kosakata krama tidak tercampur krama inggil. c) Wreda Krama, sama seperti kramantara tetapi megandung afiks [di-] dan [-e] d) Krama Inggil, tingkat tutur tingkatan paling tinggi. bentuk tingkat tutur yang
terdiri dari leksikon krama smua dan krama Inggil (misalnya, dipun-, -ipun, dan –ake).
commit to user
Bagan 1
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Menurut Antun Suhono
H. Komponen Tutur / Speaking
Suatu komunikasi antara orang satu dengan orang lain yang bentuk
kebahasaannya berbeda, menurut Dell Hymes (1972) dalam Abdul Chaer (2004:48) bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen sebagai unsur berbahasa (component of speech) yang dihasilkan berdasarkan analisisnya dalam
suatu akronim bahasa Inggris dengan huruf [S], [P], [E], [A], [K], [I], [N], [G] yang menyangkup antara lain (a) Setting and Scene, (b) Participants, (c) Ends, (d) Act
sequence, (e) Key, (f) Instrumentalities, (g) Norm of interpretation, (h) Genres.
Penjelasan komponen di atas antara lain sebagai berikut.
Madya Ngoko
Madya Krama
Madyantara
Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Ngoko
Madya
Krama
Ngoko Lugu
Ngoko Andap
commit to user
1. Setting and scene
Seting berkenaan denga waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene
mengacu pada latar psikolagis pembicaraan. Waktu, tempat dan situasi tuturan yang
berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi yang berbeda. Dalam penelitian ini mengambil tempat ta’lim PDS, di masjid atau mushola sekitar kecamatan Simo,
Boyolali.
2. Participants (Partisipan)
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam petuturan, bisa pembicara
dengan pendengar, penyapa dengan pesapa, atau pengirim dengan penerima (pesan). Dalam penelitian ini pihak-pihak yang terlibat adalah santri (murid) dengan santri,
santri orang lain atau masyarakat. 3. Ends (Tujuan)
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan petutur. Peristiwa tutur santri dalam
kegiatan ta’lim dengan masyarakat bermaksud untuk menyampaikan materi atau ilmu agama dengan tujuan agar masyarakat mendapat pencerahan ilmu agama (Islam).
4. Act sequence (Urutan Tindak)
Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana pengunaanya, dan hubungan
commit to user
5. Key (Kunci)
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan
disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong
dan lain sejenisnya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. 6. Instrumentalities (Alat)
Instrumentalis, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,
tertulis melalui surat atau SMS. Hal ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, dan register. Dalam penelitian ini lebih dominan
adalah bahasa lisan yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari dalam kegiatan ta’lim.
7. Norm of interpretation (Norma Interprestasi)
Norm of interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya.
Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. 8. Genre (Jenis)
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sejenisnya.
I. Pondok Pesantren Daruss Syahadah (PDS)
commit to user
sosial, politik dan lembaga kebudayaan. Sebagai lembaga keagamaan, lembaga Ponpes merupakan pusat pendidikan, pembinaan, pengkajian, pengembangan ajaran-ajaran agama Islam, dan sebagai tempat untuk mencetak atau menggodok kader-kader
ulama Islam. Sejarah juga membuktikan peranan pesantren dalam menentang penetrasi dan dominasi kolonial dibidang politik, sosial, budaya, ekonomi, dan agama
(Ahmad Yunus, 1995).
Selain Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, Ponpes dewasa ini juga sekaligus berfungsi sebagai lembaga pendidikan umum. Modernisasi menurut
ketrampilan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan itu, maka para santri tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mendalami ilmu-ilmu
agama saja, melainkan juga dituntut untuk ketrampilan dan penguasaan IPTEK. Oleh sebab itu, dewasa ini banyak pondok pesantren yang sekaligus juga menyelengarakan pendidikan umum dan tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sisi lain dari
sebuah lembaga pesantren adalah sebagai wadah interaksi dan komunikasi orang-orang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.
Ponpes Darusy Syahadah merupakan salah satu Ponpes di wilayah Boyolali, ponpes tersebut didirikan oleh yayasan Yasmin Surakarta pada tahun 1994. Ponpes Darusy Syahadah terdiri dari dua wilayah, yaitu Ponpes Darusy Syahadah Putra yang
berlokasi di Dukuh Gunungmadu, Kelurahan Kedunglengkong, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tenggah. Ponpes Darusy Syahadah Putri yang berlokasi di
commit to user
sempit disebabkan semakin banyak santri putri yang menuntut pendidikan di PDS, sehinga lokasi PDS putri di tempatkan pada lokasi baru.
Visi PDS adalah Terwujudnya insani yang memiliki keseimbangan spiritual,
intelektual, dan moral menuju generasi ulul albab yang berkomitmen tinggi terhadap kemaslahatan umat dengan berlandaskan pengabdian kepada Allah. PDS memiliki
misi ialah Menyelenggarakan proses pendidikan Islam yang berorientasi pada kualitas untuk mewujudkan kader umat yang menjadi rahmatan lil’alamin. Mendidik dan menyiapkan kader ‘alim mu’ttaqi yang siap berperan aktif dalam amal
iqomatuddin.
Sedangkan Tujuan PDS yaitu membentuk manusia yang beriman, bertaqwa,
berilmu, berakhlak mulia, dan mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafusshaleh. Juga untuk mencetak generasi robbani (yang selalu mencari keridhoan
Allah) dan ulama’ ’amilin fisabillillah (seorang ulama’ yang siap berkhitmat di jalan Allah).
Unit yang dibuka MDI (Madrasah Diniyah Islamiyah), TKS (Takhasshush) dan KMI (Kuliyyatul Mu’allimin), untuk putra / KMA (Kuliyyatul Mu’allimat) untuk putri dan TID, Takhasshush I’dad Du’at (untuk putra), Takhasshush I’dadaud Da’iyat
yaitu untuk pasca SLTA santri putri.
MDI (Madrasah Diniyah Islamiyah) syaratnya santri tidak tinggal di komplek
commit to user
(MDW), dan ulya (MDU) lama pendidikan 3 (tiga) tahun, dengan target sebagai berikut :
1. Memiliki rasa cinta terhadap Al-Qur’an dan As Sunnah
2. Disiplin Ibadah 3. Berakhlak karimah
4. Memiliki dasar-dasar ulumuddin 5. Memiliki dasar-dasar bahasa arab
TKS dan KMI (Putra) / KMA (putri) atau setara dengan SMA, Santri wajib tinggal di komplek pesantren, mendidik lulusan SLTP / MTs dan yang sederajadnya
dengan lama pendidikan 4 (empat) tahun, 1 (satu) tahun TKS dan 3 (tiga) tahun KMI / KMA. Unit TKS merupakan jenjang persiapan sebelum memasuki jenjang KMI / KMA dengan target pendidikan sebagai berikut :
1. Mampu memahami Islam secara lebih mendalam 2. Menguasai ilmu alat dalam Fiqih dan lughah
3. Berakidah salimah dan berakhlak karimah 4. Disiplin ibadah dan berjuang
5. Siap terjun (pakai) dalam Masyarakat
6. Terampil dan sensitive terhadap perkembangan zaman
7. Dapat melanjutkan study di pesantren-pesantren tinggi (ma’had ‘aly)