• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENUTUP

Dalam dokumen Penulisan Hukum (Skripsi) (Halaman 30-123)

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian dan pembahasan serta saran yang diajukan penulis sebagai implikasi dari simpulan yang didapat.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

commit to user

16 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Bank

a. Pengertian Bank

Hermansyah mengutarakan pengertian bank dalam bukunya, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, bahwa bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik Negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan yang menyimpan dana-dana yang dimilikinya, dan bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme system pembayaran bagi semua sektor perekonomian melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang dapat diberikan (Hermansyah, 2011:

7). Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, memberikan arti bank sebagai usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.

Berkaitan dengan pengertian bank, Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Undang-Undang Perbankan) merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

commit to user

b. Asas, Fungsi dan Tujuan Bank

Asas, fungsi dan tujuan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Perbankan, sebagai berikut:

1) Asas

Perbankan Indonesia dalam melaksanakan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Demokrasi ekonomi adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Makna dari demokrasi ekonomi oleh ahli ekonomi Universitas Gajah Mada Mubyarto dirumuskan dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Jamal Wiwoho, 2011: 36):

a) Koperasi merupakan soko guru perekonomian;

b) Perekonomian Pancasila digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan yang terpenting adalah moral;

c) Perekonomian Pancasila terdapat hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terdapat solidaritas sosial;

d) Nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi; dan

e) Tegas dan jelas ada keseimbangan antara perencanaan sentral dengan tekanan pada desentralisasi.

Prinsip kehati-hatian dalam hal ini adalah mengenai cara bank dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, khususnya dalam membuat kebijakan harus cermat, teliti dan profesional. Selain itu harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan didasari itikad yang baik (Hermansyah, 2011: 18-19).

2) Fungsi

Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Perbankan.

3) Tujuan

Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, commit to user

18

pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan rakyat banyak sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Perbankan.

Tujuan tersebut bukan hanya berorientasi ekonomis, tetapi juga berorientasi kepada hal-hal nonekonomis, seperti masalah stabilitas politik dan stabilitas sosial (Jamal Wiwoho, 2011: 37).

c. Jenis-jenis Bank

Perbedaan jenis bank dapat dilihat dari segi fungsi, serta segi kepemilikannya (Kasmir, 2011: 18).

1) Dilihat dari segi fungsinya

Jenis bank menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perbankan terdiri dari:

a) Bank Umum

Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Perbankan, menyebutkan bahwa Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa-jasa dalam lalu-lintas pembayaran. Jasa tersebut bersifat umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada dan dapat melakukannya diseluruh wilayah Indonesia (Kasmir, 2011: 19).

Usaha perbankan berdasar prinsip syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, yang dijabarkan dalam Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Perbankan.

b) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Berdasarkan Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Perbankan, yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak commit to user

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR lebih sempit jika dibanding dengan kegiatan bank Umum. BPR hanya diperbolehkan untuk menghimpun dana dalam bentuk simpanan tabungan dan deposito, memberikan pinjaman kepada masyarakat, dan menyediakan pembiayaan serta penempatan dana berdasarkan prinsip syariah (Jamal Wiwoho, 2011: 55).

2) Dilihat dari segi kepemilikannya a) Bank Milik Pemerintah (Negara)

Yakni bank yang akta pendirian serta modalnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia (Kasmir, 2011: 20). Contoh: Bank Rakyat Indonesia, Bank Tabungan Negara, Bank Mandiri, dll.

b) Bank Milik Swasta Nasional

Yakni bank yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki swasta nasional. Kemudian akta pendiriannya didirikan oleh swasta, serta pembagian keuntungannya untuk swasta. Contoh:

Bank Central Asia, Bank Lippo, Bank Danamon, Bank Niaga, dll (Kasmir, 2011: 21).

c) Bank Milik Koperasi

Merupakan bank yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi. Contoh: Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin) (Kasmir, 2011: 21).

d) Bank Milik Asing

Merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta maupun pemerintah asing. Contoh: Bank of America, ABN AMRO Bank, dll (Kasmir, 2011: 21).

e) Bank Milik Campuran

Merupakan bank yang sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional. Kepemilikan sahamnya secara mayoritas dipegang oleh warganegara Indonesia. Contoh: Bank Finconesia, dll (Kasmir, 2011: 22). commit to user

20

d. Macam Kegiatan Usaha Bank 1) Menghimpun dana dari masyarakat

Menghimpun dana (fund raising) adalah kegiatan usaha mencari dan mengumpulkan dana dari masyarakat melalui strategi tertentu, sehingga masyarakat bersedia menanamkan dananya di bank dalam bentuk simpanan (Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2000: 48). Menurut ketentuan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Perbankan, simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan penyajian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dam atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

2) Menyalurkan dana ke masyarakat

Penyaluran dana (fund lending) adalah kegiatan usaha meminjamkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau utang (Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2000: 58). Kredit yang diberikan oleh bank beragam jenis, tergantung dari kemampuan bank yang menyalurkannya. Penyaluran kredit ini diawali dengan perjanjian kredit yang dilakukan antara kreditor dan calon debitor pemohon kredit. Kemudian pihak kreditor terlebih dahulu menilai kelayakan kredit yang dimohonkan sebelum kredit diberikan, agar terhindar dari kerugian akibat tidak dikembalikannya pinjaman yang disalurkan oleh bank dengan berbagai sebab (Kasmir, 2011: 32).

3) Memberikan jasa-jasa bank lainnya

Jasa-jasa bank lainnya merupakan jasa pendukung dari kegiatan pokok bank yaitu menghimpun dan menyalurkan dana. Jasa-jasa lain ini seperti pengiriman uang, penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota, luar kota dan luar negeri, letter of credit (L/C), dan jasa lainnya.

commit to user

Sumber: Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan.

Gambar 2.Kegiatan Bank sebagai Lembaga Keuangan

e. Analisis Prinsip 5C

Keberadaan analisis prinsip 5C terkait dengan adanya ketentuan pada Pasal 2 Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Untuk mewujudkan prinsip kehati-hatian tersebut, Undang-Undang Perbankan telah mengatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa:

(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia."

Ketentuan tersebut diperjelas dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perbankan yang berbunyi:

(1) Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya

BANK

Menyalurkan Dana Jasa-jasa lainnya Menghimpun Dana

commit to user

22

sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah debitur.

Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.

Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau risiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.

(2) Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:

a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;

b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah debitur;

c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi;

f. Penyelesaian sengketa.

commit to user

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, untuk mendapatkan keyakinan dalam pemberian kredit atau pembiayaan maka bank harus melakukan analisis secara mendalam dengan menerapkan analisis prinsip 5C. analisis tersebut yaitu (Kasmir, 2011: 117):

1) Character (karakter)

Karakter merupakan sisi psikologis calon penerima kredit itu sendiri, yaitu watak atau sifat yang dimilikinya, seperti latar belakang keluarganya, cara hidup yang dijalani, dan kebiasaan-kebiasaannya.

Karakter dari orang-orang yang akan mendapatkan kredit harus benar-benar dapat dipercaya, sebab dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengetahui risiko yang akan terjadi kelak. “Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejujuran, integritas, dan kemauan dari calon nasabah debitor untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya” (Hermansyah, 2011: 64).

2) Capacity (kemampuan)

Capacity berhubungan dengan business record atau kemampuan seorang pebisnis mengelola usahanya, terutama pada masa-masa sulit sehingga nanti akan terlihat ability to pay atau kemampuan membayarnya (Irham Fahmi, 2010: 18). Capacity dihubungkan dengan latar belakang pendidikan dan pengalamannya selama ini dalam mengelola usahanya, sehingga akan terlihat kemampuannya dalam mengembalikan kredit yang disalurkan (Kasmir, 2011: 118).

3) Capital (modal)

Analisis ini terkait dengan kemampuan modal yang dimiliki oleh seseorang pada saat melakukan bisnisnya (Irham Fahmi, 2010:

18). Analisis ini juga terkait dengan penggunaan dan efektifitas modal yang dapat dilihat dari laporan keuangan. Kreditor menganalisis sumber dana atau modal yang sedang digunakan debitor, dari mana saja sumber dana sebuah perusahaan, termasuk presentase modal yang

commit to user

24

digunakan untuk membiayai proyek yang akan dijalankan, berapa modal sendiri dan modal pinjamannya (Jamal Wiwoho, 2011: 96).

4) Collateral (agunan)

Collateral adalah barang atau sesuatu yang dapat dijadikan agunan pada saat seseorang akan melakukan peminjaman dana dalam bentuk kredit ke lembaga keuangan (Irham Fahmi, 2010: 19). Agunan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan, guna menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian hari debitor tidak melunasi hutangnya dengan jalan menjual agunan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu (Sutarno, 2005: 94). Menurut Hermansyah dalam bukunya Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Collateral merupakan agunan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman atas risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari, misalnya terjadi kredit macet. Agunan ini diharapkan mampu melunasi sisa utang kredit, baik utang pokok maupun bunganya. Tujuan agunan adalah untuk melindungi kredit dari risiko kerugian, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja (Kasmir, 2011: 113).

5) Condition of economy (kondisi perekonomian)

Condition of economy merupakan situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu ketika kredit itu diberikan oleh Bank kepada pemohon. Kondisi ekonomi Negara yang buruk sudah pasti memperngaruhi usaha pemohon kredit dan pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada kemampuan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya (Sutarno, 2005; 94). Kreditor harus menilai secara seksama mengenai kondisi ekonomi debitor yang ada sekarang dan prediksi untuk masa yang akan datang, serta mengetahui secara pasti bahwa usaha yang akan dibiayai memiliki prospek yang baik, sehingga relatif kecil kemungkinan bermasalahnya kredit tersebut.

commit to user

2. Tinjauan tentang Perjanjian Kredit a. Perjanjian

1) Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum perikatan yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Definisi perjanjian sesuai Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa tersebut timbul suatu hubungan hukum antara dua pihak yang dinamakan perikatan” (R. Subekti dalam buku Sutarno, 2009: 74).

Perjanjian bersifat mengikat kedua belah pihak yang membuatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, selain itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

2) Subjek dan Objek Perjanjian

Dalam suatu perjanjian yang merupakan hubungan hukum harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi dan bersifat aktif adalah kreditor, sedangkan pihak yang wajib memenuhi prestasi dan bersifat pasif adalah debitor. Pada umumnya kedua pihak inilah yang merupakan subjek perikatan (Mariam Darrus B, 1995: 3). Akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 1315, Pasal 1317, dan Pasal 1318 KUHPerdata dapat diketahui bahwa subjek perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan perjanjian,

yaitu: commit to user

26

a) para pihak yang mengadakan perjanjian yang terdiri dari kreditor dan debitor;

b) pihak ketiga; dan

c) para ahli waris mereka dan pihak-pihak yang memperoleh hak daripadanya.

Objek perjanjian merupakan salah satu unsur penting sebagai pendukung terlaksananya perjanjian. Objek perjanjian menurut Mariam Darrus Badrulzaman adalah prestasi. Menurutnya apabila dua orang atau lebih mengadakan perjanjian, jelas bahwa maksudnya untuk mengikat kedua orang atau lebih tersebut untuk memenuhi kewajiban atas sesuatu yang disebut dengan prestasi (Mariam Darrus B, 1995: 7). Berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata, objek perjanjian atau prestasi berwujud suatu tindakan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

3) Asas-Asas Pejanjian

Hukum perjanjian mengenal lima asas penting yang diatur dalam KUH Perdata yaitu:

a) Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, persyaratan, dan bentuknya, serta menerima atau menyimpangi hukum perjanjian yang bersifat pelengkap. Akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan (Salim, 2010:

9).

commit to user

b) Asas konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu harus adanya kesepakatan kedua belah pihak, sehingga perjanjian dapat terjadi sejak tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perjanjian. Kesepakatan (konsensus) dalam perjanjian ini mengandung akibat hukum yang harus dipatuhi.

c) Asas pacta sunt servanda

Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengn akibat perjanjian.

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang intinya bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

d) Asas iktikad baik

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas ini mengisyaratkan bahwa kepada para pihak, yaitu kreditor dan debitor, harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak.

e) Asas personalitas (kepribadian)

Keberadaan asas personalitas dalam suatu perjanjian tercermin dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Selain itu Pasal 1340 KUHPerdata juga mengisyaratkan adanya suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Hal ini berlaku dengan pengecualian yang terdapat dalam Pasal 1317 KUHPerdata bahwa commit to user

28

diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan pihak ketiga.

4) Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 KUHPerdata menentukan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu:

a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Kesepakatan diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Kesepakatan merupakan persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai dalam pengertian tersebut merupakan pernyataan kehendaknya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Persesuaian pernyataan kehendak dalat terjadi, yaitu dengan (Sudikno Mertokusumo, 1987: 7):

(1) bahasa yang sempurna dan tertulis;

(2) bahasa yang sempurna secara lisan;

(3) bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;

(4) bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan; dan (5) diam atau membisu, asal dapat dipahami atau diterima pihak

lawan.

b) Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian harus orang cakap dan berwenang melakukan perbuatan hukum (Salim, 2010: 33). Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang tidak cakap hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata, adalah orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian commit to user

tertentu. Setelah adanya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang, maka Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata yang mengatur mengenai kewenangan seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan harus dengan izin atau bantuan dari suami, sudah tidak berlaku lagi. Begitu pula dengan adanya Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan adanya ketentuan tersebut maka ketentuan dalam Pasal 1330 ayat (3) KUHPerdata menjadi tidak berlaku lagi.

c) Mengenai hal atau objek tertentu.

Objek tertentu dalam hal ini merupakan objek yang berupa barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian, sesuai dengan Pasal 1332 KUHPerdata. Objek tertentu suatu perjanjian harus mempunyai perwujudan yang setidaknya dapat ditentukan jenisnya atau kemudian dapat ditentukan ukuran atau dihitung.

d) Suatu sebab (causa) yang halal.

Pasal 1320 KUHPerdata tidak menjelaskan secara rinci pengertian causa yang halal (Salim, 2010: 34). Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan commit to user

30

kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada (Salim, 2010: 35).

b. Kredit

1) Pengertian Kredit

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin yakni credere, yang berarti kepercayaan (Hermansyah, 2011: 57). Pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan penerima kredit mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya (Kasmir, 2011:

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin yakni credere, yang berarti kepercayaan (Hermansyah, 2011: 57). Pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan penerima kredit mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya (Kasmir, 2011:

Dalam dokumen Penulisan Hukum (Skripsi) (Halaman 30-123)

Dokumen terkait